GRADUALISME
(TADARRUJ)
MENOLAK PENGHILANGAN KOLOM AGAMA DALAM KTP
M.Rakib Muballig
IKMI Riau Indonesia
Mungkin saja ada kecenderungan yang mirip-mirip Komunis dan JIL juga beangsur-angsur mengkerdilkan Islam, diawali dengan penghilangan kolom agama sebagai identitas di KTP, bertentangan dengan konsep gredualisme Islam. Sebenarnya salah satu pemahaman yang
kini menyebar luas di kalangan umat Islam adalah konsep gradualisme
(tadarruj).
Logika dari ‘metode’ ini ialah bahwa Islam adalah agama yang besar
sehingga mustahil menerapkan Islam secara serta-merta. Oleh karena itu, upaya
penerapan syariat Islam harus dilakukan secara gradual,
bertahap. Konsekuensinya, penerapan Islam dengan cara seperti ini
akan memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan Islam ke dalam
kehidupan kaum muslim. Normalnya, proses ini akan melibatkan pembagian kekuasaan
(power sharing) dengan pemerintahan yang ada dan perjuangan dengan cara
terlibat di dalam sistem tersebut.
"MUI secara tegas menolak
penghilangan kolom agama dalam KTP," ujar Wakil Ketua MUI Pusat Ma'ruf
Amin dalam jumpa pers di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis
(13/11/2014).
Ia mengatakan, jika ada orang yang
menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah, orang tersebut
dapat mengosongkan kolom agama. Namun, orang tersebut harus mencantumkan aliran
kepercayaan yang dianut pada daftar database administrasi kependudukan
pada instansi terkait.
Menurut Ma'ruf, Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa aliran
kepercayaan bukanlah agama sehingga tidak boleh ditulis pada kolom agama di
KTP. Berdasarkan UU itu pula, kata dia, kolom agama tersebut wajib diisi oleh
masyarakat yang menganut enam agama yang diakui di Indonesia.
Ma'ruf menilai pengosongan kolom
agama itu akan menimbulkan dampak tidak baik bagi masyarakat. Jika kolom agama
pada KTP seseorang dikosongkan, agama orang tersebut tidak akan diketahui.
Ketika orang tersebut meninggal atau ingin menikah, akan timbul permasalahan
baru mengenai proses yang akan dilakukan.
"Di Islam itu ada yang namanya
hukum Islam, soal prosesi pernikahan atau prosesi ketika orang meninggal itu
harus jelas," ucap Ma'ruf.
Selain menolak penghapusan kolom
agama di KTP, MUI juga menolak penambahan agama selain enam agama yang diakui
pemerintah. MUI juga menolak penambahan kolom aliran kepercayaan pada KTP.
Gagasan penghapusan atau penambahan agama lain pada KTP berpotensi merugikan
bangsa dan negara karena dapat menciptakan polemik.
Keberadaan kolom agama pada KTP ini
ditolak oleh aktivis penggiat hak asasi manusia. Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo mengatakan, pemerintah tidak berniat menghapus kolom tersebut karena
keberadaannya telah diatur dalam undang-undang. Namun, Mendagri mempersilakan
kepada penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah untuk
mengosongkan kolom agama. Berdasarkan UU Nomor 24/2013, enam agama yang diakui
itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Sejumlah argumentasi dikemukakan untuk menjustifikasi pandangan gradualisme ini, misalnya ‘al-Quran diturunkan secara bertahap dan al-Quran turun sesuai dengan masalah yang saat itu muncul’. Fakta bahwa Allah Swt. mengharamkan alkohol dalam tiga tahap juga menjadi argumentasi penganut gradualisme.
Argumentasi lain ialah sebuah kaidah syara’ yang berbunyi: ‘Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya’. Berdasarkan kaidah ini muncul anggapan bahwa Islam yang sebagian lebih baik daripada tidak sama sekali.
