KATA PENGANTAR
SINGGASANA ALLAH DI ATAS AIR. Ayat Al-Quran ini, memancing rasa ingin tahu para ahli ilmu alam. Jika manusia memandang ke ruang angkasa, yang terlihat hanyalah ruang yang kosong. Apakah hakekat kekosongan itu?
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di
bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana
“Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari
orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan
baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali?
Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat
Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur“, yang dianggap sebagai
“pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua
(leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut.
Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni“.
Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon
sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental
Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali,
setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk
menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga”
secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama”
yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama
pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika
“memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai
tahta “Sang Hyang Widhi“. Ketika memuja itulah mereka berusaha
“mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang
Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu
rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu
berhasil, terdapat tanda-tanda khusus.
Konon, ketika puncak ke “hening”
an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya“,
tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang
dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”.
Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa diga
mbarkan secara indah dengan kata-kata
“tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa
jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita
seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah
“kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan
dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana
demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”.
Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.
.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan
tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta
membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri
setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun”
atau “Tuhan yang ada dalam diriku“. Karena itulah ketika kita mengawali
proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM
Atma Tattvatma“, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata
“Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita
jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin
bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis
digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun
ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila
dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya.
Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk
memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat
4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat
suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan
simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di
dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna
“pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon
peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan
dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu
yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran
Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya
disebut namanya agar ikut membantu.
.
Pada dasarnya proses penyatuan (semedi) itu dimaksudkan sebagai usaha
memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau
antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing
Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini
jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian
orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha
Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda.
Kepada mereka, yang tidak
mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu
pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku,
tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal
ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah
membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa
dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari
bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama
yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api,
sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa
berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama
dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha
bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan
orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.
Srir Astu Swasti Prhajabyah….Rahayu
Tuhan adalah “Sangkan
Paraning Dumadi“. IA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu
juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam
bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari .
Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida
Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan
“kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya
“tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”.
Sedang
wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata
tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata
hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan
kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak
dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan
perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti
Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu
nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan
lain-lain.Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama
seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu
satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.
.
Hubungan
Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa
menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan
ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing
curiga“, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti
sarung memasuki kerisnya. Meski
ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh
perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa
mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening
geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan
mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat
di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara
dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai
bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski
bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera
putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau
“teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan
dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng,
kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti
katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus
transenden dalam filsafat modern, yang dalamBhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.
.
Dengan
pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak
terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan,
cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah
Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman
Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku
tunggal“. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga
disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga
kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau
“Engkau adalah Aku“, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu
Brahman”.
Pemahaman
yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena
menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang
demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono“, yang
artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah
yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa
penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang
menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan
siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian
tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau
keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman
cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering
digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube“
Intisari perenungan ini adalah Qul
Huwallahu Ahad. Allahus Shomad. Lam Yalid Walam Yulad. Walam Yakun Lahu
Kuffuwan Ahad.
“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” (ayat 1).
Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang
dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada
Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain
dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau
Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah
yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas
bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam
pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula
ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau
Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya
sama-sama kurang berkuasa.
“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini
adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah
bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah
segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya,
sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan
apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang
menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di
dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan
keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau
mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu
beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia
mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak.
Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak
berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus,
sehingga tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau menyambung
kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa.
Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari
ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau
seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu
ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu
tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang bapa
dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si anak,
sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan
kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau
ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak
mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4).
Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu
tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan,
tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau
diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama,
fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama
kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi
pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan
dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau
keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni
masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan
keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak
Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada
bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur,
belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan
oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak
bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya
sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir
bahwa asal mula Surat ini turun: “Shif lanaa rabaka” ialah karena pernah
orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya
Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada
orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau
sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata dalam
tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan kejelasan
bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala makhluk, supaya
jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Tuhan. Di
ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan bersih-Nya Allah dari
berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia tempat bergantung,
tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan kepada yang lain, Dia
tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah berkurang. Dengan
penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah manusi bahwa
malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah. Tegasnya
dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak ada sesuatu
pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman hidupnya”, yang
dari pergaulan berdua timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan
Al-Qur’an itu ialah untuk ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari
akhirat dan ma’rifat terhadap Ash-Shirathal Mustaqim. Ketiga
ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain adalah
pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung
satu daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan memberishkan-Nya,
mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya daripada jenis dan
macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa yang menghendaki
anak, laksana pohon. Dan bukan diperanakkan, laksana dahan yang berasal dari
pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan, bandingan dan gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis dalam
Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan
sembahyang Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat
itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid I’tiqad
dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa
yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa,
Tunggal. Naf’i yang mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana
pun.
Dia adalah Pergantungan yang
tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah
berkekurangan dari segi mana pun. Naf’i daripada beranak dan diperanakkan,
karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi dan Keesaan-Nya
tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya kufu’, tandingan, bandingan dan
gandingan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan ataupun pandangan lain.
Sebab itu makna Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan
menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid menurut ilmiah dan
menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya daripada
kesesatan dan mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab
Al-Qur’an berisi Berita (Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa mengandung salah satu
tiga pokok: (1) perintah, (2) larangan, (3) boleh atau diizinkan. Dan Khabar
dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai Pencipta (Khaliq) dengan
nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari makhluk-Nya, maka
diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung Sepertiga Al-Qur’an.
Dan dibersihkannya pula barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada
mempersekutukan Allah secara ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kaafiruun pun telah
membersihkan dari syirik secara amali, yang timbul dari kehendak dan
kesengajaan.” – Sekian Ibnul Qayyim.
Ibnul Qayyim menyambung lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan ilmu.
Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk
jalan, dan hakim yang memberikan keputusan di mana
tempatnya dan telah sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu Ahad” adalah puncak
ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur’an.
Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat
mutawatir. Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat
Al-Qur’an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas
dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama nilainya dengan separuh Al-Qur’an.
“Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga Al-Qur’an dan “Qul Yaa Ayyuhal
Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an.
Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam
Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini shahih.
***
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang
dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah, – moga-moga Allah meridhainya – bahwa Nabi
SAW pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin
patroli itu tiap-tiap sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca “Qul
Huwallaahu Ahad.” Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan
pimpinan mereka itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata: “Tanyakan kepadanya
apa sebab dia lakukan demikian.” Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa
selalu ditutup dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad”).
Dia menjawab: “Itu adalah sifat dari
Tuhan Yang Bersifat Ar-Rahman, dan saya amat senang membacanya.”
Mendengar keterangan itu bersabdalah
Nabi SAW: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya.”
Dan terdapatlah juga beberapa sabda
Rasul yang lain tentang kelebihan Surat Al-Ikhlas ini. Banyak pula Hadis-hadis
menerangkan pahala membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang diterima dari Ubay
dan Anas bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
“Diasaskan tujuh petala langit dan tujuh
petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad.”
Betapa pun derajat Hadis ini, namun
maknanya memang tepat. Al-Imam Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti
Hadis ini: “Yaitu tidaklah semuanya itu dijadikan melainkan untuk menjadi bukti
atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam
Surat ini.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu Hurairah, berkata
dia: “Aku datang bersama Nabi SAW tiba-tiba beliau dengar seseorang membaca
“Qul Huwallaahu Ahad”. Maka berkatalah beliau SAW: “Wajabat” (Wajiblah). Lalu
aku bertanya: “Wajib apa ya Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Wajib orang itu
masuk syurga.” Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan shahih.
DEDICATED TO
ISLAM
Fenomena Bono Kuala Kampar – Riau. DI waktu kecil, penulis dibawa oleh ayahnda Janib, dan abangnda Sirajuddin, berladang di Tanjung Pebilah dan kemudian di Pulau Mudo, tepatnya tahun 1969 s/d 1974. Pada pertengahan tahun 1974, penulis pindah ke Airtiris, untuk sekolah di MTI. Ranah. Dari Penyalai, penulis naik kapal kecil yang disebut pompong. Perjalanannya 2 sampai tiga hari, melalui Desa Teratak Buluh. Penulis menaiki pompong atau kapal motor, kemudian berlabuh di salah satu pelabuhan Kuala Kampar (Panduk, Pulau Muda dll.) menjelang air pasang tiba (pasang besar) akan terdengarlah bunyi gemuruh, semakin dekat semakin jelas derunya. Tapi jangan menduga deru itu bunyi angin ribut, badai atau hujan tapi hal itu adalah deru air sungai Kampar yang berbentuk gelombang besar, bergunung memudiki sungai Kampar dengan kecepatan yang dahsyat.
