KEPOPULERAN DAPAT
MEMBUAT SESEORANG TENGGELAM DALAM JURANG
YANG MENYEDIHKAN
“Tuhan Membusuk”
M.Rakib LPMP Riau Inmdonesia
Menguak kebodohan pikiran
Kepopuleran dapat membuat seseorang melambung
tinggi, tapi juga bisa menjadikannya tenggelam dalam jurang yang menyedihkan.
Sebagai orang tua tentu kita ingin anak tumbuh
menjadi pribadi yang baik. Pintar dan dapat dibanggakan. Untuk itulah kita akan
menjaga dan mendidiknya dengan cara yang terbaik.
Namun sebagai orang tua sering tanpa menyadari
apa yang dianggap yang terbaik itu justru meracuni anak sendiri.
Kita berpikir itu sebagai cara untuk
mengungkapkan kasih sayang. Sayangnya hal itu malahan membuat anak-anak tidak
bertumbuh.
Kebahagiaan itu akan datang saat engkau sanggup meletakkan segala
kerisaipuan. Engkau dapat melepaskan keinginan-keinginan dan kemelekatan pada
segala yang berbentuk.Kebahagiaan itu akan selalu ada saat engkau sanggup mengubah pikiran dan sudut pandang terhadap hidup ini.
Bila relung-relung pikiranmu diisi oleh benih-benih kedamaian, maka ada kebahagiaan. Sebaliknya bila engkau isi dengan kerisauan, makan penderitaanlah yang ada.
Pikran adalah pengendali kehidupan.
Pikiran bagaikan nahkoda yang mengomandaoi kapal di tengah lautan. Ia yang
berkuasa. Begitulah pikiran menahkodai kehidupan manusia.
Kita lupa, bahwa ada yang lebih berkuasa daripada pikiran. Yakni
Kuasa Tuhan. Seperti Nahkoda ada yang berkuasa atas kuasanya.Tanpa sadar banyak di antara kita membiarkan pikiran berkuasa menghalangi Kuasa Tuhan bekerja atas hidup kita.
Kadang apa yang kita anggap kurang berharga,
sungguh menjadi sangat berharga bagi orang lain. Yang lebih dahsyat hal itu
dapat mendatangkan kebahagiaan bersama. Inilah nilai kehidupan dari memberi dan
berbagi.
Andaikan rasa malu yang mendahului kita
ketika hendak melakukan kesalahan. Bukannya hadir setelah kesalahan terjadi,
maka hidup kita akan terhindar dari banyak kesalahan yang sia-sia.
Mengucapkan terima kasih memang mudah. Tapi tidah
semudah yang kita kira. Sebab tidak sedikit yang masih sulit untuk
mengucapkannya. Belum lagi soalnya nilainya. Apakah hanya sekadar mengucapkan
atau berasal dari ketulusan hati? Tentu kita yang bisa menilai.
Sejatinya kita memang perlu melatih diri kita,
agar tidak terjebak pada amarah setiap hari. Namun adalah pilihan realistis
ketika kita tidak bisa menghentikan amarah itu dengan membuangnya dan melupakan
pada saat hendak tidur.
Manusia jaman kekinian lebih sibuk
memperindah penampilan dan lebih mengisi otaknya dengan segala ilmu. Kebanyakan
lupa untuk mengisi jiwanya yang gersang dan melompong. Karena pandangan yang
salah.
Hidup adalah perjalanan penuh dengan beban dan masalah. Tidak mungkin akan
lancar selamanya. Pasti ada masa-masa susahnya. Memahami hal ini, tentu kita
akan menyiapkan diri menghadapi semua itu tanpa keluh-keluh. Karena kita
percaya, bila waktunya semua akan berlalu.Seperti bumi yang kita huni ini. Alam telah mengajarkan, tidak selama akan ada musim kemarau. Akan ada waktunya berlalu dan berganti musim hujan yang menyejukan.
Menghamba kepada Kekuasaan Tuhan adalah kemuliaan, sedangkan menghamba kepada kekuasaan manusia adalah kehinaan.
Mengakui Keberadaan Tuhan dalam segala laku adalah keimanan, sedangkan mengakui keberadaan manusia adalah segalanya itu adalah kebodohan.
