Yang Malu-Malu Mengaku telah
menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam
m.rakib lpmp riau
penggemar buku HUKUM YANG BARU
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ
الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍفَمَا
Yang Malu-Malu Untuk Mengaku
bahwa ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga
akhirnya mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas.
Artinya ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas
Islam yang -kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah
asing seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis,
Islam-modernis, Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis,
Islam-humanis, Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru
ajaran selain Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih
diutamakan daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus
atau Islam-minus atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam
adalah Islam. Ia adalah agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak
memerlukan tambahan dan tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar…!
“Menghidupkan
Hukum Islam Dalam Masyarakat ” yang dimuat dalam majalah aliran islam, Prof
Hasbi mencoba mengangkat kembali ide besarnya tersebut. Dalam tulisannya
tersebut ia menyatakan eksistensi Hokum
Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis,
tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna.
Kehadirannya tidak lagi dianggap ada oleh umat, karena tidak sanggup lagi
mengakomodir berbagai tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, Hokum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan
baru, khusunya dalam segala cabang dari bidang muamalah, yang belum ada ketetapan
hukumnya. Ia harus mampu hadir dan bias berpartisipasi dalam membentuk gerak
langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid {ulama lokal} dituntut untuk mempunyai
kepekaan terhadap kebaikan yang tinggi dan kreatifitas yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternative fiqih baru yang sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan
masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif, melalui sebuah lembaga
permanent dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang
bermacam-macam. Menurutnya upaya ini akan menghasilkan produk hokum yang
relative lebih baik disbanding apabila dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan
orang dengan keahlian yang sama.
Nalar berfikir yang digunakan oleh Hasbi dengan gagasan fiqih Indonesia
adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip hukum islam sebenarnya memberikan
ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad yang baru.
Dasar-dasar Hukum Islam yang selama
ini telah mapan, seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah, urf dan
prinsip “ perubahan hokum karena perubahan masa dan tempat ”, justru akan
menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegang
pada paradigma ini, dalam konteks pembangunan semesta seperti sekarang ini,
gerakan penutupan ijtihad merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan.
Puncak pemikirannya tersebut terjadi pada tahun 1961, ketika dalam satu
acara Dies Natalis IAIN Sunan Kalijaga yang pertama, ia memberikan makna dan
definisi fiqih Indonesia secara cukup artikulatif. Dalam orasi ilmiahnya yang
bertema “ Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman ”, Hasbi secara tegas
mengatakan: “Maksud untuk mempelajari syari’at islam di
universitas-universitas islam sekarang ini, supaya fiqih atau syari’at islam
dapat menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri utama
bagi perkembangan hokum-hukum di tanah air tercinta ini. Maksud kita supaya
dapat menyusun suatu fiqih yang berkepribadian kita sendiri. Sebagaimana
sarjana-sarjana Mesir sekarang ini sedang me-Mesir-kan fiqihnya.
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan
sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabi’at dan watak Indonesia.
Fiqih yang berkembang dalam masyarakat kita
sekarang ini sebagiannya adalah fiqih hijaz. Fiqih yang terbentuk atas
dasar adat istiadat dan ‘urf yang berlaku di hijaz. Atau fiqih mesir, yaitu
fiqih yang telah terbentuk atas dasar adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di
mesir. Atau fiqih hindi, yaitu fiqih yang telah terbentuk atas dasar
adapt istiadat dan ‘urf yang berlaku di India.
Selama ini, kita belum menunjukkan kemampuan
untuk berijtihad, menunjukkan fiqih yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Karena itu kadang-kadang kita paksakan fiqih hijazi, fiqih misri atau fiqih
‘iraqi berlaku di Indonesia atas dasar taklid.”
Menurutnya salah satu factor yang menyebabkan ulama negeri ini belum
mampu melahirkan fiqih yang berkepribadian Indonesia adalah terlalu fanatic
terhadap mahzab yang dianut oleh umat islam, misalnya Mazhab Wahaby, Salafy,
Ibnu Taimiyah dan Mazhab JIL. Menyadari ketidakmungkinan munculnya pemikiran
progresif dari kalangan ulama konservatif, maka ia mengajak kalangan perguruan
tinggi islam di Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid dengan karakter
khas yang dapat meneruskan proyek fiqh
Indonesia. Memang dalam merealisasikan fiqih Indonesia diperlukan
kesadaran dan kearifan yang tinggi dari banyak pihak, ketika harus melewati tahap
pertama, yaitu melakukan refleksi histories atas pemikiran hokum islam pada
masa awal perkembangannya.
Mempertimbangkan tradisi {adat} setempat
sebagai acuan pembentukan sebuah format pemikiran hokum islam baru adalah suatu
hal yang penting. Syari’at islam menganut asas persamaan, sebagai
konsekuensinya semua urf dari setiap masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber
hokum, tidak hanya urf dari masyarakat arab saja. Secara singkat pemikiran
hasbi berlandaskan pada konsep bahwa hokum islam {fiqih} yang diberlakukan
untuk umat islam Indonesia adalah hokum yang sesuai dan memenuhi kebutuhan
mereka, yaitu hokum adapt yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang
tidakl bertentangan dengan syara’.
Menurutnya
pemikiran hokum islam harus berpijak pada prinsip maslahah mursalah, keadilan
dan kemanfaatan serta sadd ad-dzari’ah. Kesemuanya itu menurutnya, merupakan
prinsip gabungan yang dipegang oleh para imam mahzab, khususnya aliran madinah
dan kuffah dan telah terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam
masyarakat. Dalam merealisasikan fiqih Indonesia, dia mengingatkan pentingnya
pendekatan sejarah yang kritis misalnya, ia menawarkan metode analogi-deduktif
{satu model istimbat hokum yang pernah dipakai abu hanifah} untuk membahas satu
permasalahan yang belum ditemukan ketentuan hukumnya dalam khazanah pemikiran
klasik. Metode ini mengharuskan seseorang untuk berijtihad secara mandiri.
Sedangkan dalam masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya, metode perbandingan
{komparasi} menjadi hal yang pertama yang ditempuh. Metode ini
mengkonsekuensikan perlunya memperbandingkan satu pendapat dengan pendapat yang
lain daris eluruh aliran hokum yang ada atau yang pernah ada, dan memilih mana
yang lebih cocok dan lebih dekat dengan kebenaran, serta didukung dengan dalil
yang kuat {tarjih}. Untuk memudahkan mengaplikasikan metode tersebut ia
menyarankan perlunya menggunakan pendekatan social-kultural-historis dalam
segala proses pengkajian dan penemuan hokum islam.
Salah
satu hasil ijtihad ijtihadnya yang paling popular adalah fatwa tentang
memperbolehkannya jabat tagan antara laki-laki dan perempuan, ini berbeda
dengan Fatwa
Majlis Tarjih Muhammadiyah Dan Ahmad Hasan Dari Persis yang
mengharamkan jabat tagan antara laki-laki dan perempuan. Alasan yang dia
gunakan diantaranya adalah hokum haram terhadap hal tersebut dilandaskan pada
qiyas, dalam pandangannya mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash
yang qath’I, baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah. Disamping itu pertimbangan
yang dia gunakan adalah jabat tangan antara laki-laki dan perempuan merupakan
‘urf [kebiasaan] yang sudah sekian lama hidup dan telah menjadi tradisi
dimasyarakat Indonesia.*
Pertanyaan di atas merupakan judul
sebuah buku terkenal karya Amir Syakib Arsalan yang ditulis pada awal abad ke
dua puluh. Beliau menulisnya sebagai hasil analisanya terhadap kondisi terpuruk
dan terpecah-belahnya ummat Islam pada masa itu. Sesudah hampir satu abad sejak
ditulis, ternyata isi bukunya masih cukup relevan dengan realitas ummat Islam
dewasa ini. Beliau menjadi saksi sejarah keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani
serta semakin mencengkeramnya fihak imperialis penjajah Eropa di berbagai
negeri Islam. Beliau mencatat bagaimana negeri-negeri Islam tidak berdaya
dijajah oleh aneka penjajah, seperti Inggris, Perancis, Itali, Belanda dan
beliau sangat risau serta prihatin dengannya. Akhirnya beliau menjadi heran
sehingga mengajukan pertanyaan di atas“Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya
Maju?” Secara garis besar Syakib Arsalan
berkesimpulan bahwa kaum muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka
meninggalkan agama mereka dienullah Al-Islam. Sedangkan pihak Eropa
barat kafir justeru menjadi maju karena mereka meninggalkan agama
mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen. Mengapa bisa demikian? Karena Islam
adalah agama yang benar, sempurna dan saling menyempurnakan antara satu bagian
dengan bagian lainnya. Sedangkan agama para penjajah merupakan agama yang telah
kehilangan keasliannya. Agama Nasrani telah mengalami banyak penyimpangan serta
kontaminasi nilai akibat ulah tangan-tangan jahil para rahib, pendeta dan
pastornya. Mereka telah sengaja merubah isi Al-Kitab Bible di sana-sini.
Perubahan tersebut dilakukan karena berbagai kepentingan duniawi dan hawa
nafsu. Oleh sebab itu Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُواآمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ الْآيَةَ
“Jangan kalian benarkan ahli kitab,
dan jangan pula kalian mendustakannya, dan katakan saja ‘Kami beriman kepada
Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu’.”(HR. Bukhari 6816) Sedangkan sumber utama ajaran Al-Islam,
yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya memperoleh jaminan terpelihara
keasliannya dari Allah سبحانه و تعالى :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 9)
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ
هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“…dan tiadalah yang diucapkannya
(Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ) itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm [53] : 3-4)
Selain itu, kaum muslimin menjadi
mundur saat meninggalkan agamanya karena Islam dan ilmu pengetahuan berjalan
seiring. Sehingga begitu kaum muslimin meninggalkan Islam secara otomatis juga
meninggalkan ilmu pengetahuan, maka akibatnya mereka menjadi mundur.
Sebaliknya, kaum kafir Eropa memiliki agama yang diwakili oleh pihak gereja
pada abad kegelapan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pada masa itu banyak doktrin
dan ajaran fihak gereja alias agama Nasrani bertolak belakang dengan ilmu
pengetahuan. Sehingga ketika masyarakat kafir Eropa berontak terhadap belenggu
gereja mereka secara otomatis mendekat kepada ilmu pengetahuan dan itu
menyebabkan mereka menjadi maju.
Dalam situasi seperti itu Amir
Syakib Arsalan membedah persoalan kaum muslimin. Dengan piawai beliau berhasil
merumuskan secara tertib rangkaian sebab mundurnya kaum muslimin dan majunya
kaum selainnya. Ada lima sebab menurutnya. Dan kelima sebab tersebut memiliki
hubungan sebab-akibat satu sama lainnya. Uniknya lagi, kelima sebab tersebut
jika kita perhatikan baik-baik, masih sangat relevan dengan keadaan kaum
muslimin hingga saat ini. Kelima sebab tersebut ialah sebagai berikut:
- Jauh dari Kitabullah Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah
- Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior/rendah diri)
- At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta)
- At-Tafriqoh (perpecahan)
- Tertinggal dalam berbagai urusan dunia
Pertama, kaum muslimin pada umumnya jauh dari dua sumber utama
kemuliaan mereka, yakni Kitabullah Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah.
Padahal Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم secara gambalang mewasiatkan agar
kita senantiasa berpegang teguh kepada kedua warisan suci tersebut. Hanya
dengan bersikap demikianlah kita tidak bakal menjadi tersesat dari jalan lurus
yang Allah سبحانه و تعالى telah bentangkan bagi orang-orang beriman.
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم
bersabda, “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak
akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya.” (HR. Malik 1395)
Semestinya kedua perkara ini menjadi rujukan utama kaum muslimin, baik dalam
urusan kecil maupun besar, baik urusan pribadi maupun bermasyarakat. Kedua
perkara ini merupakan sumber kemuliaan dan kebanggaan kaum muslimin. Jika
mereka akrab dengannya, niscaya mereka menjadi mulia. Jika mereka jauh dari keduanya,
niscaya mereka akan dihinggapi kehinaan sebagaimana yang tampak dewasa ini.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُوَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
“Andai kata kebenaran itu menuruti
hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”
(QS. Al-Mukminun [23] : 71) Realitasnya, dewasa ini hubungan kaum muslimin
umumnya jauh dari kedua sumber utama ajaran Islam tersebut. Kalaupun ada
hubungan biasanya hanya hubungan parsial. Ada yang hubungannya dengan Al-Qur’an
hanya sebatas tilawah (membacanya). Atau kalaupun ada yang lebih
daripada itu ialah hubungan tahfizh (menghafalkannya). Ini bukan berarti
kita tidak menganggap penting aktifitas tilawah dan tahfizh Al-Qur’an. Tetapi
masalahnya ini tidaklah cukup. Allah سبحانه و تعالى tidak menurunkan Al-Qur’an
dengan maksud sebatas itu. Allah سبحانه و تعالى menurunkan Al-Qur’an agar
menjadi petunjuk, pedoman hidup bagi ummat Islam, bahkan segenap ummat manusia.