Ternyata, di musim pasang besar, tinggi gelombang Bono tersebut bisa mencapai empat sampai enam meter, merentang dari seberang ke seberang memenuhi sungai. Memang, suatu panorama mengerikan namun juga mengasyikan, itulah yang disebut BONO. Penduduk sungai Kampar bagian hilir, atau orang-orang yang pernah melewati daerah ini pastilah pernah melihat Bono, karena Bono datang bersama air pasang, baik siang maupun malam, terutama pada musim bulan penuh dan antara tanggal 10 sampai dengan 20 bulan Melayu (Arab).Ketika pasang mati (bulan kecil) Bono bisa dikatan tidak ada, kalaupun ada hanya berupa riak kecil di tempat yang sangat dangkal.
BAB I
ANALISIS TENTANG MISTERI BONO
A. Mitos dan Cerita Tentang Bono
Bagi penduduk daerah Kuala Kampar, Bono sudah mereka kenal sejak kecil. Sebab itulah tidak aneh, apabila anak-anak, remaja dan juga orang dewasa menganggap Bono sebagai sahabatnya,tempat mereka bermain ketangkasan menunggangi Bono menggunakanperahu-perahu (sampan) kecil.
Biasanya tempat bermain Bono adalah di tempat-tempat dimana Bono tidak terlalu besar atau dalam anak-anak sungai Kampar yang memudiki Bono seperti : sungai Sangar, Turip, Serkap, Kutub dan Kerumutan. Permainan ini memang besar resikonya, sebab jika salah perhitungan perahu dapat dilemparkan Bono ke tebing sehingga hancur luluh. Tetapi dari pengalaman sejak kecil, mereka, para pemain Bono ini sudah mengetahui betul dimana tempat yang aman bermain bono.
Dahulu, permainan Bono sering di lakukan dengan upacara tertentu, tetapi kemudian menjadi permainan biasa dan dapat di laksanakan sesuka hati. Tetapi permainan ini hanya di lakukan pada siang hari, sedangkan malam hari betapapun beraninya mereka, belumlah ada yang mencobanya.
Kalau takut atau ngeri untuk turut bersama perahu bermain Bono, anda dapat menyaksikan Bono dari darat saja. Tetapi Jika berani silahkan bermain Bono dengan perahu-perahu kecil yang banyak terdapat disana. Yang penting anda harus pandai berenang,serta menunggangi Bono itu. Permainan ini mirip dengan selancar pada ombak-ombak di pantai, karena tempatnya luas dan tantangannya cukup besar.
Find out how to reduce your carbon footprint
attayaya support to : The Banyumas Residence Beranda | Link Teman | 2011-11-24
jam 09:25 Attayaya » Dunia Hijau , Indonesia Tanah Airku , Jalan-jalan Pelesir
, Pekanbaru , Wisata Riau » TINJAUAN ILMIAH TERJADINYA OMBAK BONO KAMPAR
TINJAUAN ILMIAH TERJADINYA OMBAK BONO KAMPAR Di dalam kajian Lingkungan
Mekanika Cairan (Environmental Fluid Mechanics), Bono disebut TIDAL BORE atau
bore/aegir/eagre/eygre. TINJAUAN ILMIAH TERJADINYA OMBAK BONO KAMPAR tak banyak
referensinya. Artikel ini untuk menyambung artikel sebelumnya yang berjudul
"Gelombang Ombak Bono Kampar Riau". Gelombang Bono atau Ombak Bono
atau Bono Wave yang merupakan suatu fenomena alam, secara sederhana dapat
disampaikan bahwa terjadinya Ombak Bono adalah pertemuan arus pasang air laut
dengan arus sungai dari hulu menuju muara (hilir). Selain itu, di daerah lain
disebut dengan berbagai nama dan istilah yang secara umum disebut TIDAL BORE.
Di Malaysia di sebut BENAK yaitu Benak Muara Sungai Batang Lupar Sri Aman Sarawak. Di
Sungai Kent Inggris disebut The Arnside Bore, dan ada juga menyebutnya sebagai
Aegir. Di Sungai Severn Inggris disebut dengan The Severn Bore. Di Sungai
Amazon dan sungai-sungai disekitarnya disebut dengan Pororoca. Sedangkan Benak adalah sebutan Bono di Sungai Batang Lupar Serawak Malaysia. Mengenai Lokasi
Bono lainnya di dunia, dapat dibaca pada artikel : Lokasi Bono / Tidal Bore di
Dunia PENYEBAB DAN WAKTU TERJADINYA OMBAK BONO .
