32 KAEDAH USHUL FIQHI
UNTUK MU PARA USTADZ
CATATAN M.RAKIB LPMP FRIAU INDONESIA
Kalau anda ditanya tentang sesuatu
hukum harian dan situasi baru yang tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah serta
ijma sedangkan anda belum sempat merujuk kepada ulama padahal anda dikehendaki
menyelesaikan keraguan itu dengan segera bolehlah diteliti kaedah Usul Fiqh di
bawah:
1. الأمور
بمقاصدها (
Segala perkara tergantung kepada niatnya)
2. اليقين لا
يزول باالشك ( Keyakinan tidak
boleh dihilangkan oleh keraguan)
3. الأصل برءة
الذمة ( Pada prinsipnya
manusia bebas dari tanggungan)
4. الإجتهاد
لا ينقض بمثله (Hasil ijtihad
tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang sama)
5. المشقة
تجلب التيسير (Beratnya
beban mengharuskan kemudahan)
6. اذا ضاق
الأمر اتسع (اذا اتسع الأمر ضاق) ( Sesuatu jika menyempit dia akan
menjadi longgar dan jika terlalu longgar dia akan menjadi sempit)
7. لا ضرر ولا
ضرار (
Tidak boleh merugikan dan dirugikan)
8. الضرر يزال (Bahaya
harus dihilangkan)
9. الضرورات
تبيح المحظورات (
Keadaan darurat menghalalkan hal-hal terlarang)
10. الضرورات
تقدر بقدرها ( Keadaan darurat
ditentukan menurut kadarnya)
11. ما جاز
لعذر بطل بزواله (
Sesuatu yang diperbolehkan kerana alas an tertentu batal dengan hilangnya
alasan itu)
12. اذا زال
المانع عاد الممنوع (Jika halangan telah hilang maka hal
terlarang kembali seperti semula)
13. الضرر لا
يزال بمثله (
Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya serupa)
14. يتحمل
الضرر الخاص لدفع الضرر العام ( Bahaya khusus harus ditanggung untuk
menolak bahaya umum)
15. الضرر
الأشد يزال بالضرر الأخف (Bahaya yang lebih berat boleh
dihindari dengan menempuh bahaya yang lebih ringan)
16.
اذا تعارضا مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بإرتكاب اخفهما 16.
Jika dua bahaya dihadapi maka harus
dihindarkan yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih ringan
يختار اهون الشرين.17
Di pilih yang lebih ringan dari dua
keburukan
ما لايدرك كله لا يترك كله.18
Sesuatu yang tidak dapat diperolehi
semua tidak boleh ditinggalkan semua
درء المفاسد أولى من جلب المصالح.19
Menghindari bahaya lebih utama dari
meraih manfaat
الضرر يدفع بقدر الإمكان.20
Bahaya harus dihindarkan sedapat
mungkin
الحاجة تنزل منزلة الضرورة.21
Keperluan sama nilainya dengan darurat
العادة محكمة. 22
Adat itu diakui sebagai sumber hukum
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان. 23
Tidak dapat diingkari perubahan hukum
kerana perubahan zaman
البقاء اسهل من الإبتداء. 24
Bertahan lebih mudah dari memulai
التصرف على الرعية منوط بالمصلحة. 25
Tindakan untuk rakyat harus memehatikan
kemaslahatan
إذا تعذرت الحقيقة يصار الى المجاز. 26
Jika penerimaan makna lahiriah itu
sulit, maka dibawa kepada makna kiasan
اذا تعذر اعمال الكلام يهمل. 27
Jika pelaksanaan bunyi lafaz mengalami
kesulitan maka boleh diabaikan
لا حجة مع الإحتمال. 28
Tidak boleh ada hujjah berdasarkan
kemungkinan
لا عبرة للتوهم. 29
Tidak boleh ada pertimbangan
berdasarkan dugaan
الأصل فى الأشياء الإباحة. 30
Pada prinsipnya segala perkara
dibolehkan
Kecuali jika ada petunjuk yang lain
الحكم يدور مع علته. 31
Hukum berlaku bersama alasannya
ما لا يتم
الواجب الا به فهو واجب. 32
Sesuatu yang diperlukan bagi
menyempurnakan wajib, hukumnya juga wajib.
Taqnin Al-Ahkam juga
bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah
sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi
Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan
Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama
muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat
itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih
membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap
akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam
sejarah hukum Islam.