Membiarkan anak berbuat kebaikan adalah
cara memupuk budi pekertinya. Mengajarkan anak untuk hidup berbagi, maka ia
akan mengerti makna hidup ini.
Melihat suatu masalah jangan hanya menggunakan pemikiran dan standar diri
sendiri. Sebab itu akan memudahkan kita terjebak dalam kesalah-pahaman. Perlu
kejernihan pikiran untuk memahami secara jelas dan luas sebelum menyimpulkan.
Kebenaran yang sederhana. Namun tidak
seserhana dalam kenyataan. Bahwa memiliki hati yang bersyukur adalah paling
membahagiakan. Di dalam penderitaan dan kesedihan masih dapat memiliki hati
yang bersyukur merupakan kearifan tertinggi.
Di saat didera kesedihan dan penderitaan,
orang-orang awam malahan pergi melarikan diri dengan mencari hiburan. Minum
arak atau mendengarkan musik sendu. Padahal semua itu akan semakin melemahkan
jiwa.
Berusahalah agar dapat menjadi arus yang bersih
di dalam keruhnya dunia fana ini dan menjadi seberkas cahaya di dalam kegelapan
yang penuh angin dan hujan.
Berusahalah menjaga pelita nurani yang masih
samar-samar menyala. Jagalah kesadaran seperti tatkala berjalan di pinggir
jurang yang licin.
Mengapa kita memperlakukan diri kita dengan standar ganda? Untuk
urusan jasmani kita begitu rajin menjaga kebersihannya. Namun untuk urusan hati
malahan mengabaikannya.Umat beragama lupa sejati ajaranya. Melatih untuk mengecilkan ego. Yang pada muaranya untuk menemukan kebenaran sejati yang bernama Hati Nurani.
Betapa indahnya. Bila setiap pemeluk agama dapat menemukan kesadaran bahwa agama sejati yang wajib dipeluk itu adalah nurani. Sumber kebenaran tertinggi untuk menyatukan diri dengan Sang Maha Tinggi.
Hidup memang bukan sekadar pilihan. Yang
terpenting adalah memiliki hati untuk menerima segala keadaan setelah berusaha
dengan kemampuan yang ada.
“Bila bisa tenang dalam menghadapi
masalah, maka pasti bisa menerobos kesulitan sebesar apapun. [Sang Guru]#KITAB SUCI
sebab kemalasan
kitab suci jadi pajangan atau sekadar bacaan
harta berlimpah pun jadi sia-sia
kata-kata sejuta makna menjadi hampa
Istilah
dan kata Tuhan
menyangkut masalah yang sangat sensitif dan penting, yaitu masalah aqidah. Kata
ini sering dilafazkan dalam do’a dan tercantum dalam Alquran dan hadis dengan
kata Rabb. Meskipun kata Tuhan hanya
terjemahan dalam Bahasa Indonesia, namun adab penggunaan dan pelafazannya tetap
harus dijaga.
Kerusakan Perguruan Bukan
Tinggikan Islam
Kerusakan diawali oleh kasus spanduk “Tuhan Membusuk”
kembali memunculkan pertanyaan dan kritik terhadap metode dan kurikulum studi
agama di perguruan tinggi Islam: IAIN, UIN, STAIN, dan kampus-kampus
semisalnya. Sudah lama pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam dianggap
salah arah. Semangat pendidikan Islam tidak lagi mengisi relung jiwa yang
melahirkan adab dan akhlak, tetapi mengisi ruang akal an sich dan agama hanya dijadikan ajang perdebatan saja.
Hal ini tidak heran, karena metodologi studi agama tidak
mengacu kepada framework ulama-ulama
salaf yang telah berjasa meletakkan dasar pondasi keilmuan, pembelajaran, dan
pemahaman agama Islam dengan baik, tetapi mengacu kepada studi kaum orientalis
Barat. Dr Adian Husaini menyimpulkan dalam bukunya Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006),
bahwa arah studi Islam di perguruan tinggi Islam saat ini mengarah kepada framework orientalis.
