NABI MENGHUKUM ANAK KECIL
M.RAKIB LPMP
RIAU INDONESIA. 2014
Suatu ketika ia berjalan-jalan
bersama Rasulullah SAW, melewati setumpuk buah kurma hasil sedekah. Hasan kecil,
mengambil satu kurma dan memakannya, segera saja Nabi SAW berseru, "Akh, akh…!"
Kemudian beliau mengambil kurma tersebut dari mulut Hasan.
Kemudian beliau bersabda, "Kita tidak boleh memakan harta sedekah."
Ia belajar shalat lima waktu dan
beberapa shalat lainnya dari Nabi SAW, padahal saat itu ia masih anak-anak. Ia
juga diajarkan Nabi SAW, doa untuk shalat witir, yaitu doa yang saat ini terkadang dibaca sebagai doa qunut
pada shalat subuh. Hasan juga sering melaksanakan ibadah haji dengan berjalan
kaki, tidak mengendarai untanya. Ketika kebiasaannya ini ditanyakan, ia
menjawab, "Setelah mati nanti, saya merasa malu jika bertemu dengan Allah,
sedangkan saya belum pernah mengunjungi rumahNya dengan berjalan kaki."
Husein
bin Ali bin Abi Thalib RA
Husein
bin Ali lahir setahun setelah kakaknya, Hasan. Ia masih berusia 6 tahun
beberapa bulan ketika Nabi SAW wafat. Tetapi seperti kakaknya, ia juga
meriwayatkan beberapa Hadits, setidaknya ada 8 hadits yang diriwayatkan dari
jalan Husein ini.
Diriwayatkan bahwa Husein telah
melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak 25 kali. Ia juga selalu
istiqamah dalam menjalankan ibadah dan rajin bersedekah.
Zainab
binti Ali bin Abi Thalib RA
Zainab
adalah putri ke tiga Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Ia menikah dengan saudara sepupunya
sendiri, Abdullah bin Ja'far, dan mempunyai dua orang anak, Abdullah dan Aun,
tetapi keduanya meninggal sebelum masa dewasanya, ketika kedua orang tuanya
masih hidup.
Setelah Zainab meninggal, suaminya
menikah dengan saudara kandungnya, Ummu Kultsum. Ummu Kultsum sendiri adalah
janda dari saudara Abdullah, Muhammad bin Ja'far.
Ummu
Kultsum binti Ali bin Abi Thalib RA
Ummu
Kultsum adalah putri ke empat Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, ia menikah dengan
Khalifah Umar bin Khaththab. Dari pernikahannya ini ia mempunyai seorang anak
yang diberi nama Zaid bin Umar. Setelah Umar meninggal, ia menikah dengan Aun
bin Ja'far, dan mempunyai seorang anak perempuan, tetapi meninggal ketika masih
kecil. Setelah Aun meninggal, ia menikah lagi dengan Muhammad bin Ja'far,
saudara Aun. Setelah Muhammad meninggal, ia menikah lagi dengan Abdullah bin
Ja'far, saudara Aun juga.
Saat menjadi istri Abdullah ini,
Ummu Kultsum mengalami sakit, yang akhirnya membawa ajalnya. Pada hari wafatnya
ini, putranya, Zaid bin Umar meninggal juga sehingga keduanya diberangkatkan ke
makam bersama-sama.
Jadi, setelah pernikahannya dengan
Umar bin Khaththab, Ummu Kultsum menikah dengan tiga orang putra Ja'far bin Abi
Thalib, yang masih sepupunya sendiri, secara berturut-turut. Pertama dengan Aun
bin Ja'far, kemudian Muhammad bin Ja'far dan Abdullah bin Ja'far. Sebelumnya,
Abdullah bin Ja'far adalah suami saudara kandungnya sendiri, Zainab binti Ali,
yang telah meninggal sebelumnya.
Ketika menjadi istri Umar bin
Khaththab, suatu malam, suaminya yang menjabat sebagai khalifah itu
tergesa-gesa membangunkannya dari tidur dan berkata, "Wahai istriku,
sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah,
agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini."
"Apa maksudmu, wahai Amirul
Mukminin," Tanya Ummu Kultsum terkejut, sekaligus penuh harap.
Memang telah menjadi kebiasaan Umar
meronda malam untuk melihat keadaan umat Islam. Ia selalu khawatir kalau umat
yang dipimpinnya ini mengalami kesusahan tanpa ia bisa membantunya. Dan malam
itu ia menemukan suatu keadaan yang memerlukan campur tangan istrinya. Ia
berkata, "Dengarlah wahai istriku, di padang sebelah sana terdapat sebuah
kemah tua, yang di dalamnya ada seorang wanita yang akan melahirkan tanpa
seorangpun yang merawat dan membantunya. Ia sangat kesakitan, tolonglah engkau
membantunya dalam proses persalinannya!"
Sebenarnya mudah saja bagi Umar
menyuruh dan memerintahkan Ummu Kultsum untuk membantu persalinan wanita itu.
karena ia sebagai suami sekaligus khalifah. Tetapi bagaimanapun istrinya ini
adalah seorang cucu dari orang yang sangat dikasihinya, Nabi SAW, apalagi
Fatimah adalah putri kesayangan beliau. Ia tidak ingin mengatakan sesuatu yang
juga akan menyakiti hati Rasulullah SAW. Kemuliaan nasab itu pulalah yang
tampak dalam jawaban istrinya, "Wahai suamiku, sudah menjadi kewajibanku
untuk menyempurnakan hasrat dan kesucian hatimu, aku bersedia untuk membantu
dan merawatnya."
Mereka bergegas menuju padang dimana
kemah itu berada sambil membawa peralatan dan bekal makanan yang diperlukan.
Sementara Ummu Kultsum membantu persalinan, Umar menyalakan api dan memasak
makanan bagi dua pengembara tersebut. Tak lama berselang, terdengar seruan
istrinya, "Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada
saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki."
Mendengar ucapan dari dalam kemah
tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak disangkanya kalau yang bersusah payah
membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat diacuhkannya. Umar
meminta istrinya membawa masuk, makanan bagi sang ibu baru tersebut. Dan
terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata, "Tidak mengapa wahai
Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok
menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!"
Setelah semuanya selesai, Umar dan
Ummu Kultsum berpamitan.
Diposkan oleh Ibnu Ghufron di 07.19
Mendidikan
Anak Dengan Ketegasan
Masa kanak-kanak merupakan masa-masa
belajar, dimana pada masa ini tentunya anak akan lebih sering melakukan
kesalahan dikarena ia masih belajar. Berbagai macam kesalahan yang diperbuatnya
kemungkinan karena ketidaktahuan sang anak, ataupun lupa, atau kealpaan
perhatian orang tua sehingga anakpun “caper” dengan melakukan perbuatan yang
berbahaya atau salah.
Memang benar bahwasannya mendidik
anak itu hendaknya dengan kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun telah mencotohkan cara mendidik anak dengan kasih sayang melalui
sabdanya dan perilakunya terhadap cucu-cucu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Maka mendidik anak dengan kasih
sayang ini bukan berarti meniadakan tindakan tegas pada anak. Ketika seorang
anak dalam masa belajarnya melakukan kesalahan, hendaknya setiap orang tua
dapat mengerti dan memahami apakah sebab si anak melakukan kesalahan. Apakah
sebab si anak tidak tahu bahwasannya yang ia lakukan itu salah, atau kurangnya
perhatian orang tua, atau sebab lingkungan, atau sebab tauladan yang buruk dari
dari orang tua ataukah sebab-sebab yang lainnya. Dengan memahami sebab ini maka
orang tua dapat lebih bersikap adil kepada anaknya dalam mengambil tindakan
tegas terhadapnya.
Namun yang harus difahami juga
bukanlah ketegasan itu adalah sebuah kekerasan, seperti membentaknya, memarahi
anak didepan umum, atau memukulnya. Karena tegas itu berbeda dengan keras.
Setiap ketegasan belum tentu kekerasan, dan setiap kekerasan bukan berarti itu
adalah ketegasan.
Sesungguhnya yang disebut dengan
ketegasan dalam mendidik anak ini adalah sikap konsistensi terhadap perintah
dan larangan. Artinya ketika orang tua memerintah sesuatu dan melarang terhadap
sesuatu hendaknya ia konsisten di dalamnya. Jangan ketika memerintah dan
melarang saat ini di perintah atau dilarang, dikarenakan rengekan anak maka
berubah sikap.
Mari kita ambil contoh, misalkan
seorang anak ingin bermain game disebuah tempat dimana ditempat tersebut banyak
terdapat pelanggaran syariat, diantaranya diputar musik, wanita membuka aurat,
ikhtilat, orang-orang melalaikan sholat, dan lain sebagainya. Ketika sang anak
meminta maka niscaya orang tua tidak memberi izin untuk main game di tempat
tersebut, namun kemudian anak tersebut merengek-rengek meminta dengan belas
kasihan agar diberi izin untuk main ditempat tersebut, akhirnya karena kasihan
sang orang tuapun memberikan izin padanya.
