PERBANDINGAN HUKUM
Penulis (M.Rakib LPMP Riau) sudah menulis disertasi tentang perbandingan konsep anti
kekerasan terhadap anak, antara Hukum Islam dan Hukum Perlindungan anak
UU No.23 tahun 2002. Masalah perbandingan hukum memang sangat menarik.
Lahirnya Perbandingan Hukum Modern adalah 1869,
karena pada waktu itu di Perancis didirikan Societe
de legislation compare, sedangkan di Inggris Sir Henry Summer
Maine diangkat sebagai guru besar pertama dalam “historical” dan “comparative jurisprudence”h
pada Universitas Oxford. Tidak boleh dilupakan bahwa pada tahun itu pula di
Belgia diterbitkan majalah Reveu de droit international et de droit compare. Lahirnya
kodifikasi menyebabkan lahirnya legisme. Pada waktu itu undang-undang
ditafsirkan secara harfiah, sehingga tidak ada kesempatan memperbandingkan
pemecahan masalah hukum dengan luar negeri. Pada permulaan abad ke 19 itu
majalah-majalah pada umumnya memusatkan perhatiannya kepada perundang-undangan
luar negeri dan bukan kepada pemecahan masalah hukumnya, sehingga hanya
merupakan perbandingan perundang-undangan dan bukan perbandingan hukum atau
peradilan. Haruslah disadari bahwa suatu undang-undang itu tidak berdiri
sendiri lepas dari undang-undang lainnya. Suatu undang-undang harus dilihat
dalam sistem hukum negara yang bersangkutan. Arti pentingnya suatu
undang-undang atau peraturan perundang-undangan justru terletak dalam sistem
hukum itu. Undang-undang memang merupakan salah satu (bukan satu satunya)
perwujudan hukum dan pelaksanaan undang-undang melalui peradilan itupun adalah
hukum.
Pada tahun 1900 di Paris diadalan Kongres Dunia pertama yang memikirkan tentang metode dan tujuan perbandingan hukum. Diputuskan bahwa perbandingan hukum harus dipusatkan pada hukum yang nyata-nyata berlaku (law in action) dan tidak semata-mata pada bunyi undang-undang saja. Diharapkan dengan perbandingan hukum kita menuju pada unifikasi hukum: suatu “droit mondial” (hukum dunia). Tetapi dengan terjadindya perang dunia maka impian akan unifikasi hukum itu menjadi kabur, Sebaliknya menunjukkan kelemahan.
Bagaimana hukum Islam berdampingan dengan hukum positif dan
norma adat yang dianut oleh kedua negara yang berbeda, Indonesia dan
Prancis. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan metode etnografi, Bowen
mencoba membedakan kondisi masyarakat Indonesia dan Prancis. Menurutnya,
perbedaan yang mencolok adalah bahwa masyarakat muslim Indonesia berjumlah
mayoritas, sedangkan di Prancis muslim adalah masyarakat minoritas. Selain itu,
Indonesia adalah negara multikultural sedangkan Prancis adalah negara
monokultural. Kalaupun ada keberagaman, maka itu hanya dimiliki oleh sekelompok
masyarakat yang minoritas. Karena perbedaan itulah penerapan hukum Islam –
khususnya hukum keluarga Islam – memiliki beberapa perbedaan (disamping
persamaan) yang cukup signifikan dalam hal aplikasinya di masyarakat kedua
negara tersebut.( Sumber
utama makalah ini adalah hasil penelitian John R Bowen pada tahun 2000)
Perbedaan yang paling signifikan adalah:
1.
Hukum Islam di Indonesia bersifat sakral,
sedangkan di Prancis hukum Islam dianggap hukum yang berasal dari karya
manusia, sama dengan hukum-hukum lainnnya.
2.
Persamaannya adalah hukum Islam baik di Indonesia
maupun di Prancis dalam pemberlakuannya sama-sama harus menyesuaikan diri
dengan norma adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat keedua negara.
3.
Hukum Islam memilki karakter atau sifat yang
elastis (lentur) dengan kondisi sosial dan budaya pada setiap zaman dimana umat
Islam tinggal.
4.
Hukum Islam dapat berkembang pesat di
belahan dunia dan diterima sebagai suatu hukum yang diyakini kebenarannya dari
Tuhan melalui perantara para Rasul-Nya.
5.
Hukum Islam yang mengedepankan aspek-aspek
kesetaraan, keadilan, maslahat pada masyarakat yang multikultural seperti di
Indonesia. Sedangkan untuk mewujudkan hukum Islam yang terkandung didalamnya
aspek-aspek kesetaraan, keadilan, dan maslahat maka perlu dilakukan
rekontekstualisasi hukum Islam.
Salah satu bidang hukum Islam yang perlu
direkontekstualisasi aplikasinya adalah hukum keluarga Islam (Ahwal
As-syahsiyah). Di Indonesia, rekontekstualisasi hukum keluarga Islam
dibuktikan dengan tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan respons
masyarakat Islam terhadapnya. Dari sisi metodologis, KHI dapat dikatakan
sebagai fiqih yang bermadzhab keindonesiaan, sedangkan dari sisi politis KHI
tampaknya tidak lebih sebagai alat strategis hegemoni fiqih Syafi’i yang dianut
penguasa dan para ulama Nusantara. Namun demikian tidak ada paksaan atau sanksi
apapun bagi kaum muslim yang mengabaikan aturan-aturan dalam KHI tersebut.
SISI PERBEDAAN
Berbeda dengan di Prancis:
1. Masyarakat
Prancis lebih mengakui nilai-nilai norma dan etika masyarakat mereka sebagai
suatu kebenaran yang paling benar.
2. Hukum
Francis lebih mereka utamakan daripada sebuah legal draft undang-undang yang
disahkan oleh dewan legislatif mereka. Baik ajaran agama maupun undang-undang
negara berada pada posisi kedua setelah nilai norma yang tidak tertulis itu.
tampaknya undang-undang hanyalah sebagai dasar formalisasi saja dari setiap
keputusan yang diambil oleh para hakim di Prancis.
3. Rekontekstualisasi
hukum Islam di Indonesia dan pemberlakuan hukum Islam di Prancis dan di
beberapa negara Islam seperti Turki dan Mesir, yang menitikberatkan pembahasan
pada masalah pernikahan dan perceraian serta hubungannnya dengan prinsip-prinsip
hukum universal.
4. Penelitian
John Bowen yang meliputi penbahasan tentang persamaan dan perbedaan penerapan
hukum Islam di kedua negara (Indonesia dan Prancis), kelebihan hasil penelitian
ini, serta kekurangannya, serta pembahasan disempurnakan dengan kaitan antara
gerakan pembaharuan di dunia Islam dengan rekontekstualisasi hukum Islam di
Indonesia.
Tulisan ini selain bersumber dari penelitian John
R Bowen pada tahun 2001, juga akan dikutip beberapa pokok pikiran dari hasil
hasil kajian-kajian yang lain baik dari buku maupun dari hasil penelitian yang
memiliki kesamaan fokus kajian tentang masalah yang akan dibahas dalam makalah
ini. Adapun tujuannya adalah untuk mempermudah dalam melakukan analisis
perbandingan dalam mengukur validitas hasil penelitian Bowen ini.
Deskripsi Pemberlakuan Hukum Islam di
Indonesia dan Prancis
1. Hukum Keluarga Islam di Indonesia
Di Indonesia terdapat beberapa hukum yang diakui
dan berlaku di masyarakat, yaitu hukum positif, hukum Islam dan hukum adat.
Keberlakuan hukum positif meliputi lingkup nasional, sedangkan hukum adat
bersifat kedaerahan. Lain halnya dengan hukum Islam yang berlaku khusus untuk
umat Islam, dan itupun hanya diformalisasikan pada ranah privat (perdata) saja.
Hukum keluarga Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah ini baru resmi
dijadikan sebagai salah satu sumber putusan pengadilan agama pada era 90-an.
Sebelumnya pada masa-masa sebelumnya, hukum Islam belum mendapatkan tempat yang
layak sebagai hukum yang dianut oleh mayoritas umat Islam dalam hierarkhi
perundang-undangan di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru sebenarnya telah
ada Pengadilan Agama, namun putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama baru
dapat dianggap mempunyai kekuatan hukum tetap setelah ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri. Hingga pada tahun 1989 muncul Undang-undang tentang
Peradilan Agama yang diakui putusannya memiliki kekuatan hukum tetap. Dan sejak
tahun 1991 setelah disahkannya KHI sebagai salah satu sumber hukum keluarga
Islam di Indonesia, Pengadilan Agama mengikuti aturan yang terdapat dalam KHI
yang disusun oleh para ahli hukum Islam di Indonesia.
Hukum keluarga Islam – seperti UU Perkawinan
tahun 1974 – termasuk hukum yang dilegislasikan di Indonesia, begitu pula
dengan KHI yang diberlakukan melalui Inpres tahun 1991 berubah statusnya
menjadi hukum nasional. Adapun hukum adat tidak dikodifikasikan dan tidak
diformalisasikan, namun memiliki kekuatan yang sama kuatnya dengan hukum yang
dikodifikasikan. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk ceremonial seperti acara
pernikahan maupun kegiatan-kegiatan ritual yang dilakukan oleh suatu masyarakat
tertentu.
a. Rekontekstualisasi Hukum Islam dan Prinsip
Kesetaraan
Banyak kalangan ahli hukum Islam telah
memperbincangkan dua masalah penting, yaitu: Pertama, bagaimana rumusan
yang terbaik untuk mengembangkan hukum Islam yang sesuai dengan semangat
keindonesiaan? Kedua, bagaimana peran negara dalam mengatur masalah
pernikahan dan perceraian di Indonesia?
Untuk masalah pertama telah terdapat perdebatan
dan perbedaan pandangan tentang kapan umat Islam harus mengikuti teks, atau
kapan suatu teks harus diberlakukan. Kelompok yang berpegang pada teks
mengatakan bahwa konteks harus tunduk pada teks. Kelompok ini ditokohi oleh A.
Hasan dan para pengikutnya. Sedangkan mayoritas ulama di Indonesia sepakat
bahwa keberlakuan teks harus disesuaikan dengan konteks sosial dan kondisi
zaman. Mereka berargumen berdasarkan apa yang dilakukan oleh khalifah Umar bin
Khattab. Pandangan seperti ini dipelopori oleh Hasbiy Ash-Shiddiqy dan
ulama-ulama tradisionalis seperti ulama NU. Inilah yang mereka sebut dengan
rekontekstualisasi hukum Islam.
Akan tetapi perdebatan tidak cukup berhenti
sampai di situ, sebab upaya rekontekstualisasi hukum Islam menyebabkan umat
Islam harus merumuskan kembali fiqih Islam yang berdasarkan pada prinsip
kesetaraan dan keadilan yang merupakan nilai universal dari ajaran Islam. Dari
sini kemudian timbul pertanyaan apakah hukum Islam yang dirancang hendak
disesuaikan dengan konteks Islam Arab atau konteks Islam Indonesia? Sekelompok
umat Islam radikal mencoba menggiring hukum Islam di Indonesia kepada konteks
Islam Arab, sedangkan mayoritas ulama di Indonesia berupaya membangun sistem
hukum Islam (dalam hal ini hukum keluarga Islam) – yang kemudian
diformalisasikan dalam bentuk Undang-undang – dengan mengakulturasikan ajaran
Islam dengan norma adat. Tidak cukup itu, para ahli hukum Islam juga memasukkan
norma hukum modern, yaitu prinsip kesetaraan dan keadilan. Di antara ahli hukum
Indonesia yang mencoba mengawali konsep hukum Islam keindonesiaan adalah Hasbiy
As-Shiddiqiy dan Hazairin.
Namun di sisi lain, dalam masyarakat tertentu –
seperti di Aceh – hukum Islam seringkali digunakan sebagai alat kritik terhadap
hukum adat. Begitu pula hukum positif yang seringkali tidak sejalan dengan
norma adat, sehingga banyak masyarakat yang lebih mempertahankan hukum adat
daripada mengikuti hukum positif. Hal seperti ini biasanya terjadi dalam
masalah hukum keluarga seperti pernikahan dan kewarisan.
Begitu juga tentang KHI yang walaupun disusun
berdasarkan ijma para ahli hukum Islam di Indonesia, namun keberlakuannya masih
dalam konteks tertentu. Tidak jarang di antara kelompok dan organisasi Islam
yang cenderung mengabaikan KHI, dan mengikuti madzhab yang mereka yakini.
Karena pada dasarnya KHI adalah sekedar aturan hukum Islam, dan bukan
Undang-undang yang berlaku mengikat dan harus ditaati.
Apabila dilihat secara kronologis, KHI sejak
diumumkan oleh Presiden Suharto pada tahun 1991 resmi menjadi sebuah rujukan
hukum pada Peradilan Agama. Karena KHI merupakan representasi dari konsensus
atau ijma’ para ahli hukum Islam di Indonesia, yang dikodifikasikan berdasarkan
norma-norma dan kaedah hukum Islam. Jadi fiqih keluarga Islam yang diinginkan
pemerintah sebenarnya adalah fiqih yang terkodifikasi di dalam KHI. Tetapi
tidak semua masyarakat muslim menyelesaikan perkara perdatanya di Pengadilan
Agama. Tidak jarang di antara mereka yang mengajukan perkaranya ke Pengadilan
Negeri – terutama masalah kewarisan – karena banyak umat Islam terutama kaum
wanita yang tidak sepakat dengan sistem waris Islam 2:1 untuk laki-laki dan
wanita.
b. Validitas Talaq
Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara de facto merupakan bukti kemenangan
politik umat Islam yang menginginkan perubahan konstitusi hukum untuk
memasukkan hukum Islam di dalamnya. Meskipun Undang-undang sebelumnya – yakni
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan – juga di dalamnya telah termuat
substansi hukum Islam, namun Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk
mengantisipasi komplikasi penerapan hukum Islam di Indonesia.
Salah satu yang diatur dalam ketentuan hukum
perkawinan Islam adalah tentang ta’liq talaq. Dahulu, seorang suami
begitu mudah mentalaq istrinya tanpa mempertimbangkan akibat dari sebuah perceraian.
Pada masa berikutnya para wanita menuntut kepada para hakim untuk membuat suatu
perjanjian dalam pernikahan mereka sehingga dengan perjanjian tersebut hak-hak
kaum wanita dapat terlindungi. Perjanjian itu disebut dengan ta’liq talaq.
Penelitian ini dilakukan pasca reformasi, maka
dari itu kemungkinan telah banyak terjadi perubahan tentang aturan hukum Islam
dalam lingkup nasional. Peneliti mendapati bahwa pada saat penelitian ini
dilakukan (tahun 2001), antara suami dan istri apabila ingin bercerai haruslah
dapat meyakinkan hakim di Pengadilan bahwa hubungan tersebut sudah benar-benar
tidak dapat dipertahankan lagi. Talaq dalam hukum perkawinan Islam tidak bisa
dikatakan sah sebelum disahkan oleh putusan Pengadilan Agama.
2. Hukum Keluarga Islam di Prancis
Umat Islam di Prancis adalah kelompok minoritas
yang baru berkembang pesat sejak akhir abad ke-20. Hukum Islam di Prancis
berbeda dengan hukum Islam di Indonesia yang memiliki ciri multikultural. Hukum
Islam di Prancis hanyalah berupa hukum privat yang dijadikan sebagai alternatif
untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan yang tidak diselesaikan melalui
pengadilan negara. Hukum Islam di negara ini hanya berlaku dalam ranah kecil,
misalnya untuk memberi label halal-haram suatu produk makanan yang dikonsumsi
oleh umat Islam di sana.
Setelah perang dunia II, keadaan masyarakat
Prancis berubah. Dan perubahan tersebut berpengaruh pada perubahan penberlakuan
Undang-undang Kewarganegaraan. Ketika wilayah kekuasaan Prancis berkembang
hingga melampaui batas teritorial, banyak imigran dari berbagai negeri Islam
yang masuk ke Prancis dan menetap sebagai warga negara. Sehingga mereka turut
mewarnai sistem politik, budaya dan bahkan sistem legislasi perundang-undangan
di Prancis.
Akan tetapi untuk menjadi warga negara Prancis
tidaklah mudah. Mereka harus mendaftarkan status pernikahannya pada lembaga
hukum di Prancis. Dari sini muncul masalah bahwa sah tidaknya suatu perkawinan
terkadang bertentangan dengan hukum di negara Prancis. Dan pada masa berikutnya
suatu perkawinan harus berdasarkan pada hukum negara yang berorientasi pada
norma adat yang diakui oleh masyarakat Prancis. Di sini hukum Islam seakan-akan
tidak mempunyai tempat di Prancis, kecuali dalam lingkup kecil.
a. Pernikahan dan Perceraian
Prancis merupakan negara yang memiliki sistem
hukum tertulis, disamping menjunjung tinggi nilai-nilai norma yang tidak
tertulis yang berlaku pada masyarakatnya. Adapun nilai norma tersebut disebut
dengan “French Public Order”. Selanjutnya nilai norma itulah yang sangat
mempengaruhi sistem hukum tertulis yang ada di Prancis. Nilai norma tersebut
lebih dominan menguasai setiap putusan hakim di pengadilan Prancis daripada
teks perundang-undangan yang ada, sehingga hukum Islam pun apabila bertentangan
dengan norma tersebut maka tidak dapat diberlakukan.
Ada beberapa peraturan dalam Undang-undang
Prancis yang tentu saja selain memiliki kesamaan, juga memiliki perbedaan
dengan Undang-undang di Indonesia, yaitu: Pertama, dalam Undang-undang
Prancis tidak dikenal – bahkan dilarang – adanya poligami. Karena poligami
dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai norma masyarakat Prancis. Dengan
demikian seandainya seseorang dinyatakan sah memiliki dua istri pada hukum yang
lain, maka yang diakui dan diputuskan oleh hakim hanya satu istri, adapun istri
yang lain harus dicerai. Kedua, hubungan seksual dilakukan sebelum
pernikahan dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan salah
satu pihak atau kedua belah pihak manakala pernikahan sudah dilakukan, tetapi
salah satu pasangan tidak merasakan kepuasan terhadap pasangannya. Ketiga,
Undang-undang di Prancis juga melarang perceraian, karena perceraian dianggap
dapat merusak simbol-simbol pernikahan.
Dalam hal ini French Public Order memegang
kendali paling tinggi terhadap setiap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim
di pengadilan negara. Karena bagi mereka, hukum tidak berbicara baik atau
buruk, tetapi hukum berbicara boleh atau dilarang. Maka yang paling baik menurut para hakim di
Prancis adalah mengikuti nilai-nilai moral (adat).
No comments:
Post a Comment