KATA PENGANTAR
Penulis pernah tinggal di Airtiris, Kampar Riau daratan Indonesia yang mewarisi adat matririnial dari Sumatra Barat, yang disebut Adat dari Datuk Parapatih Nan Sabatang. Siapa yang kawin sesuku, akan disumpahi oleh Nenek Moyang. Begitulah aturan dalam adat Minangkabau:
"KE ATAS TIDAK BERPUCUK,
KE BAWAH, TIDAK BERAKAR
DI TENGAH-TENGAH, DILOBANGI KUMBANG"
(Di ateh indak bapucuak. di bawah indah baurek.
Di tangah digiriak kumbang.)
Pantangan adat ini, sifatnya sakral. Setiap anak cucu yang melanggarnya, akan terkena kutukan yang sangat dahsyat. Tapi kini titian sudah lapuk, janji sudah mungkir. Jangankan adat, bahkan agama pun sudah dilanggar orang. Yang kini sedang laku adalah emansipasi, kesamaan hak dan HAM Universal.
PENDAHULUAN
Sanksi
adat perkawinan sesuku yaitu di buang sepanjang adat sangat berpengaruh sekali
terhadap kehidupan pelaku di dalam masyarakat, terutama di dalam kaumnya.
Pelaku akan dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan
tempat tinggalnya. Pada umumnya tokoh adat maupun tokoh agama, melarang dengan
sangat tegas terjadinya perkawinan sesuku. Walaupun ada salah satu dari tokoh
agama yang membolehkan terjadinya pekawinan sesuku yang tidak sepayung, namun
beliau tetap tidak sepakat apabila terjadi perkawinan sesuku yang sepayung.
Adapun menurut ajaran Islam, perkawinan sesuku ini sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Dalam setiap masyarakat dan
kebudayaan, perkawinan merupakan hal penting. Perkawinan menurut masyarakat
Minang adalah masa peralihan yang paling kompleks yang mencakup faktor-faktor
fisik, fisikis, sosiologi dan status sosial individu di dalam masyarakat yaitu
peralihan dari Zaman kuda pacuan ke Zaman Jawi pembajak. Adat Minangkabau
menganut pola perkawinan eksogami dengan batasan eksogami suku, setiap individu
dilarang kawin dengan individu lain yang memiliki suku yang sama dengannya. Hal
ini diatur dalam adat nan babuhua mati, yang memiliki Sanksi dibuang sepanjang
adat terhadap pelakunya. Namun kenyataannya masih saja terdapat pelaku
perkawinan sesuku di dalam masyarakat Nagari Matur, di Pangkalan Kotobaru, di Bangkinang, di Taluk Kuantan Riau daratan. Sedangkan perkawinan
tersebut dilarang oleh adat yang berlaku.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan sekilas tentang pelaku perkawinan sesuku dalam sistem kekerabatan di Minangkabau dengan studi kasus, di beberapa daerah. Larangan kawin sesuku yang sebenarnya tidak dilarang dalam adat Melayu Kepri dan Hukum Islam sendiri. Lain halnya di Ranah Minang dan Kampar. Diteliti Lima keluarga yang pernah menjadi pelaku perkawinan sesuku, menjelaskan bagaimana pendapat tokoh adat dan tokoh agama dengan perkawinan tersebut, dan bagaimana pula menurut ajaran Islam. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan teknik observasi dan wawancara. Penelitian tersebut menggunakan beberapa informan, yakni pelaku, tokoh adat, tokoh agama, dan tetangga atau teman.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menemukan adanya kelemahan dari sistem adat itu sendiri yang menjadi penyebab adanya individu di dalam masyarakat yang menjadi pelaku perkawinan sesuku. Kelemahan dari sistem adat tersebut yaitu individu dalam masyarakat yang tidak mentaati adanya adat sedangkan mereka memahami adat, serta ringannya sanksi adat terhadap pelaku, bahkan sanksi tersebut dapat pula dihapuskan apabila pelaku telah bercerai dan membayar sanksi adat. Dampak dari sanksi adat perkawinan sesuku yaitu di buang sepanjang adat sangat berpengaruh sekali terhadap kehidupan pelaku di dalam masyarakat, terutama di dalam kaumnya. Pelaku akan dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan tempat tinggalnya. Pada umumnya tokoh adat maupun tokoh agama, melarang dengan sangat tegas terjadinya perkawinan sesuku.
Dalam hal ini, adat bersendi Syara', syara' bersendi Kitabullah, mendapatkan ujian berat, karena aturan adat kian sulit dipertahankan.
PEDAS: "Diskriminasi
Hukum Adat dan Agama Akibatnya Terjadi Instabilitas di Masyarakat"
Ketua
Forum PEDAS, HL. Anggawa Nuraksi
MATARAM - Melihat banyaknya permasalahan ditengah masyarakat
terkait tidak singkronnya hukum adat dan agama dengan hukum formal yang
berakibat terjadinya disharmoni dan instabilitas di masyarakat NTB. Terkait
permasalahan tersebut, Forum Masyarakat Pembela Budaya dan Adat Sasak (PEDAS)
yang selama ini konsen terhadap keberadaan hukum adat dan agama angkat bicara
dan menilai selama ini telah terjadinya kriminalisasi hukum adat dan agama.
"adat dan agama sering
dikriminalisasi dalam kehidupan bermasyarakat oleh pihak penyelenggara
pemerintahan," ucap Ketua Forum PEDAS, HL. Anggawa Nuraksi, pada sejumlah
wartawan, Rabu (30/1/13) siang. Menurutnya, ada banyak hukum adat yang
dikriminalisasi dan dibawakan kehukum pidana, contohnya seperti kasus adat
merariq (selarian) ini dianggap sebagai perbuatan tindak pidana padahal ini
tidak bertentangan dengan hukum adat dan agama.
"dalam kenyataan hukum di Indonesia tidak lagi konsisten dengan komitemen pendirian NKRI, hukum yang kita miliki warisan penjajah, tumpul keatas tajam kebawah dan ini sering terjadi ditingkat bawah,' jelas HL. Anggawa didampingi oleh Sekretaris PEDAS, Lalu Prima Wira Putra.Terkait dengan dianggap seringnya terjadi diskriminasi terhadap hukum adat dan agama, maka untuk membedah persoalan tersebut PEDAS akan melaksanakan sarasehan "Kriminalisasi adat dan agama" yang akan dilaksanakan pada akhir bulan Februari mendatang.
Sarasehan tersebut bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada penyelenggara negara dalam penyelesaian permasalahan suapaya kembali dengan mengakomodir kearifan lokal yang kita miliki sesuai dengan jatidiri bangsa sesuai amanat Undang-Undang yang kita miliki dan juga agar terciptanya kerukunan, ketentraman hidup ditengah-tengah masyarakat dengan suasana yang faporable saling pengertian dan hormat menghormati."pesertanya, para penyelenggara pemerintahan, Gubernur, Kapolda, Kepala Kejaksaan, ketua DPRD, toma, toga se-pulau Lombok dan organisasi kebudayaan dan kemasyarakat se pulau Lombok," katanya.
ABSTRAK
Bangsa Indonesia terdiri dari
berbagai suku dan beraneka ragam budaya, setiap suku mempunyai corak yang
berbeda. Perbedaan adat pada setiap daerah yang ada di Indonesia yang
menyebabkan pula terjadi perbedaan dalam hukum adat yang berlaku disetiap
daerah tertentu.Hal ini disebabkan oleh hukum adat itu merupakan aturan yang
hidup dalam masyarakat serta terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang sudah
berlaku pada rakyat Indonesia. Keanekaragaman hukum adat tersebut dapat dilihat
pada masyarakat Minanagkabau. Salah satu factor penyebab perbedaan tersebut
adalah dalam cara menarik garis keturunan. Cara menarik garis keturunan ini
menyebabkan perbedaan hukum perkawinan adat dan kewarisannya. Perkawinan merupakan
masa yang sangat penting dalam kehidupan. Karena pada masyarakat Minangkabau
menurut garis keturunan ibu, maka orang yang melakukan perkawinan harus dengan
suku yang berbeda, dan tidak diperbolehkan kawin dengan suku yang sama, karena
jika dengan suku yang sama di anggap bersaudara. Disinilah
hukuman-hukuman adat itu diberlakukan. Oleh sebab itu kawin dengan suku yang
sama pada masyarakat Minangkabau dilarang.
Kata kunci : Larangan Kawin Satu Suku
PENDAHULUAN
Banyak kritik terhadap adat, bahkan banyaknya pelanggaran terhadap adat oleh masyarakat disebabkan kurangnya pemahaman terhadap adat anak karena tidak saling mengenal satu sama lain dalam satu persukuan. Apalagi keluarga besar makin berkembang sehingga hubungan semakin jauh dan banyak pula yang bermukim di tempat lain. Selama tidak slaing mengenal, juga ada terjadi pertikaian karena mereka tidak slaing mengenal, juga terjadi perkawinan satu suku yang dilarang oleh persukuan di Minangkabau.
Dari
realita sosial yang pernah saya dengar, di Kampung Batu Dalam ada satu pasangan
ingin menikah, tetapi mereka mempunyai suku yang sama. Karena suku mereka sama,
mereka tidak boleh kawin menurut adat, jadi mereka kawin lari.Ada juga pasangan
yang satu suku sudah melakukan perkawinan, tetapi mereka membayar denda kepada
nagari. Saya juga mendengar bahwa kawin satu suku itu menyebabkan anak
berakhlak buruk, ada yang rumah tangganya
tidak harmonis, dan mungkin masih ada penyebab yang lain lagi.
Berdasarkan
kasus diatas, saya mengangkat sebuah topik yaitu “Larangan Kawin Satu Suku di
Nagari Kampung Batu Dalam”. Saya ingin
sekali mengetahui apa penyebab dilarangnya kawin satu suku, apa akibat kawin satu suku, Sanksi Pelanggar kawin satu Suku,
dan dampak dari kawin satu suku tersebut.
1. Pengertian Perakawinan
Saat
peralihan yang ada pada semua masyarakat dianggap penting adalah peralihan dari
tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan. Dalam
kebudayaan manusia, perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang
berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. Perkawinan membatasi seseorang untuk
bersetubuh dengan lawan jenis lain selain suami atau isterinya. Selain sebagai
pengatur kehidupan kelamin, perkawinan mempunyai berbagai fungsi dalam
kehidupan bermasyarakat manusia, yaitu member perlindungan pada anak-anak hasil
perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi
kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik
dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
2. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimana perkawinan
memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.Perkawinan menimbulkan hubungan baru
tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain
sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan,
kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan
keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam
pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab,
antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab
pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
Diminang
kabau kawin dengan suku yang sama dilarang, karena dianggap bersaudara, bagi
yang melakukan akan mendapatkan hukuman. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk
pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam
perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang
lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam
bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah Kedua calon mempelai harus beragama
Islam,Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang
sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain, Kedua
calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga
kedua belah pihak, Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber
penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap
perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. Karena itu jika perkawinan satu
suku dilakukan maka akan dianggap perkawinan sumbang.
3. Pengertian Suku di Minang Kabau
Suku dalam tatanan
Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat
pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa
Minang dapat
bermaksud satu per-empat,
sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari
komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku
dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan
diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis
politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan
oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya
yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta
milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat
diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam
dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan.
Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka
harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke
dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang
paling kecil setelah sapayuang
disebut saparuik. Sebuah paruik
(perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah
gadang secara
bersama-sama.
4. Penyebab dilarangnya kawin satu suku
Bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka ragam budaya, salah
satunya adalah suku Minangkabau. Suku atau matriclan ialah unit utama dari
struktur sosial di Minangkabau. Seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang
Minangkabau jika ia tidak mempunyai suku. Setiap suku mempunyai adat yang satu
sama lain memiliki corak yang berbeda.
Di
Minangkabau, salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat adalah
pada saat masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi
seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya dan mulai
membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas
dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian, perkawinan dapat juga
disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Adat
Minangkabau menentukan bahwa orang Minangkabau dilarang kawin dengan orang dari
suku yang serumpun, misalnya seseorang yang berasal dari suku jambak tidak
boleh kawin dengan seseorang yang dari suku jambak juga, karena garis keturunan
di Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, jadi jika kawin dengan
suku yang sama di anggap bersaudara.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka disebut “eksogami keluarga batih”. Kalau
orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga yang sama, maka
disebut ‘eksogami marga”. Kalau orang dilarang kawin dengan dengan orang yang
berasal dari nagari yang sama, disebut “eksogami nagari”. Di Minangkabau
garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut “eksogami
matrilokal atau eksogami matrilineal”.
