PIDANA ISLAM…IBANAT AL-ATHRAF, IDZHAB MA’AN AL-ATHRAF, AL-SYAJA
DAN AL-JARH.
M.Rakib LPMP Riau Indonesia
Jarimah dan Penganiayaan
Penulis
membaca tulisan Muhammad
Syahriyal Labbaik , bahwa dalam hukum pidana Islam istilah
penganiayaan tidak dipakai, yang ada dalam hukum pidana Islam adalah jarimah
jinayah terhadap selain jiwa. Jinayah terhadap tubuh bisa berupa Ibanat Al-Athraf, Idzhab Ma’an Al-Athraf,
Al-Syaja dan Al-Jarh.
Ibanat Al-Athraf adalah
perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata,
mematahkan kaki, memotong tangan orang lain, taring, gigi dan pemotongan atau
pencabutan rambut kepala atau kumis/jenggot.[1]
Idzhab Ma’an Al-Athraf adalah pelukaan terhadap orang lain yang
dimana pelukaan itu menyebabkan hilangnya
fungsi anggota badan, yakni anggota badan yang bersangkutan masih tetap ada
namun tidak dapat berfungsi normal. Misalnya menyebabkan korban menjadi tuli,
buta, bisu dan limpuh.[2]
Al-Syaj adalah pelukaan terhadap kepala dan muka (secara
khusus). Pembagian lebih rinci terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama;
ada yang membaginya menjadi sepuluh bagian dan ada yang membaginya menjadi
sebelas bagian.[3]
Al-Jarh adalah pelukaan terhadap selain wajah
dan kepala. Jarh yaitu ada dua macam, yaitu al-ja’ifah atau pelukaan yang dalam
sampai ke dalam perut atau rongga dada, dan ghayr al-ja’ifah atau pelukaan yang
tidak ke dalam perut atau rongga dada.[4]
Di dalam jarimah pelukaan Imam Malik berpendapat bahwa
boleh digabungkan antara ta’zir dengan qishash. Dengan alasan
bahwa qishash itu suatu imbalan hak adami, sedangkan ta’zir adalah sanksi yang
bersifat mendidik dan memberi pelajaran dan berkaitan dengan hak jamaah.[5]
Selain itu, Imam Malik juga berpendapat bahwa ta’zir
dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan yang qishashnya dapat dihapuskan atau
tidak dapat dilaksanakan karena suatu sebab hukum.[6]
Sedangkan bagi para residivis (orang yang berulang kali
melakukan kejahatan) penyatuan sanksi hukuman diperbolehkan. Menurut mazhab
Hanafi, Syafi’i dan Hambali boleh dilaksanakan terhadap residivis bahkan mereka
diperbolehkan menyatukan sanksi ta’zir terhadap saksi had bagi residivis,
karena dengan mengulangi perbuatan jarimah menunjukkan bahwa hukuman yang telah
diberikan kepadanya tidak menjadikannya jera. Oleh karena itu, sanksinya harus
ditambah.[7]
Para ulama berpendapat bahwa pelukaan dengan tangan
kosong, atau cambuk itu diancam dengan sanksi ta’zir, sekalipun menurut ibn
al-Qayyim dan sebagian hanabilah pelaku pelukaan terakhir diancam dengan sanksi
qishash.[8]
Didalam Al-Qur’an banyak sekali ayat – ayat yang mengatur
tentang pelukaan atau jarimah/jinayah terhadap selain jiwa. Berdasarkan keterangan – keterangan yang tertuang didalam ayat – ayat Al –
Qur’an yang diantaranya
Q.S. Al – Maidah : 45
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã
!$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/
y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/
cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/
£`Åb¡9$#ur
Çd`Åb¡9$$Î/
yyrãàfø9$#ur
ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù
X£|Ás?
¾ÏmÎ/
uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4
`tBur
óO©9
Nà6øts !$yJÎ/
tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Artinya: Dan
kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al – Maidah : 45)[9]
Pembagian
jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau
dari sisi berat ringannya sanksi hukum, dari sisi niat pelakunya, dari sisi
cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh suatu tindak
pidana, dan sifatnya yang khusus. Dalam hukum pidana islam yang termasuk pelukaan selain
jiwa yang tergolong ringan adalah jinayatul atraf, Asy-syijjaj, dan
Al-jirah.