Umat Islam perlu menyadari bahwa argumen-argumen di atas tidak ada satu pun yang merupakan argumen yang syar’i dan konsep gradualisme (tadarruj) itu bukan hanya salah, melainkan juga bertentangan dengan dalil-dalil qath’i. Perkara pertama yang harus dicamkan adalah konsep bahwa Islam mustahil diterapkan berarti sama dengan mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan agama yang tidak praktis! Hal ini bertentangan dengan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang praktis yang telah Allah Swt. sempurnakan bagi umat manusia. Allah swt berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Dalam ayat tersebut Allah Swt. menegaskan bahwa Dia tidak akan membebani umat dengan suatu kewajiban yang umat tidak mampu melaksanakannya dan yang mustahil diemban oleh umat. Artinya, mengembalikan Islam adalah perkara yang mungkin sekaligus wajib untuk dilakukan.
Pendapat bahwa menegakkan Islam secara total adalah hal yang mustahil menjadi inti pemikiran gradualisme, sebuah pemikiran yang pragmatis dan justifikasi kepraktisan. Gradualisme tidak saja bertentangan dengan Islam tapi juga pandangan yang tidak melihat realitas perubahan politik. Perubahan yang dilakukan Nabi saw. tiga belas abad yang lalu adalah perubahan yang radikal. Naiknya Komunisme di Soviet juga suatu perubahan radikal. Bahkan, digantinya Komunisme oleh Kapitalisme pada awal 1990-an adalah juga sebuah perubahan radikal. Kalau akidah dan sistem yang rusak semacam Komunisme dan Kapitalisme saja bisa diterapkan melalui perubahan radikal seperti itu, lantas kenapa Islam sebagai akidah dan sistem yang benar, tidak bisa? Jadi, konsep bahwa Kebangkitan Islam sebagai hal yang mustahil adalah pemikiran yang keliru dan menggambarkan sikap pesimistis terhadap umat dan terhadap Islam itu sendiri.
Adapun klaim bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap, dan karena itu dapat diterapkan secara bertahap pula, merupakan pernyataan yang bertentangan dengan al-Quran dan proses turunnya. Awalnya al-Quran memang diturunkan sesuai dengan permasalahan, pertanyaan, perdebatan, dan situasi politik yang terjadi pada saat itu. Hal ini kemudian melahirkan cabang ilmu al-Quran yang dikenal dengan asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Sebagai contoh, berikut adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Vol. 6 No. 109). Urwah meriwayatkan bahwa az-Zubair berselisih dengan seorang lelaki dari Anshar mengenai sumber air alami di al-Harra. Nabi saw. lalu bersabda, “Wahai Zubair, airilah tanahmu, lalu biarkan air itu mengalir ke tetanggamu.” Orang Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah sepupumu”. Ucapan orang Anshar itu membuat wajah Nabi saw. memerah saking marahnya, lalu beliau bersabda, “Zubair, airilah tanahmu, lalu tahanlah airnya hingga melampaui tembokmu dan biarkan mengalir ke tetanggamu.” Dalam kasus ini Nabi saw. membiarkan az-Zubair memperoleh haknya setelah orang Anshar itu melakukan provokasi yang membuat beliau marah. Padahal, sebelumnya Nabi saw. telah memberikan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Terkait hal ini az-Zubair mengatakan, “Saya pikir peristiwa ini menjadi sebab turunnya ayat berikut:”
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasakan suatu keberatan di hati mereka atas keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati” (QS al-Nisaa’ [4]: 65).
Setiap kali muncul masalah yang membutuhkan hukum, turun ayat al-Quran sebagai jawabannya. Sejumlah riwayat mengisahkan bagaimana para sahabat r.a. mendekati Rasulullah saw. (untuk meminta suatu hukum) dan beliau tetap diam sampai kemudian Allah Swt. menurunkan hukum tentang masalah yang ditanyakan. Contohnya adalah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut. Jabir r.a. meriwayatkan: Bahwa Nabi saw. dan Abu Bakar r.a. datang membesukku di kediaman Banu Salamah. Nabi saw melihat aku tidak sadarkan diri, lalu beliau meminta air dan memercikkan air itu ke mukaku. Aku tersadar lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus kulakukan dengan kekayaanku?” Diriwayatkan bahwa Nabi saw. terdiam sejenak hingga kemudian turunlah ayat tentang waris (Bukhari, Jilid 6, no. 101).
Demikianlah, setiap muncul peristiwa yang memerlukan kepastian hukum selalu dijawab oleh Islam dengan turunnya ayat al-Quran dan setelah hukumnya jelas seketika itu juga hukum itu diterapkan. Tidak ada kecenderungan sedikit pun untuk menerapkan setiap hukum syara’ secara bertahap. Dengan demikian, jelas sudah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengabaikan hukum Allah Swt. dan menunda pelaksanaannya, karena hal itu berarti sama saja dengan menuduh beliau berhukum selain dengan yang diturunkan Allah Swt., dan itu berarti hukum kufur.
Kewajiban untuk berhukum dengan Islam dan keharaman untuk berhukum dengan hukum kufur mana pun adalah perkara yang telah diketahui secara pasti di dalam Islam dan tidak memungkinkan adanya interpretasi lain. Karena itu, penerapan secara bertahap dalam kekuasaan, atau dalam berbagi kekuasaan, dalam segala bentuknya, adalah perkara yang dilarang. Allah Swt. berfirman:
“Siapa saja yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS al-Maa-idah [5]: 44).
Ketika menafsiri ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan pandangan Ibnu ‘Abbas r.a. dan para mufasir lain bahwa siapa pun yang tidak meyakini kelayakan syariat, atau bahkan satu saja aturan dari Syariat Islam, adalah kafir. Selain itu, penguasa yang menjalankan kekuasaannya berdasarkan aturan selain Islam sambil meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah benar, maka ia kufur. Akan tetapi, penguasa yang menjalankan sistem kufur, tapi ia sadar bahwa ia melakukan kekufuran, maka tidak dikatakan kufur, tetapi dosa besar (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Jilid 2, hlm. 60-66).
Jadi, gradualisme dan pembagian kekuasaan
adalah hal yang dilarang dan bukan metode Islam dalam menciptakan perubahan
politik.
Jelas bahwa Islam melarang setiap upaya untuk memanfaatkan struktur demokrasi yang kini tampil, baik itu dengan cara meraih posisi menteri dalam kabinet pemerintahan yang menerapkan sistem kufur maupun dengan cara yang lain. Larangan tersebut juga mencakup dukungan terhadap partai politik kufur yang melanggengkan sistem kufur di negeri-negeri Islam, dalam rangka memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Demikian pula dengan upaya meloloskan undang-undang yang berupaya menerapkan sebagian dari syariat Islam, lalu melakukan voting dalam masalah itu adalah perkara yang terlarang. Hal ini berarti membuat manusia memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum Allah dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Akidah Islam.
Jelas bahwa Islam melarang setiap upaya untuk memanfaatkan struktur demokrasi yang kini tampil, baik itu dengan cara meraih posisi menteri dalam kabinet pemerintahan yang menerapkan sistem kufur maupun dengan cara yang lain. Larangan tersebut juga mencakup dukungan terhadap partai politik kufur yang melanggengkan sistem kufur di negeri-negeri Islam, dalam rangka memperoleh pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Demikian pula dengan upaya meloloskan undang-undang yang berupaya menerapkan sebagian dari syariat Islam, lalu melakukan voting dalam masalah itu adalah perkara yang terlarang. Hal ini berarti membuat manusia memiliki kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan hukum Allah dan ini jelas-jelas bertentangan dengan Akidah Islam.
Ide-ide seperti itu harus disingkirkan dari benak umat Islam. Umat seharusnya sadar bahwa pemikiran-pemikiran keliru itu justru menjadi hambatan bagi umat Islam dalam mengubah kondisi dan menegakkan kembali Khilafah. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran semacam itu harus dibuang jauh-jauh.
Gradualisme adalah model
perubahan yang terjadi lambat dengan laju yang tetap. Keseimbangan dipertepat (punctuated equilibrium) merupakan
perubahan cepat dalam tempo singkat yang menginterupsi perubahan kecil
yangterjadi dalam waktu yang lama. Evolusi kehidupan di planet ini terjadi baik
secara gradual maupun dipertepat.
Suatu siasat
untuk mengadakan perubahan sosial dng melakukan pembaharuan khusus yg bertujuan
menciptakan masyarakat sosialis
Adjective 1. proceeding in small stages a gradual increase in
prices source: wordnet302. (of a
topographical gradient) not steep or abrupt
a gradual slope source: wordnet30 3. Proceeding by steps or degrees; advancing,
step by step, as in ascent or descent or from one state to another; regularly
progressive; slow; as, a gradual increase of knowledge; a gradual
decline.
source: webster1913 noun 4. (Roman Catholic Church) an antiphon
(usually from the Book of Psalms) immediately after the epistle at Mass
source: wordnet30 5.
An antiphon or responsory after the epistle, in the Mass, which was sung on the
steps, or while the deacon ascended the steps.
source: webster1913 Indonesian
to Indonesian adjective 6. berangsur-angsur; sedikit demi sedikit: menjelang
Lebaran terjadi kenaikan harga sembilan bahan pokok secara gredual.; source: kbbi3 7. sedikit; kecil: di sana-sini terdapat
perbedaan- perbedaan secara gredual.
TEORI GRADUALISME:
Aplikasi Penerapan Syariáh Islam di NAD
Menarik apa yang ditulis oleh Prof.Dr. Rusdi Ali Muhammad, SH. M.A , bahwa selama ini orang bertanya-tanya sejauhmanakah realitas pelaksanaan Syariáh Islam di Provinsi NAD. Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan Guru Besar Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang sempat direkam oleh team swaditperta. Gagasan yang disampaikan sangatlah representatif untuk menggambarkan bagaimana kondisi Aceh pasca penerapan Syariáh Islam berdasarkan UU No 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát Islam di Aceh (Adib, Gja).
Sebagaimana diketahui bersama Al-Qurán adalah sumber utama
syariát Islam. Ia memuat seperangkat aturan yang mengatur lalu lintas hubungan
manusia dengan Allah, hubungan dengan sesamanya dan hubungan antar manusia
dengan alam dan lingkungannya. Konsep holistik syariát ini menempatkan manusia
sebagai titik sentral dalam rangka membumikan ajaran Tuhan melalui penerapan
syariát Islam. Posisi manusia sebagai central point dalam bingkai penerapan
syariát Islam memiliki dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dimensi dimaksud adalah manusia sebagai subjek dan manusia sebagai objek
pengaturan syaríat.
Dimensi manusia sebagai subjek dimaknai dengan kemampuan
manusia untuk berusaha menjadikan syariát Islam sebagai tuntunan hidup dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan, baik yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah.
Dalam dimensi ini manusia memerlukan daya kreativitas (ijtihad) untuk memahami
teks suci syariát yang terkandung dalam al-Qurán dan As-Sunnah. Tingkat
kemampuan memahami dan melakukan interpretasi terhadap teks suci akan
menentukan tingkat kemaslahatan yang dapat diwujudkan dalam tatanan aplikatif.
Sebaliknya, ketidakberanian dan parsialitas pemahaman
terhadap al-Qurán akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki
semangat universalitas, fleksibilitas, kering nuansa sosiologis dan bahkan akan
menyulitkan penerapan syariát Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat
keberadaan syariát Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia, baik di
dunia maupun di akhirat.
Pada dimensi kedua, manusia berkedudukan sebagai objek yang
akan diatur, diayomi dan dilindungi oleh syariát. Dalam dimensi ini manusia
dijadikan sebagai arena kerja syariát, karena tanpa manusia syariát yang
bersifat normatif sakralitas tidak memiliki arena operasional berupa tempat
penerapan syariát. Perilaku manusia yang diatur syariát tidak hanya terbatas
pada perilaku individu terhadap dirinya an sich, tetapi juga perilaku individu
terhadap kelompokdan perilaku kelompok terhadap kelompok lain.
Penerapan syariát Islam dalam lintasan sejarah ternyata
mengacu pada kerangka pikir di atas. Hal ini terasa bila kita menyimak dinamika
kreasi hukum Islam terutama pada masa sahabat dan beberapa dekade pasca
sahabat, dimana wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Ketika itu
permasalahan hukum terus bermunculan seiring dengn perluasan wilayah kekuasaan
Islam. Ajara Islam yang termuat dalam al-Qurán dan as-Sunnah dipahami sahabat
dalam semangat universalitas, fleksibilitas, semangat sosiologis yang tetap
bermuara pada postulat bahwa syariát Islam membawa misi rahmatan lil álamin.
Semangat universalitas, fleksibilitas dan nuansa sosiologis
sebenarnya telah ditunjukkan oleh al-Qurán sendiri, pada awal persyari’atan
hukum-hukumnya. Semangat ini dapat ditemukan ketika Allah melarang perbuatan
meminum khamar dan praktek riba. Allah tidak secara langsung dan serta merta
mengharamkan kedua perbuatan tersebut. Pelarangan dan pengharaman perbuatan
meminum khamar dan praktek riba dilakukan secara bertahap (tadarruj), sesuai
dengan tingkat dan kemampuan masyarakat menerima pelarangan atau pembebanan
suatu hukum. Dalam studi pemikiran hukum Islam proses pentahapan ini dapat
disebut dengan teori gradualisme hukum.
Analisis Sosiologis-Kontekstual
Gradualisasi pengharaman khamr dan praktek riba,
menggambarkan betapa al-Qurán sangat memperhatikan keadaan sosiologis dan
tradisi yang telah berakar dalam suatu masyarakat. Al-Qurán tidak secara
langsung dan otoriter mengharamkan suatu praktek yang telah mentradisi, tatapi
ia sangat akomodatif terhadap praktek tersebut. Al-Qurán pada mulanya
menjelaskan sisi positif dan sisi negatif praktek riba dan meminum khamar, sembari
membiarkan masyarakat merasakan kemaslahatan dan kemudharatan dari praktek
tersebut. Bila masyarakat benar-benar merasakan praktek tersebut membawa
kemudharatan yang akan mengancam eksistensi manusia di dunia, maka pada saat
itulah al-Qurán menyatakan secara tegas dan eksplisit haramnya praktek riba dan
meminum khamar. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hakekat adanya kewajiban
dan pengharaman sesuatu ditentukan oleh tingkat kemaslahatan yang dirasakan
oleh manusia.
Nilai sosiologis yang melekat pada hukum-hukum yang termuat
dalam al-Qurán dan as-sunnah sudah semestinya dipahami dan diselami secara
mendalam, sehingga ketika dilakukan penerapan dalam tataran aflikatif tidak
akan kehilangan ruh sosiologis yang mendasarinya. Oleh karena itu, asbab an-nuzul
dan asbab al wurud memegang peranan penting dalam mengungkapkan realitas dan
kondisi sosial ketika aturan itu disyariátkan.
Peran yang dimainklan oleh teori asbab an-nuzul dan asbab al
wurud tidak hanya mengungkapkan realitas sosial yang terekam dalam satu ayat
atau satu hadits, tetapi dapat menjelaskan berbagai realitas secara integral
dalam suatu tema tertentu. Oleh karena itu prinsip analisis sosiologis
berkaitan erat dengan pendekatan tematis (maudhuí). Melalui dua pendekatan ini
diharapkan akan mampu dibumikan ajaran Tuhan yang bersifat sakral-normatif.
Dalam konteks kehidupan masa kini. Dalam bahasa lugas dapat dikatakan bahwa
analisis-sosiologis menjadikan realitas sosial sebagai pertimbangan utama dalam
merumuskan berbagai aturan hukum Islam.
Penerapan cara kerja analisis sosiologis kontekstual kiranya
telah banyak dipraktekkan oleh sahabat Rasul terutama Umar ibn Khaththab. Dalam
bahasa sekarang dapat dikatakan bahwa Umar memahami teks-teks syariát dalam
kerangka sosiologis dan bukan semata-mata mendasari diri pada justifikasi fiqh
an-sich. Umar telah berhasil meletakkan ruh syariát dalam bingkai dan entitas
sosiologis dalam setiap hasil putusannya.
Salah satu hasil ijtihad Umar yang berangkat dari ruh
syariát dan entitas sosiologis adalah ketika beliau tidak memotong tangan
pencuri dalam masa paceklik. Tindakan Umar ini selintas berlawanan dengan teks
literal al-Qurán dalam surat al-Maidah’ayat 38. tetapi ayat ini dipahami Umar
dalam semangat ruh syariát bahwa masa paceklik harus dijadikan dasar untuk
menunda, bahkan meniadakan hukum maksimal terhadap pencuri pada masa itu.
Menurut Umar masa paceklik telah membuat tidak terpenuhinya unsur-unsur pidana
pencurian.
NAD Pasca Pelaksanaan Syariát Islam
Sehubugan dengan hal di atas, UU No 44 tahun 1999 dan UU No.
18 tahun 2001 telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát Islam
di Aceh. Kehadiran kedua undang-undang ini telah membuka kesempatan luas bagi
masyarakat Aceg untuk melaksanakan syariát Islam secara kaffah. Pelaksanaan
syariát Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena masyarakat Aceh
telah menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur prikehidupan sehari-hari.
Namun, dalam beberapa dekade yang lalu pelaksanaan syari’at Islam secara
sempurna mengalami kendala baik yang bersifat yuridis, sosiologis dan bukan
politis.
Kendala yuridis, sosiologis dan bahkan politis agaknya sudah
mulai mengecil dan bahkan pada keadaan tertentu dapat dihilangkan, jika kemauan
kuat pemerintah dan kesadaran dunia hukum nasional meningkat. Yakni dengan
pemahaman bahwa wilayah otonomi khusus NAD memiliki nilai-nilai yang khas dan
kesadaran sosial filosofisnya dengan mengambil pilihan hukumnya sendiri.
Ringkasnya legitimasi yuridis adalah suatu hal yang penting, tetapi jauh lebih
signifikan adalah justru legitimasi sosiologis dan legitimasi filosofis yang
merasuk ke dalam jiwa. Oleh karena itu, metode interpretasi nilai lokal menjadi
penting diperhatikan agar tidak terjadi konflik di tengah-tengah masyarakat.
Interpretasi Nilai Lokal
Secara sosiologis, masyarakat Acaeh memiliki respon yang
beragam terhadap opelaksanann syariát Islam secara kaffah. Respon yang berbeda
ini pernah melahirkan aksi seperti razia zilbab terhadap perempuan –perempuan
yang tidak memakai zilbab dengan sanksi penggundulan rambut dan razia shalat
jumát yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap laki-laki yang tidak
melaksanakan shalat jumát. Di samping itu pernah pula terjadi aksi pembakaran
pesantren yang mengembangkan pemikiran-pemikiran yang barang kali di nilai
terlalu maju, sehingga sebagian masyarakat sangat khawatir akanj merusak akidan
dan pola ibadah yang dianut selama ini oleh masyarakat. Kasus di atas meruapan
contoh kecil bagaimana ketegangan-ketegangan tertentu terjadi pada kehidupan
masyarakat Aceh dalam kaitannya dengan pemberlakuan syariát Islam. Kejadian
seperti itu, dapat membangkitkan luka lama berupa ikhtilaf yang kalau tidak
diantisipasi dapat melahirkan perkara. Padahal nilai esensial dari kehadiran
syariát Islam adalah rahmatan lil álamin.
Untuk menghindari konflik tingkat horizontal dalam rangka
penerapan syariát Islam ini agaknya kita memerlukan metode interpretasi nilai
lokal. Metode ini menggunakan kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran
teks baik al-Qurán maupun al-Hadits. Paradigma dasar metode ini adalah bahwa
setiap teks al-Qurán dan al-Hadits tidak dapat dilepas dari suasana sosial
masyarakat ketiak teks-teks itu muncul, karena pemberlakuan nilai-nilai
al-Qurán dan al-Hadits sasarannya adalah masyarakat.
Metode ini semestinya juga dapat diterapkan dalam kerangka
pelaksanaan syariát Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Di sini nilai-nilai
lokal masyarakat Aceh dapat diadopsi oleh berbagai Qanun sebagai bentuk
kongkrit penerjemahan syariát Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai
lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan syariát Islam yang khas-kontekstual
dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik hukum Islam pada
tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan
demokratis.
Kerangka Sosiologi Materi Qanun NAD
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan dasar
yuridis kuat bagi tegaknya pelaksanaan syariát Islam secara kaffah di Nanggroe
Aceh Darussalam. Sebelum melahirnya kedua undang-undang ini masyarakat Aceh
melaksanakan syariát Islam secara terbatas terutama dalam bidang huklum
keluarga dan sebagian kecil bidang muámalah seperti wakaf, hibah, sadakah dan
wasiat. Sedangkan dalam bidang hukum publik dan bidang muámalah lainnya hampir
sama sekali tidak tersentuh. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang UU No.
44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 merupakan moment penting dalam rangka
menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang hidup (living law) di Aceh. Artinya,
keberadaan hukum Islam tidak akan bermasalah dengan hukum nasional yang berlaku
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
UU No. 44 Tahun 1999 dan UU 18 tahun 2001 membawa semangat
formalisasi syariát Islam dalam aturan formal berupa Qanun. Lewat Qanun inilah
berbagai aturan syariát Islam dapat ditegakkan dalam kehiupan bermasyarakat dan
berbangsa. Yang menjadi persoalan sekarang adalah merumuskan materi Qanun yang
sesuai dengan semangat sosiologis yang dikandung syariát.
Dari beberapa Qanun yang pernah dihasilkan olwh Pemerintah
Profinsi Nanggroe Aceh Darussalam bersama DPRD Nanggroe Aceh Darussalam
kelihatannya bbelum seluruhnya mencerminkan nilai sosiologis dan kerangka
kontekstual. Klausul yang dirumuskan dalam Qanun masih sangat normatif
sebagaimana yang terdapat dalam aturan fiqh klasik dan kering dengan nuansa
sosiologis. Dugaan yang sumir ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa
pemahaman fiqh tradisional masih sangat mendominasi pemikiran hukum Islam di
Aceh hari ini.
Sebagai contoh dalam Qanun No 11 Tahun 2002 tentang
pelaksanaan Syariát Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam disebutkan
bahwa orang Islam yang melakukan pindah agama diancam dengan hukuman bunuh.
Ancaman pidana yang dirumuskan dalam Qanun ini ternyata tidak secara
komprehensif melihat konteks sosial ketika ancaman pidana bunuh disyariátkan.
Akibatnya, Qanun No 11 Tahun 2002 akan mengancam hukuman bunuh bagi orang Islam
yang pindah agama di Aceh. Padahal bila diteliti konteks sosiologis ternyata
hukuman bunuh bagi orang Islam yang pindah agama memiliki keterkaitan dengan
peristiwa orang Islam yang keluar dari pasukan dan bergabung dengan musuh
(desertir). Jadi, ancaman bunuh bukan semata-mata ditujukan karena keluar dari
Islam, akan tetapi karena ada unsur desertirnya. Al-Qurán mengakui adanya kebebasan
beragama, dan menghargai orang yang berbeda agama.
Dalam perjalanan perumusan materi Qanun NAD kadang-kadang
terasa masih ada keinginan untuk mengadopsi aturan fiqh tampa memperhatikan
aspek-aspek sosial dan humanistis. Padahal Qanun ini akan diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Padangan yang menginginkan adopsi aturan fiqh tanpa
filter, ternyata telah melahirkan Qanun yang kurang memiliki daya ikat sosial
yang tinggi.
Untuk itu, ke depan pembangunan materi Qanun yang merupakan
hasil ijtihad terhadap teks syariát kiranya perlu memperhatikan langkah-langkah
sebagai berikut :
- Setiap materi Qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks eksplisit al-Qurán dan As-sunnah. Namun, perlu diselami secara lebih mendalam hakekat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakekat keberadaan teks akan menemukan ruh As-syariát.
- Penemuan ruh As-syariát bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis di mana pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks itu lahir akan sangat penting artinya, kartena kasus-kasus yang muncul di sekitas kelahiran teks akan dapat dijadikan referensi dalam merumuskan materi Qanun pada masa kini.
- Pendekatan tematis (maudhuí) bukan hanya tertumpu pada ayat dan hadits yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman terhadap tema tersebut menurut sahabat. Pemahaman sahabat menjadi penting mengingat pada era mereka wahyu sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah, sedangkan persoalan hukum terus bermunculan.
- Semangat sosiologis yang dibangun al-Qurán dalam hukum-hukumnya operlu mendapat perenungan kita di Aceh. Karena banyak sekali tradisi dan praktek hukum di Aceh telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
- Kerangka kerja di atas tentunya akan bermakna bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi materi Qanun dapat ditingkatkan ke arah yang lebih baik, sehingga keberadaan Qanun Syariát Islam benar-benar dapat dirasakan nilai rahmatan lil álamin oleh seluruh masyarakat baik muslim amupun non muslim
No comments:
Post a Comment