Taqnin Al-Ahkam, Restriction For The
Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Pembatasan
dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang dilindungi oleh
Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others
(Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan dasar dan Kebebasan orang lain).
a. Proselytism (Penyebaran Agama) tanpa paksaan. Dengan adanya hukuman terhadap tindakan Proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.
b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas.
Dengan ulasan singkat diatas, seyogyanya pengaturan kebebasan beragama harus lebih diorientasikan kepada perlindungan kepentingan/kebaikan masyarakat luas ketimbang pada penekanan melindungi masing-masing ajaran agama terlebih lagi pada dogma yang banyak dipedebatkan. Dengan makna ini, bisa dimaknai, pertama, setiap penodaan terhadap agama harus diklarifikasi sebagai gangguan terhadap kepentingan dan kemaslahatan umum dan jangan direduksi menjadi kepentingan doktrin agama semata, mengingat setidaknya pada dua hal yaitu: [1] perbedaan hendaknya tetap menjadi ranah dialog bukan pidana. [2] tidak semua perdebatan doktrinal dapat diselesaikan dengan logika karena hal tersebut menyangkut dengan keyakinan seseorang, sedangkan perbedaan keyakinan merupakan sesuatu yang dijamin dalam Islam. Kedua, dalam konsepsi subtantif doktrinal, Islam bukan bagian dari kekerasan, penerapan kekerasan amat terkait dengan konteks dan memiliki kerangka yang jelas seperti diberikannya setiap negara hak untuk berperang. Dengan titik tolak ini, tindakan kekerasan terhadap kasus ‘penodaan agama’ jelas tidak direkomendasikan dan menjadi tugas negara untuk merumuskan sebaik-baiknya klasifikasi penodaan agama secara tepat dan efektif.
Karena seharusnya, Negara hendaknya tidak memasuki ranah keyakinan dan pikiran masyarakat terhadap agamanya. Begitu juga, dengan posisi Negara yang melindungi semua kepentingan seluruh warga Negara. Penistaan, penghinaan atau delegitimasi terhadap sebuah keyakinan agama, tetap tidak akan mengurangi subtansi keagungan dari agama itu sendiri. Negara, jika perlu, harus secara jeli mampu mengelola dan memilah unsur kejahatan pada semua delik privat dalam keyakinan beragama jika ingin dijadikan sebagai regulasi pidana nasional. Hanya persoalannya, hal ini perlu menjadi sikap dan keyakinan para pemeluknya juga, walaupun pada kenyataannya, selalu saja terdapat sikap ekstrem dari pengikut agama dalam memaknai perbedaan dalam isu-isu agama. Jika sudah demikian, maka Negara wajib mengambil peran sebagai pengatur dan penegak peraturan.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Vol II. Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyyah, tt.
Arkoun, Mohammed. Berbagai Pembacaan Quran. Jakarta: INIS, 1997.
Bellah,Robert N. Philip E. Hammond. Varietis of Civil Religion: Beragam bentuk Agama Sipil
dalam bentuk kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Indopos. “Ahmadiyah Tetap gelar Mukernas.” 18 April 2008.
Ka’bah. Rifyal, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum
2200 A (XXI)Tertanggal 16 Desember 1966.
Laldin, M. Akram. Mek Wok Mahmud dan M. Fuad Sawari. “Maqasid syariah Dalam
Pelaksanaan Waqaf.” Kuala Lumpur: Kertas Kerja 1, 1999.
Madjid, Nurcholis. “Agama dan Negara.” dalam Budhy Munawar-Rachman.
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Mulia, Musdah. “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.”
. 20 April 2008.
Munajat. Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004.
Naipospos, Bonar Tigor et al. “Tunduk Pada Penghakiman Masa: Pembenaran Negara atas
Perkusi Kebebasan Beragama dan berkeyakinan.” Jakarta: Setara Institute, 2008.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan al-Quran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Wahid, Abdurrahman et al. Hukum Islam dalam Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
Menarik
juga judul pembahasan, MERETAS PEMIKIRAN Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H,
bahwa salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat
ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era
reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum
reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan
perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada
era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan
adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek
sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan
perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak
demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan
karena euforia reformasi nasional.
Pembangunan hukum nasional tidak berada dalam ruang
kosong. Paling tidak terdapat tiga lingkungan strategis yang mempengaruhinya,
yaitu lingkungan internasional, lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam
tata pergaulan dunia, bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari
perkembangan dan tuntutan internasional, misalnya untuk masalah-masalah
demokratisasi, perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi
perdagangan internasional. Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum
nasional tentu harus dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai
dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional
juga dipengaruhi dan harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat
lokal.
Sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi
pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat disusun dan dibuat dengan
mengambil dari nilai-nilai internasional yang bersifat universal, dan juga
nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya maupun nilai agama. Bahkan, agar
dapat benar-benar berlaku secara efektif, hukum yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang
dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas
memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi
tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Untuk menjelaskan bagaimana
hubungan tersebut terlebih dahulu tentu harus didudukkan secara tepat bagaimana
hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.
Hubungan Negara dan Agama
Dalam perkembangan peradaban manusia, agama
senantiasa memiliki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami
pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan
negara itu sendiri. Ada suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama
atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama
mengalami ketegangan dengan negara.
Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi
ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri
Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain
sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada
abad pertengahan.[3] Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekularisme yang
berusaha memisahkan institusi negara dari institusi agama, antara negara dan
gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut hingga saat ini masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan krusial hubungan negara dan agama.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah
kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan
satu sama lain, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan
Tuhan dengan kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintahan absolut dan
menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia
Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan
kedaulatan Raja terjadi pada saat; (i) konsep Khalifah al-Rasul yang rasional
dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem
feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan (ii) ketika perkataan
“Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalahpahami dan dicampuradukkan
pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai konsep filosofis.[4]
Walaupun gerakan sekularisasi telah muncul bersamaan
dengan masa pencerahan (renaissance), namun hingga saat ini pemisahan urusan
agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris benar-benar dapat dipisahkan.
Sebab utamanya adalah para pengelola negara adalah manusia biasa yang terikat
pada beberapa norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.[5]
Negara dan agama, bahkan di negara sekuler
sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebabnya ialah para pengelola
negara adalah juga manusia biasa yang juga terikat dalam berbagai macam norma
yang hidup dalam masyarakat, termasuk juga norma agama. Misalnya, meskipun
negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda
adalah negara yang dipermaklumkan sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus
menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keagamaan terus berlangsung
dalam sejarah.
Di satu segi, nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh
pribadi para penyelenggara negara turut mempengaruhi materi dan proses
pengambilan keputusan di tingkat kenegaraan. Misalnya, Presiden George W.
Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang menimpa gedung kembar World Trade
Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar mengaitkan upaya memerangi
terorisme di balik peristiwa itu dengan perkataan “the second crusade” (perang
suci kedua) setelah perang suci pertama yang dikenal dalam catatan sejarah di
masa lampau antara kaum Muslimin dengan bangsa-bangsa Eropa yang beragama
Nasrani.
Di pihak lain, negara dan kebijakan pemerintahan
modern dalam sejarah juga tidak dapat melepaskan sama sekali keterikatan dan
intervensinya ke dalam urusan-urusan keagamaan. Bahkan dalam masyarakat
Amerika sekalipun yang diklaim sebagai masyarakat paling bebas dan paling
demokratis, justru kegiatan kenegaraannya dapat dianggap paling dekat dan
paling mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang dianut penduduknya. Alexis de
Tocqueville dalam buku Democracy in America, menggambarkan bagaimana
pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika, jauh lebih substantif dan
bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di Eropa.
Dalam konteks Indonesia, karena salah satu nilai
dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka hukum negara harus
mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang
diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma
yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat
datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem syari’at Islam ataupun
nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pada
saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber
norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum
negara yang berlaku untuk umum.
Di sisi lain, hukum negara yang berpuncak pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh
bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan
segenap warga negara Indonesia yang menjadi subjek hukum yang diatur oleh
Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu. Sesuai prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada hukum negara
Indonesia yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga
negara Indonesia sendiri.
Norma Hukum Nasional yang demikian itu berlaku umum
untuk semua warga negara tanpa kecuali. Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi
norma hukum yang bersifat nasional demikian itu tidak perlu disebut atau
dikaitkan dengan nama norma suatu agama tertentu yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman yang justru dapat menimbulkan kesulitan dalam upaya menegakkan
norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan resminya cukuplah sebagai Hukum
Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sedangkan isinya sangat boleh
jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk bersumber dari esensi ajaran
agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.
Landasan Konstitusional
Salah satu dasar negara Indonesia adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena
tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena tidak
memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai salah satu dasar
kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “… berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa …”. Selain itu, kita juga menganut paham Kedaulatan Rakyat dan
Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem konstitusional modern. Paham
Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan
kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut tidak mewujud kedalam
kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum.
No comments:
Post a Comment