VIRUS ANTI MORAL
M.Rakib LPMP
Riau Indonesia.2014
Apa Guna Pantun Melayu,
menyebarkan syarak meluaskan ilmu.
menyebarkan syarak meluaskan ilmu.
Virus moral, selalu merayu
Hialngla sopan, hilanglah malu.
Apa Guna Pantun Melayu,
Menyebarkan syarak membersihkan kalbu.
Bekerja keras, tak boleh malu,
Apa Guna Pantun Melayu,
Menyebarkan syarak membersihkan kalbu.
Bekerja keras, tak boleh malu,
Demi harga diri, untuk anak cucu.
Apa Guna Pantun Melayu,
Menuntun orang supaya bermalu.
Menjual tanah, tidak akan mau,
Untuk usaha, prkatekkan ilmu.
Apa Guna Pantun Melayu,
mengajar orang supaya tahu :
Tahu bodoh mencari guru
Tahu menjaga aib malu
Tahu mengekang hawa nafsu
Tahu meneladan arif meniru
Tahu beramal dengan berilmu
Tahu hidup ada dituju
Tahu mati azab menunggu
Apa Guna Pantun Melayu,
memberi petunjuk kepada yang mau :
Petunjuk agama sunnah dan fardhu
Petunjuk adat membaikkan laku
Petunjuk menyuruh hidup berilmu
Supaya hidup tak dapat malu
Supaya mati tak kena palu
(Tenas Effendy)
Apa guna pantun melayu,
penenang jiwa penyejuk Kalbu.
Apa guna pantun melayu,
ingatkan sholat yang lima fardu.
Apa guna pantun melayu,
Pembunuh cemburu, pelepas rindu.
Apa Guna Pantun Melayu,
mengajar orang supaya tahu :
Tahu bodoh mencari guru
Tahu menjaga aib malu
Tahu mengekang hawa nafsu
Tahu meneladan arif meniru
Tahu beramal dengan berilmu
Tahu hidup ada dituju
Tahu mati azab menunggu
Apa Guna Pantun Melayu,
memberi petunjuk kepada yang mau :
Petunjuk agama sunnah dan fardhu
Petunjuk adat membaikkan laku
Petunjuk menyuruh hidup berilmu
Supaya hidup tak dapat malu
Supaya mati tak kena palu
(Tenas Effendy)
Apa guna pantun melayu,
penenang jiwa penyejuk Kalbu.
Apa guna pantun melayu,
ingatkan sholat yang lima fardu.
Apa guna pantun melayu,
Pembunuh cemburu, pelepas rindu.
Kebudayaan Melayu sarat muatan
kesusastraan, dan sastra lisan mengambil bagian terbesar setelah sastra tulis.
Sastra lisan orang Melayu dikenal cukup indah dengan pilihan kata dan susunan
kalimat yang elok. Ungkapan-ungkapan indah tersebut, biasanya dalam bentuk
pantun, syair, gurindam, peribahasa, seloka dsb, yang sering diselipkan dalam
bahasa komunikasi sehari-hari. Banyak di antara ungkapan-ungkapan indah
tersebut mengandung petuah, nasehat, petunjuk dan contoh teladan, karena itu,
sering digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan. Di kalangan
orang-orang Melayu, ungkapan-ungkapan yang mengandung petuah dan nasehat
disebut juga dengan tunjuk ajar.
Menurut orang tua-tua Melayu, sebagaimana disampaikan oleh Tenas Effendy, fungsi dari tunjuk ajar ini untuk membawa manusia ke jalan yang lurus dan diridhai Allah, sehingga selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, kedudukan tunjuk ajar menjadi sangat penting dalam kesusastraan dan tradisi Melayu. Buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy ini, memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung tunjuk ajar tersebut. Tenas cukup telaten dalam mengumpulkan dan menyusun ungkapan-ungkapan tunjuk ajar yang mulai jarang digunakan oleh masyarakat Melayu tersebut menjadi satu buku. Agar lebih sistematis, tunjuk ajar yang terangkum dalam buku tersebut kemudian ia klasifikasi ke dalam beragam tema, sesuai dengan kandungan isi masing-masing ungkapan.
Tunjuk ajar yang terangkum dalam buku ini berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan, mulai dari masalah keagamaan, sosial, kekeluargaan, etika, moral hingga politik. Misalnya, pantun mengenai rasa tanggung jawab, apalah tanda batang dedap / pohonnya rindang daunnya lebat / apalah tanda orang beradap / bertanggung jawab samapi ke lahat. (h.207) Contoh lain, misalnya pantun tentang musyawarah dan mufakat, pucuk putat warnanya merah / bila dikirai terbang melayang / duduk mufakat mengandung tuah / sengketa usai dendam pun hilang. (h.262)
Pembagian secara tematik yang dilakukan Tenas dalam buku ini disesuaikan dengan isi kandungan dari setiap ungkapan. Namun, bisa saja satu ungkapan memiliki beragam kandungan isi, sesuai dengan pemahaman dan penafsiran pembaca. Misalnya ungkapan, “bila hidup tidak mufakat, di sanalah tempat tumbuhnya laknat”. Oleh Tenas, ungkapan diatas dimasukkan dalam tema persatuan dan kesatuan, gotong royong dan tenggang rasa. Namun, bila diperhatikan, sebenarnya ungkapan di atas bisa dimasukkan pula dalam tema musyawarah dan mufakat. Sebagai pembaca, mungkin kita bisa berbeda pendapat dengan Tenas dalam hal kategorisasi dan pemaknaan setiap ungkapan ini. Namun, menurut Tenas, hal ini dapat dimaklumi, bahkan penting, mengingat perkembangan penafsiran harus sejalan dengan konteks masyarakatnya, sehingga ungkapan-ungkapan yang mengandung nilai-nilai luhur itu dapat dipahami dan berfungsi dengan baik. Ringkasnya, walaupun beberapa ungkapan ini bisa ditempatkan secara fleksibel dalam beberapa kategori atau tema, tetapi kandungan ajarannya yang paling dalam tetap sama: sebagai pedoman dan petunjuk bagi orang Melayu.
Pada setiap tema dan kategori, Tenas memberikan keterangan pengantar tentang adat istiadat Melayu yang berhubungan dengan tema yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami nilai luhur yang terkandung dalam budaya Melayu. Tampaknya, upaya tematik yang diberikan Tenas hanya untuk mempermudah pembaca dalam menelusuri kandungan atau sebagian kandungan, dari setiap ungkapan yang disajikan, terutama syair. Selebihnya, pembaca dapat menafsirkan dan memahaminya sendiri.
Meskipun buku ini cukup tebal, namun Tenas mengakui bahwa, ungkapan-ungkapan yang disajikannya secara tematik tersebut belum dapat mengungkap seluruh jenis tunjuk ajar, sebab masih banyak sekali tunjuk ajar Melayu yang belum terjamah, terutama tunjuk ajar yang berkembang dalam masyarakat perkampungan. Setidaknya, kehadiran buku ini telah memberikan kontribusi besar dalam upaya melestarikan tamadun Melayu, terutama dalam kesusastraan, di tengah ketidakpedulian generasi muda pada warisan agung leluhurnya. Dalam konteks tersebut, buku ini menjadi sangat penting, sebab, mengutip Tenas, bila orang Melayu kehilangan tunjuk ajarnya, berarti mereka telah kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah mampu mengangkat harkat dan martabat Melayu. Selain itu, kehadiran buku ini juga penting dalam upaya memahami seni kesusastraan Melayu.
Membaca buku setebal 688 halaman ini, kita akan terbuai dan terlena oleh indahnya ungkapan-ungkapan Melayu. Keindahan ungkapan bukan saja terletak pada pilihan kata serta kalimat yang rancak, demikian kata Mahyudin Al Mudra dalam pengantar buku ini, tetapi lebih dari itu adalah pada makna yang terkandung di dalamnya. Buku ini cukup representatif untuk memahami adat istiadat Melayu.
Diposkan oleh KESENIAN ORANG MELAYU RIAU
Permainan Tradisional Masyarakat Melayu Riau
Virus penyakit epidemik global zaman
kini, –yang ditularkan oleh para pembuka kotak Pandora, yang sadar tak sadar
telah menjadi pengikut sekte satanic post-moderenisme– mulai makin
memperlihatkan gejala deman sosio-politik-ekonomi-kulturalnya di Indonesia.
Betapa tidak, Post-Modernisme,
sebagai sebuah bentuk pseudo filsafat ideology kontemporer, salah satu
dewa berhalanya bernama prinsip dekonstruksionalisme (aliran penghancuran
segala sesuatu) adalah antitesa dan kontra-ideology dari developmentalis
konstruktifisme (pembangunanisme) moderenisme. Post-modernisme kini telah
memunculkan banyak fenomena yang direkayasa untuk menghegemoni wacana &
praksis sosio-ekonomi-politik-kultural publik bangsa kita ini. Sebutlah
beberapa rentetan issue aktual berikut:
Telah muncul statement salah satu
elit politik sebuah partai: Pramono Anung dari PDIP, yang bertekad dan
mencanangkan figure pornoaksi terkenal “Inul Daratista” sebagai “icon”
partainya untuk strategi kampanye pemilu yang akan datang. Sebagai sebuah
partai yang mengklaim diri sebagai partai terbesar, terpopuler dan partainya
“wong cilik”, PDIP mempertontonkan, mohon maaf, sebagaimana disebut dalam kolom
Rehat di pojok halaman depan Koran Republika, Sabtu, 13 September 2003, sebagai
“pertanda Banteng tak lagi mengandalkan kepalanya”. Artinya, tinimbang mereka
menggunakan kekuatan akal di kepala (logika rasional), mereka lebih suka
menggunakan kekuatan pesona goyang “ngebor dan ngecor”-nya pantat Inul sebagai
Icon penarik simpati dan promosi partainya untuk meraih kemenangan politik
dalam pesta-“mabuk”- demokrasi, tahun depan.
Akal sehat saya mencerna, kalau
memang begitu, pantat Inul sebagai “icon” (lambang) partai, pada hakekatnya
sudah, sedang dan akan menjadi berhala penarik dukungan massa, yang diharapkan
akan kuat menyedot “basic instinct” bagian penting naluri hewaniyah
manusia. “Icon Inul”, sudah tentu akan merangsang dan meng-hyperactive-kan
bagian otak reptil dan otak mamalia manusia, dalam kesatuaan yang seharusnya
Otak “Three in One”. Dan mengalah-lumpuhkan bagian lapisan otak neocortex-nya,
yang seharusnya menjadi cirri khas kemanusiaan sejatinya. Artinya, pikiran akal
sehat (rasionalitas ilmiah) akan dikalahkan demi hawa nafsu bahimiyah
(kebinatangan) umat manusia. Sedang dan akan terjadi proses pembodohan massal
ketika nafsu dikedepankan sambil menyingkirkan rasionalitas akal sehat dalam
wacana & praktek politik publik, sekiranyanya partai “Inul” yang menang
nanti. Naudzu billah min Dzalik”.
Lho mengapa harus “naudzu billah
min dzalik”? Ya..ya..ya, sebab fungsi neokortek & “God Spot” dalam
kepala saya, dan juga mungkin masih banyak persediaan akal sehat dan fitrah keimanan
pada kalangan anak bangsa ini, walau masih “silent majority”, tidak akan
rela, jika hajat hidup rakyat banyak, urusan politik kenegaraan dan kehidupan
ekonomi-sosial-budaya diserahkan sepenuhnya kepada para pemuja berhala
seksualitas-sensualisme tersebut.
Kenapa?
Mudah-mudahan kekuatan rasio yang terbimbing “fitrah ilahi” dari silent
majority, masih mampu menyadari, ketika hawa nafsu liar menjadi dominan dan
menghegemoni seluruh sendi kehidupan masyarakat manusia, maka kerusakan dan
kehancuran moral-peradaban bangsa menjadi sangat niscaya. AIDS dan berbagai
penyakit kelamin akibat perzinahan akan menjadi epidemik dan endemic; kerusakan
struktur sosial dan institusi keluarga sebagai basisnya akan lebih cepat lagi
akibat angka penyelewengan seksual para suami dan para istri makin tinggi.,
freesex remaja makin popular, trendy dan funky. Para bapak akan makin larut
dalam pelukan pelacur atau “perek” dan lupa diri pada tanggung jawabnya sebagai
kepala keluarga, suami dan bapak pengayom bagi anak-anak dan istrinya. Lalu
para Ibu sedang dan akan semakin asyik bermain sex dengan masing-masing
selingkuhannya atau para gigolo. Naudzu billah min dzalik. Lalu
kemanakah anak-anaknya ? Ya bisa juga jadi pengikut dan penyembah berhala sex,
freesex, promotor dan salesman/salesgirl seks. Atau mungkin jadi korban “broken
home” yang terjerat jaringan bandar narkoba. Atau jadi kriminal cilik di
jalanan kota dan kampung-kampung. Atau jadi anak-anak idiot, cacat mental,
imbisil, dll. Naudzu billah min dzalik.
