PINTU MASUK" SYARIAT ISLAM DI ACEH.
SYARI’AH KAJIAN YANG SANGAT LUAS
Peraturan
daerah atau qanun tentang pemberlakuan
Syariat Islam di Aceh, yang akan disahkan berlaku pula orang non-Muslim, demikian keterangan
seorang anggota DPR Aceh.
Warga
non-Muslim di Aceh akan dikenai aturan qanun tersebut, seperti antara lain
dikenai hukuman cambuk
di depan umum, jika perbuatannya tidak diatur dalam hukum nasional
atau Kitab undang-undang hukum pidana.
"Kalau
tidak diatur dalam KUHP, ikut aturan qanun," kata anggota DPR Aceh dari
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Moharriadi, kepada
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa
(23/09) siang.
Namun
demikian, lanjut Moharriadi, apabila perbuatannya diatur pula dalam KUHP, warga
non-Muslim itu "bebas memilih secara sukarela."
"Artinya,
kalau mau diatur dengan KUHP, silakan. Dan kalau mau diatur dengan qanun,
silakan. Jadi, dia memilih dengan sukarela," kata Moharriadi.
Dalam
materi qanun tersebut, mereka yang terbukti antara lain berjudi, zina,
melakukan pemerkosaan, atau menenggak minuman keras akan dihukum cambuk atau
denda atau penjara, tergantung tingkat kesalahan.
Perintah Memukul Anak-anak Karena Meninggalkan Shalat
ويضرب ) ضربا غير مبرح وجوبا ممن
ذكر ( عليها ) أي على تركها ولو قضاء أو ترك شرطا من شروطها ( لعشر ) أي بعد استكمالها
للحديث الصحيح مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها
( كصوم أطاقه ) فإنه يؤمر به لسبع ويضرب عليه لعشر كالصلاة وحكمة ذلك التمرين على العبادة
ليتعودها فلا يتركها وبحث الأذرعي في قن صغير كافر نطق بالشهادتين أنه يؤمر ندبا بالصلاة
والصوم يحث عليهما من غير ضرب ليألف الخير بعد بلوغه وإن أبى القياس ذلك انتهى
Dan wajib terhadap
orang yang telah disebutkan (ayah, ibu, kakek dan seterusnya) memukul mumaiyiz
yang telah sempurna umurnya sepuluh tahun (pukulan) yang tidak melukai karena
meninggalkan shalat walaupun shalat qadha’ atau karena meninggalkan sebuah
syarat dari syarat-syarat shalat. (Kewajiban memukul ini) berdasarkan Hadits
Shahih “Perintahkan olehmu anak-anak mengerjakan shalat apabila telah sampai
umurnya tujuh tahun. Dan apabila ia telah berusia sepeuluh tahun maka pukul
olehmu anak tersebut karena meninggalkan shalat”. Seperti puasa yang ia sanggup
kerjakan, maka anak-anak yang sanggup mengerjakan puasa diperintahkan (oleh
orang tuanya) saat berusia tujuh tahun dan dipukul karena meninggalkan puasa
saat telah berusia sepuluh tahun, sama juga seperti shalat.
Hikmah demikian (perintah shalat sejak dini) adalah untuk mendidik anak usia dini dalam beribadah suapay menjadi kebiasaannya maka ia tidak akan meninggalkannya (kemudian hari). Imam Azra’iy membahas tentang budak/hamba sahaya kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadah bahwa disunatkan memerintahkan kepadanya shalat dan puasa dengan mengajaknya melakukannya shalat dan puasa tanpa memukul. Tujuannya agar ia terbiasa dengan kebaikan saat baligh nanti, sekalipun hukum ini bertentangan dengan maksud hukum dari perintah Rasulullah. Demikian Imam Azra’iy.
Dianggap diskriminatif
Kalangan
pegiat hak asasi manusia mengkritik materi rancangan qanun yang diberlakukan
pula untuk penganut agama non-Muslim karena dianggap diskriminatif.
"Kalau
memang ada pasal yang mengatakan 'boleh memilih' itu bagus, tapi ketika itu
tidak diatur dalam hukum nasional dan digunakan qanun itu 'kan tidak fair,"
kata Soraya Kamaruzzaman, aktivis HAM dan Ketua Balai Syura Ureueng Inong
Aceh kepada BBC Indonesia.
LSM mengkritik sebagian materi qanun
jinayah diskriminatif terhadap non-Muslim
Namun
demikian, Soraya juga mengkritik materi Undang-Undang Pemerintahan Aceh tahun
2006 yang menjadi rujukan qanun tersebut.
Menurutnya,
salah-satu pasal dalam UU tersebut menyebutkan, setiap orang yang bertempat
tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
"Jadi,
yang harus diperbaiki adalah materi UU tersebut, karena qanun ini 'kan merujuk
ke sana," kata Soraya.
Dia
kemudian mengusulkan agar pihak yang keberatan dengan qanun di Aceh dapat
terlebih dulu mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah
Konstitusi.
Sudah dievaluasi Jakarta
Pemerintah
pusat, seperti dinyatakan Kepala biro hukum Kementerian dalam negeri, Widodo
Sigit mengatakan, pembahasan qanun Aceh telah melalui proses evaluasi yang melibatkan
pemerintah pusat.
Dia
juga menegaskan, bahwa Undang-undang pemerintahan Aceh tahun 2006 dibuat sesuai
kekhususan Provinsi Aceh.
Kesepakatan damai RI-GAM 2005 jadi "pintu masuk"
Syariat Islam di Aceh.
"Itu
'kan prosedurnya saja, pakai qanun atau Kitab undang-undang hukum pidana,"
kata Kepala biro hukum Kementerian dalam negeri, Widodo Sigit kepada BBC,
Selasa (23/09) sore.
Pemberlakuan
Syariat Islam di Aceh, yang diatur dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh,
merupakan lanjutan dari kesepakatan damai Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka,
GAM, tahun 2005 lalu.
Dalam
batas tertentu, sejumlah daerah di Indonesia juga telah memberlakukan Syariat
Islam, semenjak diberlakukan kebijakan otonomi daerah semenjak reformasi 1998,
yang oleh sebagian pihak dianggap menyalahi Konstitusi.
Namun demikian sesuai dengan uraian sebelumnya di
atas, syari'ah
merupakan suatu bidang kajian yang sangat luas, hingga akhirnya mengakibatkan
terjadinya kurikulum yang sangat berat, atau berujung pada pendangkalan
kemampuan peserta didik. Mahasiswa mengetahui banyak hal, tetapi tidak ada satu
bidangpun di antaranya yang dikuasai secara profesional. Ini tentu menuntut
adanya pembidangan spesialisasi keilmuan yang lebih fisibel dan penekanan yang
lebih praksis.
Ketetapan penamaan ini juga telah diakui secara
legal-formal dan diterima dalam praktik profesional. Walaupun tidak tercantum
dalam UUD 1945, tetapi secara historis, kata 'syari'at' termaktub dalam Piagam
Jakarta. Selanjutnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama secara
gamblang mencantumkan istilah 'Sarjana Syari'ah' dalam berbagai pasal dan
penjelasannya.6 Lembaga peradilan di kalangan umat Islam di luar Jawa, sebelum
diundangkannya UU No. 7/1989, juga banyak dikenal sebagai mahkamah syari'ah.
Di kalangan praksis hukum, kata ini telah
terpakai dan diterima luas. Mahkaman Agung, sebagai lembaga yudikatif tertinggi
di Republik Indonesia, contohnya dalam Surat Edaran MA No.
MA/Kumdil/1589/IX/1998 tertanggal 2 September 1998, menyebutkan bahwa salah
satu syarat untuk mengikuti Ujian Teknis Hukum bagi Pengacara Praktik adalah
"Sarjana Hukum atau Sarjana Syari'ah'. Kenyataan bahwa semua lulusan IAIN
kemudian diberi gelar Sarjana Agama (S. Ag.) mengaburkan kompetensi alumni
Fakultas Syari'ah dan mempersulit mereka ketika ingin berkiprah di dunia
profesi. Hal ini patut menjadi perhatian semua pihak terkait untuk memperjelas
permasalahan ini dan mempertahankan istilah 'Sarjana Syari'ah' sebagai
alternatif terbaik.
