Thursday, May 16, 2013

HUMOR PERTAMA KUDENGAR DI SURAU-SURAU



HUMOR PERTAMA DI              SURAU-SURAU
Assalamualaikum wr wb,
Humor harus mengandung hikmah

1.Bengkak dahi sebesar pergedel.

       Ini cerita beberapa Buya di Airtiris Kampar, Riau daratan. Waktu itu penulis beumur 13 tahun. Penulis sebagai pendatang di daerah ini. Karena lahir penulis di Kabupaten Pelalawan, yang jaraknya dengan tempat baru ini, lebih kurang 600 Km, ditempuh dua hari perjalanan kapal pompong, kini ditempuh, 6 jam naik speed boad. Nah ceritanya begini:
      Ada seorang suami yang sangat ingin makan pergedel, lalu dia beli kentang, bawang dan daun sup, serta bahan lainnya di pasar Airtiris. “Upiok, buatlah itu...namanya aku lupa, pokoknya buatlah dari bahan ini....tapi nama “pergedel” tak muncul-muncul. Nah tiba-tiba kening isterinya terantuk ke tiang, bengkaklah,lalu mintak tolong urut kepada suaminya, anehnya bengkaknya hilang, karena memakai munyak badak. Kata isterinya “Terima kasih ya ,tadi bengkaknya sampai sebesar “pergedel”. Suaminya terkejut “Ha itulah yang sejak tadi Ocu mau bilang, “pergedel”. Buatlah pergedel. Keduanya terpingkal-pingkal tertawa. “Kok begitu susah tadinya mengingat nama “Pergedel”. (Lucu, tapi ini krangan orang surau saja mungkin. 1974.)

2.     Laki-laki tidur di surau.


           Dari hari ke hari saya lihat komunitas surau ini sudah sedemikian
sombongnya.....saling menonjolkan ego mereka masing-masing, tentang  para anti bid’ah yang sinis.  Pertanyaanya, inikah sekarang
wajahnya surau kita ? selama ini saya mengira surau ini masih sama dengan
surau yang ada di kampung-kampung yang ada di KAMPAR, Siak dan Taluk Kuantan- Riau daratan, bahkan di Ranah Minang (sumbar) yaitu
tempat untuk anak-anak mendalami ilmu alquran dan tempat mengajari anak-anak
akhlaq, Disurau yang ada dikampung tersebut anak-anak ditempa dengan ilmu
agama islam, diajari bagaimana cara bersopan santun terhadap sesama murid
mengaji apalagi bersopan santun terhadap yang lebih tua dari kita, tapi apa
yang saya dapati di mailing surau ini sangat-sangat jauh sekali dari pada
apa yang diharapkan, saya lihat beberapa anggota yang duduk di surau ini
berbicara bukan lagi seperti seorang dewasa yang berbicara. Mungkin bagi
mereka tersebut surau ini bisa disamakan dengan congkong di kampung. jadi
kembalikanlah fungsi surau ini kepada tujuan semula, agar kami yang
muda-muda bisa untuk mendalami agama islam ini secara benar. jangan jadikan
surau ini untuk tempat berhumor ria yang tidak ada manfa'atnya bagi kami
yang muda-muda, dan jangan jadikan surau ini untuk tempat mengajarkan ajaran
islam sesat seperti Ahmadiyah dan lain sebagainya.

3.Robohnya surau akibat mementingkan diri sendiri
Robohnya Surau Kami (Lucu menganudung hikmah).

         Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek. Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.

          Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.

         Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri. 
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.  Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya.  Astagfirullah kataku bila aku terkejut.  Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
 
            Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu. 
Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia? tanya Haji Saleh. 
Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun. 
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. 
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. 
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kagut. 
"Kakek." 
"Kakek?" 
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur." 
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. 
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. 
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi. 
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?" 
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis." 
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?" 
"Kerja." 
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa. 
 

4. Macannya sudah datang.

 Pada lazimnya, bulan Syawal adalah bulan memulai untuk mondok bagi santri. Demikian pula dengan Wahab Chasbullah muda. Remaja dengan perawakan yang kecil, tidak terlalu tinggi, dan berkulit kuning langsat ini pergi merantau, hendak mondok di Pondok Pesantren yang diasuh oleh KH. Kholil Amin Bangkalan. Sementara itu, di pondok Kiai Kholil sedang mewanti-wanti para santri agar bersiap-siap, memperketat penjagaan.
Karena tidak lama lagi akan datang macan di pondok. Tentu para santri ‘sendika dawuh’ mengingat di sekitar pondok memang masih berupa hutan belantara. Berhari-hari, hingga minggu dua minggu para santri berjaga-jaga, macan yang dimaksud tidak datang juga. Hingga pada minggu ketiga muncullah seorang pemuda kurus menenteng kopor seng menyapa dengan salam. “Assalamu’alaikum........,” ucap pemuda itu dengan sopan.
Mendengar salam itu, sontak Kiai Kholil berteriak: “Santri-santri, macannya sudah datang. Ayo kita usir, jangan sampai masuk pondok!” Sontak para santri pada ribut, mengambil apa saja yang bisa untuk mengusir macan. Sang pemuda yang melihat puluhan santri membawa senjata menyerbu ke arah dirinya, langsung saja kabur sejauh-jauhnya. Sang pemuda yang tidak lain adalah Wahab Chasbullah belum bisa mengerti, mengapa dirinya diusir-usir seperti macan yang ditakuti. Tekad hatinya adalah menuntut ilmu, maka keesokan harinya ia datang lagi ke pondok Kiai Kholil. Apa yang terjadi masih sama dengan kemarin. Ia diusir ramai-ramai oleh para santri hingga membuat dirinya kabur. Niat untuk nyantri di hati Wahab Chasbullah tetap tidak surut. Hari ketiga ia datang diam-diam pada malam hari.

Mungkin saking lelahnya diusir-usir terus, akhirnya Wahab tertidur di bawah kentongan surau. Tak disangka, malam itu Kiai Kholil sendiri yang ngonangi pemuda itu, maka segera dibangunkannya. Setelah Wahab bangun serta merta dimarahi habis-habisan oleh Kiai Kholil. Wahab muda dibawa ke kediaman Kiai Kholil dan diintegrosi, apa gerangan maksud dan tujuannya. Setelah berhasil menjawab semua pertanyaan Kiai Kholil, akhirnya Wahab Chasbullah diterima sebagai santri Kiai Kholil. Kelak Wahab Chasbullah muda yang diisyaratkan sebagai macan itu menjadi seorang Kiai besar dengan nama KH. Wahab Chasbullah. 




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook