“EUTHANASIA” ATAU HAK UNTUK MATI TINJAUAN ASPEK AKSIOLOGIS ILMU HUKUM
m.rakib lpmp riau
indonesia
Lulusan magister Universitas
Indonesia dengan IPK 3,37 menuntut Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan bunuh
diri. Ia minta disuntik mati lantaran depresi hidup seorang diri.
Melakukan qath’u ar-rahmah
atau taysir al-maut Nama
lelaki itu, Ignatius Ryan Tumiwa (48). Bungsu dari empat bersaudara itu,
membuat heboh. Betapa tidak, ia mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi
(MK) untuk merevisi pasal 344 terkait dengan permintaan suntik mati. Bahkan
pria kurus itu di rumahnya jalan Taman Sari X RT 8 RW 03, Kelurahan Tamansari,
Tamansari, Jakarta Barat, mengaku sudah sejak bulan Mei 2014 mengajukan
tuntutan itu. ''Awalnya saya pergi ke Komnas HAM terus ditolak, saya pergi ke
Depkes ditolak juga dan disuruh ke Mahkamah Konstitusi. Di MK saya disuruh
pergi ke psikiater,'' ujar sarjana administrasi dari STIE dan S2 UI itu
sebagaimana dilansir Warta Kota.
Menurutnya,
awal ide untuk suntik mati itu tak terlintas dalam pikirannya. Ia hanya ingin
bertanya kepada Komnas HAM terkait dengan tunjangan untuk para pengangguran
seperti dirinya. Hanya saja ketika berkunjung ke komnas HAM, dirinya dilarang
karena dianggap salah konfirmasi.''Komnas HAM bilang yang diurusinya
pelanggaran hak asasi bukan masalah pemberian tunjangan,'' ungkap pria lulusan
pasca sarjana universitas Indonesia jurusan administrasi tahun 1998.
Dirinya
ke Komnas HAM untuk mempertanyakan pasal 34 tentang fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara negara. ''Saya bertanya kepada komnas soalnya saya kan
fakir miskin. Tetapi jawaban mereka fakir miskin itu tunawisma (gelandangan)
bukan seperti saya,'' tuturnya.
Dalam konteks aspek aksiologis ilmu
hukum, salah satu materi kontroversial yang paling banyak menyita perhatian
kaum intelektual sejak dulu hingga kini dan dapat dipastiakan juga untuk jangka
waktu ke depan adalah masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi
yang panjang tersebut melibatkan terutama kaum filosof, teolog, ahli kedokteran
dan ahli hukum. Kaum filosof dan teolog misalnya, cenderung menganggap euthanasia sebagai pilihan manusia yang tidak
dapat dibenarkan., sebaliknya para ahli kedokteran dan hukum, paling tidak
menurut pandangan yang lebih progresif relatif lebih dapat menerimanya.Silang
pendapat tersebut memperlihatkan kepada kita, betapa komplek sesungguhnya permasalahan
itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai sebagai konsekuensi dari
implikasi sosial dan etika yang disandangnya. Menyinggung soal etika, berarti
kita berbicara tentang baik atau buruk, susila dan asusila. Benar, bahwa
agamapun berbicara soal yang sama, namun ukuran yang dipakai berbeda dengan
etika. Etika sebagai bagian dari filsafat menghendaki ukuran yang umum dan
universal. Kendati antara agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya
kedua obyek tersebut tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti
permasalahan euthanasia yang menjadi topik tulisan ini. Karena itulah
membicarakan euthanasia sebagai aspek aksiologis ilmu hukum, maka selain
dimensi hukum dan etika, dimensi agama dengan nilai kesakralannya (sekalipun
hanya sekilas) tidak dapat diabaikan begitu saja. Menyadari luasnya cakupan
etika, maka dibatasi pembahasannya hanya pada etika dalam bidang kedokteran dan
hukum saja. Bagaimanapun juga dua lapangan inilah yang paling banyak terlibat
dalam permasalahan euthanasia tersebut. Berdasarkan latar belakang itulah
pembahasan selanjutnya akan diarahkan kepada masalah pokok, yaitu bagaimana
euthanasia dalam dimensi hukum dan etika? Tentu saja dimensi hukum yang
dimaksud sedikit banyak berpijak pada kundisi di Indonesia yang berlandaskan
Pancasila. Terminologi Euthanasia dan Pengertiannya Istilah “Euthanasia” secara
etimologi berasal dari kata “eu” yang berarti baik tanpa derita, dan “Thanatos”
yang berarti mati, jadi secara sederhana euthanasia dapat diartikan sebagai
bentuk kematian dengan tanpa mengalami penderitaan (Martha, 1988: 1). Dalam
berbagai kepustakaan ditemukan sebutan lain untuk euthanasia seperti “mercy
death”, “mercy killing”, “hak untuk mati”, “kemerdekaan untuk mati”, “mati
secara terhormat”, “hak untuk menolak pengobatan”, “pembunuhan diri dengan
bantuan” dan “bunuh sayang”. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut,
euthanasia merupakan sebutan yang paling mapan (Rahardjo, 1989: 1).
Dalam The Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, euthanasia diartikan sebagai (bringing about of)
easy and painless death (for persons suffering from an incurable and painful
disease). Blacks Law Dictionary mendefinisikan euthanasia sebagai the act or
practice of painlessly putting to death person suffering incurable and distressing
disease as an act of mercy. Batasan-batasan tersebut mirip dengan rumusan dalam
kode etik kedokteran (kodeki) Indonesia yang menyatakan euthanasia adalah
perbuatan untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien, yang menurut ilmu
kedokteran tidak akan sembuh lagi. (Adji, 1986: 130).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).
Demikian pula dengan rumusan yang diberikan oleh euthanasia studi group dari KNMG (semacam IDI) di negeri Belanda, mengartikan euthanasia sebagai kesengajaan untuk tidak melakukan sesuatu (nalaten) guna mememperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua itu dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri (Ameln, 1984 : 4).
Tindakan euthanasia terjadi bilamana dokter mengambil nyawa (mematikan) si penderita (pasien) atas permintaan yang bersangkutan, yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis, atau merasa sakit secara fisik akibat penyakit yang dideritanya, yang tidak dapat disembuhkan secara medis (sahetapy, 1989: 2). Pada perkembangan selanjutnya pengertian euthanasia mengalami modifikasi disana-sini, disertai bobot sesuai dengan aspek tinjauannya. Dari beberapa batasan tersebut, para ahli lalu membedakan euthanasia dalam 2 kategori. Dilihat persetujuan pihak korban, dikenal adanya euthanasia sukarela dan tidak sukarela (Vrijwillige-Onvrijwillige Euthanasia). Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia secara sungguh-sungguh (Uitdrukkelijik en ernsting) dengan persetujuan dari pihak korban dan sebaliknya pada euthanasia tidak sukarela, adalah yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak korban. Dari kedua kategori tersebut yang dekat dengan rumusan pasal 344 KUHP adalah jenis pertama (Adji, 1989: 131).
Di samping kategori berdasarkan
persetujuan tersebut, masih dikenal lagi adanya euthanasia aktif (positif) dan
pasif (negatif). Kategori ini lebih banyak didasarkan pada bentuk tindakan
dokter. Euthanasia aktif adalah bila si pelaku (in casu dokter) mengusahakan
agar korban cepat menemui ajalnya dengan cara yang tidak menimbulkan sakit,
sehingga orang tersebut terbebas dari penderitaan yang berkelanjutan atau
berkepanjangan, yang disebabkan oleh penyakit yang tidak tersembuhkan lagi
(Jakob, 1989: 12). Adapun teknik yang digunakan pelaku biasanya memberikan obat-obatan
atau suntikan tertentu kepada korban. Sedangkan euthanasia pasif adalah
tindakan sang pelaku dengan menghentikan segala usaha yang telah dijalankan
guna menyembuhkan korban. Dengan penghentian tersebut, diharapkan korban lebih
cepat meninggal dan berarti pendritaannya karena penyakit yang tidak
sembuh-sembuh itupun akan cepat berlalu.
Berpijak dari pembagian itu, A.M.
Capron (1983) dalam Encyclopedia of Crime and Justice, kemudian memerinci
euthanasia dalam epat jenis yaitu :
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)
1. Aktif atas pesetujuan korban (active voluntary euthanasie)
2. Pasif atas pesetujuan korban (passive voluntary euthanasie)
3. Aktif tanpa persetujuan korban (active nonvoluntary euthanasie)
4. Pasif tanpa persetujuan korban (passive nonvoluntary euthanasie)
Anda sudah tahu bahwa kematian
adalah hak perogatif Allah Swt, manusia tidak ada hak untuk menentukan kematian
dirinya sendiri, karena jiwa ini milik Allah dan manusia berkewajiban menjaga
dan melindungi dari segala kerusakan dan kebinasaan. Oleh karena itu, Allah
mengharamkan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt:
ولا تقتلوا انفسكم إنّ الله كان بكم رحيما ومن يفعل ذلك عدوانا
وظلما فسوف نصليه نارا وكان ذلك على الله يسيرا
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada
kamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.” (QS. al-Nisa: 29-30)
Euthanasia
Daalam ensiklopedia Indonesia, kata
euthanasi berasal dari Yunani eu yang berarti “baik” dan thanatos
yang berarti kematian (Utomo, 2003:177). Dalam istilah Arab dikenal dengan qath’u
ar-rahma atau taysir al-maut. Kata tersebut dikenal dalam kedokteran
adalah tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan. Dalam kata lain juga tindakan mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
(Hasan, 1995:145).
Pembagian
Euthanasi
Dalam
praktek kedoketran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasi aktif dan
pasif.
- Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasa dikemukan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita
kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali
pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus (Utomo, 2003:178).
- Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang
sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan
pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena
serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan
penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Sementara
itu, secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, pertama, voluntary
euthanasia yaitu euthanasia yang yang dilakukan atas permintaan pasien itu
sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan tidak sanggup menahan
rasa sakit yang diakibatkannya; kedua, non voluntary euthanasia
yaitu orang lain atau bukan pasien (keluarga pasien) yang tidak tega melihat
keadaan pasien yang sangat menderita; dan ketiga, involuntary euthanasia
yaitu merupakan pengakhiran kehidupan tanpa persetujuan pasien atau keluarga
pasien)
Hukum
Euthanasi
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT
ولا تقتلوا النفس التي حرّم الله إلاّ بالحقّ
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”
(QS Al-An’aam : 151)
وما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إلا خضئا
“Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…”
(QS An-Nisaa` : 92)
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Masalah euthanasia sebenarnya sudah dipersoalkan orang seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran. Di sisi lain, euthanasia pun tidak dapat dipisahkan dengan persoalan agama, filsafat dan hukum, khususnya dalam menyoroti esensi hidup dan pandangan mereka terhadap perbuatan bunuh diri. Dalam sejarah agam Kristen misalnya, dikenal adanya pembuangan bagi orang-orang yang menderita suatu penyakit tertentu seperti lepra atau kusta, para penderitanya diasingkan secara khusus di pulau atau tempat terpencil. Di tempat pembuangan tersebut, di tengah-tengah ketiadaan fasilitas medis, hampir dipastikan para penderita tadi hanya menunggu saat ajal menjemput mereka. Tetapi seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, pandangan agama terhadap para penderita penyakitpun mulai berubah. Banyak penyakit yang semula dipandang incurable ternyata dapat disembuhkan. Kemajuan ilmu kedokteran telah membawa banyak perbaikan terhadap kondisi kesehatan manusia.
Bersamaan dengan itu, kesadaran
manusia untuk mempertahankan hidupnya juga semakin tinnggi. Kendati demikian,
seberapapun usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya agar semakin tinggi,
namun kematian tetap harus dihadapi setiap mahluk yang benyawa. Bukankah dengan
arif agama mengajarkan bahwa tiap mahluk yang bernyawa akan mati juga?
Keinginan untuk mempertahankan hidup dan kenyataan bahwa manusia harus
menghadapi maut, menjadi bahan perdebatan yang sengit. Para ahli kedokteran
seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa si pasien (secara medis) tidak lagi
dapat disembuhkan, atau hanya dapat dikatakan hidup berkat bantuan alat-alat
medis semata, namun di sisi lain mereka dihadapkan pertimbangan etis apabila
sengaja mengakhiri hidup pasiennya. Di luar profesi kedokteran juga terjadi
kontroversi yang tidak kalah serunya. Berbagai kasus yang muncul di pengadilan
membuktikan adanya gerakan pendulum etika dalam menilai euthanasia ini.
Menyimak pada yurisprudensi yang ada di negeri Belanda dan Belgia, dapat
diamati bahwa perkembangan euthanasia bergerak dari sikap melarang ke sikap
membolehkan. Dari putusan-putusan pengadilan yang terkumpul antara tahun 1952
hingga tahun 1981, hampir semuanya memandang euthanasia sebagai perbuatan
kriminal. Diantara perkara euthanasia yang dibawa pengadilan dalam kurun waktu
itu, hanya satu perkara (1962) yang memberikan putusan bebas bagi terdakwanya.
Pada tahun 1973, sebuah putusan lainnya pernah
membuat persyaratan bagi seorang ahli medis untuk dapat dilepaskan dari
pemidanaan karena euthanasia. Sedangkan untuk
kasus Indonesia, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang secara
khusus menyangkut permasalahan euthanasia. Kasus-kasus yang bersangkutan yang
berkaitan dengan dunia kedokteran biasanya lebih banyak berkenan dengan
malapraktek. Konsep Etika
Etika yang dipungut dari bahasa yunani yaitu “Ethikos” (moral) dan “Ethos” (karakter), mencakup pengertian sebagai upaya manusia untuk menilai, atau memutuskan suatu perbuatan atau sikap, atau bagaimana suatu perbuataan harus dilaksanakan, yaitu perbuatan atau sikap mana yang baik dan yang buruk (Dewabrata, 1989: 4). Sebagai ilmu, etika mencari kebaikan. Sebagai filsafat, etika mencari keterangan (baik) yang sedalam-dalamnya, sehingga ada yang menyebut etika itu sebagai filsafat kesusilaan (poedjawiyatno,1984 : 6). Ada juga yang merumuskan etika sebagai a sitematic reflection upon human action, institution and character (Krammer, 1988: 12).
Etika dengan demikian berusaha untuk
memberi pentunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang senantiasa kita ajuakan.
Pertama, apakah yang harus aku/kita lakukan dalam situasi konkret yang tengah
dihadapi? Kedua, bagaimana kita akan mengatur pola koeksistensi kita dengan
orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia apakah kita ini? Dalam konteks ini
etika berfungsi sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar dalam mengelola
kehidupan ini tidak sampai bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya
“fracticida” yang secara legendaris dan historis mewarnai sejarah manusia
(Rahmat, 1992: 6). Sementara itu, fungsi etika dalam perkembangan ilmu
pengetahuan berwujud sebagai pengendali, penyaring, pengemudi dan persemain
ide-ide baru (Boedijah, 1992: 7). Etika berusaha dengan orthopraxis, yakni
tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu dipandang benar
ditafsirkan secara berbeda oleh aliran etika yang secara global dapat dibagi
menjadi 2, yaitu aliran deontologis (etika kewajiban), dan aliran teleologis
(etika tujuan atau manfaat). Menurut etika deontologis (dari kata deon, yang
berarti kewajiban), suatu tindakan dipandang benar bila tindakan itu sesuai
dengan norma sosial yang berlaku.
Etika deontologis sangat menekankan
perlunya law and order dalam kancah
kehidupan bermasyarakat, yang hanya akan terjadi bila manusia mematuhi
peraturan, baik aturan tuhan, alam, negara dan seterusnya. Kesulitan yang
membelit etika deontologis terletak pada pengandaiannya (asumsi) bahwa fakta
identik dengan das sollen, akibatnya etika deontologis sering memberi kesan
kaku, legalitik, dan konservatif karena melestarikan status quo. Etika
teleologis (dari kata teleos,yang berarti hasil atau tujuan), tindakan yang
benar adalah tindakan yang berhasil mencapai tujuan tertentu. Jadi dari
buahnaya kita harus menilai benar tidaknya suatu tindakan. Kesulitan yang
membelit etika teleologis adalah kecenderungannya yang kuat untuk menempuh
jalan pintas, yakni tujuan menghalalkan segala cara : (Rahmat, 1992: 6-7).
Sebagaimana dipaparka sebelumnya, bahwa etika menghendaki ukuran-ukuran yang
umum (universal). Inilah yang membedakannya dengan agama, tetapi agama sendiri
tidak lalu harus dipertentangkan dengan etika. Agama menjadi salah satu sumber
bagi etika disamping sumber-sumber lain seperti adat-istiadat dan pandangan
hidup suatu bangsa atau negara. Bagi bangsa Indonesia, sumber etika yang paling
penting untuk diterapkan di Indonesia tentu saja Pancasila. Dari etika yang
cakupannya sangat luas tersebut, dijabarkan lagi menjadi bagian-bagian yang
lebih spesifik dan sektoral. Karena itulah, kemudian kita mengenal istilah
seperti etika kedokteran, etika jurnalistik, etika bisnis dlsb.