Syari`ah dan Studi Islam
Mengacu pada ketentuan-ketentuan yang termaktub
pada UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi, maka tujuan lembaga
pendidikan tinggi negeri yang mengkhususkan diri pada kajian keislaman ini
dirumuskan oleh RIP (Rencana Induk Pengembangan) IAIN sebagai berikut: IAIN
bertujuan untuk membantu terbinanya sarjana Islam, yang memiliki kemampuan
akdemik dan/atau professional yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, bersikap rasional dan dinamis, berpikir filosofis,
berpandangan luas dan mampu bekerjasama dalam rangka pengembangan ilmu dan
teknologi serta seni untuk kepentingan nasional.7
Yang menjadi obyek dan ruang lingkup studi di
IAIN adalah Islam. Apakah yang dimaksud dengan Islam di sini? Studi Islam
paling tidak mencakup tiga bidang pokok. Yang pertama Islam sebagai ajaran,
yang terwujud dalam bentuk wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al-Qur'an dan dalam
bentuk Sunnah yakni panduan Rasulullah SAW. bagi umatnya yang terhimpun dalam
hadist. Dalam hal ini studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan
dalam bentuk matakuliah sumber al-Qur'an dan al-Hadist sekalian dengan
perangkat ilmu-ilmu al-Qur'an ('ulum al-Quran) dan ilmu-ilmu Hadist ('ulum
al-Hadist). Ilmu-ilmu ini, sejak beberapa waktu yang lalu menjadi jurusan
Tafsir-Hadist di Fakultas Ushuluddin dan merupakan program studi khusus pada
tingkat pascasajrana.
Selanjutnya Islam juga dikaji sebagai bagian dari
pemikiran, sebagai bagian dari fiqh dalam arti luas, sebagaimana diperintahkan
Allah SWT. dalam al-Qur'an. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam (Islamic
thought) terlihat ada lima bidang pemikiran Islam yang menojol, yaitu:
akidah-teologi ('ilm al-kalam), hukum dalam arti luas (syari'ah), filsafat
(hikmah/'irfan/falsafah), akhlak-sufisme (tashawuf). Ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) dan seni-budaya Muslim masih sangat minim dikaji di Perguruan
Tinggi Islam, termasuk IAIN, yang sebenarnya mencakup bidang yang cukup luas,
mulai ilmu hitung ('ilm al-hisab) dan matematika sampai arsitektur ('ilm
al-handasah) dan astronomi ('ilm al-falak).
Islam pada tingkat berikutnya merupakan pengalaman
dan penerapannya dalam kehidupan. Bersumberkan pada al-Qur'an dan Sunnah yang
kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan
dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah
berabad-abad menyinari dunia. Islam sebagai pengalaman yang menonjol dikaji dan
dikembangkan IAIN selama ini adalah aspek pendidikan (tarbiyah), dakwah dan
tentu saja hukum, sedangkan aspek-aspek lain kelihatannya masih terabaikan.
Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa ilmu-ilmu
agama Islam dan/atau ilmu pengetahuan keislaman (Islamic knowledge) mencakup
berbagai disiplin yang membentang bukan saja dalam lingkup ilmu agama teologi
an sich, tetapi ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu alam (natural
sciences) dan humanitas (humanities). Sejalan dengan perkembangan keilmuan,
studi Islam juga menerapkan pendekatan inter dan multidisipliner yang banyak
menelurkan ilmu-ilmu baru. Adalah sesuatu yang bukan saja tidak bijaksana,
tetapi juga tidak realistis, mengungkung studi keislaman dalam lingkaran fokus
pengkajian Islam tradisional, apalagi jika ditautkan dengan kondisi umat Islam
yang mengalami stagnasi pada masa kemunduran peradaban Islam sejak abad ke-13
hingga ke-19. Kebangkitan (kembali) umat Islam yang dicanangkan dengan masuknya
abad ke-15 Hijrah tidak akan terwujud tanpa dilandasi dengan tumbuh-kembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami di kalangan umat Islam.
Dari sisi lain, sebenarnya setiap disiplin ilmu
memiliki aspek teoritis dan aspek terapan, meskipun banyak yang memilah diri
dalam ilmu yang berbeda. Di samping yang disebut di atas, dalam tradisi
keilmuan umat Islam, dikenal juga banyak ilmu lain yang pernah berkembang,
antara lain ilm al-'umran (ilmu kemakmuran), 'ilm tazkiyat al-nafs (ilmu kesehatan
jiwa), 'ilm al-iqtisad (ilmu ekonomi), 'ulum al-mujtama' (ilmu-ilmu sosial) dan
masih banyak yang lain. Dari segi materi, metodologi dan nilai, ilmu-ilmu
tersebut, di balik banyak persamaan, terdapat perbedaan dengan yang
dikembangkan dari disiplin-disiplin astronomi, sosiologi, ekonomi dan psikologi
yang dikembangkan di universitas-univesitas konvensional, yang umumnya diimpor
dari tradisi keilmuan Barat. Pemaduan kedua tradisi tersebut barangkali menjadi
tugas penting IAIN. Dari segi inilah, gagasan untuk mengembangkan IAIN menjadi
universitas, atau dengan memperluas cakupan kewenangan kajiannya (with wider
mandate) merupakan langkah strategis yang patut ditindaklanjuti. Dalam kerangka
ini jugalah pengembangan studi syari'ah di IAIN dapat ditilik.
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, maka studi
Hukum Islam, atau lebih tepat kajian syari'ah, mencakup tiga bidang, yakni
studi kewahyuan sebagai sumber utama hukum Islam, studi pemikiran yang mengurai
perkembangan pemikiran tentang hukum di kalangan umat Islam dan studi terapan
yang mengkaji pengalaman dan implementasi serta perkembangan interaksi
kaidah-kaidah tingkah-laku tersebut dengan kondisi empiris masyarakat Muslim.
Perbincangan ini terkait erat dengan perdebatan
di kalangan para pengkaji hukum Islam kontemporer tentang apakah syari'ah itu
'subtantive rules' atau metodologi. Pengkajian lebih mendalam sebenarnya
menunjukkan bahwa syari'ah memang mengandung kedua unsur tersebut, meskipun
pergeseran telah sering terjadi baik ke kaidah hukum substantif maupun lebih ke
teori dan metodologi hukum. Namun demikian patut dicermati pengamatan beberapa
pakar bahwa sisi syari'ah sebagai metodologi dan teori hukum telah mengantarkan
umat Islam ke zaman keemasan, dan bahwa ketika syari'ah lebih ditonjolkan sebagai
kaidah hukum substantif, umat Islam diliputi suasana kemandegan, bahkan
kemunduran.8
Perbincangan ini mengarahkan perhatian pada
persoalan tentang apakah proses belajar-mengajar di Fakultas Syari'ah lebih
terfokus pada pendidikan akademis atau profesional. Dari uraian sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa studi syari'ah pada tingkat Perguruan Tinggi melingkupi
baik pendidikan akademis dan juga pendidikan profesional. Oleh karenanya,
setiap fakultas harus menentukan pilihannya, dan tidak tertutup, malah lebih
baik, mengembangkan keduanya. Namun harus dipilah antara program akademis dari
yang profesional. Program akademis terutama ditujukan untuk peserta didik yang
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, strata dua dan tiga. Konsekuensi
logisnya adalah kurikulum yang ditawarkan kepada mereka juga menjadi berbeda
penekanan dan metodenya. Adalah keliru memaksakan kurikulum yang padat dengan
pematangan akademis bagi mereka yang lebih tertuju pada persiapan profe-sional.
Ini terlihat dari terlalu dipaksakannya setiap mahasiswa yang harus menulis
skripsi yang terkadang jauh relevansinya dari dunia kerja yang akan dihadapi di
kemudian hari, sedangkan suatu program kerja lapangan atau magang (interupship)
mungkin lebih bermanfaat.
Tidak jelasnya visi Fakultas Syari'ah dari sisi
apakah ia program akademis atau professional juga terlihat dari terlalu
idealnya target yang dicanangkan bagi lulusannya, sehingga tamatan dari strata
satu (sarjana agama) diharapkan bisa menjadi konseptor, mujaddid, dan
sebagainya. Kompetensi minimal seorang tamatan strata satu adalah seorang
tenaga ahli pelaksana, sedangkan kemampuan mengembangkan penerapan iptek dalam
peran improvisasi dan inovasi proses adalah kompetensi tamatan strata dua, yang
kemudian ditingkatkan menjadi kemampuan mengembangkan dan menciptakan iptek
bagi lulusan strata tiga.
Adalah kecenderungan selama ini para perencana
dan pengelola program studi syari'ah berpikir terlalu 'ideal' hingga menjejali
kurikulum (overburden curriculum) dengan berbagai matakuliah, sebagaian bersifat
'pesanan' dan yang lain bersifat 'warisan', yang memandang ideal tetapi kurang
relevan dengan upaya penyiapan peserta didik dalam menghadapi dunia profesi.
Ini terkait erat dengan tidak jernihnya perumusan tujuan program dan sosok
lulusan yang ingin dicapai. Uraian satuan pelajaran yang diberikan, contohnya,
lebih mempersiapkan mahasiswa sebagai ahli 'sejarah' hukum yang berkutat dengan
pemikiran legal-ideal masa lalu, tetapi kurang mempersiapkan mereka sebagai
ahli hukum yang bergulat menghadapi problema hukum positif masa kini.9
Salah satu misi penting Perguruan Tinggi adalah
mempersiapkan tenaga ahli yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang dibutuhkan
masyarakat itu tentu bermacam-macam. Hampir mustahil dengan program studi
formal di Perguruan Tinggi menghasilkan lulusan yang menguasai segalanya
tentang hukum Islam. Oleh sebab itu harus diperjelas spesialisasi dan dipilah
bidang studinya. Pemekaran spesialisasi, oleh karenanya penghapusan jurusan,
adalah hal yang lumrah dalam dunia Perguruan Tinggi, hingga tidak perlu harus
bertahan bahwa jurusan/program studi yang ada harus permanen.
