Monday, May 20, 2013

Waspadai organisasi kriminal paling agresif didunia


KATA PENGANTAR

     Penulis pernah kuliah di empat perguruan tinggi program S3. Awalnya kerjasama UGM (2004) dan UNRI. Kemudian kerja sama UNRI dan UI. Penulis dan teman-teman kuliah di Depog, tahun 2005. Kemudian Asaluddin Jalil, membawa kami ke Univercity Melaya (UM). Kemdian dipndahkan pula ke UNISEL (Universty Industry Selangor).  Semuanya punya masalah sendiri. Penulis takut jangan-jangan di belakangnya ada mafia pendidikan di belakangya. Ternyata tidak ada mafianya, hanya saja admnya yang berbelit-belit. Akhinrya semuanya penulis tinggalakan . Penulispun kuliah S3 untuk yang kelima kali, cukup di tanah kelahiran saja, Riau daratan, tepatnya di UIN Suska-Riau Indoesia, mengambil jurusan hukum Islam, sejak tahun 2008, dengan NIM  08 S3 007.

         
PENDAHULUAN

         Awas mafia buku, mekasakan anda membelinya.Buku adalah gudang ilmu. Namun, bagi penerbit dan jaringan mafia buku, buku juga termasuk lahan uang. Bisnis buku pelajaran yang memberikan keuntungan menggiurkan telah membuat penerbit berebut untuk mendapatkan proyek buku dari pemerintah daerah. Kalau proyek pencetakan buku dari pemerintah tidak berhasil didapatkan masih ada celah besar yang menjadi sumber pundi uang: menjual buku langsung ke sekolah!

          Untuk menjual buku langsung ke sekolah tentu bukan hal mudah. Perlu ada pendekatan perlahan-lahan kepada para kepala sekolah. Bagian promosi dan pemasaran sebuah penerbit tidak boleh pelit. Tujuan akhir penerbit mendekati kepala sekolah tentu bukan untuk memberikan hadiah cuma-cuma, tetapi untuk jualan. Ya, jualan buku langsung ke sekolah lebih menguntungkan karena lebih pasti terjual. Itu karena para siswa mau tidak mau harus membeli buku sesuai ketetapan sekolah.
        Kalau sekolah menetapkan buku Bahasa Indonesia untuk kelas 6 tahun ajaran 2011 harus memakai buku terbitan Penerbit Airlangga, misalnya, maka para siswa tidak bisa menolak. Mereka harus membeli buku terbitan Airlangga agar pelajaran di sekolahnya tidak ketinggalan.

           Jualan buku langsung ke sekolah inilah yang sering disebut sebagai ‘mafia buku’. Meskipun disebut ‘mafia’, pelakunya tidak seseram pemeran mafia ala film Hollywood. Anggota mafia itu bisa jadi adalah orang yang dekat dengan kita. Bahkan, aktivis Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung memiliki beberapa kawan baik yang akhirnya terjun menjadi mafia buku yang jaringannya menguasai Sumatera bagian selatan. Salah satu pentolan mafia buku itu juga menawari aktivis KoAK Lampung untuk bisnis buku dengannya.

        “Janganlah bicara buku pelajaran yang agak mahal. Dari bisnis Lembaran Kerja Siswa (LKS) saja kita sudah untung besar. Modal cetaknya per mata pelajaran hanya Rp 5 ribu. Dijual Rp 6 ribu ke sekolah kita sudah untung. Kalau guru menjual Rp 7 ribu/LKS atau Rp 10 ribu/LKS berarti keuntungan dia sebesar seribu rupiah hingga Rp4 ribu/buku,” ujar mafia buku itu, sebut saja Rodi,  sambil tertawa lepas.

Menurut Rodi, kepala sekolah memegang peranan penting dalam bisnis buku di sekolah. “Kalau tanpa izin kepala sekolah, mana mungkin kami bisa langsung jualan ke sekolah. Kami diberi ruang gratis di halaman sekolah.Ya tentu saja, sesudahnya kami tetap memberikan fee,” ujarnya.

