PENDIDIKAN DENGAN HUKUMAN
DAJJAL
SUDAH DITANGKAP POLISI DAN DIMINTAI PERTANGGUNGJAWABANNYA.
Ini bukanlah cerita fiksi. Seorang nenek bernama Intisar Salim Ibrahim (87) meninggal gara-gara dipukul oleh seorang dajjal. Dajjal adalah sebutan untuk dukun di Mesir. Menurut dajjal, pukulannya kepada si nenek dimaksudkan untuk mengusir setan.
Ketika peristiwa itu terjadi, suami si nenek Intisar bernama Khalid Said yang masih berumur sangat muda (24 tahun) berada di tempat tersebut. Saksi mata lainnya adalah Said Ibrahim yang masih saudara dekat sang nenek.
Surat kabar lokal, Al Ahram menulis sang dajjal bernama Rabie (93) telah memukul korban di bagian badan tanpa ampun.
Peristiwa bermula ketika suami korban sering mengalami istrinya yang sudah renta itu berbicara dengan bahasa aneh tidak dipahami. Sang suami menganggap istrinya telah mengidap penyakit jiwa. Khalid Said lalu memanggil dajjal untuk mengobati istrinya. Dukun itu menduga bahwa ada jin yang sedang berada di dalam tubuh si nenek Intisar. Dari situlah kemudian dukun terus memukul nenek Intisar hingga tewas dengan maksud mengusir jin.
Akibat peristiwa tersebut sang dajjal ditangkap polisi dan dimintai pertanggungjawabannya. (ANT/Vin)
"Telah terjadi pemukulan
yang dilakukan R dan YD terhadap MY di asrama pondok pesantren Riadul
Mukminin, Kamis 9 Agustus kemarin sekitar pukul 16.00," ujar Kepala
Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi
Rikwanto di Mapolda Metro Jaya, Jumat (10/8).Berdasarkan pemeriksaan, kata
Rikwanto, sebelum MY memukul NS yang merupakan keponakan R dan YD.
"NS main-main di dalam asrama. Kemudian MY merasa terganggu, marah, menghardik, dan memukul NS. Lalu R dan YD mencari MY. Dicari hari itu tak bertemu, besoknya ketemu dan terjadi pemukulan. Selanjutnya, terjadi perusakan rumah nenek NS oleh warga sekitar pukul 21.00 WIB," tambahnya.
Rikwanto mengungkapkan, saat ini permasalahannya sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, untuk proses lebih lanjut polisi tetap memeriksa R dan MY.
"Masalahnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak pesantren juga sudah menyelesaikan. Tapi, untuk proses lebih lanjut kami tetap periksa R dan MY. Penanganan dilakukan Polsek Tanjung Duren," katanya.
Rikwanto menyampaikan, kasus ini sama sekali tak ada hubungannya dengan politik dan SARA.
"Setelah ditemui pihak keluarga, pesantren dan kedua pelaku, kasus itu tak ada hubungannya dengan politik dan SARA. Jangan hubung-hubungkan kasus ini dengan SARA dan politik. Kalau dihubung-hubungkan pun, faktanya tak sampai ke sana. Ini hanya kasus perselisihan biasa dan sudah diselesaikan," terangnya.
Rikwanto mengimbau, jangan ada pihak yang menyebarluaskan masalah yang memicu SARA. Kalau terbukti melakukan, dapat diproses hukum.
"Apakah itu disengaja dan menimbulkan keresahan, bisa kami usut. Kami imbau kepada siapapun jangan memancing di air keruh terhadap masalah-masalah yang ada. Kalau ada aksi yang memicu SARA bisa diproses hukum," tandasnya.
Sebelumnya dikabarkan, aksi pemukulan itu dihubung-hubungkan dengan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. MY disebut-sebut sebagai pendukung Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli, sementara R pendukung Joko Widodo dan Basuki Purnama ternyata, itu hanya isu belaka.
Islam telah menetapkan hukuman dalam mendidik anak
dengan hukuman memukul atau pukulan. Akan tetapi dalam memberikan hukuman
dengan memukul tersebut, ajaran islam memberikan batasan-batasan dan
persyaratan hukuman pukulan, sehingga pukulan tidak keluar dari tujuan atau
maksud pendidikan, yang mana tujuan dari hukuman dengan memukul adalah untuk
memperbaiki dan menjerakan menjadi sebuah pembalasan.
Persyaratan memberikan hukuman pukulan adalah
sebagai berikut:
Para
pendidik atau orang tua hendaknya tidak terburu-buru untuk menggunakan metode
hukuman dengan pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut lain
yang mendidik dan membuat jera.
Para orang
tua atau pendidik hendaknya tidak memukul anak ketika ia dalam keadaan sangat
marah, karena hal ini dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap sang anak.
Perlakuan ini merupakan realisasi wasiat Rasulullah saw., "Janganlah kamu
marah" sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari.
Ketika
para pendidik atau orang tua memberikan hukuman pukulan pada anak dengan
memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka,
dada dan perut. Hal ini berdasarkan perintah Nabi Muhammad Rasulullah saw.
riwayat Abu Daud:
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
". .
. dan janganlah kamu memukul muka (wajah)..."
Dan yang
menguatkan ini, bahwa ketika Rasulullah saw. memerintahkan untuk merajam
perempuan Al-Ghamidiah, beliau mengambil batu dan melemparnya, kemudian beliau
berkata kepada khalayak:
اُرْمُوْهَا وَاتَّقُوْا الْوَجْهَ
"Lemparilah dan hindarilah muka ..."
Apapbila
Rasulullah saw. melarang kita memukul wajah (melempar wajah) dalam hukum rajam
yang dimaksudkan untuk hukuman pembunuhan, maka memukul wajah untuk hukuman
yang tidak membinasakan (jiwa) seperti ta'zir dan pendidikan — tentunya lebih
terlarang. Sebab, wajah atau kepala termasuk anggota badan yang sangat peka dan
pusat indera. Jika terkena pukulan akan mengakibatkan kerusakan sebagian
indera, dan ini dianggap sebagai penyiksaan.
Seperti
halnya memukul bagian dada atau bagian perut, juga dilarang, karena
mengakibatkan bahaya besar yang terkadang bisa mengakibatkan kematian bagi
seseorang. Larangan ini termasuk universalitas dari sabda Rasulullah saw.:
لاَضَزَرَ وَلاَ
ضِرَارَ
"Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh
membahayakan (orang lain)." (H.R. Imam Malik dan Ibnu Majah).
Pukulan
pertama untuk memberikan hukuman, hendaknya dan sebaiknya tidak terlalu keras
dan tidak menyakiti anak, pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak
besar. Hendaknya dan diharapkan pula, memukul dengan pukulan berkisar antara
satu hingga tiga kali pada anak yang usianya dibawah umur. Dan jika pada orang
dewasa, setelah tiga pukulan tidak membuatnya jera, maka boleh ditambah hingga
sepuluh kali, sebagaimana sabda Nabi Rasulullah saw.:
لاَ يَجْلِد أَحَدٌ فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى
حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللَّهِ تَعَالَى ٠
"Janganlah seseorang mendera lebih dari sepuluh kali deraan,
kecuali dalam hukuman (hudud) yang ditentukan Allah Ta'ala- H.R. Ibnu
Taymiyyah, dan disebutkan penulis buku Al-Iqna' dan Al-Mughni.".)
Hendaknya
tidak memukul anak, sebelum ia berusia sepuluh tahun, berdasarkan perintah dari
Rasulullah saw sebagai berikut :
مُرُوْا أَوْلاَدََكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ
سَبْعِ سِنِيْنَ ٬ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
"Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka berusia
tujuh tahun, dan pukullah mereka jika melalaikannya, ketika mereka berusia
sepuluh tahun. ... "
Jika
kesalahan anak adalah untuk yang pertama kalinya, maka hendaknya sang anak
diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatan yang telah dilakukan, memberi
mereka kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati
seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi mengambil janji untuk tidak
mengulangi kesalahannya itu. Upaya ini tampak lebih utama dibanding menggunakan
pukulan atau mengecamnya di hadapan umum.
Para orang
tua atau pendidik hendaknya memberi hukuan dengan memukul anak dengan tangannya
sendiri, dan tidak menyerahkannya kepada saudara-saudaranya, atau teman-temannya.
Sehingga, tidak timbul api kebencian dan kedengkian di antara mereka.
Apabila
anak sudah menginjak usia dewasa, dan para pendidik melihat bahwa pukulan
sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka boleh ia menambah dan
mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.
Yang perlu dipertegas dan kita ingat dan jadikan
sebagai pedoman adalah bahwa ajaran islam dalam pendidikan Islam telah
memberikan perhatian besar terhadap hukuman, baik hukuman yang berupa spiritual
maupun hukuman material. Hukuman ini telah diberi batasan dan persyaratan, dan
para pendidik ataupun orang tua tidak boleh melanggar aturan dan ajaran islam.
Apabila para pendidik menginginkan anak-anak yang utama dan perbaikan yang
mulia.
No comments:
Post a Comment