ANAK
MANJA ATAU HANTU LAPAR
m.rakib lpmp riau
indonesia 2014
Ipat anak Rupat, anak manja yang kering jiwanya. Pinjam
uang ke sana ke mari. Dulu dimnja, masih remaja, tapi kini sudah bekeluarga.
Uang yang diperlukan lebih banyak lagi. Keterampilan apa yang dapat diandalkan.
Rumah di kampung sudah terjual. Jiwa konsumtif terus mendera. Ondeh Pat…..pat..Wahai
ananda Pat..tegakkan kepala..
Wahai Ananda Tegakkan Kepala,
Orang Teraniaya Wajib Kau Bela
Melawan Yang Batil Janganlah Kau Jera
Musuh Yang Datang Jangan Kau Kira
Orang Teraniaya Wajib Kau Bela
Melawan Yang Batil Janganlah Kau Jera
Musuh Yang Datang Jangan Kau Kira
Pangkat, kedudukan, dan wanita dapat
membuat seeorang berperilaku tidak jujur. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan
perilaku para warga yang membawa tubuh rajawali untuk membuktikan kepada raja
bahwa merekalah yang telah menaklukkan rajawali itu agar diangkat menjadi
keluarga atau menantu raja. Padahal sebenarnya, bukan mereka yang telah
menaklukkan rajawali itu. Akibatnya, mereka pun menjadi malu setelah sang Raja
mengetahui bahwa penakluk rajawali itu adalah seorang pemuda pengembara, bukan
mereka. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
Karena
Tak Jujur, Hidup Hancur
Karena Tak Jujur, Aib Bertabur
Karena Tak Jujur, Hilanglah Mujur
Karena Tak Jujur, Badan Terkubur
Karena Tak Jujur anak Bini Kebulur
Karena Tak Jujur, Muka Berlumpur
Karena Tak Jujur, Penat Berjemur
Karena Tak Jujur, Kepala Bertelur
Karena Tak Jujur, Aib Bertabur
Karena Tak Jujur, Hilanglah Mujur
Karena Tak Jujur, Badan Terkubur
Karena Tak Jujur anak Bini Kebulur
Karena Tak Jujur, Muka Berlumpur
Karena Tak Jujur, Penat Berjemur
Karena Tak Jujur, Kepala Bertelur
(Samsuni/sas/87/07-08)
Sumber:
- Isi cerita diadaptasi dari Muthalib, H. Abdul. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan. Jakarta: Grasindo.
- Anonim. “Sulawesi Selatan”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan, diakses tanggal 15 Juli 2008.
- Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
“Anak
Manja” atau “Hantu Lapar”
Ada tulisan amat menarik dari curhat
sesorang di internet, tapi sayang beliau tidak menyebutkan namanya, katanya
begini: Mungkin banyak sekali cerita atau kejadian mengenai konflik antara
orang tua dan anak, dari film atau sinetron, bahkan di dunia nyata.
Saya ingin bercerita mengenai beberapa kisah konflik orang tua dan anak. Pada
awalnya saya hendak memberi judul "Anak vs Orang Tua" pada tulisan
ini. Akan tetapi, sepertinya terlalu ekstrem. Seakan-akan anak dan orang tua
adalah musuh. Bagaimana pun juga mereka adalah orang tua dan anak, tak
seharusnya bermusuhan. Okay, kisah ini bukan kisah mengenai saya, tetapi saya
cukup mengetahui situasinya. Saya adalah orang luar dan saya mengambil sudut
pandang si anak. Berhubung saya belum menjadi orang tua, jadi saya lebih mudah
memahami perasaan si anak. Saya tidak mengetahui secara detail kisahnya,
mungkin saya juga akan sedikit lebih mendramatisasi kisah ini.
Kisah dimulai dengan sepasang suami
istri yang sudah menikah sekitar lima tahun (tepatnya saya tidak tahu, saya
hanya mengira-ngira saja). Sekian lama menikah, mereka belum juga dikaruniai
anak. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat anak. Anak tersebut perempuan
dan masih memiliki hubungan darah dengan sang istri, yaitu keponakan sang
istri, anak dari kakak sang istri.
Mereka berdua bahagia dengan
kehadiran anak tersebut, terutama sang suami. Sang suami sangat memanjakan anak
tersebut, semua keinginannya dipenuhi, sehingga anak tersebut menjadi anak yang
manja. Setelah anak tersebut menginjak usia 9 tahun (saya juga hanya
mengira-ngira), sang istri akhirnya hamil dan kemudian melahirkan anak
laki-laki. Walaupun mereka sudah memiliki anak kandung, tetapi mereka tetap
menyayangi anak angkat mereka.
Anak angkat mereka yang sudah lama
jadi anak tunggal mungkin agak merasa mendapatkan saingan. Kadang ia bersikap
egois dan tidak mau mengalah kepada adiknya. O iya, mereka tinggal di kampung
halaman sang istri dan lebih dekat dengan keluarga sang istri. Keluarga besar
sang istri sering berkumpul pada saat acara-acara besar seperti hari raya idul
fitri. Saat keluarga besar berkumpul, sang anak angkat cenderung antisosial dan
tidak bergaul dengan sepupu-sepupunya.
Ternyata setahun kemudian, sang
istri melahirkan anak laki-laki lagi. Pada awalnya mereka merupakan keluarga
bahagia. Namun, beberapa tahun kemudian sang suami ternyata selingkuh. Sang
istri harus merawat anak-anaknya yang masih kecil sendirian karena sang suami
jarang ada di rumah, yang lebih menyedihkan lagi nafkah dari sang suami
berkurang, atau hampir tidak ada. Lebih parahnya lagi, sang suami mulai menjual
harta istrinya tanpa sepengetahuan sang istri. Sang istri kadang harus mencari
tambahan uang untuk membiayai anak-anak mereka. Beberapa kali ia mencoba
membuka usaha, tetapi selalu kandas.
Keluarga sang istri tidak bisa
membantu banyak, tetapi berusaha untuk menghibur dan mendukung sang istri.
Keluarga sang istri kini sangat membenci sang suami dan menyalahkan si anak
angkat karena tidak membantu ibunya. Saat ini sang anak angkat sudah berusia 16
tahun. Yeah, seharusnya dia berbakti kepada ibunya, walaupun bukan ibu kandung.
Selama ini ibunya selalu merawat dan menyayanginya.
Seperti yang saya katakan
sebelumnya, saya akan mengambil sudut pandang sebagai sang anak. Selama
sembilan tahun dia menjadi anak tunggal, selalu dimanjakan oleh orang tuanya.
Apakah salah dia karena dia menjadi anak manja dan egois? Dia baru berusia 16
tahun, saat konflik menimpa keluarganya dia berusia lebih muda lagi. Menurut
saya hal ini sangat berat untuk ditanggung oleh remaja putri berusia 16 tahun.
Yeah, tau lah ya ABG kayak gimana. Saat teman-teman sebayanya menikmati hidup,
dia menanggung sesuatu beban di pikirannya. Pasti kita sering mendengar kisah
mengenai anak yang keluarganya berantakan. Tidak sedikit anak yang mengalami
hal demikian terjerumus ke dalam hal-hal negatif (ga perlu saya sebutin lah
ya). Udah untung tuh anak ga terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif. Kenapa
sih si anak dipersalahkan? Dia memang tidak dipersalahkan atas kehancuran
keluarganya, tetapi dia dituntut untuk meringankan beban ibunya. Memang tidak
salah sih, memang sudah seharusnya sang anak berbakti. Namun, apakah kita juga
tidak bisa memahami perasaannya? Dalam hal ini bukan hanya sang ibu yang
menjadi korban dan satu-satunya yang harus dikasihani. Saya pikir mental sang
anak sekarang pasti sudah terganggu. Si anak juga harus dikasihani dan
diperhatikan. Oh come on, she's just a teenage girl with this kind of
situation.
Akhirya penulis itu menyatakan “Maaf,
di akhir-akhir saya sedikit emosional. Wkwkwkwk...
Musuh jiwa mendorong dan mengobarkan jiwa dengan
nafsu keinginan untuk dipuaskan dengan menyodorkan keyakinan palsu bahwa hanya
dengan dipenuhinya keinginan, kebahagiaan akan datang. Seperti halnya seorang
“Anak Manja” yang menuntut sesuatu yang diinginkan untuk dipenuhi, dan mendesak
dipenuhi sekarang juga, begitulah strategi musuh jiwa. Ia akan menggunakan
segala cara supaya keinginannya terpenuhi, misalnya dengan meluapkan amarah,
mengancam atau memberi tekanan. Kalau Anda sebagai orang tua memenuhi setiap
permintaan si “Anak Manja”, maka Anda sedang merusak dirinya dan justru tidak
membuatnya bahagia. Si “Anak Manja” dalam diri kita juga seperti “Hantu Lapar”.
Ia terus ingin makan, meskipun tidak pernah kenyang.
Strategi tersebut mudah dipatahkan dengan tidak
menuruti kemauannya. Musuh jiwa akan lemah bila dilawan dan kuat bila
dibiarkan. Bila kita mulai kasihan, takut atau kehilangan keberanian, maka
amarah dan ancaman garang si “Anak Manja” atau “Hantu Lapar” itu menjadi hebat
dan tak terhingga. Maka di muka bumi ini tiada binatang yang lebih ganas
daripada musuh jiwa dalam mengejar maksud jahat dengan kedurhakaan yang luar
biasa. Sebaliknya, bila kita dengan gigih menentang godaan-godaan musuh dan
mengadakan perlawanan yang tepat berbalikan, ia menjadi lemah, hilang
keberaniannya, lari pergi dengan godaan-godaannya.
Strategi
sebagai “Kekasih Palsu” atau “Buaya Darat”.
Musuh jiwa mendorong agar orang merahasiakan atau
menyembunyikan segala godaan, keraguan, kesia-siaan, maksud dan perbuatan buruk
agar orang makin terpuruk. Seorang suami atau isteri yang serong, misalnya,
tentu akan merahasiakan hubungan gelapnya dengan kekasihnya yang lain, supaya
maksud serongnya tidak diketahui pasanganya yang resmi.
Karena strategi musuh jiwa adalah menyembunyikan,
maka strategi untuk melawannya adalah membuka apa yang disembunyikan. Ignatius
Loyola memberikan nasehat agar orang yang mengalami godaan, membukanya di
hadapan bapa pengakuan atau orang lain, yang mengenal akan tipu muslihat musuh
jiwa. Ia tahu usaha jahat yang dimulai atau dilangsungkannya tak akan berhasil
bila tipu dayanya jelas terbuka.
Orang yang rajin datang kepada bapa pengakuan
bisa jadi masih akan lebih banyak lagi jatuh dalam kelemahan bila motif-motif
tersembunyi di balik pikiran, perasaan, kata-kata dan perbuatan tubuh tidak
diterangi dengan kesadaran. Maka terbuka di hadapan bapa pengakuan bisa
menolong tetapi belum akan memutus kekuatan musuh jiwa bila dirinya sendiri
tidak mengembangkan kesadaran untuk menerangi bidang-bidang gelap dalam
dirinya.
Strategi sebagai “Komandan Pasukan Perang”
Dalam usaha untuk menundukkan dan merebut apa
yang diinginkan, musuh jiwa akan menghitung dan mempelajari titik kelemahan dan
kekuatan lawan, baik secara fisik, mental, intelektual, social, dan spiritual.
Setelah melakukan persiapan yang memadai, penyerangan barulah dilakukan.
Bidang-bidang di mana kita kedapatan paling lemah dan rapuh, itulah yang
menjadi sasaran serangan. Saat-saat kita lengah, pada waktu itulah serangan
datang.
Strategi “Komandan Pasukan Perang” ini bisa
dipatahkan dengan mengembangkan kesadaran akan titik kelemahan, menyadari
godaan, menghindari situasi-situasi yang bisa membuat kita terjatuh, dan tahu
bagaimana menghimpun kekuatan. Mengenal kelemahan punya arti tahu mengapa,
bagaimana, kapan, dan di mana kelemahan itu bermanifest. Saat godaan datang,
kita tahu apakah kita cukup kuat atau sedang lemah. Kalau tahu bahwa kita
lemah, kita perlu mundur atau menghindar dari situasi-situasi yang menggoda.