Oleh sebab itu, salah satu cara penilikan yang
harus dilakukan adalah dengan menengok sosok lulusan bagaimanakah yang telah
dan ingin dihasilkan oleh program studi ini. Hal ini tentu terkait dengan
kondisi dan proyeksi lapangan kerja yang ada dan yang berkembang.10
Fakultas Syari'ah IAIN bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik menjadi sarjana yang memiliki kemampuan akademik dan profesional
yang menguasai, menerapkan, dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap
kesejahteraan masyarakat dan memperkaya kebudayaan dalam bidang kesyari'ahan.
Para alumni Fakultas Syari'ah dipersiapkan untuk mengemban profesi yang
pengetahuan dan keterampilan dalam disiplin ilmu kesyari'ahannya merupakan
persyaratan dasar.
Sejak awal berdirinya, Fakultas Syari'ah
ditujukan terutama untuk menyediakan tenaga ahli dalam bidang birokrasi
pemerintahan yang menguasai hukum Islam yang memang sedang sangat dibutuhkan,
terutama untuk mengisi jabatan hakim di jajaran peradilan agama dan jabatan
lain dalam lingkup Departemen Agama.
Peradilan agama telah melewati masa perkembangan
yang panjang dan berliku dalam sejarah peradilan di Indonesia. Diawali dengan
diterimanya hukum dan peradilan Islam pada 1884 sebagai lembaga penyelesaian
sengketa perkara antarumat Islam hingga dikukuhkannya Peradilan Agama sebagai
bagian integral dari sistem peradilan nasional dengan disahkannya UU No. 7/1989
tentang Peradilan Agama.
Hingga pertengahan 1970-an Peradilan Agama
dikelola oleh para hakim yang mayoritas hanya berpendidikan menengah dan banyak
yang hanya menyerap pendidikan agama tradisional. Mereka pada dasarnya adalah
tokoh ulama setempat yang bekerja part-time (paruh waktu) sebagai hakim honor.
Pada awal 1960-an, pemerintah mendirikan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri)
di Yogyakarta yang mendidik secara ikatan dinas calon-calon hakim agama. Sama
halnya dengan rekannya, Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN), PHIN hanya
setingkat sekolah menengah (secondary schools), sedangkan pengadilan umum telah
lama menerapkan persyaratan kesarjanaan bagi para hakimnya. Hal ini menimbulkan
masalah dalam kualitas yustisial dan kepangkatan kepegawaian mereka.
Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa
Fakultas Syari'ah ternyata mengembangkan karir di banyak lapangan pekerjaan.
Secara tradisional, seorang faqih (ahli fikih), disamping hakim (qadhi) sebagai
profesi utamanya, juga berkarir sebagai mufti (legal-consul), guru-dosen
(ustadz) dan pembimbing ibadah-keagamaan masyarakat (imam, kiyai, mualim).
Banyak alumni Syari'ah yang berperan baik sebagai guru, meskipun tidak
mendalami ilmu tarbiyah secara formal, atau menjadi muballigh-da'i sukses, yang
seharusnya lebih dipersiapkan bagi tamatan Fakultas Dakwah. Keunggulan alumni
Syari'ah adalah penguasaan mereka atas syari'ah-fikih dan kemahiran dalam
berbagai ilmu alatnya. Namun demikian, jumlah alumni Syari'ah yang menggeluti
professi hukum, di luar peradilan agama, masih sangat minim. Hal ini terutama
masih banyaknya rintangan struktural. Selama ini posisi yang tersedia terbatas
hanya untuk menjadi pengacara praktik dalam lingkup peradilan agama, baru
belakangan ini terbuka dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung, yang telah
disingung sebelumnya. Semua ini terkait erat dengan kondisi perkembangan
politik hukum di Indonesia.
Posisi Hukum Islam
Pengembangan hukum nasional dilandasi oleh tiga
wawasan, yaitu Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara dan Wawasan Bhinneka
Tunggal Ika. Ketiga wawasan tersebut mengacu kepada tujuan pembangunan hukum
nasional, yaitu terwujudnya Sistem Hukum Nasional. Dengan wawasan ini,
pembangunan hukum nasional melingkupi tiga komponen pokok , yaitu perangkat
hukum, tatanan hukum dan budaya hukum.11
No comments:
Post a Comment