JARH
WA TA’DIL
CALON PEMIMPIN
M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA 2014
Thalut
adalah pemimpin yang dianggap bodoh
Anak
petani, tubuhnya kokoh.
Dicaci
orang, tiada gopoh
Melawan
musuh, sampai roboh.
Ada
pemimpin, dipilihkan Tuhan,
Melaluinya,
diberi kemudahan
Masyarakat
mendapatkan kemewahan
Tapi
nafsu harus, dikendalikan.
Muhammad Rakib dan Sahabat lamanya…Absir Di Tembilahan Riau
Kisah raja aatau pemimpin yang dianggap bodoh ini, terjadi sesudah zaman Nabi Musa dimana Bani
Israil telah meminta kepada Nabi mereka yaitu Nabi Samuel AS untuk mengangkat
seorang raja untuk memerangi Jalut yang telah mengusir mereka dari kampungnya.
Mereka berkata kepada Nabinya:"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya
kami berperang (dibawah pimpinannya) di jalan Allah".
Nabi mereka
menjawab:"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak
akan berperang".
Mereka menjawab:
"Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya
kami telah diusir dari anak-anak kami?'.
Maka tatkala perang itu
diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling kecuali beberapa saja diantara
mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa yang orang-orang Dzalim.
(QS.Al-Baqarah:246).
Kemudian Nabi Samuel
menyatakan bahwa Allah telah mengangkat Thalut, seorang petani dan peternak
miskin dari desa menjadi raja mereka dan keputusan itu telah dibangkang
sepenuhnya oleh mereka.
Nabi mereka mengatakan
kepada mereka:"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu".
Mereka menjawab:
"Bagaimana Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan
pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup
banyak?".
Nabi (mereka) berkata:
"Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang
luas dan tubuh yang perkasa".
Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas
Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah:247).
Dan Nabi Mereka
mengatakan Kepada Mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah
kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa
dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun. (QS.Al-Baqarah:248)".
Dimana Tabut adalah suatu peti kayu yang berlapiskan emas.
Ketika Thalut membawa bala tentaranya sejumlah 80.000 orang (riwayat lain 300.000 orang) untuk melawan tentara Jalut termasuk didalamnya Nabi Daud AS. Thalut berkata:
"Sesungguhnya Allah
akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa diantara kamu meminum airnya;
bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa yang tiada meminumnya, kecuali menceduk
seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku. (QS.Al-Baqarah:249)".
Maka tibalah mereka pada
sebuah sungai antara Urdus (Jordan) dan Palestin, nafsu mereka mengalahkan
segalanya. Banyak dari tentara Thalut melanggar perintah tersebut dengan
meminum air sepuas-puasnya pada sungai tersebut. Dan tentara Thalut menyusut
menjadi 319 orang (riwayat lain 313 orang) yang tetap taat terhadap perintah
Thalut dengan minum secukupnya.
Setelah itu meneruskan
perjalanan, Thalut dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai
itu, mereka yang tidak taat berkata:
"Tak ada kesanggupan
kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.
(QS.Al-Baqarah:249)".
Namun bagi mereka yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Allah pula berkata:
"Berapa banyak
terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan
izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS.Al-Baqarah:249)".
Maka, semakin berkuranglah
tentara Thalut yang terus berjuang. Mereka berhasil melewati ujian-ujian Allah.
Mereka sangat kuat dan bersemangat. Mereka tidak seperti orang-orang yang
luntur iman mereka yang keluar sebelum sempat berhadapan dengan bala tentara
Jalut.
Dan ketika mereka maju
melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdo'a:
"Ya Tuhan kami,
tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan kokohkanlah pendirian kami dan
tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. (QS.Al-Baqarah:250)".
Meskipun dengan jumlah
tentara yang sedikit, Thalut tetap maju melawan Jalut. Kedua pasukan pun
bertemu dan terjadilah perang tanding satu lawan satu. Daud AS juga mendapat
giliran. Ia berani melawan Jalut, pemimpin pasukan lawan. Melihat sosok kecil
Daud AS, Jalut meremehkannya dengan menggertak:"Enyahlah kau, aku tidak
suka membunuh anak kecil".