Karena jualan buku di sekolah tergolong mudah itulah Rodi mengaku tidak khawatir dengan adanya program Buku Sekolah Elektronik (BSE). “Banyak kepala sekolah dan guru masih gagap teknologi. Mereka lebih mudah dirayu memakai buku kami ketimbang repot-repot mengunduh buku dari internet. Lagi pula, kami juga memberikan pembagian keuntungan kepada mereka,” kata Rodi.

Berapa fee yang dibagikan penerbit? “Besarnya 40 sampai  60 persen. Tapi itu dibagi kepada beberapa pihak,” kata Rodi.
“Karena tertarik dengan fee, maka pihak sekolah sering memaksa siswa membeli buku pelajaran yang diterbitkan penerbit tertentu. Padahal, pemerintah sudah menyiapkan buku sekolah elektronik yang bisa didownload secara gratis,” kata koordinator KoAK Lampung Ahmad Yulden Erwin.

“Sebab itu kami mendesak Menteri Pendidikan Nasional bersikap tegas. Untuk apa pemerintah membeli royalti buku sekelolah elektronik kalau buku elektronik tidak dipakai para siswa?” ujarnya.

Menurut Erwin, selain mengoptimalkan program buku sekolah elektronik (BSE), untuk mempersempit ruang gerak mafia buku yang memberatkan wali murid, sekolah harus memanfaatkan koperasi sekolah. Sekolah dapat melakukan inisiatif mencetak buku yang termasuk BSE. Dengan demikian, biayanya akan jauh lebih murah ketimbang membeli. Sedangkan guru sebagai anggota koperasi tetap mendapat keuntungan, dan wali murid dapat membeli buku dengan harga terjangkau.

“Jadi, sebenarnya sekolah juga masih bisa mendapatkan uang halal dari pencetakan buku yang kemudian dijual kepada para siswa. Harga cetak per buku  mata pelajaran bisa di bawah Rp 10 ribu, sementara dari penerbit rata-rata sudah di atas Rp 20 ribu/buku. Itulah yang memberatkan para orang tua siswa,” kata Erwin.

BSE merupakan buku teks mata pelajaran untuk siswa SD, SMP, dan SMA yang royaltinya sudah dibeli Kementerian Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Dengan adanya BSE itu diharapkan semua sekolah di Indonesia bisa mendownload BSE dari website milik Kementerian Pendidikan Nasional (www.kemdiknas.go.id) secara gratis.

“Ironisnya, meskipun sudah diberi kemudahan tetapi sebagian besar kepala sekolah lebih memilih membeli buku teks dari penerbit. Bahkan, sebagian besar kepala sekolah di Lampung sudah menjadi bagian dari jaringan mafia buku. Inilah yang merugikan para orang tua karena mereka terpaksa harus membeli buku untuk anaknya hingga ratusan juta rupiah,” kata Erwin.

Mafia buku selama ini menjalankan aksinya dengan leluasa karena tidak ada sanksi yang tegas dari aparat hukum. Padahal, komplotan tersebut bisa dijerat dengan pasal berlapis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Seorang anggota mafia buku mengaku bisnis buku di sekolah sangat menguntungkan. “Kuncinya, kalau kita sudah bisa mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan, maka kita akan gampang masuk ke sekolah-sekolah. Menjual langsung ke sekolah akan lebih menguntungkan karena akan memutus mata rantai distribusi. Penerbit juga tidak akan terbebani biaya promosi,” kata dia.

Menurut dia, agar bisa menjual buku langsung ke sekolah dia rajin berbagi rezeki berupa fee. “Ketimbang diberikan kepada toko buku, lebih baik fee itu diberikan kepada kepala sekolah dan guru.Sebab, jumlah penjualannya lebih jelas,” ujar anggota mafia yang juga menawari Sapu Lidi untuk berjualan buku ke sekolah.

“Wartawan akan mudah sekali menjual buku ke sekolah. Kepala sekolah mudah digertak,” ujarnya sambil tertawa lepas.

Prof. Dr.  Sutopo Ghani Nugroho, aktivis Kaukus Pendidikan Lampung yang juga ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung, mengatakan untuk memutus mata rantai mafia buku pemerintah daerah dan DPRD bisa membuat peraturan daerah (perda) tentang buku.

“Peraturan daerah perlu dibuat dan diberlakukan karena pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional tidak membuat peraturan pemerintah (PP) tentang buku elektronik. Akibatnya, banyak kepala sekolah dan guru justru terlibat dalam mafia buku. Jika mafia buku akan diberantas, setiap daerah di Indonesia harus punya perda tentang buku yang mengatur pengadaan buku sekolah. Kalau perlu ada anggaran khusus untuk buku sekolah,” kata Sutopo.
Sutopo mengatakan jika pemerintah daerah memiliki cukup anggaran, biaya cetak BSE dapat dialokasikan dari APBD agar harga buku jauh lebih murah dibandingkan harga dari penerbit.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, Sukarma Wijaya, mengatakan meskipun sekolah sudah menetapkan buku yang harus dimiliki para siswa, tetapi para guru dilarang memaksa para siswa membeli buku di sekolah.

“Kami akan akan memberikan sanksi jika ada guru yang mewajibkan pembelian buku. Ada yang salah dalam penyampaian guru di sekolah sehingga ditafsirkan membeli buku itu menjadi kewajiban. Yang penting adalah siswa tetap bisa mendapat bahan ajar saat pelajaran berlangsung. Siswa boleh memfotokopi atau meminjam materi pelajaran,” kata Sukarma Wijaya.

Sukarma Wijaya berjanji akan mencopot jabatan atau memutasikan kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam jaringan mafia buku. “Kalau ada, laporkan saja. Jika kepala sekolah terlibat itu  berarti sudah tidak mau lagi menjadi kepala sekolah di Bandar Lampung,” tegasnya.

Sukarma mengaku pernah ada laporan ada siswa yang takut masuk sekolah lantaran dipaksa guru membeli buku pelajaran tertentu. “Jika benar-benar terbukti memaksa siswa membeli buku, guru yang bersangkutan yang akan saya keluarkan,” ujarnya.

Soal insentif atau fee yang diberikan penerbit kepada pejabat Dinas Pendidikan, guru, dan kepala sekolah, Sukarma membantahnya. Menurut dia adanya insentif dari penerbit harus dilihat kembali, apakah insentif itu berupa uang atau dalam bentuk lain, seperti beasiswa.

“Guru hanya mengantongi izin dari dinas untuk melanjutkan studi, tidak untuk pendanaan. Jika penerbit mau bekerja sama, ya tidak ada persoalan. Sementara soal setoran untuk kepala dinas dari penerbit, itu semua tidak ada,” kata dia..

Memasuki tahun ajaran baru, wali murid mengeluhkan mahalnya harga buku paket dari sekolah. Harga satu paket buku (terdiri atas beberapa buku mata pelajaran) bervariasi. Nilainya  antara Rp250 ribu hingga Rp1,2 juta per siswa.

Susanto, 43, orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SMP Negeri 1 Bandarlampung, mengaku harus menyediakan uang hingga Rp 750 ribu pada tahun ajaran bary untuk membeli buku.

“Setiap kenaikan kelas, anak saya harus membeli buku baru . Semua buku baru. Buku kakaknya tidak dipakai lagi,” ujarnya.

Beberapa kepala sekolah mengaku terpaksa mewajibkan para siswa membeli buku dari penerbit tertentu karena buku buku-buku yang dibeli dengan dana biaya operasional sekolah (BOS) sering bukan buku penunjang mata pelajaran utama.

Untuk siswa Sekolah Dasar, buku yang didanai BOS hanya buku pelajaran olahraga, sementara untuk siswa SMP hanya dua buku yaitu buku olahraga dan buku kesenian. (Oyos Saroso H.N./Mas Alina Arifin/Al Gaffary)

Triad Cina, yang disebut-sebut sebagai organisasi kriminal paling 
agresif didunia pada saat ini, telah gagal berulang kali untuk membuka
 
cabang operasinya di Indonesia.

Padahal hampir semua tempat - tempat
 
penting di dunia telah dirambahya, mulai dari Cape Town di Afrika, Jedah
 
di Saudi Arabia hingga negara - negara Latin Amerika. Sementara bisnis
 
di daerah basis operasinya di Amerika dan Eropa, dan terutama
 
Asia,semakin berkembang, Triad Cina hanya bisa gigit jari melihat
 
Indonesia.
 

Ny. Jd. Kue Ta lam (bukan nama sebenarnya) yang kabur dari Indonesia
 
pada bulan Desember lalu menyusul terjadinya "krismon" menuturkan pada
 
saya kenapa Triad China gagal di Indonesia. Rupanya ada faktor "ABRI" di
 
belakang kegagalan tersebut.
 


Berikut ini kisah nyata yang dituturkan pekan lalu oleh Ny. Janda Kue Ta
 
Lam dari Perth, Australia, yang kini sedang merintis bisnis esek - esek
 
(maáf, baca: prostitusi) di negeri kangguru tersebut setelah bisnis
 
prostitusinya di Mangga besar gulung tikar berhubung krismon.
 



ABRI, ORGANISASI KRIMINAL PALING DITAKUTI DI DUNIA
 

Ketika Triad China mulai melirik Indonesia dipertengahan tahun 80an, 
markas besar mereka di Hongkong mengirim seorang utusan khususnya ke
 
Jakarta.
 

Sebut saja nama utusan itu Tuan Tai Bau, yang dipilih karena
 
keberhasilannya membuka cabang Triad di Timur tengah dan tentu
 
kepasihanya berbahasa Indonesia yang dia pelajari di suatu Universitas
 
di Beijing.
 

Dengan target membuka cabang resminya di Jakarta paling lama 6 bulan
 
setelah dia tiba di Jakarta, Tuan Tai Bau optimis bahwa Jakarta akan
 
dengan mudah dikuasai berhubung besarnya dominasi etnis China di
 
perekonomian Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa prostitusi,
 
judi dan penyeludupan pun dikuasai oleh tauke - tauke Cina di Indonesia.
 

Bagi Triad lahan bisnis terlarang ini belum sepenuhnya tergarap.
 
Berdasarkan pengalamannya di waktu -waktu sebelumya, seperti pengiriman
 
amoy - amoy dan ganja ke Jakarta, Triad Cina telah menyadari sedari awal
 
bahwa keikutsertaan ABRI adalah mutlak demi kelancaran bisnis mereka.
 

BISNIS PELACURAN.
 

Maka disusunlah suatu kerangka kerjasama pembagian kerja dan keuntungan
 
antara triad China dan ABRI, dalam hal ini Paspamres (Pasukan pengawal
 
Presiden) dan Kodam V Jaya yang secara tradisional memang telah
 
menguasai lahan bisnis terlarang yang menngiurkan di bilangan Glodok,
 
Kota, Mangga Besar dan sekitarnya.
 
Diatas kertas, semua beres - beres saja.
 
Urusan keimigrasian untuk import amoy-amoy dari Hongkong dan Taiwan akan
 
ditanggung aman dan lancar. Uang bulanan dan setoran harian untuk markas
 
Paspampres di Tanah Abang dan centeng -centeng berambut cepak di
 
Lapangan semua sudah disetujui hitung-hitungannya. Uang untuk imigrasi
 
untuk urusan perpanjangan visa bagi amoy - amoy itu juga sudah
 
disepakati besarnya.
 
Bahkan dana mendadak untuk uang penggerebekanpun sudah ada alokasinya.
 
Bisnis prostitusi amoy-amoy import dianggap feasible untuk di jalankan
 
di Mangga Besar, demikian laporan Tuan Tai bau ke kantor pusatnya di
 
Hongkong.
 
Tidak sampai 6 bulan dari target mereka sebelumnya, Triad china mulai
 
mendatangkan 20 amoy putih mulus, tidak hanya dari hongkong dan Taiwan,
 
tapi juga Bangkok untuk konsumsi tauke - tauke Jakarta.
 
Minggu - minggu pertama mereka beroperasi, semua berjaln lancar.
 
Genap sebulan beroperasi, Markas Paspampres di Tanah Abang telah
 
menerima setoran bulananya yang pertama dan...uang "pengertiannya" bagi
 
pengadaan baju seragam dan sepatu olah raga anggota - anggota
 
Paspampres. "Pengertian"nyapun dipenuhi, tentu saja.
 
Dipertengahn bulan kedua, Bapak Anu, demikian nama samarannya, utusan
 
komandan penjagaan Jl. Cendana menemui Tai Bau di Mangga besar untuk
 
meminta "pengertiannya" bagi biaya homestay putri sulung komandan di
 
Sydney Australia. Tanpa ba bi bu, permintaan itu langsung saja
 
"dimengerti".
 
Selanjutnya, dapatlah ditebak, permintaan "pengertiannya" yang lain lain
 
datang bertubi-tubi. Mulai dari sumbangan HUT ABRI, HUT GOLKAR,
 
sumbangan Tujuh belas Agustusan, sumbangn naik haji ibu mertua komandan
 
grup A, biaya renovasi kolam renag di komplex markas Paspampres di Tanah
 
Abang, pembangunan pompa besin terpadu milik koperasi Paspampres di
 
tanah Abang, hingga "partisipasinya" dalam bakti sosial ibu - ibu dharma
 
wanita Paspampres.
 
Hitung punya hitung, pungutan "proteksi" yang diminta ABRI yang semula
 
diperkirakan dapat tertutupi dengan hasil jualan daging mentah itu telah
 
membengkak sedemikian rupa.
 
"Rugi besar," kata Ny. Kue Ta Lam, menirukan keluhan si Tuan Tai Bau.
 
Belum lagi penghasilan ynag hilang selama ini, berhubung amoy-amoy
 
mereka juga dipakai oleh petinggi - petinggi ABRI dalam rapat rapat
 
mereka di daerah Puncak.
 
Setelah enam bulan beroperasi, telah sampailah pada titik tertentu
 
ketika uang pungutan dari ABRI agak "seret" dipenuhi.
 
Celakalah akibatnya.
 
Tak ayal lagi, operasi penggerebekan KODAM V Jaya yang biasanya dapat
 
diselesaikan di tempat, kala itu berhasil menggaruk ke 20 amoy putih
 
mulus montok tersebut.
 
Sudah diduga, akhirnya polisi meminta Rp 10 juta perkepala ke Tuan Tai
 
Bau, bila dia masih mau meneruskan usaha esek - eseknya.
 
Rupanya Hartono, si raja germo di Jakarta yang menjalin hubung baik
 
sejak lama dengan Raden Hartono (sekarang mendagri), ada dibalik sikap
 
rakus polisi itu. Sejak Tuan Tai Bau membuka bordilnya di Mangga Besar,
 
amoy - amoy singkawang asuhan Hartono lebih banyak "ngangurnya"daripada
 
dibooking.
 
"Haya, lo cabut saja dari Jakarta,"kata Ny Kue Ta Lam menirukan
 
penuturan atasan Tuan Tai Bau, ketika dia melaporkan situasi bisnis
 
Mannga Besar ke kantor Hongkong.
 
Beberapa waktu kemudian, berita di surat khabar menyebutkan bahwa
 
imigrasi mendeportasikan 20 wanita berpassport manacanegara yang
 
ditangkap basah melakukan praktek prostitusi si bilangan Mangga besar.
 
Habislah bisnis Tuan Tai Bau sampai disitu.
 
Kapokkah Triad China ?
 

JUDI
 

Bukan bangsa china namanya jika mereka gampang menyerah pada keadaan.
 
Gagal di prostitusi, tidak samapai setahun kemudian, Tuan Tai Bau sudah
 
terlihat mondar mandir di Soekarno-Hatta. Kali ini dia datang ke Jakarta
 
dengan tujuan menggarap ladang judi gelap WNI keturunan yang kala itu
 
sudah cukup menjamur, namun masih berskala ratusan juta rupiah, kecil
 
-kecilan.
 
Markas besar di Hongkong optimis, sumbangan, pungutan dan biaya
 
"pengertian" yang kebangetan diminta oleh ABRI dapat tertutupi dengan
 
mudah dari keuntungan usaha judi yang berlipat kali lebih besar dari
 
bisnis prostitusi.
 
Maka beroperasilah Tuan Tai Bau di Jl. Gadjah Mada, dengan berkedok
 
permainan ketangkasan.
 

Keuntungan yang gila - gilaan, dengan omzet ratusan juta rupiah
 
permalamnya, membuat apa saja permintaan Tanah Abang ataupun Cawang
 
(markas Kodam V Jaya) segera dipenuhi, termasuk import peralatan fitness
 
super lengkap untuk latihan otot - otot para pengawal presiden.
 
Dengan keuntungan besar ini, Triad China memutuskan membuka cabang rumah
 
judi mereka ynag kedua di daerah Pluit setengah tahun kemudian.
 
Sayang seribu sayang, langkah pembukaan cabang baru ini menyadarkan ABRI
 
bahwa pungutan yang mereka garuk selama ini ternyata terlalu kecil
 
dibanding besarnya keuntungan yang digaruk Triad china.
 
Tanpa tedeng aling - aling, utusan Tanah Abang megajukan suatu konsep
 
bagi hasil 50-50 dan memaksa menempatkan orang - orangnya langsung
 
sebagai asisten kasir.
 
Keputusan itu , bagaimanapun harus dijalankan dan terpaksa disetujui
 
Triad China dengan harapan praktek dilapangan nantinya bisa "diaturlah".
 
Pada sebulan pertama, keuntungan kotor 50 % yang didapat Triad china
 
tentu saja masih harus dipotong dengan berbagai sumbangan dan
 
"pengertiannya"yang dipungut ABRI, seperti biasanya tentu.
 
Menginjak bulan ketiga, keuntungan Triad china semakin menipis dengan
 
datangnya rumah judi baru dengan "backing" Polda Metro Jaya tepat di
 
Jalan yang sama.
 
Sebulan kemudian, untuk pertama kalinya, Triad china harus tekor dengan
 
dibolehkannya pungutan yang dilancarkan oleh Pemda DKI atas seizin
 
Paspampres.
 
Tak tahan lagi dengan itu semua, Triad China mulai mengindikasikan untuk
 
hengkang dari Jakarta jika keadan bertambah buruk.
 
Apa reaksi Paspampres ?
 
Penggerebekan pun dilakukan, ratusan penjudi yang hampir semuanya tauke
 
-tauke Jakarta dijaring, rumah judi disegel.
 
Mengingat jasa si Tuan Tai Bau, polisi membebaskannya dari penjara dan
 
langsung dideportasi ke Hongkong.
 
Tidak sampai sebulan kemudian, rumah judi beroperasi kembali, hanya kali
 
ini berbeda pengelolanya, seorang WNI kelahiran Bandung.
 

KAAPOK
 

Sebelum krismon terjadi, di awal 1997, Tuan Tai Bau terlihat sedang
 
asyik makan malam di Furama restaurant di Kota.
 
Apakah dia sudah memulai bisnisnya lagi di Jakarta ?
 
Tuan Tai Bau mengaku pada Ny. Janda Kue Ta Lam bahwa dia hanya singgah
 
di ibu kota untuk meng"escort" imigran ilegal dari China daratan yang
 
ingin mengadu nasib di Jakarta. Menurut pengakuannya, sesekali, ia juga
 
mampir di Jakarta untuk menjemput amoy amoy Singkawang untuk keperluan
 
konsumsi hdung belang di Taiwan dan Hongkong. Itupun tidak rutin.
 
Ketika ditanya kenapa tidak meneruskan usaha prostitusi dan judi nya di
 
jakarta yang sedang booming itu, Tuan Tai Bau berkata;
 
"Ah kita sih engga ada apa-apnya dibanding ABRI. Kalau ditanya
 
organisasi keriminal mana ynag paling disegani di dunia, jawabannya
 
bukan Yakuza ataupun Mafia Amerika atau Itali. Tapi ABRI lah organisasi
 
kriminal nomor satu didunia. Ennga lagi lagi deh urusan sama mereka.
 
Seganas ganasnya Triad, kita masih punya etiket dan peraturan, sementara
 
ABRI....aujubilah min zalik.. Kaaapoook oe."
 

Rosi Sibulu bulu
 Detektif pemburu rambut cepak

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook