HUKUMAN BAGI ORANG BERBUAT ZINA
m.rakib
lpmp riau indonesia
Menarik apa yang diposkan oleh Farid Maaruf, tentang HUKUMAN BAGI ORANG BERBUAT ZINA
Posted by Farid Ma'ruf pada 18 Januari 2007. Penulis
sedang meneliti kisah-kisah yang terkait dengan hukum Islam, terutama masalah
jinayah atau kriminal. Di bawah ini ada penuli catatkan tanya-tanya ringkasa
dan sederhana, tapi konkrit, simaklah…
Di daerah tempat saya tinggal, ada orang
(Mukhson) yang pernah berbuat maksiyat perzinaan, namun waktu disidang di
tingkat RT/RW, dia mengaku salah dan ingin bertobat dan sekarang ia rajin
sekali ibadah di masjid. Namun ternyata perzinaan itu diulang lagi, konon
menurut pengakuan korban beberapa kali. Orang itu tidak mengakui perbuatannya,
sebelumnya pernah tanda tangan berjanji untuk tidak mengulanginya. Tapi sang
korban (familinya sendiri yang sejak kecil dinafkahi si pelaku) bersaksi dan
membeberkan bukti visum dokter. Saat ini orang tersebut dianggap cukup
meresahkan warga walaupun aktif di masjid tapi oleh warga dikucilkan bahkan
hampir diusir.
1) Bagaimana solusi Islami terhadap kasus ini?
3) Bagaimana kaifiyat menghakimi pezina dalam peradilan Islam?
4) Bagaimana bila saksi tidak ada atau kurang dari 4 orang, tapi ada pengakuan korban?
5) Bagaimana menurut Syariah, kalau warga masyarakat memberikan hukuman dengan mengucilkan (tidak ditanya/tidak dilibatkan di masyarakat) atau mengusirnya?
6) Bagaimana hukumnya kalau pelaku zina kemudian dinikahkan?
Jawab: 1. Dalam pandangan Islam,
zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman
hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah
SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut,
baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Qs.
an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan
harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan
itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka
diterapkan hukuman rajam.
2. Yang memiliki hak untuk
menerapkan hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah
Islamiyyah) atau orang-orang yang ditugasi olehnya. Jika sekarang tidak
ada khalifah, yang dilakukan bukan menghukum pelaku perzinaan itu, namun harus
berjuang menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu.
3. Yang berhak memutuskan
perkara-perkara pelanggaran hukum adalah qadhi (hakim) dalam mahkamah
(pengadilan). Tentu saja, dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus
merujuk dan mengacu kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali
oleh qadhi adalah melakukan pembuktian: benarkah pelanggaran hukum itu
benar-benar telah terjadi. Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan
sebagai bukti, yakni: (1) saksi, (2) sumpah, (3) pengakuan, dan (4) dokumen
atau bukti tulisan. Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni
saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat
orang, didasarkan Qs. an-Nuur [24]: 4.
Sedangkan pengakuan pelaku, didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Ma’iz bin
al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang wanita dari al-Ghamidiyyah
dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya mengaku telah berzina. Di samping kedua
bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-10, ada hukum
khusus bagi suami yang menuduh isterinya berzina. Menurut ketetapan ayat
tersebut seorang suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai buktinya.
Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa dia termasuk
orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa lanat Allah
SWT atas dirinya jika ia termasuk yang berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat
mengharuskan isterinya dijatuhi hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya
juga berani bersumpah sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk
orang-orang yang berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa
lanat Allah SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar,
dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi, keduanya
dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah selamanya. Inilah
yang dikenal dengan li’an.4. Karena syaratnya harus ada empat orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah diceritakan bahwa ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina dengan tuannya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman seratus camnukan dan diasingkan selama satu tahun. Namun demikian Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya. Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui wanita tersebut, jika ia mengaku ia baru diterapkan hukuman rajam (lihat Bulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu dapat dijadikan sebagai petunjuk saja.
5. Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi.
6. Berzina termasuk perbuatan kriminal yang harus dihukum. Jenis hukumannya hanya ada dua, yakni jilid dan rajam. Bagi pezina ghaoiru muhson yang dijatuhi hukuman jilid, bisa saja mereka dinikahkan setelah menjalani hukuman. Al-Qur’an dalam Qs. an-Nuur [24]: 3 memberikan kebolehan bagi pezina untuk menikah dengan sesama pezina. Tentu saja, ini berbeda dengan pezina muhson yang dijatuhi hukuman rajam hingga mati, kesempatan untuk menikah bisa dikatakan hampir tidak ada. [Tim Konsultan Ahli Hayatul Islam (TKAHI)]
Ketika
penulis akan
ujian terbuka di Fak Hukum Islam di Pascasarjana UIN Suska Pekanbaru Riau,
penulis menemukan kutipan UU No.3 tahun 1997 tentang Pidana anak-anak, bahkan
yang lebih mengejutkan lagi ialah berita tentang ibu-ibu yang memperkosa anak
laki-laki belasan tahun. Duh rasanya ada seikit kaitan dengan disertasi penulis
tentang konsep kekerasan terhadap anak menurut Hukum Islam dan UU Perlindungan
anak. Ternyata di dalam Lex specialis ada lagi yang lebih specialis, dalam
aturan khusus, ada lagi yang lebih khusus. Nah kejian ini sangat menarik..
Kepolisian Bengkulu Kota masih
memeriksa intensif Emayartini alias May (32), seorang ibu rumah tangga yang
diduga melakukan pencabulan kepada tujuh anak dibawah umur.Kepala satuan
Reserse Kriminal Polres Bengkulu Kota, Ajun Komisaris Dwi Citra Akbar mengatakan,
motif pelaku melakukan pencabulan lantaran suaminya sudah tidak bisa memberikan
kebutuhan seksual selama lima tahun."Suaminya punya penyakit diabetes yang
cukup parah, sehingga tidak bisa berhubungan badan dengan istrinya. Dari situ
dia melirik anak-anak yang sering main ke rumahnya untuk memuaskan nafsu
birahi," kata Akbar saat dihubungi VIVAnews,
Rabu 17 April 2013.
Menurut Akbar, antara pelaku dengan korban memang saling kenal. Sebab korban sangat dekat dengan suami pelaku. Kondisi rumah yang sepi memunculkan niat dari pelaku meraih keinginan, yakni dengan meminta bantuan untuk memijit karena kelelahan.
Setelah itu korban disuruh untuk membuka baju dan melayani pelaku yang diketahui sudah memiliki satu orang anak.
"Untuk tempat kejadian selalu di rumah pelaku, itu dilakukan berkali-kali. Pelaku juga selalu memaksa korban tetapi perlakuannya tidak semua sama, ada yang hanya dipegang-pegang saja," kata dia.Kasus pencabulan yang dilakukan May sudah terjadi sejak dua bulan lalu. Kejadian ini terbongkar setelah salah satu korban mengeluh kepada orangtuanya karena sakit pada kelaminnya.
Pada Senin, 15 April 2013, salah satu orang tua korban melaporkan kasus ini kepada polisi. Korban rata-rata berumur belasan. Bahkan ada yang masih berusia 14 dan 15 tahun. (sj)
Surabaya, Sayanghi.com - Ternyata kekekerasan seksual terhadap anak bukan dominan dilakukan oleh kaum laki-laki tetapi juga oleh wanita. Kejadian ini dilakukan oleh seorang Ibu Rumah Tangga, Mus (34) terhadap dua siswa SD, pelajar SMP dan SMA di Surabaya.
Menurut Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya, AKP Suratmi, kepada wartawan di Surabaya, Sabtu (16/11), wanita itu bukan karyawati bidang tata usaha di salah satu SD di kawasan Rangkah, tapi kerja serabutan.
Perilaku menyimpang itu sudah dilakukan Mus sejak bulan Juli 2013. Saat mencabuli siswa SD, Mus ternyata melakukannya di sebuah warnet dan bukan di lingkungan sekolah.
Selain itu, Mus sering menyuruh anak-anak korban menonton film-film porno di seluler miliknya..
Polisi terus mengembangkan kasus ini termasuk menyelidiki kemungkinan korban bertambah.
"Petugas masih terus melakukan pengembangan.
Sejauh ini, baru ada dua korban, tapi kemungkinan memang masih ada sejumlah
korban lain," tambah Kasubbag Humas Polrestabes Surabaya, Kompol Suparti
Kompol Suparti, dalam kesempatan yang sama.
Akibat perbuatannya, Mus terancam dijerat Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukumam monimal 3 tahun dan
maksimal 15 tahun penjara. (VAL)
No comments:
Post a Comment