Dalam jarimah penganiayaan, hukum pidana Islam membagi
beberapa klasifikasi. Khusus pada Asy-Syijjaj menurut ulama salaf ada 2
(dua) kelompok, yaitu ; Pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada
ketetapan dari syari’at mengenai jumlah diyatnya, yang termasuk kelompok ini
adalah;
1. Al-Muwadhdhohah, yaitu
pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menampakkan tulang,
2. Al-Hasyimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan
pecah atau patahnya tulang,
3. Al-Munqilah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan
berpindah atau bergesernya tulang dari tempat asalnya,
4. Al-Ma’mumah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada
kulit otak,
5. Ad-Damigah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada
kulit otak dan memecahkannya, pelukaan ini lebih berat daripada Al-Ma’mumah.[10]
Sedangkan
kelompok yang ke dua adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang belum ada
penjelasan dari syari’at tentang diyatnya, yaitu;
1. Al-Harisah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan
sedikit kulit dan tidak mengaluarkan darah,
2. Ad-Damiyah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan
kulit dan mengeluarkan/mengalirkan darah,
3. Al-Badi’ah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang memutihkan
tulang, artinya mematahkan tulang,
4. Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang meremukkan
tulang, hal ini lebih berat daripada al-Badi’ah,
Kemudian
pada jenis al-jirah dibedakan pula menjadi; Jaifah, yaitu
pelukaan yang sampai pada rongga perut, Pelukaan pada rongga dada, contohnya
mematahkan tulang rusuk, Mematahkan lengan tangan atas, betis, atau lengan
bawah. Sedangkan Jinayatul Atraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain
yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan
kaki, atau memotong tangan orang lain. [12]
JARIMAH TA'ZIR TIDAK
DITEMUKAN
DALAM UU 23 TH 2001
Kejahatan anak, tidak
dilakukan ta’zir,
Akhirnya akan, berbuat mubazir.
Cegah
cepat, jangan tergelincir,
Sejak
kecil, sudah dikikir.
M.Rakib LPMP Riau Indonesia.2014
Secara umum, pengertian
Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur
perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana Islam
(Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta'zir.
Geng motor, seharusnya dikenakan ta’zir juga..Ada tiga tipe kejahatan
anak geng motor, pertama, geng pencurian
(thief gangs), mereka berkelompok melakukan pencurian yang mula-mula
hanya untuk menguji keberanian anggota kelompok. Kedua, geng konflik (conflict-gangs)
kelompok ini suka sekali mengekpresikan dirinya melalui perkelahian berkelompok
supaya tampak gagah dan pemberani. Ketiga, geng pengasingan (retreats gangs),
kelompok geng ini sengaja mengasingkan dirinya dengan kegiatan minum-minuman
keras, atau napza yang kerap dianggap sebagai suatu cara ”pelarian” dari alam
nyata. Tetapi bisa saja sebuah geng memiliki lebih dari satu macam tipe.
Jarimah Ta’zir merupakan
jarimah yang paling ringan diantara jarimah lain nya, dan sifat dari jarimah
ta’zir itu sendiri hanya memberi jera kepada si pelaku kejahatan namun
pemberian jera tersebut tidak mencapai kepada hukuman mati. Jarimah ta’zir ini
tidak ada ketentuan nya dari Al-Qur’an dah Hadits Nabi sehingga ada sebagian
para yang menjadikan hal ini sebagai definisi dari jarimah ta’zir.
Pengertian Jarimah
Ta’zir
Secara bahasa ta'zir merupakan
mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Ta'zir juga berarti
hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman
tersebut sebenarnya menghalangi pelaku kejahatan untuk tidak kembali kepada
jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqoha'
mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur'an dan
hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba
yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada pelaku kejahatan dan mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.[1][1]
Jarimah ta'zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman
ta'zir,pengertian ta'zir menurut bahasa ialah ta'dib atau memberi pelajaran.dan
menurut istilah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Iman Al Mawardi, pengertiannya
sebagai berikut: “Ta'zir
itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan
hukumannya oleh syara'”.
Secara ringkas dapat di katakan bahwa hukuman ta'zir itu
adalah hukuman yang belum
ditetapkan oleh syara'
melainkan
diserahkan kepada hakim, baik
penentuan maupun pelaksanaannya.
Dalam
menentukan hukuman tersebut,
hakim
hanya menetapkan secara global saja. Artinya
pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah
ta'zir, melainkan hanya menetapkan
sekumpulan hukuman,
dari
yang seringan-ringannya sampai seberat-seberatnya.
Dengan
demikian ciri khas jarimah ta'zir adalah sebagai berikut:
- Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
- Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.
Bisa dikatakan pula,
bahwa ta'zir adalah suatu jarimah yang diancam dengan hukuman ta'zir (selain
had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta'zir, baik yang jenis larangannya
ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau
hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Hukuman dalam
jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk
menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim
(penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk
menentukan benruk bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.[2][2]
B.
Bentuk
Jarima Ta’zir
Abd Qodir Awdah membagi jarimah ta'zir
menjadi tiga, yaitu:
1. Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun
hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah
atau pembunuhan ayah terhadap anaknya.
2. Jarimah ta'zir yang
jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari'ah diserahkan
kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan,
menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3. Jarimah ta'zir dimana
jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi
pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[3][3]
Dalam menetapkan jarimah
ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan
umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di
samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
Macam-macam Jarimah
Ta’zir
Kejahatan anak, tidak dilakukan ta’zir,
Akhirny
akan, berbuat mubazir.
Cegah
cepat, jangan tergelincir,
Sejak
kecil, sudah dikikir.
Hukuman hukuman ta'zir
banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang
yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman
tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri
pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain:
1. Hukuman Mati
Mengenai ada nya hukuman
mati pada macam-macam jarimah ta’zir merupakan khilaf para ulama, ada yang
setuju dengan ada nya hukuman mati dalam jarimah ta’zir, ada pula para ulama
yang tidak sependapat. Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir
adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh
karena itu, dalam hukum ta'zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau
penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa foqoha' memberikan pengecualian dari
aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan
umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana
kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis
yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah
ta'zir tidak ada hukuman mati.
3.
Hukuman Jilid
Dikalangan fuqoha
terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut
pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan
kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat
dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad
berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali,
dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali.
Sedangkan di kalangan madzhab
Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu
Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan
pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi
tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan
hampir sejenis dengan jarimah hudud.
Dalam madzhab Hambali
ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di
atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu
perbuatan jarimahtidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah
lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak
sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman ta'zir tidak boleh lebih
dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang
tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman
hudud".
3. Hukuman Penjara Kurungan
Ada dua macam hukuman
penjara kurungan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu
hukuman. Pertama, Hukuman penjara kurungan terbatas. Batas terendah dari
hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat.
Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama'
lain menyerahkan semuanya pada penguasa berdasarkan maslahat.
Kedua,
Hukuman penjara kurungan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman penjara
kurungan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung
terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang
dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang
ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah
dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini
hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir
hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan
si pelaku kejahatan disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak
dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan
isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Ancaman (Tahdid), Teguran
(Tanbih) dan Peringatan
Ancaman juga merupakan
salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya
ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum
dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi.
Sementara hukuman
teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki
maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai
Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah
orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
Hukuman peringatan juga
diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini
cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana
hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
6. Hukuman Pengucilan (al Hajru)
Hukuman pengucilan
merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam
sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang
yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin
Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa
diajak bicara, sehingga turunlah firman Allah:
"Dan terhadap tiga orang yang tinggal,
sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan
sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari
Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka
bertaubat."
7. Hukuman Denda (tahdid)
Hukuman Denda ditetapkan
juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah
yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali
harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya
tersebut. Sabda Rosulullah saw, "Dan barang siapa yang membawa sesuatu
keluar, maka atasnya denda sebanyak dua kalinya besrta hukuman."
Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang
hilang.[4][4]
KESIMPULAN
Ta'zir adalah hukuman
yang tidak ditentukan oleh al Qur'an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan
yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran
kepada si pelaku kejahatan dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan
serupa. Penentuan jenis pidana ta'zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa
sesuai dengan kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam;
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Rajawali Pers:
Jakarta.
Djazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayat
(Menanggulangi Kejahatan dalam Islam).. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hanafi, Ahmad Hasan. 1967. Asas-asas
Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Santoso, Topo. 2003. Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
No comments:
Post a Comment