Memang
dahsyat penyebaran virus penyakit moral yang keluar dari kotak pandora sekte
satanic post-mo tersebut. Bagaimana tidak? Dekonstruksionisme (aliran ideologi
penghancur) tersebut telah dapat menghancurkan potensi fitrah ilahiyah salah
seorang kawan saya sesama guru pendidik di sekolah. Berhala
hipersexualitas-mashocis, transeksualitas, homosex, lesbianisme, dll, dalam
karya tulis sastranya, telah mengubah wajah ayu sang guru muslimah, kawan saya
itu. Padahal 4-5 tahun yang lalu, Dinar Rahayu, begitu popular, disukai dan
dicintai anak-anak murid kami. Dulu, kepadanya kami bersimpati. Tapi sayang
kini, wajahnya tak lagi ceria dan cemerlang dengan cahaya Nur-Ilahi. Wajah,
yang walau masih terbungkus rapi jilbab nan anggun, ironisnya kini semakin
pucat dan kelabu, tertutupi make-up zaman reformasi yang kebablasan,
terkontaminasi oleh bedak dan gincu dekonstruksionisme posmo. Akhirnya dia
terusir dari oase intelektual-spiritual di sekolah tempat kami mengajar dulu.
Dengan
kesedihan dan keprihatinan yang sangat mendalam, saya terpaksa mengatakan bahwa
Dinar kawan saya itu, kini telah menjadi salah satu gerbong novelis-cerpenis
yang ditarik oleh lokomotif gerakan pornografi, pornoaksi, pornojurnalitik, dan
sastraporno, Arswendo Atmowiloto and “His Yellowpaper Syndicate with Their
Red & Blak Conspiracy”. Berikut gerbong-gerbong lainnya yang
aktif cari penumpang seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Hudan Hidayat, Anny
Arrow, Tommy F. Awuy, dll.
Namun
dalam hati kecilku, aku masih berharap, Dinar yang kukenal, dan juga novelis-cerpenis
lain yang kini bergelimang dosa itu akan segera bertobat & sadar mencari
hidayah Allah SWT. Sebagaimana taubat dan sadarnya sastrawan terkenal Almarhum
Motinnggo Busye di dekade akhir hayatnya, Setelah sekian ratus novel &
cerpen porno karyanya mengharu-biru jagat atmosfir bangsa kita di era tahun
1960-1970-an. Hingga konon karya-karya itu ditampung khusus dalam sebuah ruang
dan rak-rak perpustakaan kepresidenan di Washington DC USA. Semoga saja.
Lalu,
akan dibawa ke manakah bangsaku ini berlayar? Dengan perahu retak yang makin
dibolongi lambungnya oleh sebagian penumpang dan awak, bahkan nakhoda perahu
negeriku, yang makin hiperaktif dan rada bonek tersebut. Apakah kita atau kami
harus rela dan tenang-tenang saja duduk di dek kapal perahu retak dan bocor
tersebut. Lalu kita pasrah bongkokan ditenggelamkan secara massal sebagai
sebuah bangsa di badai gelombang samudra globalisasi yang kian kacau cuacanya
dan iklimnya? Atau kita biarkan negeri kita tenggelam dan hancur, seperti
hancurnya negeri Sodom & Gomorah-nya kaum nabi Luth di Timur Tengah sana
dulu. Masih
adakah perahu Nabi Nuh yang akan menyelamatkan kita dari amukan badai gelombang
samudra globalisasi, liberalisasi post-moderenisme yang menghancurkan
(dekonstruksionisme destruktif) ini.
Lihatlah
demam
sosio-kultural
bangsa ini makin parah, akibat kezaliman dan kemaksiatan
yang dipelihara dan dibiarkan berkembang di masyarakat. Bertahun-tahun, hampir
2 dekade lewat, seorang kyai yang dipanggil santrinya sebagai Abi di sebuah
pesantren di Bogor, dibiarkan bebas mempekosa secara homosex dan mensodomi
santri-santri laki-lakinya yang masih cilik dan lugu, tanpa sedikitpun dapat
tercegah oleh aparat hukum dan keadilan, juga politik. Dan lihatlah berita
perkosaan dan pembunuhan makin banyak dan akhirnya seolah menjadi berita
biasa-biasa saja, yang tak menyentuh lagi dawai nurani publik bangsa ini.
Pelacuran dilegalkan dan dilindungi media massa dengan promosinya dan
pelembutan bahasa penyebutannya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Mestinya pelacur
ya sebut saja pelacur, penzina ya penzina, ndak usah ditutup-tutupi dan dibuat
sopan sebutannya untuk sesuatu yang memang asusila.
