KRITIK TERHADAP PARADIGMA HUKUM YANG KAKU
M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA
Paradigma hukum Islam klasik adalah paradigma
literalistik dengan arti begitu dominannya pembahasan tentang text,
dalam hal ini text berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya
dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik
teks literal atau secara sederhana paradigma yang bertumpu pada teks baik
secara langsung maupun tidak langsung (paradigma bayani).
Sebagai pengembangan dari paradigma hukum Islam klasik, maka
ditawarkanlah paradigma historis-ilmiah sebagai paradigma
alternatif yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah paradigma yang
mencoba memahami ajaran agama berdasarkan premis ilmiah yang ada pada masa
dimana ajaran itu dipergunakan.
Paradigma dalam disiplin intelektual
adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan
mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif),
dan bertingkah laku (konatif). Paradigma
juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di
terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya,
dalam disiplin intelektual
Kata paradigma sendiri berasal dari abad
pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu paradigma
yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma
(para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan",
"bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik)
Paradigma Literalistik hukum Islam
(ushul fikih) klasik
Sebelum
membahas tentang paradigma hukum Islam klasik, ada baiknya dijabarkan tentang
istilah paradigma itu sendiri. Penulis menggunakan istilah paradigma dengan
merujuk kepada pemikiran Thomas Kuhn yang dituangkan dalam magnum opusnya The
Structure of Scientific Revolutions, namun dalam tekanan yang berbeda. Hal
ini disebabkan karena pendapat Kuhn yang bersifat linier tersebut (paradigm
shift) hanya tepat digunakan dalam ilmu-ilmu alam dan fisika, sedangkan
ushul fikih masuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial humanities. Perkembangan
ushul fikih tentu tidak bisa dimaknai secara revolutive, tetapi evolutive
karena tradisi pemikiran yang berkembang di lingkungan ilmu sosial humanities
ditandai dengan dimilikinya beragam paradigma, namun tidak ada satupun yang
mencapai status hegemoni baik sebagai teori maupun paradigma universal.
Walaupun Kuhn sendiri tidak mendefenisikan istilah itu secara konkrit, namun
para penelaah karya Kuhn menyimpulkan bahwa paradigma adalah teori-teori,
metode-metode, fakta-fakta dan eksperimen-eksperimen yang telah disepakati
bersama dan menjadi pegangan bagi aktivitas ilmiah para ilmuwan. Secara singkat
dapat difahami bahwa paradigma adalah pandangan-pandangan pokok tentang alam,
Tuhan, dan manusia.
Bila
istilah paradigma diatas dipadukan dengan kerangka berfikir al-Jabiri tentang
pembagian epistemologi Islam
maka bisa dikatakan bahwa paradigma hukum Islam klasik adalah paradigma
literalistik dengan arti begitu dominannya pembahasan tentang teks (dalam
hal ini teks berbahasa Arab) baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan
cendrung mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada
dibalik teks literal tersebut. Secara sederhana paradigma yang dianut bertumpu
pada teks baik secara langsung maupun tidak langsung (paradigma bayani)
Secara
etimologi, menurut al-Jabiri al-bayan memiliki beberapa arti diantaranya
azh-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara
terminologi al-bayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl
(pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan
jadi. Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada
teks itu. Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak akan dapat memberikan
pengetahuan kecuali jika akal itu disandarkan (berpijak) pada nas (teks). Dalam
tradisi berfikir literalisme ini dikenal 2 cara mendapatkan pengetahuan dari
teks yaitu pertama, berpegang pada teks zahir.
Kecendrungan ini berakar pada tradisi sebelum Ibn Rusyd (Andalusia) dan
memuncak pada masa Ibn Hazam (azh-Zahiri). Kecendrungan tekstualisme ini
sebenarnya mulai diperlihatkan oleh asy-Syafi’i bahkan -mungkin- bisa dikatakan
beliau adalah peletak dasar paradigma literalisme. Sarana yang dipakai adalah
kaedah bahasa Arab sedangkan yang menjadi sasarannya adalah teks al-Qur’an,
Hadis dan Ijma’. Kedua, berpegang pada maksud teks bukan teks zahir.
Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa
asy-Syatibi. Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir
ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.
Bukti
lain digunakannya paradigma literalisme
dalam kajian hukum Islam klasik adalah begitu banyaknya pembahasan tentang
kaidah kebahasaan dalam ilmu ushul fikih. Al-Juwayni telah membuktikan hal
tersebut dengan mengatakan “sesungguhnya mayoritas pembahasan dalam ushul
fikih berkaitan dengan kata-kata (alfazh) dan makna…terkait dengan kata-kata
haruslah disadari bahwa syariat itu berbahasa Arab. Seseorang tidak akan sempurna
(dalam menguak) kandungan syari’at selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa
Arab“. Asy-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Mukhyar Fanani juga menjelaskan
bahwa “al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, bukan yang lain. Oleh karena itu
seseorang yang tidak mengetahui keluasan bahasa Arab, aspek-aspeknya,
kepadatan, dan keragaman maknanya, maka ia tidak akan mengetahui kejelasan
semua pengetahuan dalam al-kitab itu“. Rasionalitas yang dibangun oleh
ulama ushul fikih tradisional sebenarnya ingin melakukan penalaran yang sesuai
dengan tuntunan Allah yang ujungnya adalah tercapainya kemaslahatan manusia
pada umumnya di dunia dan akhirat dan ini pada akhirnya terwadahi dalam metode
berfikir yang baku yakni qiyas, istihsan, istislah, istishab, sadd
al-zari’ah dan urf.
Paradigma
diatas sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam (ushul fikih) klasik
memaknai hukum itu berasal dari titah ilahi sehingga hanya melalui teks-teks
suci yang didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum itu dapat
diketahui.Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham optimisme
bahasa yang dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham yang
menganggap bahwa bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan komunikasi, suatu
sunnah yang baku dan karena itu menjadi milik publik. Akibatnya pendekatan yang
digunakanpun adalah pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan
optimisme bahasa ini kemudian mengarah pada berkembangnya logika deduktif
sehingga model pendekatan yang digunakan-pun adalah teologis-normatif-deduktif.
Paradigma literalistik dengan
menggunakan model pendekatan yang teologis-normatif-deduktif cendrung
didominasi Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous logic.
Akibatnya, studi hukum Islam dipandang cendrung mendekati masalah secara
hitam-putih, benar-salah, halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bid’ah dan yang
semacamnya walaupun sesungguhnya tujuan pokok agama diturunkan itu adalah
mengajarkan tentang aturan-aturan hidup yang bersifat pasti (nilai, norma dan
aturan), dan begitu pula hukum agama (Islam) dimana salah satu ciri pokok
berfikir hukum adalah menuntut adanya kepastian dan bukan ketidak-pastian.
Pengertian
seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian seperti
halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori-kategori relasional.
Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri atas
norma-norma berjenjang (berlapis). Seharusnya studi ushul fikih atau penelitian
hukum Islam tidak hanya terbatas pada penemuan peraturan hukum konkret an-sich,
tetapi lebih dari itu juga harus diarahkan kepada penggalian asas-asas dengan
mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih mudah merespons
berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum syari’ah.
Paradigma
ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2 H-7 H) dan
mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 H yang
menambahkan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah
sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks. Disini asy-Syatibi merobah
dari rasionalisme deduktif menjadi rasionalisme induktif. Namun jika
menggunakan teori paradigm shift yang ditawarkan oleh Kuhn sebagaimana
dijelaskan diawal, maka as-Syatibi hanya melengkapi paradigma lama saja agar
tidak terlalu literalistik dan belum melakukan perubahan yang revolusioner bagi
ushul fikih.