Jadi,
di Minangkabau dilarang kawin dengan suku yang sama termasuk di kenagarian Kampung
Batu Dalam. Larangan kawin satu suku ini tidak dalam konteks halal dan haram,
kesepakatan untuk tidak kawin satu suku adalah soal raso jo pareso. Berdasarkan
kekerabatan matrilineal, masyarakat Minangkabau merasa badunsanak (bersaudara)
dengan orang-orang sekaum atau satu suku. Jika ada yang melanggar terhadap
aturan adat, maka akan mendapat sanksi secara adat pula.
Larangan kawin sapasukuan terutama nan sasako jo
pusako jangan diartikan sebagai penentangan terhadap hukum-hukum Islam yang
menjadi landasan hukum adat Minangkabau tetapi lihatlah sebagai keunikan suatu
masyarakat yang menganut system kekerabatan matrilineal yang menjunjung tinggi
harkat kaum perempuan dan memegang teguh rasa persaudaraan dengan pijakan raso
jo pareso.
Singkatnya penyebab dilarangnya kawin satu suku di
Nagari Kampung batu Dalam adalah karena masyarakat yang satu suku merasa
bersaudara yang menjunjung tinggi raso jo pareso. Jika dilakukan kawin satu
suku, maka sama halnya dengan mengawini saudara sendiri.
5. Akibat Kawin Satu
Suku
Nikah sesuku bagi orang Minang masih menjadi sebuah
yang tabu dan sangat sakral untuk dilanggar. Mereka yang mencoba kawin sesuku
siap-siap saja terjamajinalkan dari lingkungan keluarga dan masyarakat Minang
dimana ia berdomisili. Menjadi bahan kasak-kusuk orang satu kampung, cemoohan
dan pengucilan. Orang yang satu suku tidak boleh kawin, kendatipun mereka beda
kabupaten/kota, kecamatan, desa, jorong, selagi mereka dalam adat Minang satu
suku (pisang, chaniago, koto, siumbang, piliang dll.) maka akan susah bagi
mereka melangsung sebuah pernikahan.
Jika Kawin satu suku dilakukan maka
akan mendapatkan kutukan dalam biduk rumah tangga dan keluarga (TIDAK
SAMARA), diprediksikan tidak akan
dikarunia keturunan, Ada pun keturunan yang terlahir akan mengalami kecacatan
fisik dan keterbelakangan mental (akibat genetika), Kalau mereka mendapatkan
keturunan maka keturunan diperkirakan akan buruk laku (berakhlak buruk), Rumah
tangganya akan selalu dirundung pertekengkaran, perseteruan, Mereka yang kawin
sesuku diyakin sebagai pelopor kerusakan hubungan dalam kaumnya (kalangan satu
suku), Menimbulkan kesenjangan dalam tatanan sosial.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat di
Nagari Kampung Batu Dalam pada tanggal 26 Maret 2011,kawin satu suku memang
menyebabkan anak berakhlak buruk, rumah tangga di rundung pertengkaran,
perseteruan, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Sementara
pembicara lainnya, Alis Marajo Dt Sori Marajo dalam makalahnya juga
menyimpulkan, sasuku atau sapayuang
adalah status yang tidak elok dan menimbulkan kesenjangan sosial, hingga
berakibat terjadinya disporitas sosial di kalangan komunitas masyarakat
Minangkabau.
6.
Sanksi Pelanggar kawin satu Suku
Seandainya terjadi perkawinan oleh orang yang se suku
(sama sukunya) maka terhadap orang tersebut dikenakan denda dan hukuman secara
adat, agar orang tersebut tetap dibawa dan diikut sertakan dalam kehidupan
masyarakat adat, dan kepada salah seorang yang telah melakukan perkawinan se
suku tersebut juga harus diganti sukunya (agar tidak sesuku). Apabila denda dan
hukuman tidak dilakukan serta tidak diadakan penggantian suku, maka orang yang
melakukan perkawinan tersebut tidak diikutkan
tidak dibawa serta oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi
dengan adanya penggantian suku bagi orang yang melakukan perkawinan se suku
tersebut, maka akan terjaga / tetap berlaku sistem eksogami. Kawin satu suku memang mengundang banyak polemik. Namun
sebelum kita melihat lebih dalam lagi tentang masalah apapun dalam adat, kita
harus menyadari bahwa adat setiap nagari
itu berbeda.