Metodologi dan penggunaan istilah-istilah Barat yang
dipakai dalam studi Islam pada akhirnya melahirkan sarjana-sarjana kampus,
intelektual, cendekiawan, akademisi, dan ilmuwan Muslim yang berani menggugat
otoritas agama. Meskipun Muslim, anehnya sebagian mereka bukannya memberi
sumbangsih untuk kemajuan pendidikan Islam, sebaliknya menggerus nilai-nilai
Islam dari pendidikan itu sendiri. Meminjam ungkapan (Alm) Kuntowijoyo mereka
terlahir sebagai sarjana “Muslim tanpa masjid”.
Ungkapan Muslim tanpa masjid dipahami sebagai Muslim yang
kehilangan identitas dan ghirah keislamannya.
Dalam persoalan studi agama Islam misalnya, yang seharusnya khazanah
keilmuannya berkiblat ke Timur Tengah malah kiblatnya berubah ke Barat atau
Eropa. Perubahan arah kiblat ini, menurut Dr Abu Hafsin MA (2005) ditandai
dengan pengiriman para dosen muda ke berbagai perguruan tinggi di Amerika
Utara, Eropa, dan Australia pada akhir dekade sembilan puluhan.
Kurang Adab
Karena Studi Barat
Maka tidak heran kalangan akademisi alumni Barat dan
Eropa ini kemudian banyak yang terjebak dengan fatamorgana faham ‘sepilis’
alias sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme. Ironis memang, perguruan tinggi
Islam yang diharapkan melahirkan cendekiawan Muslim yang mencintai ilmu dan
pembela syariat Islam justru melahirkan sarjana yang aktif menggugat otoritas
agama bahkan menyalahkan Tuhan.
Dalam Jurnal JUSTISIA Edisi 25, Th XI, 2004 yang
diterbitkan sekumpulan mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang yang bertajuk Indahnya
Kawin Sesama Jenis, di
bagian kata pengantarnya ditulis: “Hanya orang primitif saja yang melihat
perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami,
tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan
sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia
sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Artikel-artikel dalam Jurnal tersebut kemudian dibukukan
dengan Judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan
Hak-hak Kaum Homoseksual” (Semarang: eLSA, 2005). Salah seorang
penulis dalam buku ini menyatakan bahwa, pengharaman nikah sejenis adalah
bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin
agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan
ulang secara kritis atas doktrin tersebut.
Bahkan seorang tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL),
Luthfie Assyaukani, pernah menulis: “Beranikah
kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan
pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, Al
Banna, Qardhawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu
Taimiyyah, Al Ghazali, Imam Syafi’i, Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga
Nabi Muhammad sendiri.” (Dr. Adian Husaini, 2006).
Diingatkan
Salah seorang tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (
dan bahwa
gagasan kebenaran ilmiah tidak hanya melalui ditetapkan kriteria objektif
tetapi juga konsensus komunitas ilmiah. Paradigma-paradigma yang saling
bertentangan tersebut juga seringkali tidak sepadan, atau dalam kata lain
paradigma-paradigma tersebut merupakan penjelasan mengenai realitas yang saling
bertentangan dan tidak dapat diselaraskan.
Kepopuleran sangat menarik dan diminati manusia
pada umumnya. Kepopuleran membuat seseorang menjadi bangga dan merasa lebih
dari orang lain. Itulah segala cara, baik dalam arti positif maupun negatif
untuk meraihnya. Dalam berbagai bidang hal ini ada.
Kepopuleran dapat membuat seseorang melambung
tinggi, tapi juga bisa menjadikannya tenggelam dalam jurang yang menyedihkan.
Sebagai orang tua tentu kita ingin anak tumbuh
menjadi pribadi yang baik. Pintar dan dapat dibanggakan. Untuk itulah kita akan
menjaga dan mendidiknya dengan cara yang terbaik.
Namun sebagai orang tua sering tanpa menyadari
apa yang dianggap yang terbaik itu justru meracuni anak sendiri.
Kita berpikir itu sebagai cara untuk
mengungkapkan kasih sayang. Sayangnya hal itu malahan membuat anak-anak tidak
bertumbuh.
Kebahagiaan itu akan datang saat engkau sanggup meletakkan segala
kerisaipuan. Engkau dapat melepaskan keinginan-keinginan dan kemelekatan pada
segala yang berbentuk.Kebahagiaan itu akan selalu ada saat engkau sanggup mengubah pikiran dan sudut pandang terhadap hidup ini.
Bila relung-relung pikiranmu diisi oleh benih-benih kedamaian, maka ada kebahagiaan. Sebaliknya bila engkau isi dengan kerisauan, makan penderitaanlah yang ada.
Pikran adalah pengendali kehidupan.
Pikiran bagaikan nahkoda yang mengomandaoi kapal di tengah lautan. Ia yang
berkuasa. Begitulah pikiran menahkodai kehidupan manusia.
Kita lupa, bahwa ada yang lebih berkuasa daripada pikiran. Yakni
Kuasa Tuhan. Seperti Nahkoda ada yang berkuasa atas kuasanya.Tanpa sadar banyak di antara kita membiarkan pikiran berkuasa menghalangi Kuasa Tuhan bekerja atas hidup kita.
Kadang apa yang kita anggap kurang berharga,
sungguh menjadi sangat berharga bagi orang lain. Yang lebih dahsyat hal itu
dapat mendatangkan kebahagiaan bersama. Inilah nilai kehidupan dari memberi dan
berbagi.
Andaikan rasa malu yang mendahului kita
ketika hendak melakukan kesalahan. Bukannya hadir setelah kesalahan terjadi,
maka hidup kita akan terhindar dari banyak kesalahan yang sia-sia.
Mengucapkan terima kasih memang mudah. Tapi tidah
semudah yang kita kira. Sebab tidak sedikit yang masih sulit untuk
mengucapkannya.
Belum lagi soalnya nilainya. Apakah hanya sekadar mengucapkan atau berasal dari ketulusan hati? Tentu kita yang bisa menilai.
Belum lagi soalnya nilainya. Apakah hanya sekadar mengucapkan atau berasal dari ketulusan hati? Tentu kita yang bisa menilai.
Sejatinya kita memang perlu melatih diri kita,
agar tidak terjebak pada amarah setiap hari. Namun adalah pilihan realistis
ketika kita tidak bisa menghentikan amarah itu dengan membuangnya dan melupakan
pada saat hendak tidur.
Manusia jaman kekinian lebih sibuk
memperindah penampilan dan lebih mengisi otaknya dengan segala ilmu. Kebanyakan
lupa untuk mengisi jiwanya yang gersang dan melompong. Karena pandangan yang
salah.
Hidup adalah perjalanan penuh dengan beban dan masalah. Tidak mungkin akan
lancar selamanya. Pasti ada masa-masa susahnya. Memahami hal ini, tentu kita
akan menyiapkan diri menghadapi semua itu tanpa keluh-keluh. Karena kita
percaya, bila waktunya semua akan berlalu.Seperti bumi yang kita huni ini. Alam telah mengajarkan, tidak selama akan ada musim kemarau. Akan ada waktunya berlalu dan berganti musim hujan yang menyejukan.
Menghamba kepada Kekuasaan Tuhan adalah kemuliaan, sedangkan menghamba kepada kekuasaan manusia adalah kehinaan.
#KEBAHAGIAAN
karena ketidak-pahaman
manusia mencari-cari kebahagiaan
rela sampai ke ujung dunia
ternyata bahagia itu ada di dalam hatinya
#TUHANkarena ketidak-pahaman
manusia mencari-cari kebahagiaan
rela sampai ke ujung dunia
ternyata bahagia itu ada di dalam hatinya
karena kebodohan pun kepintaran, manusia tiada lelah dalam perdebatan, menciptakan tuhan sesuai pemikirannya, tuhan pun menjadi berhala
#AGAMA
sebab ketidak-mengertian, kebanggaan yang berlebihan, kefanatikan, kaum agama buta, tak dapat memahami indah ajarannya yang penuh cinta
#CINTA
karena ketidak-tahuan, lupa diri dan keegoisan, manusia menjadi buta, tak dapat menikmati indahnya cinta
[Jangan bertengkar hanya untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kita masih bisa berdebat atau berdiskusi baik-baik. Kita tidak pernah layak atau berharga untuk bertengkar demi untuk mengorbankan kebaikan hati.| Ajahn Brahm]
No comments:
Post a Comment