MENGHIDUPKAN HUKUM ISLAM
DALAM MASYARAKAT
m.rakib lpmp riau
penggemar buku hasbi
“Menghidupkan
Hukum Islam Dalam Masyarakat ” yang dimuat dalam majalah aliran islam, Prof
Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya tersebut. Dalam tulisannya
tersebut ia menyatakan eksistensi Hokum
Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis,
tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna.
Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi
mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, Hokum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan
baru, khusunya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan
hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bias berpartisipasi dalam membentuk gerak
langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid {ulama lokal} dituntut untuk mempunyai
kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi dan kreatifitas yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternative fiqih baru yang sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan
masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga
permanent dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang
bermacam-macam. Menurutnya upaya ini akan menghasilkan produk hokum yang
relative lebih baik disbanding apabila dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan
orang dengan keahlian yang sama.
Nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqih Indonesia
adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum islam sebenarnya memberikan
ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad yang baru.
Dasar-dasar Hukum Islam yang selama
ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, urf dan
prinsip “ perubahan hokum karena perubahan masa dan tempat ”, justru akan
menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang
pada paradigma ini, dalam konteks pembangunan semesta seperti sekarang ini,
gerakan penutupan ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.
Puncak pemikirannya tersebut terjadi pada tahun 1961, ketika dalam satu
acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan
definisi fiqih Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang
bertema “ Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman ”, Hasbi secara tegas
mengatakan: “Maksud untuk mempelajari syari’at islam di
universitas-universitas islam sekarang ini, supaya fiqih atau syari’at islam
dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama
bagi perkembangan hokum-hukum di tanah air tercinta ini. Maksud kita supaya
dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian kita sendiri. Sebagaimana
sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang me-Mesir-kan fiqihnya.
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan
sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
Fiqih yang berkembang dalam masyarakat kita
sekarang ini sebagiannya adalah fiqih hijaz. Fiqih yang terbentuk atas
dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di hijaz. Atau fiqih mesir, yaitu
fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di
mesir. Atau fiqih hindi, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar
adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di India.
Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan
untuk berijtihad, menunjukkan fiqih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqih hijazi, fiqih misri atau fiqih
‘iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”
Menurutnya salah satu factor yang menyebabkan ulama negeri ini belum
mampu melahirkan fiqih yang berkepribadian Indonesia adalah terlalu fanatic
terhadap mahzab yang dianut oleh umat islam, misalnya Mazhab Wahaby, Salafy,
Ibnu Taimiyah dan Mazhab JIL. Menyadari ketidakmungkinan munculnya pemikiran
progresif dari kalangan ulama konservatif, maka ia mengajak kalangan perguruan
tinggi islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter
khas yang dapat meneruskan proyek fiqh
Indonesia. Memang dalam merealisasikan fiqih Indonesia diperlukan
kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, ketika harus melewati tahap
pertama, yaitu melakukan refleksi histories atas pemikiran hokum islam pada
masa awal perkembangannya.
Mempertimbangkan tradisi {adat} setempat
sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hokum islam baru adalah suatu
hal yang penting. Syari’at islam menganut asas persamaan, sebagai
konsekuensinya semua urf dari setiap masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber
hokum, tidak hanya urf dari masyarakat arab saja. Secara singkat pemikiran
hasbi berlandaskan pada konsep bahwa hokum islam {fiqih} yang diberlakukan
untuk umat islam Indonesia adalah hokum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hokum adapt yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang
tidakl bertentangan dengan syara’.
Menurutnya
pemikiran hokum islam harus berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan
dan kemanfaatan serta sadd ad-dzari’ah. Kesemuanya itu menurutnya, merupakan
prinsip gabungan yang dipegang oleh para imam mahzab, khususnya aliran madinah
dan kuffah dan telah terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam
masyarakat. Dalam merealisasikan fiqih Indonesia, dia mengingatkan pentingnya
pendekatan sejarah yang kritis misalnya, ia menawarkan metode analogi-deduktif
{satu model istimbat hokum yang pernah dipakai abu hanifah} untuk membahas satu
permasalahan yang belum ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran
klasik. Metode ini mengharuskan seseorang untuk berijtihad secara mandiri.
Sedangkan dalam masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, metode perbandingan
{komparasi} menjadi hal yang pertama yang ditempuh. Metode ini
mengkonsekuensikan perlunya memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain daris eluruh aliran hokum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih mana
yang lebih cocok dan lebih dekat dengan kebenaran, serta didukung dengan dalil
yang kuat {tarjih}. Untuk memudahkan mengaplikasikan metode tersebut ia
menyarankan perlunya menggunakan pendekatan social-kultural-historis dalam
segala proses pengkajian dan penemuan hokum islam.
Salah
satu hasil ijtihad ijtihadnya yang paling popular adalah fatwa tentang
memperbolehkannya jabat tagan antara laki-laki dan perempuan, ini berbeda
dengan Fatwa
Majlis Tarjih Muhammadiyah Dan Ahmad Hasan Dari Persis yang
mengharamkan jabat tagan antara laki-laki dan perempuan. Alasan yang dia
gunakan diantaranya adalah hokum haram terhadap hal tersebut dilandaskan pada
qiyas, dalam pandangannya mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash
yang qath’I, baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah. Disamping itu pertimbangan
yang dia gunakan adalah jabat tangan antara laki-laki dan perempuan merupakan
‘urf [kebiasaan] yang sudah sekian lama hidup dan telah menjadi tradisi
dimasyarakat Indonesia.*
No comments:
Post a Comment