Menyepi, bermeditasi, retret, atau melakukan studi untuk lebih mengenal diri
akan menolong untuk menghimpun kembali kekuatan jiwa.
Strategi sebagai “Malaikat Terang”
Musuh jiwa menyaru sebagai malaikat terang dengan
mengikuti suasana jiwa yang saleh dan akhirnya menggiring ke arah maksud
sendiri. Ia menyodorkan pikiran-pikiran yang baik-baik dan suci-suci, yang
luhur dan mulia, mengikuti jalan pikiran dari jiwa yang baik dan saleh; lalu
sedikit demi sedikit menyeret jiwa ke arah tipu muslihat tersembunyi dan
maksud-maksud durhaka.
Strategi “Malaikat Terang” bisa dipatahkan dengan
melihat jalan pikiran pada awal, tengah dan akhir. Setiap jalan pikiran yang
membawa kepada kualitas jiwa seperti Keseimbangan, Kemurnian, Kedamaian,
Kekuatan; Kasih, Kebahagiaan, Keindahan, Kebaikan, Kebenaran pastilah bukan
berasal dari musuh jiwa. Sedangkan jalan pikiran yang berakhir pada
kebalikannya—kekacauan, kekotoran, konflik, kelemahan; kebencian, kepedihan, keburukan,
kejahatan, kepalsuan pastilah datang dari musuh jiwa. Meskipun awalnya baik,
tengahnya baik, tetapi bila akhirnya buruk pastilah dari musuh jiwa.
Strategi #1, #2 dan #3 sering digunakan untuk
menyerang jiwa-jiwa yang jatuh dari keburukan yang satu ke keburukan yang lain.
Sedangkan strategi #4 sering dipakai untuk menyerang jiwa-jiwa yang berkembang
dari kebaikan yang satu ke yang lebih baik lagi.
Pada orang yang jatuh dari keburukan yang satu ke
keburukan yang lain, musuh menyodorkan kesenangan semu atau kenikmatan palsu;
seringkali berkaitan dengan kesenangan inderawi. Roh baik memakai cara
sebaliknya, menyesakkan hati dengan teguran pada budi.
Pada orang yang meningkat dari taraf yang baik ke
yang lebih baik, ciri khas musuh jiwa menyesakkan dan menghalangi dengan
menyodorkan alasan-alasan palsu, kepercayaan keliru atau pikiran keliru, supaya
orang tidak maju lebih lanjut. Musuh juga sering menyodorkan kenikmatan palsu,
terutama berkaitan dengan hiburan rohani. Ciri khas roh baik ialah memberi kejernihan,
semangat dan kekuatan, hiburan, air mata, inspirasi, ketenangan, membuat
semuanya mudah, dan menyingkirkan segala rintangan.
Pada orang yang meningkat dari taraf yang baik ke
yang lebih baik, roh baik menjamah jiwa dengan halus, lembut dan manis, seperti
air meresap masuk spon. Sebaliknya roh jahat menjamah jiwa dengan kasar, keras,
kacau, dan meninggalkan kepahitan dan kegetiran, seperti air jatuh di atas
batu.
Bila Anda kadang-kadang merasa tidak berdaya
berhadapan dengan kelemahan Anda, sesungguhnya perasaan lemah itu sendiri
adalah hasil tipuan musuh jiwa. Sesungguhnya hakekat jiwa adalah Kuat.
Maka menyadari kelemahan saja tidak cukup; perlu kemudian merealisasikan
Kekuatan itu sekarang dan di sini, dari saat ke saat. Ketika “pikiran-terdelusi”,
“diri-ilusif”, atau “kesadaran dualistic” berakhir setiap kali disadari,
Kekuatan itu timbul dengan sendirinya. Kekuatan yang adalah esensi jiwa atau
“batin yang murni, tak-terbatas, tak-terkondisi” ini tak bisa ditundukkan oleh
kekuatan apapun dari musuh jiwa.
Kekuatan datang bukan ketika Anda bebas dari
kelemahan, tetapi ketika Anda merealisasikan Kekuatan itu sekarang dan dengan
Kekuatan itu kelemahan ditransformasikan. (js)
No comments:
Post a Comment