TAQNIN AL-AHKAM
UNTUK NON-MUSLIM
Taqnin Al-Ahkam juga
bisa dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah
sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi
Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan
Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama
muslim maupun dengan non muslim. Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin
yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun
meski ada upaya taqnin tersebut, Rasulullah juga masih membuka
peluang perbedaan pendapat di kalangan para sahabatnya. Sikap akomodatif
Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak ditemukan dalam sejarah
hukum Islam.
Taqnin Al-Ahkam, Restriction
For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat).
Pembatasan dapat dilakukan pemerintah, bahkan untuk binatang tertentu yang
dilindungi oleh Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual
aliran agama tertentu. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights
and Freedom of Others (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan dasar dan
Kebebasan orang lain).
a. Proselytism (Penyebaran Agama) tanpa paksaan. Dengan adanya hukuman terhadap tindakan Proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain untuk tidak dikonversikan.
b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas.
Dengan ulasan singkat diatas, seyogyanya pengaturan kebebasan beragama harus lebih diorientasikan kepada perlindungan kepentingan/kebaikan masyarakat luas ketimbang pada penekanan melindungi masing-masing ajaran agama terlebih lagi pada dogma yang banyak dipedebatkan. Dengan makna ini, bisa dimaknai, pertama, setiap penodaan terhadap agama harus diklarifikasi sebagai gangguan terhadap kepentingan dan kemaslahatan umum dan jangan direduksi menjadi kepentingan doktrin agama semata, mengingat setidaknya pada dua hal yaitu: [1] perbedaan hendaknya tetap menjadi ranah dialog bukan pidana. [2] tidak semua perdebatan doktrinal dapat diselesaikan dengan logika karena hal tersebut menyangkut dengan keyakinan seseorang, sedangkan perbedaan keyakinan merupakan sesuatu yang dijamin dalam Islam. Kedua, dalam konsepsi subtantif doktrinal, Islam bukan bagian dari kekerasan, penerapan kekerasan amat terkait dengan konteks dan memiliki kerangka yang jelas seperti diberikannya setiap negara hak untuk berperang. Dengan titik tolak ini, tindakan kekerasan terhadap kasus ‘penodaan agama’ jelas tidak direkomendasikan dan menjadi tugas negara untuk merumuskan sebaik-baiknya klasifikasi penodaan agama secara tepat dan efektif.
Karena seharusnya, Negara hendaknya tidak memasuki ranah keyakinan dan pikiran masyarakat terhadap agamanya. Begitu juga, dengan posisi Negara yang melindungi semua kepentingan seluruh warga Negara. Penistaan, penghinaan atau delegitimasi terhadap sebuah keyakinan agama, tetap tidak akan mengurangi subtansi keagungan dari agama itu sendiri. Negara, jika perlu, harus secara jeli mampu mengelola dan memilah unsur kejahatan pada semua delik privat dalam keyakinan beragama jika ingin dijadikan sebagai regulasi pidana nasional. Hanya persoalannya, hal ini perlu menjadi sikap dan keyakinan para pemeluknya juga, walaupun pada kenyataannya, selalu saja terdapat sikap ekstrem dari pengikut agama dalam memaknai perbedaan dalam isu-isu agama. Jika sudah demikian, maka Negara wajib mengambil peran sebagai pengatur dan penegak peraturan.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Vol II. Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiyyah, tt.
Arkoun, Mohammed. Berbagai Pembacaan Quran. Jakarta: INIS, 1997.
Bellah,Robert N. Philip E. Hammond. Varietis of Civil Religion: Beragam bentuk Agama Sipil
dalam bentuk kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Indopos. “Ahmadiyah Tetap gelar Mukernas.” 18 April 2008.
Ka’bah. Rifyal, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum
2200 A (XXI)Tertanggal 16 Desember 1966.
Laldin, M. Akram. Mek Wok Mahmud dan M. Fuad Sawari. “Maqasid syariah Dalam
Pelaksanaan Waqaf.” Kuala Lumpur: Kertas Kerja 1, 1999.
Madjid, Nurcholis. “Agama dan Negara.” dalam Budhy Munawar-Rachman.
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.
Mulia, Musdah. “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.”
. 20 April 2008.
Munajat. Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004.
Naipospos, Bonar Tigor et al. “Tunduk Pada Penghakiman Masa: Pembenaran Negara atas
Perkusi Kebebasan Beragama dan berkeyakinan.” Jakarta: Setara Institute, 2008.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan al-Quran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Wahid, Abdurrahman et al. Hukum Islam dalam Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994.
Menarik juga judul pembahasan, MERETAS
PEMIKIRAN Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, bahwa salah satu agenda
nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan
adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut
dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum
nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum
produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk
melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang
cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan
jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia.
Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai
suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.
Pembangunan
hukum nasional tidak berada dalam ruang kosong. Paling tidak terdapat tiga
lingkungan strategis yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan internasional,
lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam tata pergaulan dunia, bangsa
Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan dan tuntutan
internasional, misalnya untuk masalah-masalah demokratisasi, perlindungan HAM,
lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi perdagangan internasional. Dalam
lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus dilakukan secara
koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan harus memperhatikan
tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal.
Sesuai dengan
lingkungan yang mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat
disusun dan dibuat dengan mengambil dari nilai-nilai internasional yang
bersifat universal, dan juga nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya
maupun nilai agama. Bahkan, agar dapat benar-benar berlaku secara efektif,
hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Nilai agama,
adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia.
Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim
jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum
nasional. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terlebih dahulu tentu
harus didudukkan secara tepat bagaimana hubungan antara agama dengan negara di
Indonesia.
Hubungan Negara
dan Agama
Dalam
perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan dengan
negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan
perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri. Ada
suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara
agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan
negara.
Puncak hubungan
antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam
pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan
Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut
yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan.[3] Kondisi tersebut
melahirkan gerakan sekularisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari
institusi agama, antara negara dan gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut
hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan krusial
hubungan negara dan agama.
Pengalaman
sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan
memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah untuk
dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja telah
melahirkan pemerintahan absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak
berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara
kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja terjadi pada saat; (i) konsep Khalifah
al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk
pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan
(ii) ketika perkataan “Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalahpahami
dan dicampuradukkan pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai
konsep filosofis.[4]
Walaupun gerakan
sekularisasi telah muncul bersamaan dengan masa pencerahan (renaissance), namun
hingga saat ini pemisahan urusan agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris
benar-benar dapat dipisahkan. Sebab utamanya adalah para pengelola negara
adalah manusia biasa yang terikat pada beberapa norma yang hidup dalam
masyarakat, termasuk norma agama.[5]
Negara dan
agama, bahkan di negara sekuler sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Sebabnya ialah para pengelola negara adalah juga manusia biasa yang juga
terikat dalam berbagai macam norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk juga
norma agama. Misalnya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang dipermaklumkan sebagai
negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam
urusan keagamaan terus berlangsung dalam sejarah.
Di satu segi,
nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh pribadi para penyelenggara negara turut
mempengaruhi materi dan proses pengambilan keputusan di tingkat kenegaraan.
Misalnya, Presiden George W. Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang
menimpa gedung kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar
mengaitkan upaya memerangi terorisme di balik peristiwa itu dengan perkataan
“the second crusade” (perang suci kedua) setelah perang suci pertama yang
dikenal dalam catatan sejarah di masa lampau antara kaum Muslimin dengan
bangsa-bangsa Eropa yang beragama Nasrani.
Di pihak lain,
negara dan kebijakan pemerintahan modern dalam sejarah juga tidak dapat
melepaskan sama sekali keterikatan dan intervensinya ke dalam urusan-urusan
keagamaan. Bahkan dalam masyarakat Amerika sekalipun yang diklaim sebagai
masyarakat paling bebas dan paling demokratis, justru kegiatan kenegaraannya
dapat dianggap paling dekat dan paling mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang
dianut penduduknya. Alexis de Tocqueville dalam buku Democracy in America,
menggambarkan bagaimana pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika,
jauh lebih substantif dan bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di
Eropa.
Dalam konteks
Indonesia, karena salah satu nilai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi
norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem
syari’at Islam ataupun nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu,
Budha, dan Konghucu. Pada saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah
diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena
namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku untuk umum.
Di sisi lain,
hukum negara yang berpuncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau
keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subjek hukum
yang diatur oleh Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu.
Sesuai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada
hukum negara Indonesia yang bertentangan dengan norma-norma agama yang
diyakini oleh warga negara Indonesia sendiri.
Norma Hukum
Nasional yang demikian itu berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali.
Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi norma hukum yang bersifat nasional
demikian itu tidak perlu disebut atau dikaitkan dengan nama norma suatu agama
tertentu yang dapat menimbulkan kesalahpahaman yang justru dapat menimbulkan
kesulitan dalam upaya menegakkan norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan
resminya cukuplah sebagai Hukum Nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sedangkan isinya sangat boleh jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk
bersumber dari esensi ajaran agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.
Landasan
Konstitusional
Salah satu dasar
negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa
Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga
bukan negara sekuler karena tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara
dan urusan agama. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan
sebagai salah satu dasar kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “…
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa …”. Selain itu, kita juga menganut paham
Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem
konstitusional modern. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui
adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya
berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut
tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep
kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
No comments:
Post a Comment