Di
Nagari Kampung batu Dalam kawin satu suku dilarang pelarangan kawin satu suku,
ada yang melarang sejurai, ada yang melarang saparuik. Khusus jika ada satu
suku dalam saparuik yang kawin maka akan
dihukum secara adat yaitu dibuang ke desa yang mau menerimanya.
Lalu apakah hukuman
yang biasa di berikan bagi yang melanggar peraturan adat? Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah seorang masyarakat pada tanggal 26 Maret 2011, maka
hukumannya adalah membayar denda kepada nagari yaitu berupa kambing,kerbau atau
tergantung kesepakatan para petinggi adat, kemudian diadakan makan bersama
dengan mengundang orang sekampung. Apabila yang melakukan pelanggaran tersebut
tidak mau membayar denda, maka baru dijatuhkan hukuman yang lebih berat yaitu
dibuang sepanjang adat. Lalu apakah ada mekanisme pengampunan ketika
sipelanggar telah dibuang dari adat ? Memang ada tetapi harus tetap membayar
denda tadi. Jika sudah dibayar maka dia akan diterima lagi.
6. Dampak Kawin Satu Suku
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis dampak
perkawinan satu suku dan faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan tersebut
terjadi serta perkawinan antara anggota suku yang berbeda akan menjamin
kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal di Kampung Batu Dalam.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan perkawinan satu suku berdampak pada
rusaknya tatanan adat yang sudah berlaku sejak lama, pemberian sanksi bagi
pelaku dan keluarga baik moril maupun materiil, hilangnya hak terhadap harta
pusaka dan kaburnya sistem kekerabatan matrilineal dan cenderung mengarah ke
sistem parental. Agama, pergaulan bebas, berkurangnya wibawa penghulu adat,
pendidikan dan melemahnya daya ikat peraturan adat menjadi faktor- faktor
penyebabnya dan oleh karena itu dengan perkawinan antara anggota suku yang
berbeda tetap menjamin kelangsungan sistem kekerabatan matrilineal.
Simpulan
Banyaknya pelanggaran terhadap adat oleh masyarakat
disebabkan kurangnya pemahaman terhadap adat anak karena tidak saling mengenal
satu sama lain dalam satu persukuan. Kawin satu suku meruapakan salah satu
pelanggaran terhadap adat tersebut, di Minang Kabau khususnya di Nagari kampung
Batu Dalam, jika ada yang melakukan kawin satu suku, maka akan dikenakan
hukuman secara adat. Dan bagi yang melakukan kawin satu suku dapat merusak
tatanan sosial atau tatanan adat yang telah berlaku sejak lama.
Bagi
yang melakukan kawin satu suku, secara sosiologis berpengaruh terhadap
kepribadian anak. Anak hasil perkawinan
satu suku akan berakhlak buruk, dan juga berdampak pada pasangan itu sendiri,
rumah tangganya tidak harmonis, sering terjadi pertengkaran da perseteruan
dalam keluarga itu.
Sedangkan
dikaji secara antropologi,kawin satu suku dapat menyebkan kesenjangan salah
satu unsur kebudayaan atau penyimpangan unsur kebudayaan. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah adat.
Karena itu kawin satu suku merupakan penyimpangan adat.
DAFTAR PUSTAKA
Bandaro.2010.Perkawinan Eksogami Dalam Masyarakat Adat
Minangkabau.
Eriandi.2008./http//www. awin Sasuku Bawa penyakit Genetik.Padang
: Worspress.
Koentjaraningrat.2005.Pengantar Antropologi II.Jakarta :
Prineka Cipta.
No
Name. 2010.Matrilineal Hanya Dianaut Lima
suku Didunia. http://www.kapan
lagi.com.
No name 2.2010.htp//www.nusantaranews.net/2010/07/kawin sapasukuan dalam perspektif-adat_1837.html
No
name 3. - .http.;//www.Re ( Rantau Net.com )
No comments:
Post a Comment