INDAHNYA POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA
M.RAKIB
LPMP RIAU INDONESIA
Jerami sudah,
diberi lampu
Dekat jendela,
pengganti lilin.
Poligami indah, bagi yang mampu,
Untuk membela, wanita miskin.
Menanam kelapa, di pulau Bukum
Tinggi sedepa,
sudah berbuah
Jangan bermain,
dengan hukum
Supaya tidak,
dilaknat Allah.
Pukat berisi, dalam
lubuk,
Ikan belida,
dadanya panjang.
Oknum
polisi, tidak mabuk,
Agar tak salah, menangkap orang.
Hukum
keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan
tak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan.
2. Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan.
2. Hukum kekayaan
Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
"Justru Lombok Timur itu paling berat. Uang Rp 1.000.000 itu akan
dibayar jika semua syarat terpenuhi," ujarnya.
Meski demikian, ia tidak mendukung agar PNS berpoligami, melainkan ingin
meluruskan pandangan masyarakat yang terlanjur keliru terhadap Perbup Lombok
Timur.
"Jadi, tidak semudah itu bayar Rp 1.000.000 bisa menikah lagi,"
katanya.
Terkait wacana Kementerian Dalam Negeri yang berencana membatalkan Perbup
Lombok Timur tersebut, Zainul menyarankan agar Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi mempelajari lebih dulu isi Perbup tersebut.
"Sebelum rencana pembatalan Perbup itu dilakukan, saya kira tidak ada
salahnya Pak Menteri Dalam Negeri juga perlu di ceritakan secara utuh dari isi
Perbup itu, karena sesungguhnya nilai Rp 1.000.000 itu merupakan syarat
tambahan bagi PNS yang ingin melakukan poligami," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Bupati Lombok Timur, Khairul Warisin menegaskan,
pihaknya tetap memberlakukan pemungutan uang senilai Rp 1.000.000 sebagai biaya
retribusi yang harus dikeluarkan oleh PNS yang akan melakukan poligami.
Biaya itu dimaksudkan sebagai denda yang harus dikeluarkan bagi para PNS
yang tetap nekad menikah kembali.
"Jadi, biaya sebesar Rp 1.000.000 itu murni sebagai denda kepada PNS
yang akan menikah lagi," katanya.
Menurut dia, apa yang dilakukan Pemkab Lombok Timur, tidak lain untuk
mencegah agar PNS idak berpoligami. Hanya saja, karena peraturan tersebut tidak
dibaca secara utuh, maka ditafsirkan keliru oleh banyak pihak.
Khairul pun bersikukuh tidak akan mencabut Peraturan Bupati Lombok Timur
Nomor 26 Tahun 2014 tersebut.
"Kami akan tetap lanjutkan, jadi tidak ada alasan Menteri Dalam
Negeri untuk membatalkan peraturan itu," ujarnya.
Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan.
I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW).
Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.
II. Undang – undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW).
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil.
III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.
Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III.
IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.
Agama Islam adalah agama yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh
umat manusia. Oleh karena itu, Islam seharusnya dapat
diterima oleh setiap umatnya, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan
kondisi di mana umat itu berada. Begitu pula ketika berhadapan dengan
masyarakat modern, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan
modernitas, karena islam adalah shalihun li
kulli zaman wa makan.
Peradaban Islam tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan buah dari
akumulasi pergulatan penganut agama Islam ketika berhadapan dengan proses
dialektis antara “normativitas” ajaran wahyu dan “historisitas”pengalaman
kekhalifahan manusia di muka bumi yang selalu berubah sesuai dengan konteksnya.
Hubungan tarik menarik antara kedua dimensi tersebut, selalu mewarnai
perjalanan pemikiran Islam sepanjang masa. Sejauh mana wibawa normativitas
wahyu yang terbungkus dalam pengalaman kongkrit kesejarahan manusia di suatu
masa tertentu dapat di perlakukan untuk diamalkan dalam masa yang lain. Proses
dialektis itu senantiasa terjadi, terlebih seiring dengan mengembangnya
problematika hidup yang dihadapi manusia dan itu semua membutuhkan akan adanya
pembaharuan hukum Islam sebagai bentuk jawaban atau solusi.
Dalam konteks ini, tak terkecuali hukum keluarga yang berlaku di
negara-negara muslim (negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim) juga
membutuhkan pembaharuan terkait dengan kondisi sosiologis, kultur dan
kompleksitas persoalan hidup berbangsa dan bernegara yang selalu bergerak
dinamis ke depan. Pembaharuan tersebut juga sebagai jawaban atas berbagai
tuntutan realitas sosial yang ada.
Berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, makalah ini bermaksud
untuk mengkaji dan menelaah ulang terhadap dinamika pembaharuan hukum keluaga
di negara-negara muslim, khususnya di Turki dan Mesir sebagai negara muslim
yang dianggap paling awal dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam yang
kemudian mempengaruhi negara-negara muuslim lainnya. Selain itu juga akan
dikaji pembaharuan hukum keluarga dalam konteks negara Indonesia, yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Akan tetapi sebelum itu semua dibahas,
penulis akan terlebih dahulu menguraikan konsep ijtihad sebagai salah satu cara
dalam pembaharuan hukum di masa-masa awal Islam. Ini semua bertujuan untuk
menemukan relevansi antara pembaharuan hukum pada masa lalu dan
kontekstualisasinya di masa sekarang.
B. Kilas
Balik Konsep Ijtihad
Sejak masa Rasulullah SAW, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat.
Seperti yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus oleh
Rasulullah ke Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’az ibn Jabal, “Kalau suatu persoalan tidak anda dapatkan
dalam kitab Allah dan sunnah rasul-Nya, dengan apa anda bertahkim?“, Mu’az menjawab “ajtahidu ra’yi”, Rasulullah pun
menyetujui jawaban Mu’az tersebut. Akan tetapi
yang perlu dicatat disini adalah bahwa jawaban yang dikemukakan Mu’az tidak berhenti sampai “ajtahidu ra’yi” saja.
Jawaban lengkap Mu’az adalah “ajtahidu ra’yi wala alu” yakni menggunakan
penalaran secara maksimal dengan tidak menafikan konsep wahyu.
Oleh karena itu, para ahli hukum memberikan batasan
ijtihad sebagai berikut: “Bazlu al-faqih jundahu ‘ala qadri
istitha’atihi”, yakni upaya seorang ahli
hukum sejauh kemampuan maksimalnya. Jadi, bukan persesuaiannya dengan rasio,
melainkan harus semaksimal mungkin mengerahkan kemampuan rasio oleh seorang
faqih untuk mengeluarkan hukum-hukum syar’i berdasarkan dalil-dalil (kulliyyah
dan juz’iiyyah tafshiliyyah).
Inilah yang dimaksud dengan ijtihad menurut syar’i.[5]
Jadi, fiqh tidak akan pernah keluar dari empat pilarnya yakni; al-Qur’an, hadis| Nabi, ijma’ para ulama, dan qiyas shahih. Karena fiqh
adalah produk ijtihad, oleh karena itu, pemahaman dari seorang muqallid (awam),
para filsuf, ahli kalam, maupun para ahli lain di luar hukum syar’i tidak disebut
dengan fikih, dan tidak pula disebut ijtihad.[6]
Pada masa berikutnya sepeninggal Rasulullah, ijtihad juga dilakukan oleh
para sahabat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatthab yang
tidak melakukan hukum potong tangan pada kasus pencurian meskipun telah
ditunjukkan al-Qur’an secara pasti tentang masalah tersebut, karena Umar
mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu. Pada
perkembangan selanjutnya, pola ini dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam
pembentukan dan pembaharuan hukum Islam yang sekarang lebih dikenal dengan
sebutan fiqh. Fiqh dalam istilah para fuqaha merupakan ilmu pengetahuan tentang
hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang rinci
berdasarkan ijtihad (istidlal).[7]
Jika diamati, pada dasarnya hukum berorientasi pada hak, yakni
menjamin tegaknya hak dan sekaligus melindunginya. Dalam hukum Islam terdapat
dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Konsep hukum yang berkenaan dengan
hak Allah (baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah sebagai mubayyin)
bentuknya sangat jelas. Seperti hak Allah adalah disembah, sehingga manusia
sebagai hamba-Nya berkewajiban untuk memenuhi hak Allah tersebut.[8]
Al-Qur’an dan Sunnah telah merinci ketentuan ibadah. Seperti perintah shalat
dalam al-Qur’an yang kemudian dirinci oleh Sunnah, sehingga shalat diterima
oleh umat Islam sebagai konsep sudah jadi yang tidak perlu ditambah atau
dikurangi. Kalaupun ada perkembangan itu hanya berkisar pada wasa’il-nya
saja, seperti masjid sebagai sarana untuk beribadah. Bentuk bangunan masjid
yang digunakan pada masa Nabi jelas berbeda dengan bentuk bangunan masjid yang
ada pada masa sekarang ini.[9]
Sedangkan hak manusia secara umum banyak berkenaan dengan masalah mu’amalah
yang jenisnya luas sekali. Para fuqaha membagi hukum Islam (format fiqh yang
sudah baku) ke dalam empat bagian, yaitu ibadah, mu’amalah, munakahat,
dan jinayat. Sementara Imam al-Ghazali membaginya ke dalam dua bagian;
pertama adalah ibadah yang yang berpadu dengan akidah, dan kedua adalah adat
yakni yang berkenaan dengan perilaku dan masalah-masalah kemanusiaan yang
berisikan mu’amalah, munakahat, dan jinayat. Pada bagian
kedua inilah lapangan ijtihad terbuka lebar meski sempat mandek sejak
ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 Hijriah. Fase kemandekan ijtihad ini
berlangsung sangat lama, sekitar 9 abad, tepatnya hingga abad ke-13 Hijriah.[10]
Sejak abad ke-13 hingga saat ini, masalah ijtihad menjadi salah satu isu
besar yang direspon dengan antusiasme tinggi di kalangan umat Islam. Para
intelektual muslim terkemuka senantiasa mendorong dilakukannya upaya ijtihad di
tengah-tengah umat dan bahkan mempraktekkannya. Mereka sepakat hendak membuka dan mendobrak pintu ijtihad untuk
mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang sudah berlangsung lama sejak
abad ke-4 Hijriah. Tujuannya hanya satu, yaitu bagaimana
membumikan kembali prinsip-prinsip yang terkandung dalam wahyu.
C. Pembaharuan
Hukum Keluarga Islam
Salah satu fenomena penting yang muncul di dunia muslim sejak awal abad
ke-20 adalah adanya semangat dan upaya untuk mereformasi hukum keluarga di
negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Secara garis besar sistem
hukum keluarga yang berlaku di dunia Islam atau yang mayoritas penduduknya
muslim bisa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian[11],
yaitu:
1. Sistem yang masih memberlakukan fiqh konvensional sebagai hukum
asasi (pokok) dan berusaha untuk menerapkanya dalam segala aspek hubungan
kemanusiaan secara utuh. Di sini, hukum Islam dipahami secara tekstual-literal
sebagaimana yang tercantum dalam teks-teks agama. Contoh hukum keluarga yang
diberlakukan adalah otoritas talak hanya dimiliki oleh kaum lelaki,
pemberlakuan poligami dan lain-lain. Di antara negara yang mempertahankan model
ini adalah Arab Saudi dan wilayah utara Nigeria.
2. Sistem yang meninggalkan fiqh konvensional dan menggantinya dengan
hukum yang sama sekali sekuler. Negara muslim yang setidak-tidaknya secara
resmi telah sama sekali berubah menjadi sekuler adalah Turki. Pada tahun 1926
hukum Swiss ditetapkan sebagai pengganti hukum Islam, termasuk mengenai hukum
keluarganya, monogami diterapkan sebagai pengganti poligami, dan perceraian
berdasarkan atas ketetapan hakim berdasarkan alasan-alasan tertentu, yang sama
bagi suami atau istri yang berperkara diterapkan sebagai pengganti talak yang
dijatuhkan secara sepihak oleh suami atau yang dijatuhkan atas kesepakatan
kedua suami-isteri yang bersangkutan.
3. Sistem yang mencoba mengambil jalan moderat di antara dua sistem
hukum yang ekstrim yakni menerapkan hukum Islam secara penuh dan sistem yang
sama sekali menolak hukum Islam. Contoh negara yang berusaha mengkompromikan
kedua sistem tersebut antara lain Mesir, Sudan, dan Yordania, dan Indonesia
juga masuk kategori ini.
Dari ketiga corak aplikasi hukum Islam di dunia muslim di atas menunjukkan
bahwa perbedaan sistem dan bentuk pembaharuan hukum Islam bukan hanya
disebabkan oleh sistem politik yang dianut, melainkan juga oleh faktor
perbedaan sejarah, sosiologi dan kultur masing-masing negara.
Dilihat dari segi bentuk pembaharuannya, Negara-negara muslim menjadi 3
(dua) yaitu: pertama, umumnya (mayoritas) negara melakukan pembaharuan
dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada negara yang usaha pembaharuannya
lahir dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (manshurat al-Qadi al-Quda),
seperti yang dilakukan Sudan. Dan Ketiga, ada beberapa negara yang
melakukan pembaharuan dengan berdasar pada dekrit presiden atau raja, seperti:
Yaman Selatan, Syria, dan Maroko.
Adapun Tujuan pembaharuan hukum keluarga Islam kontemporer secara umum
dapat pula dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yakni: pertama, untuk
unifikasi hukum perkawinan. Terdapat 5 (lima) model unifikasi, yaitu (1)
unifikasi antar agama, (2 ) unifikasi antar aliran (kelompok) seperti antara
syi’ah dan sunni, (3)unifikasi antar mazhab dalam sunni, (4) unifikasi dalam
satu mazhab tertentu seperti shafi’i, dan (5) unifikasi dengan berpegang pada
pendapat imam di luar imam mazhab yang terkenal seperti Ibn qayyim al-Jauziyah.
Kedua, untuk meningkatkan status wanita. Dan Ketiga untuk
merespon terhadap perkembangan dan tututan zaman.
Dari sekian banyak cakupan perundang-undangan perkawinan, minimal ada 13
(tiga belas) yang mengalami pembaharuan, yakni: masalah pembatasan umur minimal
kawin, masalah wali, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah poligami,
masalah nafkah, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak
yang dicerai, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung
jawab pemeliharaan anak pasca perceraian, masalah hak waris bagi anak laki-laki
dan perempuan, masalah wasiat bagi ahli waris, dan masalah keabsahan dan
pengelolaan wakaf keluarga.
Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan negara-negara muslim dalam
melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua):
1. Inttra-doctrinal reform, yaitu tetap merujuk pada konsep
fiqh konvensional dengan cara talfig (memilih salah satu pendapat ulama
fiqh) atau talfiq (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama).
2. Extra-doctrinal reform, pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada
konsep fiqh konvensional, tetapi dengan melakukan reinterpretasi terhadap nash.[16]
D. Kontektualiasi Hukum Keluarga Islam
di Negara-negara Muslim
Dalam bab ini hanya akan dibahas sebagian kecil saja dari beberapa negara
muslim yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam. Negara-negara
yang akan dibahas adalah Turki, Mesir, dan Indonesia. Turki dan Mesir dianggap
sebagai pelopor dalam pembaharuan hukum keluarga Islam di dunia, karena memang
dua negara tersebutlah yang telah melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam
pertama kali. Adapun Indonesia, sebagai megara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia dianggap sebagai negara yang relatif terlambat dalam
melakukan pembaharuan di bidang hukum keluarga Islam. Karena itu ketiga negara
tersebut, menurut penulis sangat menarik untuk diuraikan lebih lanjut.
1. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Turki
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis
dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga
eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum
setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal
pokok dilaksanakan secara seragam, namun berkaitan dengan hal-hal yang detail
banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi
yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.
Pembaruan hukum keluarga dalam format perundang-undangan hukum keluarga
dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of Family Rights (Undang-undang tentang hak-hak
keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan
tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.
Pembaruan hukum keluarga Turki telah
dimulai pada tahun 1876. Pada tahu tersebut Turki telah mempersiapkan sebuah
undang-undang civil yang didasarkan pada mazhab Hanafi, yaitu yang disebut
dengan Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah, tetapi di dalamnya belum ada
aturan perkawinan dan warisan.[18]
Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasi hukum
matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan) dalam mazhab Hanafi yang
secara lokal terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Dalam dekrit
tersebut digunakan prinsip takhayyur (eklektik) dengan mengambil sumber
dari mazhab Hanbali dan Hanafi. Dinyatakan dalam dua dekrit tersebut bahwa
perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan suami
atau karena penyakit yang di deritanya.
Dua tahun kemudian, Imperium mengeluarkan undang-undang tentang hukum
matrimonial. UU tersebut terdiri dari 156 pasal yang berisi tentang hak-hak
dalam keluarga (minus pasal mengenai waris). UU inilah yang kemudian diberi
nama Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniyyah (the Ottoman Law of Family Rights) Tahun 1917.
Penetapan UU ini didorong semangat takhayyur, proses legilslasi yang
mulai menjadi ternd pada era itu dan kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia
muslim sebagai cita-cita umum kodifikasi dan reformasi hukum keluarga.
Beberapa tahun setelah pencabutan hukum tentang hak-hak keluarga tahun
1917, situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan
pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah
Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi
tersebut berusaha menempatkan hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917
Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak
tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang
tajam di kalangan modernis dan tradisional - seperti pengambilan materi dari
mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau
hukum luar - menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut,
Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The Civil Code
of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan
kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The
Turkish Civil Code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum
perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti
ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.
Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah
ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak),
batas usia minimal untuk kawin, larangan menikah, poligami, pencatatan
perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain.[22]
Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang
hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights)
diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish Civil Code, 1926),
kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992.
2. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Mesir
Kodifikasi hukum Islam yang sesungguhnya baru terlaksana pada tahun 1293
H/1876 M oleh Kerajaan Turki Usmani (Ottoman) dengan menerbitkan kitab yang
berjudul Majallat al-Ahkam al-Ardliyyah yang diberlakukan di seluruh
wilayah kekuasaan Turki Usmani ketika itu sampai dasawarsa ketiga abad ke-20.
Kodifikasi hukum yang dihimpun ulama fiqh di zaman Turki Usmani ini hanya
mencakup bidang muamalah dan hanya bersumber dari Mazhab Hanafi. Mesir dan Suriah,
yang tidak tunduk sepenuhnya kepada kerajaan Turki Usmani, tidak menerima
kodifikasi hukum fiqh tersebut karena mayoritas umat Islam di kedua tempat itu
bermazhab Syafi'i.
Setelah perang dunia ke-2, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara
Arab, yang diawali oleh Mesir pada tahun 1875 dan diikuti pula oleh kodifikasi
tahun 1883. Kodifikasi Mesir ini merupakan campuran antara hukum Islam dan
hukum Barat (Eropa). Setelah itu, pada tahun 1920, Muhammad Qudri Pasya,
seorang pakar hukum Mesir, membuat kodifikasi hukum Mesir bidang perdata yang
diambil secara murni dari hukum Islam (fiqh). Lebih lanjut, kodifikasi di Mesir
mengalami beberapa kali perubahan, antara lain pada tahun 1920, 1929, dan 1952.
Kajian tersendiri terhadap masalah hukum keluarga baru dimulai sekitar
paruh kedua abad ke-19. Sebelumnya hukum perseorangan dan keluarga itu tersebar
dalam berbagai bab fiqh. Orang yang pertama memisahkannya dalam suatu kajian
tersendiri adalah Muhammad Qudri Pasya, ahli hukum Islam di Mesir. Dialah orang
pertama yang mengkodifikasikan al-Ahwal as-Syakhsiyyah dalam suatu buku
yang berjudul al-Ahkam as-Syar'iyyah fi al-Ahwal as-Syakhsiyyah (hukum
syari'at atau agama dalam hal keluarga).[25]
Secara historis, pembaharuan hukum keluarga di Mesir dimulai sekitar tahun
1920. Pada tahun ini, seri pertama rancangan undang-undang hukum keluarga resmi
diundangkan. Pada tahun 1929 dilakukan amandemen kedua terhadap beberapa pasal
pada undang-undang sebelumnya. Setelah itu, tercatat dua kali amandemen
terhadap hukum keluarga Mesir yaitu pada tahun 1979 dan 1985. Reformasi hukum
keluarga Mesir antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat wajibah,
warisan, dan pengasuhan anak.[26]
Hukum Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan
di Mesir antara lain dapat dilihat dalam: (1) Perundang-undangan tentang Status
Personal dan Pemeliharaan (The Laws on Maintenance and Personal Status) yang
mengalami perubahan-perubahan dalam rentang tahun 1920-1929, (2) Undang-undang
tentang Pemeliharaan, Wasiat, dan Wakaf (The Laws on In-heritance, Wills,
and Endowment) dalam rentang tahun 1943-1952, (3) Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Undang-undang tentang Peradilan (Civil Codes and Laws on Courts)
dalam rentang 1931-1955, (4) Pembentukan Lembaga Pengawas hukum personal (Executory
Legislation Relating to Personal Law) dalam rentang 1955-1976, (5)
Amandemen Hukum Status Personal (Personal Status [Amandment] Law) tahun
1985.[27]
Kodifikasi hukum keluarga itu meliputi hukum perkawinan, perceraian,
wasiat, ahliyyah (kecakapan bertindak hukum), harta warisan, dan hibah.
Meskipun belum dinyatakan resmi berlaku oleh pemerintah, kodifikasi tersebut
telah dijadikan sebagai bahan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan berbagai
masalah pribadi dan keluarga di pengadilan. Dalam perkembangan selanjutnya,
kodifikasi itu dijadikan pedoman dan diterapkan pada Mahkamah Syar'iyyah
Mesir. Pasal 13 Kitab Undang-undang Acara Peradilan Mesir menyebutkan bahwa al-Ahwal
as-Syakhsiyyah menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan pribadi, ahliyyah,
dan keluarga (seperti perkawinan dan akibat hukumnya, pengampuan, orang mafqud
dan harta warisan).[28]
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete