PILIH BIDADARI ATAU NENEK SIHIR (Novel M.Rakib Jamari)

Ramalan Nenek Sihir

       NASIBKU diramal oleh Nenek Sihir, sebagai orang yang tidak berhsil. Buktinya  ibu kandungku sendiri tidak sayang kepadaku, apalagi orang lain. Aku menceritakan tentang orang tuaku tidak sayang kepadaku, dengan tujuan agar NENEK Sihir akan kasihan. Tapi yang terjadi sebaliknya. “Mengapa pula kasihan kepada sang Penyair, sedangkan orang tuanya sendiri, tidak sayang kepadanya. “

       Aku diejek orang dengan istilsh pujangga yang tersesat atau sang Penyair kecil. AKU TERKEJUT KETIKA pertama kali dari kejauhan melihat Putri Nurmeyanti, tetangga terdekat Nenek Sihir, yang kusangka dia dalah bidadari yang turun ke bumi, seperti yang kudengar dalam sandiwara radio Singapura, yang selalu kuikuti ketika masih bersama dengan orang tua kandung di Kuala Kampar.

Kisah cintaku, dengan Puteri,
Sering bertemu, di tepian mandi
Sebelas tahun, umurnya masih,
Tujuh belas, umurku sendiri.

Di surau, sama-sama  mengaji,
Berhadapan duduk, bebeda sisi,
Kecantikannya tampak, berseri-seri
Potretnya lengket, di dalam hati.

Ceburulah pemuda, bernama Jeky
Mengapa dia, tidak dicintai,
Padahal tampan, wajah berseri.
Dibandingkan diriku, tiada arti.

JEKY menemui, Nenek  Sihir,
Agar Sang Putri, tetap hadir,
Dalam genggamannya, tiada menyingkir,
Calon isteri, alis berukir.

       Aku adalah pendatang di kampung itu. Aku belum mengerti cara berak dan buang air kecil di sungai Kampar yang airnya super jernih.Menumpang tinggal di gubuk Nenek Sihir, demi sekolah di sebuah madrasah pinggir sawah.Umurku waktu itu  tiga belas tahun. Sejak awal dinasehatkan orang, jangan tinggal di rumah Nenek Sihir. . Meski tak lebih dari dukun kampung, kabarnya Nenek Sihir ini, memiliki kehebatan dalam mempertemukan jodoh orang dan memberi anak kepada pasangan yang sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan anak.
       Demi sesuap nasi dan demi sekolahku, aku bertahan tinggal di gubuk itu. Sekolahku masih dua tahun lagi. Kucatat dalam syair riwayat hidupku begini:

           Pernah kucoba berladang padi,
           Lima tahun, mengorbankan diri,
           Sambil sekolah, mencari  rezeki,
           Ke daerah Kampar, pergi mengaji.

Adapun kaedaan, ayah dan ibu,
Hidupnya miskin, sejak dahulu,
sampai sekarang, terus begitu,
Itulah takdir, dari Tuhanku.

               Teman lain belajar, cukup belanja,
               Tiap hari, mereka gembira,
               Sedangkan aku, berhati  duka,
                Caci maki, selalu kuterima.
                
Lahirku di, Pulau Penyalai,
Sepnjang pantai, nyiur melambai,
Nyamuknya banyak, tidak terlerai,
Tapi masyarakatnya, tenang dan damai.