KEKERASAN DALAM ISLAM
Suatu kritik oleh Cornelis van Vallenhoven bahwa hukum adat
Islamlah yang seharusnya berlaku
terhadap orang yang ber KTP Islam, kritik van Vallenhoven ini diperkuat oleh
Christian Snouk Hurgronye dengan teori reseptienya. Teori Snouk
Hurgronye ini mempengaruhi politik hukum Belanda, sehingga masyarakat Indonesia
menjauhi hukum Islam, salah satunya adalah kewarisan dan berdasarkan Staatsblat
1937 No. 116 jo Staatsblat No. 610 pengadilan agama (priesterraad) tidak
dibolehkan memutuskan masalah waris. Setelah Indonesia merdeka pada tahun
limapuluhan Hazairin dalam bukunya Tujuh Serangkai Tentang Hukum yang
dikutip oleh Ichtijanto, membantah terori receptie yang disebutnya teori
iblis.
Dengan demikian, sejauh mana perkembangan hukum kewarisan
Islam di Indonesia?
Sebelum
Masa Pemerintahan Belanda
Telah
banyak kerajaan Islam di Nusantara seperti kerjaan Pasai, Demak, Cirbon, Buton
dan Ternate yang memberlakukan hukum Islam. Paham yang dianut (legal sistem)
pada umumnya bermazhab Syafi’i. Kerjaan tersebut telah menerapkan norma-norma
hukum Islam dan masyarakat memberlakukannya. Pemberlakukan hukum Islam oleh
kerajaan Islam tersebut tidak parsial. Sesuai dengan terori penerima
otoritas hukum Islam yang dijelaskan oleh Gibb dalam bukunya The Modern
Trends in Islam yang dikutip A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, bahwa
orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nyai. Oleh karena itu, apabila mereka telah menerima Islam sebagai
agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi
orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatan Allah dan tradisi rasul.[2]
Demikian pula teori krido, atau teopri syahadat yaitu teori yang
mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua
kalimah syahadat sebgai konsekuesi logis dari pengucapan kredonya[3].
Dilihat dari sudut penetaan hukum Islam, melaksanakan
syari’at Islam yang dilengkapi dengan institusi-institusi keagamaan, seperti
pengadilan agama merupakan fardu kifayah (kewajiban sosial).
Karenanya, pada kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut selalu
membentuk badan-badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini
merupakan salah satu pendekatan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan
kesultanan itu menerapkan hukum waris … sebagai hukum yang hidup (living law)
di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya.[4]
Selanjutnya dikatakan bahwa Pengadilan Agama dimasa kerjaan dan kesultanan pada
waktu itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menyelesaikan perkara
kewarisan …orang-orang Islam. [5]
Menurut Syaukani biasanya pemberlakuan hukum Islam pada
kerjaan-kerjaan Islam itu sangat bergantung pada mazhab yang dianut oleh para
Sultan[6].
Selnjutnya dikatakan walaupun pemberlakuan Islam berdasarkan pada mazahb yang
dianut oleh para Sultan, tetapi hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan
cara pandang kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai adat
dan perilaku keseharian.[7]
Misalnya masyarakat Aceh menyatakan, hukum Islam adalah
adatnya, adatnya adalah hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat
bersendikan syarak; syarak bersendikan kitabullah. Demikian juga di Pulau Jawa,
pengaruhnya sangat kuat sehingga Alqur’an, As-Sunnah, ijma’, dan
qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku.
Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil mempengaruhi
kebeeragamaan masyarakat Indonesia untuk menjalankan syariat Islam.
Masa
Pemerintahan Belanda (Penjajahan)
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam
menyahuti pemikiran dan implimentasi hukum Islam adalah merumuskan dan
menformulasikan teori-teori yang berkenaan dengan cita-cita hukum dan adat
masyarakat Indonesia. Di antara teori yang dikenal luas adalah:
1); teori receptie in complexu oleh Lodewijke Willwm
Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch
recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan hukum Islam berlaku bagi
orang-orang Islam Indonesia walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan,[8]
pendapat van den Berg ini dikenal dengn teori recetio in complexu.
Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya,
setelah memperhatikan dan mencermati fakta-fakta hukum yang terjadi pada
masyarakat pribumi. Kemudian, van den Berg mengonsepkan Staatsblat 1882 Nomor
152 yang berisi ketentuan bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum
agama di lingkungan hidupnya. Hal ini berarti, bagi rakyat jajahan yang
beragama Islam di Indonesia berlaku hukum Islam. Bagi badan-badan peradilan
agama, ketika pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah
melaksanakan hukum agama Islam, tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan
hukumnya.[9]
Pemeritahan Gubenur Daendels, anggapan umum bahwa hukum asli
terdiri atas hukum Islam, sedangkan Reffles mengira hukum adat itu tidak lain
hukum Islam.[10]
karena pandangan Pemerintah Belanda bahwa hukum Islam adalah hukum asli Indonesia,
maka ditetapkan Regering Reglemen (Staatsbalat 1884 Nomor 129 di Negeri Belanda
jo Staatsblat 1885 Nomor 2 di Indonesia) terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal
78 jo Pasal 109 Reglemen teersebut, waktu dikenal dengan Receptio in
Complexu.
Subtansi ketiga pasal tersebut adalah setiap sengketa antara
orang-orang Indonesia yang beragama Islam diberlakukan hukum Islam. Hukum
agama, adat dan ke biasaan itu juga dipakai oleh hakim Eropa pada Pengadilan
yang lebih tinggi. Sengketa antara orang Indonesia atau dipersamakan dengan itu
dipakai harus tunduk pada keputusan Hakim Agama menurut hukum agama. Demikian
bagi orang Arab, Moor dan orang Cina yang dipesamakan dengan orang Indonesiaada
baik yang beragama Ismlan maupun bukan beragama Islam diberlakukan dengan hukum
yang sama.[11]
Dari ketentuan peraturan dan Undang-udang tersebut, menurut
Muhammad Ali Daud (1982 :101) bahwa tanpak dimasa pertama pemerintahan Hindia
Belanda, hukum Islam itu diakue eksistensinya sebagai hukum positif yang
berlaku bagi orang Indonesia terutama mereka yang beragama Islam, dan
perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-undangan ditulis
satu nafas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan
ini telah berlangsung demikain juga, seperti terkenal compendium freijer,[12]
dapat juga dikatan hukum adat dapat diberlakukan jika diresepi atau diterima
oleh hukum Islam.
Cornelis van Vollenhoven yang dikenal ahli hukum adat
Indonesia, dia membagi hukum adat atas 19 persekutuan hukum adat, mengiritik
dan menyerang pasal 75, 78 dan 109 RR Staatsblat 1855 No 2 itu, dan van den
Berg juga turut dikritik dan diserang atas teori recetio in complexu
itu.
2); teori receptie oleh oleh Chritian Snouck
Hoergronje, penasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Isla am
dan anak negeri. Memperkuat kritikan van Vollenhomen terhaap teori receptie
in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang berlaku bagi orang- orang
Islam adalah hukum adat mereka masing-masinF. Hukum Islam dapat berlaku apabila
telah diresepsi oleh hukum adat. Pendapat Snouck Horgronje ini disebut dengan
teori receptie[13]
Jadi adatlah menentukan ada tidaknya hukum Islam. (A. Rahmat Rosyadi dan M.
Rais Ahmad, 2006 : 74).
Pendapat Snouck Horgronje tersebut merobah pandangan politik
hukum Hindia Belanda, perubahan atas Staatsblat 1855 No.2 diganting dengan
Indische Staats Regeling (staatsblat 1925 N0. 416) disusul dengan Staatsblat
No. 1929 No. 221 dimana nyatakan hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan
yang tersendiri. Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah
memenuhi dua syarat.
Pertama: Norma Hukum Islam itu harus diterima terlebih dahulu oleh
hukum kebiasaan (adapt masyarakat setempat).
Kedua:
Kalaupun sudah diterima oleh Hukum Adat, norma dan kaidah Hukum Islam itu juga
tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh
ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Demikian pula lat 1882 No. 152 dimana pengadilan aganma
mempunyai kewenagan memeriksa perkara perkawinan dan kewrisan diganti dengan
Staatsblat 1937 No. 116, hukum waris dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama.
Kompensasinya dieuntuk pengadilan tingkat banding di Pulau Jawa dan Madura. Dan
Staatsblat 1937 No. 610 tentang Pengadilan Agama dan pengadilan tinggi Agama di
Kalimatan Selatan.
Teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran
bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan
kebudayaan Eropah, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan
tidak akan timbul guncangan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda harus mendekati
golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adapt dan memberikan dorongan
kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adapt kepada pemerintah.[14]
Tindak kekerasan sering kali kurang memperoleh
perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban dianggap
tidak sedramatis sebagaimana layaknya anak-anak yang ditelantarkan. Kekerasan
seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisikal
dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga
membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Istilah (child abuse) atau perlakuan
salah terhadap anak bisa terentang mulai yang bersifat fisik (physical abuse) hingga
seksual (sexual abuse), dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial
(social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural. Perlindungan anak diatur secara khusus (lex specialis)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Mengacu pada permasalahan
tersebut, objek kajian dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Nah perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan
agar mendapatkan perlindungan hukum yangmemadai, pendekatan yang digunakan
pendekatan normatif yuridis, sedangkan metode yang dipakai metode analisa induktif,
melihat pengertian kekerasan anak dalam kasus ini berbeda dengan kekerasan
pada umumnya Lahirnya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
disetujui DPR RI tanggal 23 September 2002, memberi perlindungan hukum terhadap
anak secara yuridis. Pokok bahasan pada penulisan ini adalah: bagaimana
pandangan serta sanksi pidana
terhadap pelaku kekerasan anak, menurut hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak?.Dari pembahasan yang telah penulis lakukan, dapat
diambil kesimpulan bahwa:
1.Hukum Islam memandang tindakan
kekerasan anak sebagai tindakan yang tidak
dibenarkan dalam Islam, serta
dikategorikan sebagai tindak pidana yang berakibat
dapat dipidana dengan sanksi hukum.
Berdasarkan pad a hukum ta’zir. Yang ketentuan putusan hukumannya diserahkan
kepada kebi
jaksanaan pihak penguasa atau hakim.
2.UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak meman
dang tindakan kekerasan anak sebagai
tindakan pelanggaran hukum yang beraki
bat dapat dipidana dengan sanksi
hukum sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahu
n 2002 tentang Perlindungan Anak
lebih khususnya dalam Pasal 80.
Banyak
ayat2 Qur’an yang memerlukan penjelasan yang jelas. “Bunuh kafir di mana pun
kau menemukanya.” (2:191) “Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan
ketaatan adalah semata-mata bagi Allâh saja.” (2:193)
Bagaimana para Muslim menerangkan ayat2
ini? Bukankah ayat2 ini, dan ayat2 serupa lainnya dalam Qur’an, yang
bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan di dalam dunia Islam? Kebanyakan
agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu yang penuh kekerasan. Tapi
Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan tindakan kekerasan dalam buku
sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang membutuhkan jawaban.
——————–
Kalimat-kalimat di atas adalah sebuah
pertanyaan yang terselip dalam bab 7 buku kacangan yang menghina Nabi Muhammad
SAW, karangan Ali Sina yang mengaku pernah beragama Islam.
Jim Ball seorang penyiar radio di Sidney menulis: “Ali Sina adalah murtadin Iran yang memelopori website faithfreedom.org. Bersama-sama dengan murtadin2 lainnya seperti Ibn Warraq, Sina adalah ujung tombak gerakan murtadin pertama dalam sejarah Islam. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir karena imigrasi Muslim ke tanah Barat dan perkembangan teknologi internet…. Tidak berlebihan untuk mengatakan jika orang2 seperti Ali Sina, Ibn Warraq dan Wafa Sultan selamat dari ancaman mati bagi yang meninggalkan Islam, maka Islam tidak akan tampak sama lagi.”
——————-
Sebagai orang awam saat saya membaca
atau mendengar ada ayat Al-Quran bermakna “Bunuh kafir di mana pun kau
menemukanya.” (2:191) spontan saya akan menanyakan dalam hati “apa
konteksnya?”. Perkara membunuh bukan perkara kecil, ini masalah menghilangkan
nyawa seseorang, masalah mencabut hak hidup yang diberikan Tuhan kepada Makhluk
dan sekarang dikenal sebagai Hak Asasi.
Saya paham bahwa sebagian ayat Al-Quran
adalah sebuah dasar hukum, namun sebuah dasar hukum akan menjadi cacat jika
tidak memiliki landasan dan tujuan, ini akan menyalahi tujuan dari hukum itu
sendiri.
Karena
saya bukan orang yang cukup terpelajar mengenai Al-Quran, maka tidak ada jalan
lain kecuali membuka Al-Quran dan membaca ayat tersebut.
Dan
di Al-Quranlah saya menemukan jawaban.
(2:190). Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(2:191). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
(2:192). Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(2:190). Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(2:191). Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
(2:192). Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[2.190]
And fight in the way of Allah with those who fight with you, and do not exceed
the limits, surely Allah does not love those who exceed the limits.
[2.191]
And kill them wherever you find them, and drive them out from whence they drove
you out, and persecution is severer than slaughter, and do not fight with them
at the Sacred Mosque until they fight with you in it, but if they do fight you,
then slay them; such is the recompense of the unbelievers.
[2.192]
But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.
Saya
kira jika saja Ali Sina itu pernah membaca Al-Quran, bukan hanya mengutip
potongan-potongan ayat hingga kehilangan konteksnya, maka ia tidak akan
bertanya-tanya mengapa ada ayat seperti ini dalam Al-Quran.
Kita
bisa melihat bahwa semangat perang pada 2 ayat di atas adalah semangat “membela
diri”.
- “perangilah di jalan Allah” orang-orang yang memerangi kamu. (Al-Quran belum menggunakan istilah “kafir” di sini sebagaimana Ali Sina sebutkan)
- bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.
- usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.
- dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
- Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Barulah Al-Quran kemudian menggunakan istilah “kafir” di bagian akhir ayat)
- “perangilah di jalan Allah” orang-orang yang memerangi kamu. (Al-Quran belum menggunakan istilah “kafir” di sini sebagaimana Ali Sina sebutkan)
- bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka.
- usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.
- dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu.
- Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Barulah Al-Quran kemudian menggunakan istilah “kafir” di bagian akhir ayat)
Terjawab
sudah pertanyaan saya mengenai konteks ayat tersebut.
Saya kira tidak perlu lagi dijelaskan mengenai hukum sebab-akibat.
Namun mengenai kata “bunuhlah” ini tampaknya perlu diperjelas, agar orang semacam Ali Sina ini dapat informasi yang lebih seimbang mengenai potongan-potongan ayat yang entah dia kutip dari mana.
Saya kira tidak perlu lagi dijelaskan mengenai hukum sebab-akibat.
Namun mengenai kata “bunuhlah” ini tampaknya perlu diperjelas, agar orang semacam Ali Sina ini dapat informasi yang lebih seimbang mengenai potongan-potongan ayat yang entah dia kutip dari mana.
Dalam
situasi perang fisik dimanapun dan karena apapun, kata “membunuh atau dibunuh”
bukan sebuah idiom yang ganjil, dan kita tentu paham senjata dalam peperangan
itu digunakan untuk apa. Namun jika meneliti ayat-ayat di atas, ada rambu-rambu
yang kiranya perlu pula diperhatikan, dan jika kita hilangkan memang akan
menampilkan sebuah semangat barbar dan kekejaman. Sebuah image yang sengaja
ingin ditampilkan oleh Ali Sina.
Rambu-rambu
itu adalah:
- janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas;
- jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
- janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas;
- jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
-
and do not exceed the limits, surely Allah does not love those who exceed the
limits.
- But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.
- But if they desist, then surely Allah is Forgiving, Merciful.
Pertanyaan
Ali Sina akan lebih obyektif jika yang ditanyakan adalah sampai sejauhmana
batasan-batasan itu. Itu sebuah pertanyaan yang perlu referensi lain untuk
menjawabnya, dan karena Ali Sina tidak menanyakan itu saya pun tidak perlu
menjawabnya. Jika saja Ali Sina pernah membaca Al-Quran, mungkin dia akan
menanyakan hal itu.
Makna
ayat “jika mereka berhenti (dari menyerang kamu), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. Adalah sebuah isyarat halus yang cukup mudah
untuk dipahami. Bahwa jika mereka berhenti menyerang, maka sifat pengampun dan
penyayang adalah sebuah misi penutup dari akhir peperangan itu. Ini semua tercakup
dalam ayat sebelumnya, yaitu “perangilah di jalan Allah”, jadi bukan hanya
perang defensif semata, yang jika sipenyerang sudah berhenti menyerang maka
terjadi pembalasan dendam dengan menyerang balik secara agresif.
———-
Mari
ke ayat selanjutnya.
(2:193).
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu
hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
[2.193]
And fight with them until there is no persecution, and religion should be only
for Allah, but if they desist, then there should be no hostility except against
the oppressors.
Kenapa Ali Sina memotong ayat itu sehingga hanya menjadi:
“Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata bagi Allah saja.” (2:193)
Kenapa Ali Sina memotong ayat itu sehingga hanya menjadi:
“Perangi mereka, sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan adalah semata-mata bagi Allah saja.” (2:193)
Padahal
potongan ayat selanjutnya sangat penting, dan akan menjawab pertanyaan saya
tentang konteks ayat tersebut.
Potongan ayat yang dibuang oleh Ali Sina itu berbunyi:
“… Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”
Potongan ayat yang dibuang oleh Ali Sina itu berbunyi:
“… Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”
“…
but if they desist, then there should be no hostility except against the
oppressors”.
————————————
Makna
lain yang saya tangkap dari ayat ini:
”
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi”
Terserah
Ali Sina ingin mengartikan apa kata “Fitnah”, namun sudah jelas bahwa perang
ini memiliki tujuan, bukan hanya sekadar ingin memuaskan nafsu bunuh membunuh
yang absurd.
“….dan
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah”
Ini
akidah dasar Umat Islam, ketaatan, agama, religion itu hanya kepada Allah,
bukan kepada komandan perang, presiden atau siapapun. Jika diawal disinggung
perintah “perangilah di jalan Allah” maka perang itu sendiri merupakan ketaatan,
memiliki nilai lebih, yaitu ibadah, yang melandasi upaya untuk “membela diri”.
Jadi jika perang sudah usai, entah karena “Fitnah” telah lenyap, atau karena
musuh berhenti menyerang, maka perintah lain yang tidak sejiwa dengan perintah
Allah pada ayat-ayat ini menjadi “tidak bernilai ibadah” lagi. Entah itu
perintah untuk terus melakukan serangan dari komandan perang demi hasrat menang
atau ingin menjajah dlsb, atau perintah lainnya.
Jika
“….dan ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah” diartikan bahwa perang itu
harus dilakukan hingga hanya tinggal ada satu agama, yaitu Islam, maka
pemahaman seperti itu adalah pemahaman yang ganjil, dan tidak nyambung dan
bertolak belakang dengan kelanjutan ayat yang berbunyi “Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang zalim”
Kelanjutan
ayat ini, yaitu “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” menjadi penutup
yang sangat manis.
Sebuah kalimat pasif, yang justru menjelaskan dari mana permusuhan itu datang dan menjelaskan, bahwa orang-orang Zalim dikecualikan dari ketentuan ini.
Sebuah kalimat pasif, yang justru menjelaskan dari mana permusuhan itu datang dan menjelaskan, bahwa orang-orang Zalim dikecualikan dari ketentuan ini.
Kenapa
Ali Sina tidak melihat ada pembedaan istilah di sini.
Jika di akhir ayat 2:191 menggunakan istilah “kafir” maka di sini menggunakan istilah “Zalim”. Saya kira jika Ali Sina pernah beragama Islam, maka dia tahu apa beda makna istilah “Kafir” dan “Zalim”.
Jika di akhir ayat 2:191 menggunakan istilah “kafir” maka di sini menggunakan istilah “Zalim”. Saya kira jika Ali Sina pernah beragama Islam, maka dia tahu apa beda makna istilah “Kafir” dan “Zalim”.
———————————–
Kebanyakan
agama, termasuk Kristen, punya sejarah masa lalu yang penuh kekerasan. Tapi
Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan tindakan kekerasan dalam buku
sucinya. Mengapa? Ini adalah pertanyaan sah yang membutuhkan jawaban.
———————————–
Sekarang
sudah jelas konteks ayat-ayat tersebut, menurut saya disana tidak diajarkan
tindak kekerasan. Jika membela diri (sekalipun dengan membunuh dalam
peperangan) dikategorikan sebagai kekerasan (dalam pengertian sebuah tindakan
yang salah menurut Ali Sina) maka saya justru mempertanyakan standard keadilan
seperti apa yang Ali Sina tawarkan.
Mengenai
pernyataan bahwa Islam adalah satu2nya agama yang mengajarkan kekerasan dalam
buku sucinya, sudah saya jelaskan bahwa yang di maksud sebagai “kekerasan” oleh
Ali Sina ini adalah dalam rangka membela diri akibat diserang dan diperangi,
dan saya tidak pernah mempelajari kitab suci agama lain, sehingga saya tidak
dapat mengetahui apakah disana di ajarkan kekerasan, atau apalah.
Kontradiksi
lainnya adalah jika benar pernyataan Ali Sina bahwa Al-Quran satu-satunya yang
mengajarkan “kekerasan” (yang terbukti sebagai aksi membela diri), maka apa
yang di ajarkan buku-buku suci agama lain saat umat mereka diserang dan
diperangi???
Jika membela diri dipandang sebagai kekerasan, maka arti dari kontradiksi itu justru diluar nalar, apakah kita akan menyerahkan diri kita begitu saja untuk dibunuh oleh pihak-pihak yang menyerang dan memerangi kita??? Itukah yang diajarkan buku-buku suci agama lain???
Jika membela diri dipandang sebagai kekerasan, maka arti dari kontradiksi itu justru diluar nalar, apakah kita akan menyerahkan diri kita begitu saja untuk dibunuh oleh pihak-pihak yang menyerang dan memerangi kita??? Itukah yang diajarkan buku-buku suci agama lain???
Sukurlah
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menyerang tanpa alasan, jika tidak,
mungkin sudah lama tak ada lagi agama lain dimuka bumi ini selain Islam. Karena
ternyata umat selain Islam tidak diajarkan membela diri saat diperangi, karena
membela diri akibat diserang dan diperangi adalah sebuah “kekerasan”.
No comments:
Post a Comment