PARADIGMA PENELITIAN HUKUM ISLAM
Analisis Isi dan Deskriptif Komparatif : Paradigma Epistimologi Metodologi Penelitian Hukum dengan Metodologi Penelitian Hukum Islam
Menarik apa yang ditulis oleh Dr. Syaifullah menurut beliau studi ini
bertujuan menganalisis konsep dasar epistimologi yang dipergunakan dalam proses
pembentukan paradigma metode penelitian hukum dan metode penelitian Islam
serta mengkaji pengembangan yang terjadi dalam paradigma metode penelitian hukum dan metode penelitian hukum
Islam kaitanya dengan perkembangan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial.Jenis
penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normative atau penelitian
hokum kepuasan pada tipe yang ke 6 yaitu penelitian perbandingan
hukum penalaran atau descriotive comparative law. Studi dokumen berupa
bahan hokum primer, bahan hokum skunder, dan bahan hokum tersier.
Penjagaan serta pemeriksaan keabsahan data dengan tipe standar yang dapat
dilakukan untuk menjamin kesahihan (validitas) dan keandalan
(reliabilitas) hasil penelitian yaitu standar kredibilitas, standar
transferabilitas,standar dependabilitas dan standar konfirmabilitas. Adapun
masalah yang diajukan dianalisis sesuai dengan ruang lingkup permasalahan
dan dikaji berdasarkan landasan konseptual secara content analysis.
Analisis isi dan deskriptif komparatif yang dilakukan dikaji sebagai berikut:
Epistimologi metodologi penelitian yang dikembangkan dalam penelitian hukum dan penelitian hukum Islam dapat ditelusuri dalam dua hal yaitu orientasi kenormatifan dan orientasi sosiologis. Kedua hal ini menjadi ranah yang fundamen bagi konsekuensi metodologis yang dipergunakan dalam pemilihan bentuk-bentuk riset yang dilakukan. Secara the body of knowledge, jati diri dan pengemabngan yang dilakukanmasingmasing penelitian mempunyai perbedaan dalam hal wilayah penelitian misalnya, karena khusus penelitian hokum Islam merupakan salah satu bentuk studi keagamaan yang mempunyai prototype berbeda dengan penelitian hokum pada umumnya.
Perkembangan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial yang mempengaruhi
perkembangan paradigma metode penelitian hukum Islam sangatlah signifikan. Oleh karena orientasi wilayah penelitian yang bersifat sosiologis atau menggunakan pendekatan sosiologi termasuk perkembangan metodologisnya memberikan kreatifitas tersendiri serta upaya pengembangan bagi kemajuan penelitian hukum dan penelitian hukum Islam. Penerapan pendekatan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial sangat berguna untuk memahami secara lebih mendalam gejala-gejala sosial sehingga dapat memahami konsep kenormatifan secara doktrinal yang bermuatan asas dan kaidah notmadan akhirnya dapat membantu aspek analisisdinamika hukum dan hukum Islam.
ONTOLOGIS
ILMU HUKUM
Cukup bagus aapa yang ditulis oleh
Moch. Fatich, bahwa Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum
Indonesia dan filsafat hukum Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan
ilmu, maka memiliki landasan ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme
sekaligus), landasan epistimologi rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus,
serta landasan aksiologi nilai moral atau etika dan bahkan nilai keagamaan daalam
bnetuk fiqih Islami yang sakral.
Ontologis dalam Al- Qawa‘id Al-Fiqhiyyah.
Selain itu, antara maksud lain yang terkandung di dalam perkataan ‘kaedah’itu
sendiri dari sudut literalnya ialah al-dabit19 iaitu bermaksud sesuatu (perkara kulli) yang dibina di atasnya sesuatu
perkara yang lain yaitu perkara juz’i). Iabersifat tetap dan thabit.
Ia juga dikenali sebagai perinsip ( )مبادئberdasarkanistilah undang-undang.20
Manakala perkataan ‘kaedah’ dari sudut etimologinyabermaksud األمر الكىل املنطبق
عىل جزئياتهiaitu: perkara-perkara kulli (umum) yangmengandungi atau merangkumi
pecahan-pecahannya atau perkara juz’inya.21Dalam pengertian yang lain, al-Imam
al-Suyuti mendefinisikan perkataan‘kaedah’ dari sudut istilahnya sebagaiاألمر الكىل
الذى ينطبق عليه جزئيات كثرية تفهم أحكامها منهاiaitu: suatu perkara kulli yang
merangkumi bahagian-bahagiannyayang banyak, daripadanya [perkara kulli]
diketahui hukum-hukum juz’iyyahyang [dikeluarkan] daripadanya [kerana ia
termasuk di dalamnya].22
Nah
ketika ucapan al-fiqhiyyah berasal dari pekataan al-fiqh yang bermaksud faham.23
Menurut al-Ghazali, ilmu al-fiqh adalah suatu ilmu syariah (undang-undang
Allah) yang bersangkut paut dengan pengetahuan furu` (cabang) agama. Ia juga
merupakan suatu ilmu yang menghasilkan
peringatan (al-indhar) dan takut (al-khawf) kepada Allah. j. 5,
Beirut: al-Maktabah al-Islamiyyah, h. 1176; Ahmad Muhammad al-Zarqa’ (2001),
Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Damsyik: Dar al-Qalam, c. 2, h. 33; al- Suyuti,
Jalal al-Din `Abd al-Rahman (2004), al-Asybah wa al-Nazai’r, j. 1, c. 2,
Kaherah: Dar al-Salam, h. 18. Lihat juga, Asjmuni Abd Rahman (1976), Qai’dah-
qai’dah Fiqh, Jakarta, Pustaka Bulan Bintang, c. 1, h. 10; Imam Musbikin
(2001), Qawai’d al-Fiqhiyyah, Aziz Musthoffa (ed.), Jakarta, PT Raja Grafindo,
h. 3.19 Al-Tahanawi, Muhammad ‘A`ala b. `Ali (1966), op.cit., h. 1176; Ibrahim
Mustafa, et al., (t.t), op.cit., h. 748.20 Al-Makki, Muhammad Nur al-Din Marbu
al-Banjari (2002), al-Durar al-Bahiyyah fi Idah al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, c. 3,
Kedah: Pustaka Dar al-Salam Sdn., Bhd., h. 9.21 Abdul Halim El-Muhammady
(1994), Sumber Undang-undang Islam dan Pandangan Orientalis, Selangor: Budaya
Ilmu Sdn., Bhd., c. 1, h. 66.22 Al-Suyuti, Jalal al-Din `Abd al-Rahman Abi Bakr
(1998),
Asybah wa al-Nazai’r, c. 4, Kaherah:
Dar al-Kutub al-`Arabi, h. 11.23 Al-Majlis al-‘A`ala li al-Syu’un al-Islamiyyah
(1990), Mawsu`ah al-Fiqh al- Islami, j. 1, Kaherah: Dar al-Kutub al-Misri, h.
9; `Abd al-`Aziz `Izzat `Abd al-Jalil (1999), Ta`rifat wa Mustalahat Fiqhiyyah
fi Lughah Mu`asirah, c. 1, Kaherah: Dar al-Nasyr li al-Jami`at-Misr, h. 9;
Muhammad `Abd Rabb al-Rasul Humam (1965), al-Ta`birat al-Wadihat `an Syarh
al-Waraqat, c. 1, Kaherah: Dar al-Ittihad al-`Arabi li al-Tiba`ah, h. 3; Wahbah
al-Zuhayli (1989), al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, c. 3, j. 1, Damsyik: Dar
al-Fikr, h. 15; Mahmud `Abd al-Rahman `Abd al-Mun`im (1999), op.cit., h. 49;
Abi al-Qasim al-Husain Muhammad (2003),
Manusia memerlukan perlindungan dari
Tuhan dan pemimpinnya, yang tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan
hidup yang menentukan bagaimana seharusnnya manusia itu betingkah laku agamis
dan sosiologis dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan perlun
tuntunan untuk dirinya sendiri. Pedoman
tersebut merupakan patokan atau ukuran berperilaku atau bersikap dalam
kehidupan bersama yang kemudian disebut kaidah sosial, yang pada hakekatnya
merupakan rumusan pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnnya
dilakukan atau tidak, yang dianjurkan maupun yang dilarang untuk dijalankan.
Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan maupun konflik
kepentingan manusia, sehingga diharap manusia dapat terlindungi kepentingan-
kepentingannya. (Mertokusumo; 1999: 10). Kaidah keagamaan ditujukan kepada
kehidupan beriman manusia terhadap kewajibannya terhadap tuhan dan dirinya
sendiri. Sumbernya adalah ajaran-ajaran agama yang oleh pengikutnya dianggap
sebagai perintah tuhan sehingga sanksinya pun berasal dari tuhan. Kaidah
kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu yang bersangkutan dengan
kehidupan pribadinya, terutama mengenai nurani individu manusia tersebut dan
bukan sebagai mahluk sosial atau sebagai anggota masyarakat.
Fungsinya untuk melengkapi ketidakseimbangan
hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri dengan tujuan agar
terbentuk kebaikan ahlak pribadi manusia serta menyempurnakannya agar tidak
berbuat jahat. Kaidah kesopanan didasarkan pada kebiasaan kepatutan atau
kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Ditujukan terhadap sikap lahir
pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan/ketertiban masyarakat dan bertujuan
menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat sedap lalu lintas antar
manusia yang bersifat lahiriah dengan mementingkan yang lahir atau yang formal.
Sanksinya bersifat tak resmi dari masyarakat yang berupa celaan atau cemoohan.
Ketiga kaidah sosial tersebut dirasakan kurang memberikan perlindungan terhadap
kepentingan manusia sehingga manusia berharap kepada kaidah hukum untuk dapat
melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingannya. Kaidah hukum lebih
ditujukan kepada sikap lahir manusia dan bukan sikap batinnya. Pada hakekatnya
apa yang dibatin, yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal asalkan secara
lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Asal kaidah hukum dari kekuasaan luar
diri manusia yang memaksakan (heteronom) dan masyarakat secara resmi diberi
kuasa untuk menjatuhkan sanksi melalui alat-alat negara (Mertokusumo, 1999:
12).
Jika kaidah keagamaan, kesusilaan
dan kesopanan hanya memberikan kewajiban-kewajiban (normatif) saja maka kaidah
hukum selain membebani kewajiban-kewajiban juga memberikan hak-hak (atributif).
Menurut Satjipto Raharjo (2000: 17) kaidah hukum merupakan resultan dari
tegangan antara norma kesusilaan dengan norma kebiasaan. Norma kesusilaan
bersifat ideal sedangkan norma kebiasaan bersifat empirik dan norma hukum
berada diantara keduanya. Hukum sebagai disiplin ilmu mengarahkan sasaran
studinya terhadap kaidah atau norma yang menghasilkan ilmu tentang kaidah hukum
(norm wissenschaft), terhadap pengertian-pengertian dalam hukum yang
menghasilkan ilmu tentang pengertian hukum (begriffen wissenschaft), dan
terhadap kenyataan-kenyataan dalam hukum yang menghasilkan ilmu tentang
kenyataan hukum (sein wissenschaft). Bedasarkan latar belakang masalah yang
menunjukkan keterkaitan erat antara hukum dengan masyarakat beserta sistem
nilainya yang berlaku dan mengingat pula hukum sebagai disiplin ilmu, maka yang
menjadi permasalahn dalam tulisan ini adalah: Bagaimanakah aspek ontologi dari
bangunan ilmu hukum, terutama dalam konteks keindonesiaan dengan pluralisme
hukumnya? bagaimanakah dengan aspek epistemologinya? bagaimana pula dengan
aspek aksiologinya, terutama dalam menjawab persoalan euthanasia?
Aspek Ontologis dari Ilmu Hukum
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma (nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan hukum kongkrit.. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar. Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak, mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan (presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.. Sebagai contoh peraturan hukum kongkrit adalah Pasal 362 KUHP, maka asasnya adalah asas legalitas, norma atau nilai yang dapat kita gali adalah bahwa perbuatan mencuri itu merupakan perilaku yang buruk sehingga dilarang untuk dilakukan. Sasaran studi ilmu hukum terhadap pengertian pengertian (begriffen wissenschaft) tidak diarahkan untuk mencari pengertian dari hukum itu sendiri, melainkan mencari pengertian-pengertian dari konsep-konsep yang terdapat dalam hukum baik itu konsep dasar (fundamental) maupun konsep-konsep operasional sebagai tindak lanjut dari konsep dasar. Misalnya saja tentang pengertian dari konsep peristiwa hukum, hubungan hukum, subyek hukum, manusia sebagai subyek hukum, badan hukum, hak dan kewajiban serta demikian seterusnya yang kemudian secara sistematik bangunan pengertian-pengertian tersebut akan membentuk ilmu hukum. Sasaran studi ilmu hukum terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat (sein wissenschaft) akan melahirkan ilmu-ilmu hukum baru yang bersifat empirik yaitu sejarah hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa lampau), sosiologi hukum (terkait dengan kenyataan masyarakat di masa kini), antropologi hukum (terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat), psikologi hukum dan perbandingan hukum (bukan merupakan ilmu namun hanya sekedar memperbandingkan hukum yang masih berlaku dengan metodenya functional approach).
Selain kaidah sebagai sasaran studi
ilmu hukum, sistem hukum dan penemuan hukum juga menjadi sasaran yang penting
untuk dikaji (Hartono, 1989: 13-20). Sistem hukum adalah tatanan yang utuh yang
didalamnya terdapat unsure-unsur pembentuk sistem yang masing-masing saling
berinteraksi untuk mewujudkan tujuan dari sistem, serta tidak dikehendaki
adanya konflik atau kontradiksi dalam diri sistem, namun jika terjadi konflik
maka akan diatasi oleh dan didalam sistem hukum itu sendiri (Mertokusumo, 1999:
115). Penemuan hukum adalah menemukan hukumnya atau peraturannya karena tidak
jelas, tidak lengkap atau tidak ada. Ketidak jelasan peraturan akan digunakan
metode interpretasi atau penafsiran dengan jalan menafsirkan bagian peraturan
yang tidak jelas (Loudoe; 1985: 124-125). Ketidaklengkapan atau ketiadaan
peraturan hukum akan digunakan metode argumentasi baik argumentum peranalogiam
maupun argumentum acontrario, serta metode konstruksi hukum (penyempitan maupun
penghalusan hukum) serta metode fiksi hukum, yaitu apa yang ada dianggap tiada
dan sebaliknya apa yang tiada dianggap ada (Scholten, 1992: 67).
Proklamasi Kemerdekaan Negara RI
yang dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah berhasil mendobrak sistem
hukum kolonial dan menggantinya dengan sistem hukum nasional. Terlepas pro dan
kontra antara kubu yang berpendapat bahwa saat ini kita telah memiliki sistem
hukum nasional sendiri dan kubu yang berpendapat bahwa kita belum memiliki
sistem hukum nasional sendiri karena sistem hukum yang ada ini masih merupakan
warisan atau kelanjutan dari sistem hukum kolonial, maka penulis berpendapat
bahwa sistem hukum itu bersifat historisch bestimmt (dinamis terkait dengan
aspek-aspek kesejarahannya dan terikat dengan dimensi waktu dan tempatnya).
Kita tidak dapat membangun sistem hukum nasional yang sama sekali baru karena
sistem hukum itu bersifat given dan sistem hukum nasional yang telah ada, yang
merupakan kelanjutan dari sistem hukum kolonial secara step by step akan
dilakukan perbaikan-perbaikan dan perobahan-perobahan serta
penyempurnaan-penyempurnaan untuk diselaraskan dan diserasika dengan Grundnorm
kita, karena semenjak kemerdekaan RI kita telah mempunyai Undang-Undang Dasar
Negara sendiri yaitu UUD Negara RI Tahun 1945 yang di dalamnya memuat dasar
Negara RI yaitu Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan
dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara RI menempati kedudukan
sebagai grundnorm.
Demikian pula dalam operasionalisasi peraturan
perundang-undangan warisan kolonial yang masih berlaku karena ketentuan Pasal
II Aturan Peralihan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama dalam pelaksanaannya di
lembaga peradilan, hakim-hakim Indonesia telah menyesuaikan peraturan-peraturan
warisan kolonial Belanda yang berjiwa materialistik, kapitalistik dan
individualistik tersebut dengan Pancasila yang berjiwa monodualistik (asas
keseimbangan).
Plularisme hukum sudah dikenal di
Indonesia sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan dilegalkan dengan pasal 131 I.S.
(Indische Statsregeling) yang berisi ketentuan bahwa di Hindia Belanda
(sekarang Indonesia) berlaku 3 macam sistem hukum perdata yaitu:
1. Hukum perdata barat (Eropa).
2. Hukum pertdata Islam.
3. Hukum perdata Adat.
Saat ini di masa kemerdekaan
plularisme hukum tersebut masih merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri dan dalam pembangunan hukum sekarang yang bercorak modern melalui
peraturan perundang-undangan hukum barat, hukum adat maupun hukum Islam saling
berebut pengaruh untuk mewarnai pembangunan hukum nasional tersebut dalam
berbagai bidang melalui proses legislasi nasional.
Hukum barat yang bercorak
kapitalistik dan individualistik memiliki dasar ontologis monisme yaitu
materialisme,bahwa hakekat dari kenyataan yang ada (Suriasumantri, 1990: 93)
yang beraneka ragam itu semua berasal dari materi atau benda yaitu sesuatu yang
berbentuk dan menempati ruang serta kedudukan nilai benda/badan/materi adalah
lebih tinggi daripada roh/sukma/jiwa/spirit (Fadjar; 2007: 1-2).
Hukum Islam yang memberikan
kostribusi terhadap pembangunan hukum nasional bukanlah hukum Islam yang
bersifat universal (Rasyid, 1991 : 6) yang meliputi peraturan yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, melainkan sebatas hukum
Islam yang menyangkut aspek keperdataan tertentu saja. Itulah yang menjadi hukum
yang hidup (living law) dan selebihnnya seperti aturan-aturan yang menyangkut
aspek peribadatan dan lain sebagainya masih belum menjadi hukum yang hidup
dimasyarakat melainkan masih merupakan moral positif meskipun masyarakat telah
menjalankan secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari.
Dasar ontologis dari hukum Islam
bersifat monisme yaitu idealisme atau spiritualisme, bahwa hakekat dari
kenyataan yang ada yang beraneka ragam itu semua berasal dari roh/sukma/jiwa
(Fadjar; 2007: 1-2), yaitu sesuatu yang bersifat ghoib yang tidak berbentuk dan
tidak menempati ruang serta kedudukan nilai roh adalah lebih tinggi daripada
nilai benda/materi/badan.
Hukum adat yang memberikan
kontribusi terhadap pembangunan hukum nasional adalah hukum adat yang diketahui
sepanjang masih merupakan hukum yang hidup(living law) dalam masyarakat dan
yang masih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dasar
ontologis dari hukum adat adalah bersifat dualisme bahkan pluralisme, apalagi
dengan mengingat sifat hukum adat itu yang magis religius. Hakikat dari
kenyataan yang ada sumber asalinya berupa baik materi maupun rohani yang
masing-masing bersifat bebas dan mandiri dan bahkan segala macam bentuk
merupakan kenyataan (Fadjar, 2007: 1-2). Hal tersebut berkaitan erat dengan
banyaknya wilayah atau daerah hukum adat (Rechtskringen) di Indonesia dan
bahkan menurut catatan Van Vollen Hoven terdapat 19 daerah hukum adapt
(Mertokusumo, 1999: 126), sehingga keberadaan hukum adat sendiri di Indonesia
sudah bersifat pluralistik.
Aspek Epistemologis dari Ilmu Hukum
Epistemologi adalah yang terkait dengan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuan (Masruri dan Rosidy dalam Fadjar, 2007: 4) (Suriasumantri, 1990:
106). Ia membahas tentang sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah, serta tolok ukur bagai sebuah
kebenaran dan kenyataan ilmiah. Sarana ilmiah dalam epistemologi adalah akal
atau akal budi, pengalaman atau kombinasi diantaranya, serta intuisi (Fadjar,
2007: 4). Dalam konteks keindonesiaan dengan plularisme hukumnya, aliran
epistemologi yang dianut oleh hukum barat yang positivistik dan menitik
beratkan pada peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 1988: 165-167) menurut
hemat penulis adalah idealisme atau rasionalisme dengan menekankan peranan akal
sebagai sumber pengetahuan. Aliran epistimologi yang dianut oleh hukum adat
yang bersifat riil, terang atau jelas dan kontan, serta menitik beratkan pada
kebiasaan atau perilaku masyarakat (die normatieve kraft des factischen
demikian kata Jellineck), menurut hemat penulis adalah realisme atau empirisme
dengan menekankan peranan indra dan pengalaman empirik (realitas) sebagai
sumber pengetahuan. Adapun aliran epistemologi dari hukum Islam menurut hemat
penulis tidak dapat dikatakan idealisme atau rasionalisme yang menekankan pada
peranan akal. Demikian pula tidak dapat dikatakan realisme atau empirisme yang
menekankan pada peranan indra dan pengalaman empirik (realitas), sebab Hukum
Islam yang berasal dari Ajaran Agama Islam bersumberkan kepada wahyu (lihat
Anshari, 1987: 128-130) sebagai sumber pengetahuan, baik yang didasarkan kepada
kitab suci Al-Qur’an yang berkedudukan sebagai wahyu primer maupun Al-hadist
yang berkedudukan sebagai wahyu sekunder. Keduanya dalam agama Islam dikenal
sebagai sumber hukum atau dalil Naqli (Khallaf, 1980: 24-50). Disamping itu
hukum Islam juga mengakui peranan akal (al-ra’yu) sebagai sumber pengetahuan
dan sekaligus sebagai sumber hukum yang dalam agama Islam disebut sebagai
sumber hukum atau dalil Aqli, tetapi kedudukanya tergantung dari sumber hukum
atau dalil Naqli, yakni untuk menjelaskan sumber hukum Naqli tersebut apabila
tidak ditemukan kejelasannya. Dengan catatan sumber hukum Aqli tersebut yang
berupa ijma’ (kesepakatan para ulama) dan qias (analogi) tidak boleh menyimpang
dari ketentuan sumber hukum Naqli (Khallaf: 65-75).
Dan apabila dikaitkan dengan
penggunaan indra atau pengalaman empirik (realitas) sebagai sumber pengetahuan
dalam hukum Islam, maka menurut hemat penulis hal itu pun dijumpai seperti pada
asas hukum (kaidah ushul fiqih) al-aadatu al- muhakkamah (kebiasaan atau adat
yang melembaga). Ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui sarana akal
atau akal budi, indra atau pengalaman empirik (realitas) dan lain sebagainya,
telah menghasilkan beberapa metode ilmu pengetahuan yaitu metode induksi,
deduksi, positivisme, kontemplatif dan dialektika (Fadjar, 2007: 5) (lihat juga
Shah, 1986: 33).
Hukum sebagai ilmu pengetahuan dalam
menyusun obyek atau bahan ilmunya ke dalam struktur ilmu hukum yang konstruktif
dan sistematis, juga menggunakan metode-metode tersebut. Metode Induksi adalah
metode berpikir dari yang khusus kepada yang umum, sedangkan metode deduksi
bersifat sebaliknya, yaitu metode berpikir dari yang umum kepada yang khusus.
Metode positivisme yang dipelopori oleh August Comte berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual dan positif serta menolak diluar yang positif
termasuk metafisika. Sedangkan metode kontemplatif mengakui metode lain berupa
intuisi dan perenungan mengingat keterbatasan indra dan akal. Apabila ditarik
ke dalam dunia peradilan yang dikuasai oleh postulat keadilannya Aristoteles,
bahwa peristiwa yang sama diperlakukan sama (analogi) dan peristiwa yang tidak
sama tidak diperlakukan sama (a contrario), maka ada dua sistem untuk
merealisir pokok pikiran tersebut yaitu sistem Anglo-Amerika dan Sistem Eropa
Kontinental. Sistem Anglo-Amerika mengikat hakim pada precedent (The binding
force of Precedent). Hakim Amerika akan berfikir secara induktif, yaitu
berfikir dari yang khusus kepada yang umum (Hukumnya dalam matematika
dirumuskan dengan dalil jika X : Y dan Y : Z, maka X : Z). Ia menemukan
peraturan yang dijadikan dasar putusannya dari deretan putusan-putusan
sebelumnya (reasoning by analogy, reasoning from case to case). Sedangkan
Sistem Eropa Kontinental bertujuan mewujudkan postulat kesamaan dengan mengikat
hakim pada undang-undang, yaitu peraturan yang sifatnya umum yang menentukan
agar sekelompok peristiwa tertentu yang sama diputus sama. Dalam hal ini hakim
terikat pada jalan pikiran deduktif, yaitu berpikir dari yang umum kepada yang
khusus. Ia harus mengkonkritisasi peraturan dan harus mengabstraksi peristiwa.
Subsumpsie dan sillogisme atau dialektika merupakan ciri khas dari cara berfikir
deduksi. Dalam sillogisme atau dialektika bunyi pasal undang-undang adalah
premis mayor atau thesenya, fakta atau peristiwa atau kasus konkritnya adalah
premis minor atau antithesenya dan bunyi putusan hakim adalah konklusi atau
sinthesenya. Dengan demikian sillogisme atau dialektika hanyalah memberi bentuk
untuk membenarkan putusan, sedangkan untuk menemukan putusannya diperlukan
analogi dan acontrario (Mertokusumo, 1999: 167). Dalam bagan siklus ilmu
pengetahuan sebagaimana digambarkan oleh L. Wallace di dalam bukunya The Logic
of Science in Sociology (Sumardjono, 1989: 3) dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
selalu berkembang karena dibantu oleh riset yang dilakukan secara terus
menerus. Riset atau penelitian tersebut memiliki dua ciri khas yaitu penggunaan
logika dan pengamatan empirik. Penggunaan logika meliputi baik logika deduksi
maupun induksi. Logika deduksi digunakan manakala hendak menyusun hipotesis,
logika induksi digunakan manakala hendak melakukan genaralisasi empirik dengan
melakukan abstraksi, sedangkan pengamatan empirik digunakan manakala hendak
melakukan uji hipotesis dengan melakukan observasi di lapangan.
Aspek Aksiologi Ilmu Hukum dalam
Persoalan Euthanasia Aksiologis merupakan cabang filsafat yang membahas tentang
nilai (value) (lihat Suriasumantri, 1990: 231) sebagai imperative dalam
penerapan ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan yang menampakkan diri dalam
tiga dimensi yaitu ilmu sebagai masyarakat, ilmu sebagai proses dan ilmu
sebagai produk (Fadjar, 2004: 5). Ilmu sebagai produk adalah bebas nilai, namun
ilmu sebagai masyarakat dan sebagai proses senantiasa terikat oleh nilai
sehingga harus tepat nilai, tepat guna dan tepat sasaran. Nilai tersebut dalam
konteks filsafat adalah meliputi keindaha (estetika), kebaikan (etika), kebenaran
(logika) dan bahkan kesakralan (agama) (Supadjar dalam Fadjar, 2007:.
Demikian pula dengan aspek
epistemologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia yang hendak digagas, dibangun
dan dikembangkan tersebut, maka sebagai konsekuensi asas keseimbangan dari
nilai pandangan filsafat Pancasila tentunya sumber pengetahuan dari bangunan
ilmu hukum Indnesia tersebut akan mengakui baik idealisme atau rasionalisme
yang menekankan pada peranan akal juga akan mengakui realisme atau empirisme
yang menekankan pada peranan indra atau pengalaman empirik, serta mengakui pula
peranan wahyu sebagai sumber pengetahuan yang tidak kalah pentingnya. Terhadap
aspek aksiologi dari bangunan ilmu hukum Indonesia, maka tidak bebas nilai
terutama jika dikaitkan dengan implementasi ilmu hukum tersebut dimasyarakat
dan sebagai proses seperti ditunjukkan dalam studi kasus euthanasia, nampak
bahwa ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pada khususnya,
sarat dengan balutan nilai-nilai moral atau etika, terutama nilai pandangan
Pancasila tentang moral (perilaku yang baik dan yang buruk) juga nilai-nilai
keagamaan yang bersifat sakral Dalam implementasinya pandangan nilai
keseimbangan dari filsafat Pancasila tersebut saat ini telah mengalami distorsi
karena perkembangan masyarakat Indonesia sendiri yang telah mengalami
trasformasi sosial budaya, yaitu yang dulunya sebagai masyarakat agraris yang
bersifat paguyuban (gemeinschaft) menuju ke arah masyarakat industri yang
bersifat patembayan (gesselschaft), serta adanya pengaruh dari globalisasi
dunia yang sulit untuk ditolak, sehingga nilai-nilai spiritualisme telah
tergerus oleh nilai-nilai materialisme.
DAFTAR PUSTAKA
- A.Muktie Fadjar., Aspek-Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Kefilsafatan Ilmu (Hand Out Mata Kuliah Filsafat Ilmu PDIH Unibraw ), Malang, 2007.
- A.B. Shah., Metodologi Ilmu Pengetahuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
- A.Wahab Khallaf., Ushul al Fiqh (Edisi Bahasa Indonesia oleh Tolchah Mansoer dan Nur Iskandar), 1980, Yogyakarta.
- Agus Rahmat., Titik Sentuh antara Etika dan Ekonomi, Pro Justitia No.2 Tahun X, April 1992, Bandung.
- Aroma Elmina Martha., Pengkajian Hak Untuk Mati padaMasyarakat Indonesia, Maka pada seminar regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajya Yogyakarta pada 24-25 April 1989.
- Charles L. Krammer., Ethics and Liberation, Orbit
Books, New York, 1988.
Dewabrata., Makna Kode Etik, Kompas 13 Mei 1989, Jakarta. - Endang Saifuddin Anshari., Ilmu, Filsafat dan Agama, Bina Ilmu,1987, Surabaya.Fred Ameln., Euthanasia Ditinjau dari Segi Yuridis, seminar BPHN November 1984 di Jakarta.
- L.R. Pudjawiyatna., Etika, Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta 1984.
- John Z Loudoe., Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
- Jujun S Suriasumantri., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Hara Pan, Jakarta, 1990.
- J.E. Sahetapy., Euthanasia Suatu Kajian terhadap Legalitik Positivistik, Makalah seminar Regional mahasiswa hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.
- Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, FH UGM, Yogyakarta,1989.
- Paul Scholten., Mr.C.Assers, Hanleiding Tot De Beofening Van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht : Algemeen Deel (Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Siti Sumarti Hartono), Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 1992.
- Purnadi Purbacaraka dan Soeryono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum,Alumni,Bandung, 1978.
- Roihan A Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
- Satjipto Raharjo., Tinjauan Sosiologis terhadap Hak untuk Mati, Makalah Seminar Regional Mahasiswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 1989.——-., Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
- Siti Sumarti Hartono., Penemuan Hukum dari Montesque sampai Paul Scholten, Majalah Mimbar Hukum FH UGM Jogyakarta No.8/I/1989 Hal. 13-21.
- Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988. ——-., MengenalHukum Suatu Pengantar, Liberty,Jogyakarta,1999. Teuku Jacob., Hak untuk Mati: Aspek Biomedis, Makalah Seminar Regional Maha Siswa Hukum se DIY dan Jateng di Unika Atmajaya Yogyakarta 24-25 April 19889. Umar Seno Adji., Euthanasia (Dalam Varia Peradilan No.14 Bulan November 1986)
No comments:
Post a Comment