Ombak Bono atau kadang biasa
juga disebut Gelombang Bono (Bono Wave) terjadi ketika saat terjadinya pasang
(pasang naik) yang terjadi di laut memasuki Sungai Kampar. Kecepatan air Sungai
Kampar menuju arah laut berbenturan dengan arus air laut yang memasuki Sungai
Kampar. Benturan kedua arus itulah yang menyebabkan gelombang atau ombak
tersebut. Bono akan terjadi hanya ketika air laut pasang.
TINJAUAN ILMIAH TERJADINYA OMBAK
BONO
Bono biasanya terjadi pada muara
sungai yang lebar dan dangkal kemudian menyempit atau menguncup setelah berada
di dalam sungai. Bentuk muara sungai yang menguncup mirip dengan huruf
"V" atau corong didukung dengan kondisi sungai yang mendangkal akibat
erosi alami menyebabkan pertemuan air laut pasang dengan air sungai akhirnya
membentuk Bono atau Tidal Bore. Tetapi tidak semua muara berbentuk V yang
dangkal dapat terjadi Tidal Bore. Karena dipengaruhi salah satunya oleh faktor
tinggi pasang-surut air laut. Tidal Bore adalah dianggap sebagai suatu fenomena
alam di bidang hidrodinamika yang erat hubungannya dengan pergerakan massa air.
Semakin besar Bono atau Tidal Bore tersebut,
maka semakin besar pula daya rusaknya. Dikutip dari Wikipedia : A tidal bore
(or simply bore in context, or also aegir, eagre, or eygre) is a tidal phenomenon
in which the leading edge of the incoming tide forms a wave (or waves) of water
that travel up a river or narrow bay against the direction of the river or
bay's current. Dikutip dari Bambang Yulistiyanto : Pasang surut yang ada di
Muara Sungai Kampar mempunyai tinggi gelombang sekitar 4 m (Deshidros, 2006).
Pasang surut tersebut berupa pasang surut tipe Campuran Condong ke Harian
Ganda, dimana dalam 1 hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan
tinggi pasang surut yang pertama dan kedua berbeda. Periode gelombang pasang
surut sekitar 12 jam 25 menit. Di Sungai Kampar, muara sungai berbentuk seperti
huruf "V", massa air masuk melalui mulut teluk yang lebar kemudian
tertahan, hingga air laut pasang memenuhi kawasan muara.
Massa air yang terkumpul kemudian
terdorong kearah hulu yang menyebabkan semacam efek tekanan kuat ketika
melewati areal yang menyempit dan dangkal secara konstan di mulut teluk.
Keadaan ini memunculkan gelombang yang bervariasi di hulu teluk, dari hanya
berupa gelombang-gelombang kecil hingga beberapa meter ketinggiannya. Di muara
Sungai Kampar, kecepatan gelombang dapat lebih rendah dibandingkan kecepatan
arus sungai yang berasal dari hulu sungai. Hal ini berakibat pada terhambatnya
gerakan gelombang pasang dari laut, yang berakibat pada naiknya muka air dari
muara, sehingga terbentuk Tidal Bore ‘Bono’. Gelombang Bono bergerak ke hulu
sampai ke Tanjung Pungai yang berjarak sekitar 60 km dari muara. Bono yang
menjalar menuju ke hulu melewati alur sungai yang semakin menyempit. Saat
melewati Pulau Muda, gelombang pasang ini terpisah menjadi dua, sebagian lewat
alur di sebelah kiri, dan sebagian lagi lewat alur sebelah kanan Pulau Muda.
Di Tanjung Perbilahan Bono yang terpisah
tersebut saling bertemu, menghasilkan momentum yang mengakibatkan Gelombang
Bono semakin besar. Penduduk setempat menyebut peristiwa ini sebagai ‘Bono yang
bertepuk’. Di Tanjung Perbilahan, Gelombang Bono terjadi paling besar. Lokasi
ombak Bono kampar / Tidal Bore di Dunia Lokasi Bono Kampar gambar dari http://eprints.ums.ac.id
Video Ombak Bono Lainnya Video of Pororoca at Amazon River Brazil Video of
Severn Bore at Severn River England Video of Qiantang Bore at Qiantang River
HangZhou China Baca artikel lainnya : Gelombang Ombak Bono Kampar Riau
Indonesia Lokasi Bono Kampar Bahan bacaan dan sumber gambar : FENOMENA
GELOMBANG PASANG BONO DI MUARA SUNGAI KAMPAR.