Allah سبحانه و تعالى menghendaki agar dengan berpedoman kepada Al-Qur’an ummat
manusia keluar dari kegelapan jahiliyah menuju terangnya hidayah cahaya Islam.
Maka sepatutnya kaum muslimin juga tadabbur (memahami) dan tathbiq
(mengamalkan) Al-Qur’anul Karim. Tetapi hal di atas tidak terjadi. Malah banyak
muslim yang lebih bangga hidup berpedoman kepada berbagai sumber kebanggaan
selain daripada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلى الله عليه و سلم . Mereka bangga
dengan berbagai kitab karya manusia. Ada yang lebih bangga dengan kitab warisan
nenek moyangnya yang bukan Islam. Ada yang membanggakan kitab produk kaum
kuffar Eropa. Ada yang membanggakan kitab lokal-tradisional suku atau bangsanya
yang bukan berpedoman kepada Kitabullah. Dan banyak lagi lainnya. Padahal Allah
سبحانه و تعالى sudah memperingatkan apa yang bakal terjadi jika mereka
meninggalkan sumber kebanggaan yang berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan
Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم .
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُواالسُّبُلَفَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“…dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam [6] : 153)
Kedua, Hilangnya tsiqoh
(kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior). Dikarenakan
kaum muslimin jauh dari sumber kebanggaan dan kemuliaannya, maka mulailah
tumbuh sikap minder atau malu menjadi seorang muslim. Mulailah kaum muslimin
terjangkiti penyakit inferior (rendah diri) untuk menampilkan
nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Mereka tidak ingin dianggap terbelakang
dan ketinggalan zaman. Sedangkan agama Islam sudah terlanjur di-asosiasi-kan
dengan segala sesuatu yang mengindikasikan keterbelakangan dan ketinggalan
zaman. Hilang sudah kebanggaan diri sebagai seorang muslim. Padahal di dalam
Al-Qur’an justeru Allah سبحانه و تعالى muliakan orang-orang beriman dengan
menamakan mereka kaum muslimin.
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَأَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ
سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا
“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an)
ini.” (QS. Al-Hajj [22] : 78) Karena jauh
dari Al-Qur’an, maka kaum muslimin menjadi seolah tidak pernah membaca ayat di
atas. Mereka tidak sadar bahwa justeru tampil dengan identitas Islam merupakan
tuntutan dari Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa bangga dengan nilai-nilai
Islam berarti ia sedang mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى . Dan ini berarti
mereka belum benar-benar beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى berjanji bahwa
barangsiapa yang beriman dengan benar, niscaya hilanglah rasa rendah diri dan
kesedihan hidupnya.
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا
وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3] : 139) Ketiga,
At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta). Karena sudah tidak memiliki tsiqoh
(kepercayaan) terhadap Islam sebagai jalan hidup, maka mulailah kaum muslimin
melirik berbagai ajaran selain agama Allah سبحانه و تعالى . Karena mereka
minder menyebut diri sebagai muslim, minder bila tampil dengan identitas Islam
semata, tidak yakin bakal diterima di tengah masyarakat modern bila hanya
mengkampanyekan Islam saja, maka mulailah mereka mencari alternatif lain yang
diyakini bakal lebih “laku” di tengah zaman penuh fitnah ini. Mulailah mereka
mencari alternatif lain yang mereka yakini bakal secara cepat mendatangkan
dukungan luas masyarakat. Sambil melupakan pentingnya dukungan Allah سبحانه و
تعالى sebelum segala sesuatunya. Apalah artinya mendapat dukungan luas
masyarakat bila Allah سبحانه و تعالى tidak ridha. Jauh lebih penting dan sudah
semestinya kaum muslmin selalu mengutamakan dukungan atau ridha Allah سبحانه و
تعالى daripada dukungan masyarakat luas. Walaupun sudah barang tentu ideal bila
dapat memperoleh dukungan Allah سبحانه و تعالى sekaligus dukungan masyarakat
luas. Tetapi di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, pilihan yang ada
seringkali sangat pahit. You can”t win them all…! Masing-masing diri dan
kelompok mencari seruan, jalan hidup, ideologi, pandanganhidup, nilai-nilai
selain Islam yang dia lebih tsiqoh kepadanya. Lalu mereka mengikutinya dengan
semangat taqlid alias membabi-buta. Mereka tidak mengkritisi ajaran baru yang
mereka pandang menjadi solusi lebih baik dari Islam, baik mengikutinya secara
murni maupun dengan mengkombinasikannya bersama ajaran Islam. Biasanya sebelum
mereka taqlid dengan ajaran baru tersebut mereka mengaku sudah meneliti dan
mempelajarinya secara mendalam. Dan kesimpulannya mereka katakan bahwa ajaran
baru tersebut sejalan alias tidak bertentangan dengan Islam. Itulah sebabnya
mereka menganutnya. Mereka lupa bahwa kalaupun ajaran baru itu tampak sejalan
dengan Islam, namun ia merupakan produk manusia yang sudah barang tentu tidak
sempurna bebas-cacat dan penyimpangan, serta tidak pantas disetarakan, apalagi
ditinggikan lebih daripada ajaran produk Allah سبحانه و تعالى . Subaahanallahi
‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah سبحانه و تعالى dari apa-apa yang mereka
persekutukan/asosiasikan). Dan lagi, kalaupun ada ajaran selain Islam yang
“sejalan” dengan Islam, mengapa tidak merasa cukup dengan menganut Islam saja?
Mengapa harus lebih mengedepankan ajaran selain Islam-nya? Mengapa tidak
Islam-nya saja yang dikedepankan? Bukankah Allah سبحانه و تعالى sudah
mengarahkan kita untuk senantiasa menampilkan Islam dan mengaku muslim dalam
berbagai kiprah saat kita mengajak manusia menuju Allah سبحانه و تعالى alias
saat sedang terlibat dalam aktifitas mengajak manusia yang biasa dikenal dengan
istilah ad-da’wah..?
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا
إِلَى اللَّهِوَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak) kepada Allah سبحانه و تعالى
, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk kaum
muslimin (orang-orang yang berserah diri)?’”
(QS. Fushilat [41] : 33) Mulailah penyakit taqlid alias mengekor secara membabi
buta menjadi fenomena di tengah kaum muslimin. Yang terlalu kagum dengan
asal-usul identitas bangsa dan nenek moyangnya mengambil nasionalisme.
Yang over-kagum dengan tatanan sosial masyarakat barat mengambil sekularisme
dan demokrasi. Yang berlebihan mengutamakan toleransi dan perdamaian mengambil pluralisme.
Yang tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan
dunia fana mengambil liberalisme dan hedonisme. Yang mendewakan akalnya
sibuk berlomba mengejar ketertinggalan di bidang materi, sains dan teknologi,
tanpa melihat halal-haramnya. Yang mengutamakan aspek spiritual modern
mengambil new age religion. Yang mengutamakan spiritual tradisional mengambil
paham kearifan lokal alias mistik-klenik. Pendek kata, masing-masing telah
memiliki alternatif lain ajaran yang diikuti selain Islam. Ada yang
terang-terangan mengaku mengikutinya tanpa menyertakan Islam dalam
identitasnya. Tetapi yang kebanyakan adalah yang malu-malu untuk mengaku bahwa
ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga akhirnya
mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas. Artinya
ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas Islam yang
-kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah asing
seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis, Islam-modernis,
Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis, Islam-humanis,
Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru ajaran selain
Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih diutamakan
daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus atau Islam-minus
atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam adalah Islam. Ia adalah
agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak memerlukan tambahan dan
tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar…!
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 3) Keempat, At-Tafriqoh (perpecahan).
Karena masing-masing kelompok tenggelam di dalam kebanggaan ajaran selain
Islam, maka otomatis merebaklah perpecahan di dalam tubuh ummat Islam.
Masing-masing kelompok membanggakan seruan kelompoknya. Padahal seruannya sudah
tidak murni ajaran Allah سبحانه و تعالى . Lalu apa yang mereka harapkan? Apakah
mereka mengira jika manusia menyambut seruan mereka berarti itu pertanda
benarnya seruan mereka? Inilah dua pasal yang dibahas dengan tajam oleh Syakib
Arsalan: (1) Dalam Berjuang jangan Membanggakan Jumlah Pengikut dan (2)
Kemenangan Suatu Ummat Tidak Bergantung Kepada Kuantitas Tetapi Kualitas.
Mereka menjadi sibuk mengutamakan kuantitas pengikut, kohesitas
kelompok, daya konsolidasi dan kemampuan mobilisasi anggotanya
daripada memfokus kepada substansi ajaran yang mereka serukan. Padahal
sudah jelas di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk
memastikan komitmen kepada agama Allah سبحانه و تعالى sebelum membangun
soliditas kebersamaan. Bahkan komitmen murni dan konsekuen kepada agama Allah
سبحانه و تعالى itulah syarat lahirnya sebuah jama’ah yang solid,
mumpuni, tidak terpecah dan selamat di dunia-akhirat.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang-teguhlah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-Imran [3] : 103) Ayat ini sering disalah-fahami
sebagai ayat yang memerintahkan pentingnya جَمِيعًا (berjamaah). Padahal
berjamaah merupakan hasil dari pelaksanaan perintah utama di dalam ayat ini,
yakni وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ (berpegang-teguhlah kamu kepada tali
(agama) Allah). Bila sekumpulan muslim berpegang-teguh secara murni dan
konsekuen kepada agama Allah, niscaya kesatuan hati di antara mereka Allah
سبحانه و تعالى tumbuhkan. Mereka menjadi akrab satu sama lain, baik secara
resmi berada di dalam satu kelompok maupun tidak. Tapi sebaliknya, berbagai
pengelompokan yang berlandaskan selain agama Allah, baik secara eksplisit
maupun tersamar alias malu-malu, maka ia tidak akan dijamin kesatuan hatinya, Kalaupun
tampak solid, ia hanya akan solid sebatas tampilan luar saja dan sebatas di
dunia saja, sedangkan di akhirat mereka pasti akan bercerai-berai bahkan saling
mencela satu sama lain.
الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67) Bahkan
kepatuhan mereka kepada pimpinan kelompok masing-masing yang sewaktu di dunia
dibanggakan sebagai bukti kedisiplinan dan kemuliaanan komitmen, justru menjadi
penyesalan di akhirat.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي
النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا
الرَّسُولاوَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا
فَأَضَلُّونَا السَّبِيلارَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ
وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika muka mereka
dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andai kata
kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” Dan mereka berkata, “Ya
Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka
dengan kutukan yang besar.” (QS.
Al-Ahzab [33] : 66-68) Masing-masing kelompok yang berjuang dengan aneka seruan
selain Islam salingmembanggakan seruan dan kelompoknya. Sehingga
berpecah-belahlah ummat Islam. Solusi yang tiap-tiap kelompok tawarkan bukanlah
kembali kepada kemurnian Islam, tetapi malah semakin bersemangat mempromosikan
kehebatan dan keutamaan masing-masing kelompoknya. Akhirnya group values
menjadi lebih utama daripada Islamic values. Apa saja yang berasal dari
kelompoknya dia bela dan apa saja yang datang dari luar kelompknya dia curigai.
Akhirnya tolok-ukur benar-salah bukan lagi Islam tetapi kelompoknya dan apa
saja yang bersumber dari pimpinan kelompoknya.
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْوَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“…dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah
agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum [30] : 31-32) Kelima,
tertinggal dalam berbagai urusan dunia. Akhirnya, menurut Syakib Arsalan,
tenggelamnya kaum muslimin dalam perpecahan secara otomatis melemahkan ummat
Islam secara keseluruhan. Dan Allah سبحانه و تعالى jelas telah menegaskan bahwa
ketidak-kompakkan ummat dalam mentaati Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى
الله عليه و سلم pasti melahirkan kelemahan dan menghilangkan kekuatan ummat
Islam.
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا
تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُواوَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS. Al-Anfaal [8] : 46) Semua
bersumber dari lebih bangganya kaum muslimin terhadap seruan selain Islam, baik
sendirian maupun bersama Islam. Apakah itu dengan cara menampilkan seruan Islam-plus
atau Islam-minus, maka apapun seruannya jika kaum muslimin tidak
menerima Islam secara utuh dan apa adanya dari Allah سبحانه و تعالى , niscaya
mereka bakal menjadi hina di dunia dan merugi di akhirat.
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍفَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا
خِزْيٌفِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ
“Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah
balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 85) Walaupun
ayat di atas turun berkenaan dengan kaum yahudi, namun Allah سبحانه و تعالى
menyuruh ummat Islam untuk mengambil pelajaran dari kisah ummat-ummat
terdahulu. Sebab bila ummat Islam mengikuti kekeliruan kaum Yahudi, niscaya
nasib yang sama bakal menimpa mereka. Hina di dunia dan azab di akhirat….! Wa
na’udzu billaahi min dzaalika…..
No comments:
Post a Comment