Tidak mau kalah, Daud
menyahut:"Aku suka membunuhmu".
Serangan Daud ternyata
merepotkan Jalut. Daud mampu mengalahkan, bahkan membunuh Jalut. Dengan
demikian, pasukan Thalut memetik kemenangan. Keberhasilan Daud ini menjadi buah
bibir di kalangan Bani Israil.
Setelah beberapa tahun
berlalu Raja Thalut wafat dan akhirnya Allah memberikan kekuasaan pada Daud
menggantikan Thalut dan mengangkat Daud menjadi Nabi.
Kemudian Allah memberikan
kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan
mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. (QS.Al-Baqarah:251)".
APA KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
HARUS JELAS DINYATAKAN
HIDUP DALAM TRANSPARANS
HATI-HATI MELANGKAH KE MASA DEPAN
Al-Jarh secara bahasa berarti melukai, mencaci
maki, membatalkan. Al-Ta’dil berarti menyucikan,
menunjukkan kebaikan, memuji. Jika kedua kata tersebut digabung, jarh wa ta’dil
berarti menunjukkan kelemahan dan kelebihan seseorang dengan disertai
bukti-bukti dan sikap apa yang harus dilakukan terhadapnya. Di dalam ilmu Hadis
seseorang dianggap cacat (dhaif) apabila ingatannya lemah, akhlaknya tercela
dan pernah berdusta. Apabila seseorang ingatannya lemah, tetapi akhlaknya baik
dan tidak pernah berdusta maka Hadis yang diriwayatkan masih bisa diterima
apabila tidak bertentangan dengan Hadis yang sahih.
Salah
satu aspek ajaran Islam yang sering dilupakan adalah keterbukaan. Dalam
transaksi muamalah duniawaiyah, Islam sangat menekankan pentingnya kejujuran
dan keterbukaan. Transaksi bisnis dapat dibatalkan apabila penjual tidak
menyebutkan cacat barang dagangannya pada saat transaksi (ijab-qabul).
Mengingat pentingnya keterbukaan, Rasulullah bersabda: Tidak sempurna iman
seseorang apabila ia menjual suatu barang dan tidak secara jujur menunjukkan
cacatnya.
“Angka perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi se-Asia Pasifik…Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di Pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. 70% perceraian itu karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan”. Pernyataan ini disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso MA, Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN pada tanggal 23 Desember 2013 lalu.
Ketidakharmonisan yang mengakibatkan perceraian
ini juga berkelindan dengan kekerasan yang terjadi di rumah tangga. Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat
Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) tahun 2012 menempatkan ranah
personal/Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai jumlah kasus
terbanyak, jumlahnya mencapai 8.315 kasus (66%). Pola kekerasan terhadap
perempuan yang masih didominasi KDRT ini sebenarnya sudah cukup berkurang
bila dibandingkan dengan data tahun tahun 2010 yang mencapai 96% (yaitu
101.128). Tingginya angka KDRT ini berbanding lurus dengan tingginya angka
perceraian
Bila kita melihat fenomena di atas, betapa tujuan
disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga dalam Islam yaitu
“Sakinah, Mawadah, wa Rahmah” (SAMARA) masih jauh dari harapan. Dampak dari
perceraian dalam rumah tangga ini tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap
anak, karena fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit dari perkawinan
yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah
tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak
sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang
seharusnya tidak ia tanggung .
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas dinyatakan bahwa “anak adalah
amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat, harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi” . Penjelasan tentang hak anak sebagai manusia ini
bisa jadi tidak bisa dipenuhi karena perceraian orang tuanya. Ditinjau dari
sisi hak anak yang masih kecil dan belum mandiri, pengasuhan (hadhanah) adalah
suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh orang tuanya, karena tanpa
hadhanah anak akan menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.
Pengasuhan anak setelah terjadi perceraian bisa
menjadi konflik antara orang tua. Bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan
pengasuhan anak setelah perceraian? Siapa saja pihak yang berhak memiliki hak
pengasuhan dan apa saja syarat-syaratnya? Bagaimana pula pengasuhan anak yang
tidak berada di dalam pernikahan?
Pengasuhan anak (Hadhanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir.
Pengasuhan anak (Hadhanah) dalam Islam
Pengasuhan anak atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturanya sangat jelas. Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah lahir.
Secara normatif permasalahan pengasuhan anak atau
hadhanah telah diatur dalam kitab-kitab fiqh klasik maupun kontemporer dengan
beberapa perbedaan paradigma dan konsep.Para ulama sepakat bahwasanya hukum
hadhanah, mendidik, merawat anak adalah wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal
apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama
madzhab Hanafi dan Maliki berbeda pendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak
ibu, sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya. Sedangkan menurut jumhur ulama
hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua anak (bapak dan ibu).
Sedangakan menurut Wahbah al-Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat
(bersama) antara ayah, ibu dan anak dan jika terjadi pertengkaran mengenai itu
maka hak atau kepentingan manakah yang didahulukan ?
Pengertian Hadhanah
Secara etimologi kata hadhanah yang juga di baca hidhanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadhanah atau hidhanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.
Pengertian Hadhanah
Secara etimologi kata hadhanah yang juga di baca hidhanah berasal dari kata al-hidln yang berarti rusuk. Kata hadhanah atau hidhanah menjadi berarti pengasuhan anak karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkanya pada sebuah rusuknya atau dalam pangkuan sebelah rusuknya.
Sedangkan secara terminologi, para ulama ahli
fiqh menerangkan bahwa hadhanah yaitu memelihara anak dari segala macam bahaya
yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga
makanan dan kebersihanya, mengusahakan pendidikanya hingga ia sanggup berdiri
sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam Ensiklopedia
Hukum Islam, hadhanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang
yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa
memenuhi keperluannya sendiri . Senada dengan pendapat di atas, Sulaiman Rasjid
menyatakan bahwa ‘hadhanah’ atau ‘mendidik’ berarti menjaga, memimpin, dan
mengatur segala hal yang anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya
sendiri. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa
definisi hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil,
laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz tanpa
perintah darinya, menyediakan segala sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani,
rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya.
Prof. Ahmad Rofiq, MA menjelaskan bahwa hadhanah dalam diskursus ini
adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak. Pengasuhan anak juga
mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi
pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh
orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pengasuhan berupa pengawasan dan
pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak
tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu
berdiri sendiri.
Begitu pula dengan pernikahan. Islam sangat menganjurkan agar pasangan yang akan melangsungkan penikahan mengenal dengan baik calon istri atau suaminya. Islam melarang “kawin cinta buta” dimana calon mempelai tidak saling mengenal. Dalam proses perkenalan itu, masing-masing pihak harus menjelaskan secara jujur mengenai calon suami atau istri baik secara langsung maupun melalui utusan.Kebiasaan menyebut kepribadian seseorang juga berlangsung pada zaman Rasulullah. Dikalangan masyarakat Arab terdapat kebiasaan memberikan laqob (gelar) yang didasarkan atas kepribadian dan akhlak seseorang. Misalnya Abu Bakar mendapat gelar as-Siddiq. Gelar ini diberikan karena kejujurannya dan sikapnya yang selalu membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Sebaliknya, Musailamah mendapat gelar al-Kadz-dzab (pembohong). Sebutan ini diberikan antara lain karena kebiasaan berbohong. Kebohongan terbesar adalah pengakuan bahwa dia adalah seorang Nabi yang di utus menggantikan Muhammad yang telah wafat.
Di kalangan ahli Hadis juga terdapat berbagai sebutan terhadap seorang perawi. Misalnya, kadzib (pembohong) atau ‘adil (orang yang adil, bijaksana dan dapat dipercaya). Tradisi seperti inilah yang menjadi titik tolak lahirnya ilmu jarh wa ta’dil.
Secara fiqhiyyah, pemilihan legislative bisa dianalogikan dengan jual beli atau pernikahan. Proses pemberian suara dapat disebut sebagai “aqd” pernikahan atau “ijab qabul” dalam jual beli. Karena itu sebelum proses pemilihan semua pemilih harus mengenal dengan baik siapa yang akan dipilih. Jika dikaitkan dengan Hadis, maka pemilih harus mengetahui benar siapa yang akan mewakilinya. Caleg adalah wakil rakyat yang diharapkan membawa aspirasi rakyat dengan amanah dan jujur.
Al-Jarh secara bahasa berarti melukai, mencaci maki, membatalkan. Al-Ta’dil berarti menyucikan, menunjukkan kebaikan, memuji. Jika kedua kata tersebut digabung, jarh wa ta’dil berarti menunjukkan kelemahan dan kelebihan seseorang dengan disertai bukti-bukti dan sikap apa yang harus dilakukan terhadapnya. Di dalam ilmu Hadis seseorang dianggap cacat (dhaif) apabila ingatannya lemah, akhlaknya tercela dan pernah berdusta. Apabila seseorang ingatannya lemah, tetapi akhlaknya baik dan tidak pernah berdusta maka Hadis yang diriwayatkan masih bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan Hadis yang sahih. Jadi criteria utama yang menjadi ukuran cacat atau adilnya seseorang adalah akhlaknya, terutama kejujurannya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai metode jarh wa ta’dil. Pertama, al-ta’dil muqaddam ‘ala al-jarh; kritik yang berisi kelebihan, keutamaan dan pujian kepada seseorang harus dimenangkan atas kritik yang berisi celaan. Hal ini pada dasarnya manusia adalah baik sampai dia ditemukan berbuat dosa.
Kedua, al-jarh muqaddam
‘ala al-ta’dil; kritik yang
berisi celaan terhadap seseorang harus didahulukan dari pada pujian. Hal ini
dapat dilakukan apabila seseorang yang menyebutkan kelemahan orang lain lebih
baik dari pada kepribadian dan akhlaknya. Dasar dalam memberikan pujian atau
celaan adalah untuk memberikan nasihat dan penyempurnaan. Contoh untuk metode
ini adalah celaan atau pujian seorang guru kepada muridnya. Ketiga, ijtima’u
al-jarh wa ta’dil fi rawin wahidin; berkumpulnya jarh
wa ta’dil dalam
diri seseorang. Kritik yang berisi celaan. Dalam hal ini ada yang berpendapat
pujian harus di dahulukan dari pada kekurangan. Atau sebaliknya, kekurangan
harus disebutkan lebih dahulu baru kebaikan dan kelebihannya.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil dua kesimpulan. Pertama, kwalitas seorang perawi Hadis sangat ditentukan oleh kepribadian dan akhlaknya, terutama kejujurannya. Jika seorang pendusta atau pernah berdusta meriwayatkan sebuah Hadis, besar kemungkinan dia berdusta sehingga riwayatnya di tolak. Kedua, kelebihan dan kekurangan seseorang tidak perlu ditutup-tutupi. Penyampaian kelebihan dan kekurangan seseorang justru bisa menimbulkan dampak positif bagi orang yang bersangkutan dan bagi masyarakat. Dengan mendengarkan kritik atau celaan orang lain, diharapkan dia dapat memperbaiki kekurangannya dan sadar akan dirinya.
Karena itu, agar masyarakat tidak salah memilih sebaiknya dilakukan jarh wa ta’dil terhadap para caleg. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal dengan baik kualitas, integritas dan akhlak dari pada caleg sehingga mereka dapat memilih caleg yang tepat. Publikasi atau political tracking seorang caleg tidak bertentangan dengan agama dan tradisi para sahabat. Yang penting publikasi caleg disampaikan secara fair dengan menyebutkan kelebihan dan kekurangan.
Tidak ada manusia yang sempurna. Tetapi, sebagai mana tradisi periwayatan Hadis, akhlak dan kejujuran seseorang merupakan penilaian utama yang menentukan kualitas Hadis. Seseorang yang kurang kuat ingatan tetapi jujur dan berakhlak mulia masih lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang ingatannya kuat tetapi pendusta dan akhlaknya tercela. Caleg yang jujur, memiliki integritas moral-agama lebih baik dibandingkan dengan mereka yang cerdas tetapi tidak jujur, korup dan ahli maksiat. Yang terbaik adalah mereka yang ingatannya kuat (tsiqah), cerdas dan berakhlak mulia. Jika ada caleg seperti yang terakhir ini, pilihlah mereka.[]
No comments:
Post a Comment