Enam
abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke 8 H/14 M, direvitalisasi oleh
para pembaharu ushul fikih modern, seperti Muhammad Abduh
(w. 1905), Rasyid Ridha, Abdul Wahhaf Khallaf, Allal al-Fasi, dan Hasan Turabi.
Oleh karena hanya melakukan revitalisasi, maka kelompok ini dikategorikan oleh
Wael B Hallaq sebagai para pembaharu penganut aliran utilitarianisme keagamaan
(religious utilitarianism).
Munculnya pemikir kontemporer seperti Muhammad Iqbal, Mahmud Muhammad Taha,
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur Rahman, dan Muhammad
Syahrur dikategorikan oleh Hallaq sebagai kelompok pembaharu penganut aliran
liberalisme keagamaan (religious liberalism) karena coraknya yang
liberal (bahkan cendrung radikal) dan cendrung membuang teori-teori ushul fikih
lama. Apa paradigma yang digagas oleh mereka dan bisakah paradigma tersebut dijadikan
sebagai paradigma alternatif dalam pengembangan epistemologi hukum Islam saat
ini?uraian berikut mencoba untuk menggambarkannya
Paradigma historis-ilmiah sebagai salah
satu paradigma alternatif?
Akibat
revolusi science abad 17 di Barat, banyak sekali penemuan-penemuan baru
sehingga mempercepat berobahnya dimensi kehidupan manusia termasuk dalam dunia
Islam. Banyak sekali kasus-kasus yang muncul yang tidak cukup penjelasannya
hanya dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik. Dalam rangka
mengatasi itu semua, pertengahan abad 19 terjadi reformasi hukum Islam.
Sayangnya, reformasi tersebut tidak pernah menyentuh level yang lebih
fundamental yakni dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang dikenal dengan
ushul fikih. Ushul fikih tetap saja memusatkan perhatiannya pada upaya
penafsiran literal al-Qur’an dan Sunnah. Bahasa kedua sumber hukum ini
ditafsiri agar memiliki efek literal dan langsung berhubungan dengan
kasus-kasus hukum.
Akibat
dari itu semua, muncul banyak kegelisahan intelektual tentang urgensi dan
utilitas ushul fikih dalam kajian keislaman. Kegelisahan tersebut diwujudkan
dalam sebuah kecemasan bahwa ternyata sampai saat ini, wajah ushul fikih dan
turunannya terasa kaku dalam menghadapi dan berkomunikasi dengan peradaban
kekinian. Paling tidak kegelisahan tersebut dapat dilihat dari ekspresi
intelektual Muslim kontemporer sebut saja misalnya Fazlur Rahman, Muhammad
Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Ali Harb, dan
Abdullahi Ahmed an-Na’im
yang dikategorikan oleh Hallaq di atas sebagai kelompok liberalis.
Fazlur
Rahman berpendapat tidak lagi cukup memadai untuk menggunakan teori fikih dan
ushul fikih tentang qath’iyyat dan dhanniyat. Ia menawarkan
istilah ideal moral dan legal spesifik sebagai pembagian awal
tradisi Islam. Muhammad Arkoun menawarkan pemahaman ulang tentang tradisi Islam
dengan membedakan secara tegas antara Turats (dengan T besar) dan turats
(dengan t kecil). Ia mempertanyakan semakin kaburnya dimensi tarikhiyyat
(kesejarahan) dari keilmuan fikih. Demikian juga dengan Muhammad Syahrur yang
menawarkan teori bacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah), Nashr Hamid
Abu Zaid dengan reinterpretasi teks suci, Ali Harb dengan teori dari
kritik akal menuju kritik teks, dan Abdullah Ahmed an-Na’im dengan teori naskh
mansukh yang berbeda dari pemahaman selama ini.
Jika
kita menggunakan kerangka pemikiran Lutfi Assyaukani tentang tiga tipe
pemikiran Islam saat ini dalam memandang tradisi (turats) dan modernitas,
maka menurut penulis, para pemikir hukum Islam kontemporer yang mencoba
menawarkan paradigma alternatif -walaupun tidak secara keseluruhan- masuk pada
tipologi yang pertama dalam artian mereka ingin menawarkan reformulasi hukum
Islam yang mencerminkan nilai-nilai keislaman pada satu sisi, namun pada sisi
lain menawarkan sebuah hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern
saat ini. Mereka ingin menawarkan analisa tekstual-kontekstual yang terstruktur
sehingga melahirkan hukum yang lebih humanistik dan artikulartif namun tetap
dalam bingkai maksud wahyu.
Berdasarkan
eksplorasi diatas, maka menurut penulis salah satu paradigma alternatif yang
ditawarkan oleh kaum liberalis dalam menkaji hukum Islam adalah paradigma historis
ilmiah, sebuah paradigma yang mencoba memahami ajaran agama berdasarkan
premis ilmiah yang ada pada masa dimana ajaran itu dipergunakan. Rasionalitas
yang ingin dibangun oleh paradigma ini adalah melakukan penalaran yang sesuai
dengan sistem pengetahuan masyarakat modern dan sesuai dengan realitas objektif
di masyarakat. Jika ditarik dalam konteks hukum Islam (ushul fikih),
berarti perangkat keilmuan yang digunakan bukan lagi terbatas pada
perangkat-perangkat ushul fikih yang sudah ada -bahkan dalam tataran
yang lebih ekstrem tidak lagi menggunakan perangkat keilmuan ushul fikih klasik-
tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang diberikan oleh disiplin
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi,
sejarah, filsafat, kritik sastra, linguistik, hermeneutik, cultural studies,
psikologi, antropologi dan perangkat ilmu lainnya Bagi kelompok ini sumber
pengetahuan bukan lagi terbatas pada teks tetapi realitas (al-waqi’),
baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan. Teks cendrung difahami
sebagaimana segalanya (tertulis atau tidak, kitab suci atau bukan).
Tentu saja paradigma seperti ini
agak sulit diterima oleh para pengkaji hukum Islam karena pertama,
mereka menempatkan teks (nash) al-Qur’an dan Hadis sebagai titik
berangkat awal dalam analisa persoalan hukum. Kedua, tawaran mereka
tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik ilmu ushul fikih yang sudah
ada sebelumnya. Ketiga, kerangka keilmuan ushul fikih tidak mungkin bisa
diletakkan dalam wilayah paradigm shift secara revolutive, namun
harus dimaknai secara evolutif. Hal ini dapat difahami dalam ungkapan “al-muhafadhah
‘ala-l-qadim al-shalih wa-l-ahdu bil-jadid al-ashlah“.
Pertanyaannya kemudian, bisakah
paradigma tersebut dijadikan sebagai paradigma alternatif dalam pengembangan
epistemologi hukum Islam saat ini? Dalam hal ini penulis cukup sepakat dengan
perspektif teori pergeseran paradigma (paradigm shift) ala Thomas Khun
diawal, bahwa ilmu hanyalah sebuah social process, consensus of scientific
communities. Pada akhirnya komunitas ilmiah yang akan dapat menentukan satu
paradigma yang paling valid dalam menjawab problem-problem yang terakumulasi
dalam krisis. Ini berarti kesepakatan komunitas ilmiah-lah yang nantinya akan
menentukan apakah paradigma ini bisa diterima atau tidak.
Mulyadi Kartanegara pernah
menjelaskan akan lebih baik kalau paradigma historis ilmiah tadi sebagai sebuah
paradigma alternatif dibingkai dengan pendekatan kombinasi antara
teologis-normatif-deduktif dengan pendekatan empiris-historis-induktif dalam
memahami wacana hukum Islam saat ini.[28]
Alasannya, penekanan pada pendekatan pertama telah melahirkan paradigma literalistik
yang cendrung kaku, rigid, dan a-historis. Tetapi jika paradigma
historis-ilmiah tadi hanya dibingkai dalam model pendekatan kedua, maka yang
terjadi adalah kebenaran cendrung didasarkan sejauh mana sesuatu bisa diukur
oleh panca indera dan diluar itu semua tergolong tidak benar. Akibatnya
kehidupan keagamaan menjadi gersang karena semuanya serba diukur dengan
material. Memang pendekatan kedua ini lebih menjanjikan produk hukum yang
humanis tetapi kering dari nilai-nilai transendental. Pendekatan skeptik,
ragu-ragu atau bahkan buruk sangka (su’uzzan) akan mendominasi kajian
yang ada. Wajar kemudian bila ushul fikih dianggap sudah usang dan out of
date. Paradigma historis-ilmiah yang dikombinasikan dengan dua pendekatan
tadi, diharapkan akan mengakhiri perdebatan antara kelompok tekstualis dan
kelompok kontekstualis di dalam menafsirkan dan memahami wacana keagamaan.
Pertanyaannya, bagaimana
mengoperasionalisasikan paradigma tersebut? Dalam melakukan operasionalisasi
terhadap paradigma ini tidaklah mudah. Namun tawaran metode induktif-integratif
yang digagas oleh Fazlurrahman (yang menekankan pembedaan antara nash
normatif-universal dengan nash praktis temporal)[29]
dengan dikombinasikan dengan teori pertingkatan norma, bisa menjadi salah satu
alternatif dalam mengaktualisasikan paradigma tersebut.
Teori induktif/integratif
(hermeneutik) yang ditawarkan oleh Fazlurrahman mengandung dua langkah pokok
yang dikenal sebagai double movement, yaitu:
“First, one must understand the
import or meaning of a given statement by studying the historical situation or
problem to which it was the answer. Of course, before coming to the study of
spesific texts in the light of spesific situation, a general study of the macro
situation in terms of society, religion, customs, and institution, indeed, of
life as a whole in Arabia on the eve of Islam and particularly in and around
Mecca not ecluding the Perso-Byzantine Wars- will have to be made. The first
step of the first movement, then, consists of understanding the meaning of the
Qur’an as a whole as well as in terms of the spesific tenents that constitutes
responses to spesific situation. The second steps is to generalize those
specific answer and enunciate them as statements of general moral-social
objectives that can be “distilled” from spesific texts in the light of
sociohistorical background and the often stated rationes legis…the
second is to be from this general view to the specific view that is to be
formulated and realized now. That is, the general has to be embodied in the
present concrete sociohistorical contexts.”[30]
Dari
tawaran teori induktif/integratif (hermeneutik) Fazlurahman diatas, terlihat
bahwa di satu sisi pemahaman terhadap al-Qur’an dan teks-teks keislaman lainnya
dalam konteks modernitas saat ini tidak bisa lagi hanya terbatas interpretasinya
dari segi grammar maupun sintaksis an-sich, namun harus mempelajari
situasi dan latar belakang kehidupan masyarakat Arab baik sebelum Islam datang
maupun di dalam masa pewahyuan sehingga menjadi unsur yang harus difahami dalam
memahami al-Qur’an sebagai sumber inspirasi lahirnya sebuah hukum.]Dalam hal ini ilmu-ilmu bantu sosial humanities
lainnya mutlak diperlukan.
Pada
sisi yang lain, kajian ushul fikih hendaknya tidak lagi terbatas pada penemuan
norma-norma hukum dan terfokus pada teks-teks saja, namun norma tersebut juga
ditemukan di dalam kehidupan manusia dan prilaku masyarakat itu sendiri baik
pada masa dulu maupun sekarang sehingga tercipta hubungan yang dialektis.
Tentunya menjadi signifikan dalam merumuskan norma-norma tersebut perlu dibuat
penjenjangan. Sebagai pengkaji ushul fiqh, kita perlu menelusuri dan mencari
mana norma norma dasar atau nilai-nilai filosofis, mana norma-norma tengah
(baik asas-asas/kaidah-kadiah), dan mana peraturan kongkret yang bersifat
instrumentalis.
No comments:
Post a Comment