Wisata Riau Ombak Bono Sungai Kampar- muara Sungai Bono yang disebut penduduk sebagai KUALA
KAMPAR memiliki ombak Bono yang dapat mencapai ketinggian 6-10 meter terkandung
keadaan pada saat kejadian. Menurut cerita Melayu lama berjudul Sentadu Gunung
Laut), setiap pendekar Melayu pesisir harus dapat menaklukkan ombak Bono untuk
meningkatkan keahlian bertarung mereka. Hal ini dapat masuk akal karena
"mengendarai" Bono intinya adalah menjaga keseimbangan badan, diluar
masalah mistis.
ombak Bono terjadi karena perwujudan
7 (tujuh) hantu yang sering menghancurkan sampan maupun kapal yang melintasi
Kuala Kampar. Ombak besar ini sangat menakutkan bagi masyarakat sehingga untuk
melewatinya harus diadakan upacara semah seperti yang telah disebutkan di atas.
Ombak ini sangat mematikan ketika sampan atau kapal berhadapan dengannya. Tak
jarang sampan hancur berkeping-keping di hantam ombak tersebut atau hancur
karena menghantam tebing sungai.
Tak sedikit kapal yang diputar balik dan tenggelam akibanya. Menurut cerita masyarakat, dahulunya gulungan ombak ini berjumlah 7 (tujuh) ombak besar dari 7 hantu. Ketika pada masa penjajahan Belanda, kapal-kapal transportasi Belanda sangat mengalami kesulitan untuk memasuki Kuala Kampar akibat ombak ini. Salah seorang komandan pasukan Belanda memerintahkan untuk menembak dengan meriam ombak besar tersebut. Entah karena kebetulan atau karena hal lain, salah satu ombak besar yang kena tembak meriam Belanda tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Maka sekarang ini hanya terdapat 6 (enam) gulungan besar gelombang ombak Bono.
Tak sedikit kapal yang diputar balik dan tenggelam akibanya. Menurut cerita masyarakat, dahulunya gulungan ombak ini berjumlah 7 (tujuh) ombak besar dari 7 hantu. Ketika pada masa penjajahan Belanda, kapal-kapal transportasi Belanda sangat mengalami kesulitan untuk memasuki Kuala Kampar akibat ombak ini. Salah seorang komandan pasukan Belanda memerintahkan untuk menembak dengan meriam ombak besar tersebut. Entah karena kebetulan atau karena hal lain, salah satu ombak besar yang kena tembak meriam Belanda tidak pernah muncul lagi sampai sekarang. Maka sekarang ini hanya terdapat 6 (enam) gulungan besar gelombang ombak Bono.
Bono ini sebenarnya terdapat di dua
lokasi yaitu di Muara (Kuala) Sungai Kampar dan di Muara (Kuala) Sungai Rokan.
Masyarakat setempat menyebut Bono di Kuala Kampar sebagai BONO JANTAN karena
lebih besar, sedangkan Bono di Kuala Rokan sebagai BONO BETINA karena lebih
kecil.
Cara menuju lokasi ombak Bono umumnya
dilakukan dari Kota Pekanbaru menuju Pangkalan Kerinci (ibukota Kabupaten
Pelalawan) dan menuju Desa Teluk Meranti. Perjalanan dilakukan dengan
menggunakan transportasi darat (mobil, bus, motor). Lama perjalanan memakan
waktu antara 5 s/d 6 jam tergantung kondisi jalan dan kepadatan arus lalu
lintas. Perjalanan antara Pekanbaru ke Pangkalan Kerinci adalah melalui Jalan
Lintas Timur Sumatera sekitar 1-2 jam.
Dari Pangkalan Kerinci menuju Simpang
Bunut sekitar 30 menit dan akan memasuki Jalan Lintas Bono menuju Desa Teluk
Meranti yang memakan waktu sekitar 4-5 jam. Lewat transportasi air dapat
dilalui melalui Pelabuhan Pangkalan Kerinci yang berada di bawah Jembatan
Pangkalan Kerinci. Dari pelabuhan tersebut, dapat dilanjutkan perjalanan dengan
menaiki speedboat menuju Pelabuhan Pulau Muda dengan waktu tempuh 4,5 jam.
Dapat juga menaiki kapal yang menuju Tanjung Batu yang berangkat jam 11 setiap
hari dan turun di Pelabuhan Desa Teluk Meranti. Penginapan biasanya masih di
rumah masyarakat karena untuk melihat ombak Bono harus menyewa speed boat kecil
menuju Kuala Kampar. Ombak Bono tidak begitu terlihat bagus di Desa Teluk
Meranti. Penduduk setempat dapat menunjukkan lokasi ombak Bono terbaik,
terbesar dan terpanjang.
No comments:
Post a Comment