TUJUH
KONSEP KEKERASAN
m.rakib
lpmp riau indonesia
1.
Konsep
Hukum Pidana
2.
Konsep
Hukuman Pendidikan
3.
Konsep
Hukuman Keluarga
4.
Konsep
Fiqih Tentang Anti Keklerasa
5.
Konsep
Hukuman Untuk Remaja Delinkuensi
6.
Konsep
Hukuman Ringan
7.
Konsep
Hukuman Ta’zir di madrasah dan Pesantren
Dasar hukumnya adalah pada BAB VIII, Pasal 44 , Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 :
- Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan, fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5( lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15,000,000 ( lima belas juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp. 30,000,000 ( tiga puluh juta rupiah ).
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban , pidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas tahun) atau denda paling banyak Rp. 45,000,000 ( empat puluh lima juta rupiah )
- Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari hari dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5,000,000 ( lima juta rupiah ).
Nah “pidana” hanyalah sebuah “alat” yaitu alat untuk mencapai tujuan penindakan. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.)1
Masalah
tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa
dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, disitu ada
hukum. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan
masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak
pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus
melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalilis itensitasnya;
Mardjono
Reksodiputro2, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak
dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada
batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia
dapat dipenuhi secara sempurna. Di samping itu, manusia juga cenderung memiliki
kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak
mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai
pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak
dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena dapat menimbulkan
kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum hal yang
sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang
telah ditentukan dapat dicapai. Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana
ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Bila dilihat dari filosofinya,
hukuman mempunyai arti yang sangat beragam R. Soesilo menggunakan istilah
“hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang
dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak yang dijatuhkan oleh
hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-Undang hukum
pidana.
Feurbach
menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat
jahat lagi. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli
hukum dikatakan bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak
dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward-looking)
ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward-looking).
Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena
hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran
masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.
http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xx-penganiayaan/
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Bab XX : Penganiayaan ... (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah ...
1.Konsep pertama. Kekerasan adalah tindakan yang menggambarkan tindakan atau perilaku, baik
terbuka maupun tertutup dan baik yang sifatnya menyerang maupun bertahan yang
diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik kepada orang lain.
Menurut FAUZUL AZIMNIM: 1110011000026 dalam
tulisannya bahwa akhir-akhir ini sering ada tayangan berita di televisi atau membaca dalam
surat kabar, perihal fenomena kekerasan yang terjadi di dalam dunia pendidikan,
baik yang dilakukan oleh guru terhadap siswanya maupun kekerasan yang dilakukan
oleh siswa terhadap siswa yang lain. Hal tersebut sangat memprihatinkan karena
di sekolahlah seharusnya nilai-nilai budi pekerti itu ditanamkan.
2.Konsep kedua kekerasan
suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara
fisik maupun psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata,
tetapi justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan
efek traumatis yang cukup lama bagi si korban. Dewasa ini, tindakan kekerasan
dalam pendidikan sering dikenal dengan istilah bullying.
Berdasarkan permasalahan diatas pada makalah ini akan
dibahas pengertian kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, penyebab kekerasan,
serta mengenai efek dari kekerasan
terhadap sikap dan perilaku peserta didik, kemudian solusi dari permasalahan
tersebut.
3.Ketiga Menurut Jack D. Douglas dan Fraces Chalut Waksler. Istilah kekerasan (violence)
dipakai untuk mengambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka ( over)
maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive),
yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.
Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pendidikan
Dari definisi
di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
Pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau
diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau
yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa
SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang
dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang.
Kedua, kekerasan
tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung,
seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan
pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai
bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan
pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak
SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua
belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping
KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo
besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif
(offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu
seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator
kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat
dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di
Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan
guru SD hingga tewas.
Keempat, kekerasan
defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan
perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa
tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa
meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat
sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak
kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana
memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau
intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa
berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan
defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara
berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak
kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada
potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan
berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan
sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu
kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak
kriminal. Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi
secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak
kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada
potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan
berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan
sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu
kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak
kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika,
Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random sampling),
ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya
terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru
(PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan
transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus,
masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya
momen tertentu, dan masalah lainnya.
Masih menurut Fauzul Azim, kekerasan dalam
kategori sedang, dalam penelitiannya,
juga dalam penelotiam dilakukan
oleh . Abd. Rachman Assegaf, .,
ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului
oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah,
kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa dan
sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap
masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya
berkisar pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi
SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang dominan
sekali dilakukan oleh pelaku yang sudah
dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu
seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan
masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa
pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus dengan 50
korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan kehilangan
tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa,
bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan konsumsi
narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
3. Penyebab
Kekerasan Dalam Pendidikan
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak
bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan.
Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum
murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke
tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa
yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar
tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD
Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan
dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang
pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain
tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah
pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan dalam
pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman,
terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi.
Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka
terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau
mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam
pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas
kode etik dan tata tertib sekolah.
Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat
hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh
buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang
hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif
menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Kekerasan
juga dapat muncul dikarenakan kurikulum pendidikan yang cukup padat dan sarat
beban, menyebabkan anak harus belajar berbagai hal dalam waktu yang ditentukan. Ini
menyebabkan emosional anak didik menjadi kurang bisa terkendali. Kemudian,
sebagian pendidik juga belum mampu mengelola emosi negatif sehinga
memperlakukan peserta didik dengan kasar. Lebih jauh lagi, pemegang kebijakan
pendidikan di negeri ini harus sadar bahwa ketidakadilan kebijakan dan
perundang-undangan pendidikan yang diskriminatif dapat menanam benih kekerasan
di benak anak didik. Karena secara substansif, akses pendidikan yang tidak adil
dan merata dapat menyebabkan kesejangan, sehingga akan sangat mudah memicu
konflik sosial yang lebih luas.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar
dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan
kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan
timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas.
Kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang
sosial-ekonomi pelaku. Kehidupan sosial-ekonomi yang kurang baik mengakibatkan
kontrol emosi yang kurang stabil, sehingga
memungkinkan terjadinya tindak kekerasan.
4. Efek
Kekerasan Terhadap Sikap Peserta Didik
- Hilangnya kepercayaan peserta didik kepada pendidik. Karena pendidik yang melakukan tindakan kekekerasan kepada peserta didiknya tentu akan menimbulkan rasa dendam dari peserta didiknya.
- Menumbuhkan sifat anarkis dari peserta didik, kecendrungan untuk memberontak dan tidak ikhlas patuh kepada orang yang telah menyakitinya, dikarenakan pendidik sendiri tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada peserta didik.
- Menumbuhkan sikap trauma kepada peserta didik sehingga menghambat perkembangan mental terhadap peserta didik.
5.
Solusi dan pencegahannya.
a. Penerapan
sistem humanisasi pendidikan
Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan
genersi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan
malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, traditional, pasif,
dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi.
b.
Menumbuhkan kesadaran kepada pendidik.
Selain menjadi seorang pengajar, seorang guru juga
berperan sebagai pendidik dan motivator bagi siswa-siswinya. Sebagai seorang
pengajar, guru dituntut berkerja cerdas dan kreatif dalam mentranformasikan
ilmu atau materi kepada siswa. Dan berupaya sebaik mungkin dalam menjelaskan
suatu materi sehingga materi tersebut bisa diaplikasikan dalam keseharian siswa
itu sendiri.
Tugas sebagai pendidik adalah tugas yang
sangat berat bagi seorang guru. Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai
moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau
tata tertib yang berlaku di sekolah masing-
masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai motivator, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi.
masing. Dengan demikian, diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi yang sigap, mandiri, dan disiplin. Dan sebagai motivator, guru harus mampu menjadi pemicu semangat siswanya dalam belajar dan meraih prestasi.
c. Pemberlakuan sanksi yang tegas.
Dari penjelasan di atas, yang terpenting
untuk menanggulangi munculnya praktik bullying di sekolah adalah ketegasan
sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah,
termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri.
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi
seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar. Dan
diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan terhadap
temannya. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Kekerasan dalam pendidikan merupakan suatu tindakan penyerangan ataupun
bertahan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang menyalahi norma.
Kekerasan tersebut ada yang berbentuk terbuka maupun yang berbentuk tertutup;,
serta kekerasan agresif, kekerasan defensif; yang kesemua kekerasan tersebut
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Kekerasan dalam pendidikan terjadi karena: pertama karena adanya
pelanggaran yang disertai hukuman. Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa
diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Ketiga,
kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan
media massa yang kebanyakan menayangkan hal-hal yang berbaur dengan kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat yang mengalami pergeseran cepat. Dan yang kelima, kekerasan terjadi
karena faktor sosial-ekonomi.
Kekerasan berakibat buruk terhadap perubahan sikap dan perilaku peserta
didik. Misalnya; munculnya sifat pemberontak pada diri peserta didik. Adanya
penyelewengan yang dilakukan di lingkungan pendidikan.dan lain sebagainya.
Selanjutnya pencegahan terhadap kekerasan dalam dunia pendidikan ini dapat
dilakukan dengan penerapan humanisasi pendidikan, serta penumbuhan sikap
tanggung jawab kepada pendidik, sehingga bisa memberikan contoh yang baik
kepada peserta didiknya. Kemudian pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap
pelanggaran kekererasan, tanpa membeda-bedakan kedudukan ataupun status sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Darminta, J. SJ,.1993. Mengubah Tanpa Kekerasan. Yogyakarta:
Kanisius.
http://salam pessy.
Blog.frienster.com/2007
Krishnamurti, J,. 1982 Bebas Kekerasan.Malang: Yayasan Krishnamurti
Indonesia.
Morin,Edgar.2005.Tujuh Materi Bagi Dunia
Pendidikan.Yogyakarta:Kanisius.
No comments:
Post a Comment