Etika tersebut ada yang masih berupa
norma-norma sosial yang tidak mengikat, tetapi ada pula yang sudah dirumuskan
dalam bentuk kode etik. Dengan demikian kita lalu mengenal pula banyak kode
etik seperti kode etik kedokteran (kodeki), yang dijadikan sebagai a systematic
reflection upon human action, institution and characternya kaum ahli di bidang
kedokteran, demikian juga kode etik ahli hukum seperti kode etik advokat, kode
etik hakim, kode etik jaksa dan kode etik notaris, serta lainnya. Etika,
seperti yang disebutkan sebelumnya, tidak saja berfungsi sebagai pengendali dan
penyaring, tetapi juga sebagai sumber persemaian ide-ide baru. Dalam pembahasan
selanjutnya akan diuraikan bahwa dalam kaitannya dengan euthanasia, etika
memegang peranan penting maupun sebagai persemaian ide-ide baru yang dimaksud.
Euthanasia dalam Perspektif Etika dan Hukum Etika memberikan penilaian tentang
baik dan buruk, atau yang susila dan asusila serta dalam kerangka itulah
euthanasia akan dinilai dalam perspektif etika.
Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal. Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999: 61).
Etika deontologis memberi pedoman bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan norma sosial yang dijadikan sebagai acuan. Padahal norma sosial itu tidaklah tunggal. Norma agama, norma kesusilaan., norma sopan santun dan norma hukum adalah bagian dari norma sosial itu (Purbacaraka, 1978: 16). Dengan demikian tindakan euthanasia baru dianggap etis apabila telah dapat diterima oleh semua norma sosial tersebut. Jika mengacu pada konsep etika teleologis yang semata-mata mengutamakan tujuan dan kemanfaatan juga sangat relatif sifatnya. Tujuan dan kemanfaatan menurut siapa? Apakah mengacu kepada the greatest good for the greatest number yang terbukti berat sebelah itu? (Metokusumo, 1999: 61).
Karena sulitnya mencapai ukuran
menurut dua aliran etika tersebut, maka kita sebaiknya menghindar dari dikotomi
antara etika deontologis dengan teleologis tersebut, dengan menggali kembali
situasi primordial yang telah menggodok lahirnya kepekaan dan keprihatinan
etis. Keprihatinan utama etika bukanlah melestarikan norma-norma sosial atau
merealisasikan aneka macam tujuan subyektif, melainkan melindungi kehidupan dan
menanggapi penderitaan manusia. Dengan kata lain titik tolak konkrit etika
bukanlah tertib umum yang tidak boleh diganggu gugat atau tujuan subyektif yang
terasa mendesak, melainkan protes terhadap kesengsaraan dan penindasan manusia
yang selalu terjadi. Ancaman dan pemerkosaan terhadap humanum yaitu kemanusiaan
yang layak dirindukan akan membakar kepekaan etis manusia. Dengan demikian dua
prinsip utama etika adalah prinsip benefience (berbuatlah baik terhadap sesama)
dan prinsip nonmalefience (janganlah berbuat jahat terhadap sesama), sehingga
ukuran baik dan buruk suatu tindakan manusia adalah penderitaan sesama manusia
agar ia dapat menjadi penjaga dan bukannya menjagal atas sesamanya. Manusia yang
etis adalah yang dapat bertanggung jawab terhadap nasib sesamanya. E.Levinas
mengatakan respondeo ergosum (aku bertanggungjawab, jadi aku sungguh ada).
Dihadapkan pada konteks penderitaan manusia, rasa tanggung jawab untuk berbuat
baik dan mencegah kejahatan, maka tindakan yang benar (ortopraxis) didasarkan
pada dua tindakan (praxis) yaitu tindakan yang nyata guna membebaskan manusia
dari situasi hidup yang gawat dan rawan (praxis liberasi) dan tindakan yang
nyata guna menciptakan perdamaian diantara pihak yang bertentangan (praxis
rekonsiliasi).
Apabila kedua praxis tersebut diterapkan
terhadap kasus euthanasia, kiranya dapatlah dijawab bahwa euthanasia dapat
dipandang etis dengan beberapa persyaratan. Pertama, euthanasia harus
dilandaskan pada satu tujuan semata ialah untuk membaskan manusia dari
penderitaan. Namun sebelum tindakan diambil, terlebih dahulu harus didukung
oleh suatu analisis ilmiah, khususnya dari aspek ilmu kedokteran dan hukum.
Dari ilmu kedokteran, korban euthanasia haruslah dapat dipastikan kondisi
penyakitnya memang tidak dapat disembuhkan lagi dan jika dibiarkan korban akan
jauh lebih menderita lagi keadaannya. Selain itu, harus pula dipastikan dengan
analisis ilmiah bahwa kematian yang dijalani oleh korban dilakukan dengan
teknik yang memenuhi persyaratan sebagai mercy killing. Dari aspek ilmu hukum
analisis ilmiah juga perlu dilakukan seperti betulkah kematian itu didasari
alasan untuk kepentingan korban saja?. Di Indonesia sendiri, penilaian baik dan
buruk terhadap euthanasia dapat dikatakan belum sepenuhnnya dilakukan.
Mengingat Pancasila sebagai sumber etika dan sekaligus sumber dari segala
sumber hukum, maka sepantasnyalah semua ketentuan yang ada berkenaan dengan
euthanasia berpedoman pada sumber tersebut. Jika mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang mengatur euthanasia masih bersumberkan kepada hukum
warisan kolonial belanda yaitu pasal 338, pasal 359 dan pasal 345 KUHP yang
tidak secara langsung menunjuk kepada euthanasia. Satu-satunya pasal yang agak
dekat kaitannya adalah pasal 344 KUHP. Dalam pasal 344 KUHP dikatakan barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama
12 tahun. Redaksi pasal tersebut menunjukkan adanya persamaan dengan jenis
euthanasia aktif atas persetujuan korban adanya kesukarelaan korban tersebut
terlihat dari permintaanya sendiri yang dinyatakan dengan jelas dan
sungguh-sungguh. Larangan tersebut dapat ditafsirkan sebagai larangan terhadap
euthanasia dan dalam rancangan KUHP baru larangan tersebut masih dipertahankan
(Sahetapy, 1989: 4).
Namun demikian terbukti pasal tersebut tidaki lagi
ditertapkan secara kaku. Beberapa putusan pengadilan di Belanda dan Belgia
membuktikan adanya pergeseran pandangan, sedangkan untuk Indonesia belum ada
putusan mengenai euthanasia. Dari yurisprudensi tahun 1952 s/d 1981 disebutkan
bahwa euthanasia dapt dikeluarkan dari pemidanaan dengan syarat-syarat tertentu
bahkan putusan pengadilan tinggi di Luik pada tahun 1962 pernah membebaskan
dokter yang melakukan euthanasia terhadap pasiennya (Adji, 1986: 132). Dalam
konteks Indonesia pergeseran pandangan tentang euthanasia dapat dilihat dari
hasil penelitian Satjipto Rahardjo dkk dari Universitas Diponegoro Semarang
pada tahun 1989 yang meneliti respon dokter dan ahli hukum terhadap euthanasia
yang hasilnya dari jawaban 38 responden yang terjaring, 14 responden dokter
menyatakan setuju dan sisanya dari responden sarjana hukum menyatakan tidak
setuju terhadap euthanasia. Dari 7 dokter yang terjaring 5 diantaranya menjawab
setuju, sedangkan dari 25 sarjana hukum yang terjaring 12 sarjana hukum yang
menyetujui euthanasia. Sementara itu dari 14 responden menyatakan permintaan
euthanasia sebaiknya dilakukan oleh keluarga korban (50%), permintaan oleh
korban sendiri (36%) dandan oleh kedua-duanya (70%). Juga yang menarik adalah
pendapat dari 38 responden yang menyatakan bahwa euthanasia adalah masalah
kemanusiaa (8%), masalah agama (8%), masalah kedua-duanya (84%).
Terlepas
dari valid tidaknya data tersebut, ilustrasi tadi membuktikan bahwa pandangan
masyarakat Indonesia yang beretika Pancasila telah bergeser dari ketentuan yang
melarang euthanasia. Bahkan para dokter yang terikat kode etik kedokteran dan
sumpah dokter yang memuat larangan melakukan euthanasia ternyata jauh lebih
permisif jika dibandingkan sarjana hukum. Adanya pergeseran sikap tersebut
menunjukkan euthanasia sebagai materi ilmu pengetahuan selalu mendapat
masukan-masukan baru (heuristik). Namun masukan-masukan hasil persemaian
ide-ide baru tersebut tidak begitu saja diterima melainkan harus dikendalikan
oleh etika sebagai kosekuensi logis dari aspek aksiologis dari ilmu hukum
khususnya dalam persoalan euthanasia. Proses yang saling mendukung dan
mempengaruhi ini berlangsun dalam suatu siklus yang tidak pernah berhenti.
Kesimpulan Filsafat hukum Indonesia dan teori hukum Indonesia yang hendak
dibentuk dan digagas serta dikembangkan hingga ilmu hukum Indonesia secara
sistematis tentunya didasarkan pada nilai pandangan filsafat pancasaila yang
memiliki aspek ontologi monodualisme atau mono plularisme. Bahwa hakikat dari
kenyatan yang ada sumber aslinya berupa baik materi atau rohani yang
masing-masing bersifat bebas dan mandiri serta bahkan segala macam bentuk merupakan
kenyataan. Oleh karena itulah pandangan filsafat Pancasila yang menjadi dasar
dari filsafat hukum Indonesia, teori hukum Indonesia.
KESIMPULAN
Haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab
tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad)
yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Sedangkan hukum
euthanasia pasif berkaitan dengan hukum berobat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jika
hukum berobat wajib, maka menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) adalah
haram. Tetapi jika hukum berobat sunnat, maka menghentikan pengobatan
(euthanasia pasif) mubah atau boleh.
5. Pasal
344 KUHP secara tegas menyatakan bahwa Barangsiapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ada pertanyaan dari yang diposkan oleh Hasbi:
1. Kata ‘eu’ dalam euthanasia memiliki
arti:
a.
Baik c. Pengobatan
b.
Kematian d. Penyembuhan
2. Menghentikan pengobatan disebut
dengan:
a.
Euthanasia aktif c. Voluntary
euthanasia
b.
Euthanasia pasif d. Non voluntary
euthanasi
3. Menurut ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah bahwa hukum berobat adalah:
a.
Sunnah c. Makruh
b.
Wajib d. Haram
4. Euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien sendiri karena penderitaan yang sangat menyakitkan disebut
dengan:
a.
Voluntary euthanasia c. Involuntary
euthanasia
b.
Non voluntary euthanasia d.
Euthanasia pasif
5. Euthanasia yang dilakukan atas
permintaan keluarga pasien, disebut:
a.
Voluntary euthanasia c. Involuntary
euthanasia
b.
Non voluntary euthanasia d.
Eunthanasia pasif
6. Orang yang melakukan euthanasia atas
permintaan pasien diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun tercantum
KUHP Pasal:
a.
Pasal 340 c. Pasal 345
b.
Pasal 344 d. Pasal 346
7. Berikut ini dalil diharamkan
euthanasia aktif: kecuali:
a.
QS. al-An’am:151 c. QS. al-Nisa:29
b.
Qs. al-An’am 115 d. QS. al-Nisa:92
8. Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani tercantum dalam kode etik
dokter pasal:
a.
Pasal 4 c. Pasal 6
b.
Pasal 5 d. Pasal 7
9. Kaedah yang menyatakan pada dasarnya
perintah itu menunjukkan adanya tuntutan.
a.
الأصل فى الأمر للوجوب c. الأصل فى النهي للتحريم
b.
الأصل فى الأمر للطلب d. الأصل فى الأشياء للاباحة
10. Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum tercantum dalam KUHP pasal:
a. Pasal
354 c. pasal 356
b. Pasal
355 d. Pasal 357
Kunci
Jawaban Tes Formatif
1. A
6. B
2. B
7. B
3. B
8. D
4. A
9. B
5. B
10. C
Daftara
Pustaka
Maliki,
Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953.
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’
Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih
Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm
Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
________ 1998. Beberapa Problem
Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail
Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
Label: euthanasia
No comments:
Post a Comment