Lihatlah
dan saksikanlah betapa kini kami para guru & pendidik semakin sulit saja
membina dan membimbing jiwa dan ruhani serta akhlak sebagian murid-murid kami
di sekolah. Karena sebagian mereka lebih tertarik dengan pesona luar biasa
berhala-berhala hiper-realitas sexual yang disajikan media massa.
Berhala-berhala MTV, penis & vagina serta organ-organ sexual lainnya lalu
menjadi icon-icon yang memenuhi jaringan syarat dan sel-sel otak reptil dan
mamalia sebagian murid-murid kita. Hingga lapisan otak neocortex-nya lumpuh.
Kehabisan energi dan oksigen. Jadi tak kuat lagi belajar dan latihan beribadah.
Jadi tak kuat lagi konsentrasi menuntut ilmu dan mengasah lifeskill dan mudah
“BeTe” di kelas. Buku catatannya pun lebih dipenuhi gambar-gambar “si Totong
Sang penis” dan atau artis-artis setengah telanjang.
“Akankah…
kita kembali ke masa lalu? Masa jahiliyah! Masa kebodohan. Masa kesesesatan…
manusiaaaa…..”, terngiang kembali lengkingan nyanyian anak-anak PAS (Pembinaan
Anak masjid Salman) ITB Bandung 20 tahun yang lalu binaan Mas Edi Ibadurahman,
dkk.
Memang,
mungkin sejarah mesti berulang. Kekuatan tirani pedagang kapitalis-imperialis
Arab Quraisy zaman jahiliyah telah menjadikan isme keberhalaan Lata, Uzza &
Mannata sebagai “icon” untuk mengelabui publik konsumen pasar mereka dan
konstituen sosio-politik dagang ekonomi mereka. Ketika ajaran tauhid dan akhlak
moralitas suci dibawa para Nabi Allah dan dipamungkasi oleh Rasulullah Muhammad
SAW sampai kepada masyarakat Arab. Hal ini dianggap oleh para elit kafir
Quraisy Arab dan kaum Yahudi serta musyrikin, sebagai musuh terbesar bagi
kekuatan dan kepentingan ekonomi-sosial-politik dan budaya materialistic
kapitalis imperialis Arab jahiliyah. Maka menurut mereka Islamnya Muhammad SAW
harus dihancurkan.
Gerak
spiral sejarah, telah dan akan terus bersinggungan dan melewati garis kiri dan
kanan, gelap dan terang, kekuatan hitam dan putih masyarakat. Kini kekuatan
kiri materialis-kapitalis sekuler & atheis telah menggurita dunia dengan
“icon-icon” berhala-berhala pesona dunia hiper-realitas konsumerisme hedonistic
(yang mempertuhankan kenikmatan di atas segalanya), berhala hiper-realitas
seksual-sensualisme. yang ujung-ujungnya duit (UUD), melalui aneksasi,
kolonialisasi-imperialis dan eksploitasi berbagai sumber daya alam dan sumber
daya manusia dunia. Kini dengan dalih globalisasi dan liberalisasi (semu)
perdagangan dunia melalui WTO.
“Kaum
Yahudi & Nashoro tidak akan pernah sekalipun merasa ridho kepadamu (kecuali
kalau) kamu mengikuti agama (filsafat-ideologi dan gaya hidup) mereka.
Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itu petunjuk (yang benar).
Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah kamu pengetahuan dating
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS
Al Baqoroh, 2: 120)
“
Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
limpahkan kepada mereka berkah dan rizki dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka akibat perbuatannya. (
QS Al A’raf, 7: 96)
“Dan
(penduduk) negeri itu telah kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan
telah kami tetapkan ajal bagi kebinasaan mereka.” (QS.
Al Kahfi, 18: 59)
Akhirul
kalam, mari kita berdoa: “Ya.. Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Kasih dan Maha
Penyanyang, kirimkanlah “perahu Nabi Nuh” yang dapat menyelamatkan kami dan
anak cucu kami, serta semua kaum beriman lainnya. Sekiranya negeri kami memang
telah kau takdirkan akan tenggelam dan hancur karena terbakar hawa nafsu dan
perilaku buruk sebagian besar penduduknya, maka Selamatkanlah kami, sebagaimana
Kau telah selamatkan Yusuf dari godaan maut sensual Zulaikha, sebagaimana telah
kau selamatkan Nabi Luth dan para mukminin pengikut setianya, selamatkan kami
dari kejahatan hawa nafsu kami sendiri Ya Allah.***
No comments:
Post a Comment