Inilah contoh dari tindakan tidak
tegas dari orang tua, yaitu tidak konsisten terhadap larangan. Sehingga ketika
sang anak menangkap sikap ini, dan menyimpulkan dalam dirinya bahwasannya
rengekan dapat meluluhkan orang tua. Akhirnya pada kemudian harinya merengek
ini kembali dijadikan senjata ampuh untuk melanggar aturan orang tuanya.
Namun ketika suatu perintah dari
orang tua atau larangan orang tua itu dianggap tidak mengandung larangan
syariat, maka sesekalipun boleh memenuhi permintaan anak, namun dengan
penjelasan terlebih dahulu dan dengan melihat latar belakang anak
menginginkannya, apakah karena manja saja, ataukah memang karena benar-benar
membutuhkan apa yang ia inginkan tersebut.
Maka ketegasan dalam bertindak itu
sangat diperlukan dalam mendidik anak. Hal ini agar si anak menjadi tahu
bahwasannya ketika sesuatu itu tidak boleh dikerjakan ia tidak akan
mengerjakannya karena tahu tidak ada kelonggaran di dalamnya jika dalam
perkaranya terdapat pelanggaran syariat Islam.
Hal yang sama pun berlaku ketika
sang anak melakukan kesalahan. Ketegasan disini adalah dalam rangka menasihati
sang anak. Dan mesti disesuaikanpula dengan sebab-sebab apa yang membuat anak
ini melakukan kesalahan.
Karena bisa jadi sebab anak
melakukan kesalahan ini adalah karena teladan yang buruk dari orang tuanya
sendiri, maka ketegasan itu berlaku pada diri orang tua agar dapat memperbaiki
kesalahannya terlebih dahulu dan menjelaskan kepada anak bahwasannya apa yang
ia contoh dari orang tua itu adalah kesalahan yang harus diperbaiki.
Maka merupakan cara mendidik anak
yang baik adalah sikap kasih sayang dan tegas yang pada porsinya. Dalam
mendidik anak haruslah diiringi dengan kasih sayang dan terkadangpun harus
tegas tanpa kekerasan.
Sikap tegas dalam mendidik anak ini
telah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat
cucu beliau memakan kurma sedekah. Hal ini sebagaimana hadist yang di ceritakan
oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
“Al Hasan bin Ali radhiallahu
anhu mengambil sebutit kurma sedekah lalu memasukkannya kemulutnya. Melihat hal
itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, ‘kikh, kikh!’
supaya al Hasan memuntahkannya. Kemudian, beliau bersabda, ‘tidakkah engkau
tahu bahwa kita (ahli bait Nabi) tidak boleh memakan harta sedekah?” (HR.
Bukhori, dan Muslim)
Begitu juga teladan sikap tegas yang
dapat kita ambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
anak tirinya melakukan kesalahan kemudia beliu nasihati dengan kalimat yang
bijaksana,
“Dari sahabat Umar bin Abi Salamah
radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Dahulu ketika aku masih kecil dan menjadi
anak tiri Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dan (bila sedang
makan) tanganku (aku) julurkan ke segala sisi piring, maka
Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Hai nak, bacalah
bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari sisi yang
terdekat darimu.’ Maka semenjak itu, itulah etikaku ketika aku makan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Disinilah ketgasan
orang tua diperlukan dalam mendidik anak. Ketegasan ini dipelukan ketika
memerintah, melarang, dan juga ketika melihat anak-anak kita melakukan
kesalahan. Ketika memerintah hendaknya orang tua kosisten dalam memerintah,
melarang dan menasihati anak ketika melakukan kesalahan. Seperti yang telah
disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
perintah sholat dari usia tujuh tahun, dan di usia sepuluh tahun boleh dipukul
(tanpa kekerasan) ketika tidak mau sholat.
Dari contoh yang
diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga dapat kita
tarik kesimpulan bahwasannya mendidik anak itu terdapat dua hal, yaitu
memerintah pada kebaikan dan melarang dari keburukan. Maka cara mendidik anak
yang baik adalah dengan selalu memerintahkan berbuat baik kepada anak, dan
melarang dari perbuatan buruk. Jangan sekali-kali membiarkan akan melakukan
perbuatan buruk yang melanggar syariat dengan alasan tidak mau mengatakan
“tidak boleh” karena alasan kasihan, atau yang lainnya. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment