Monday, May 20, 2013

ANAK-SUKA MELANGGARAN ATURAN , CENDERUNG INGIN BEBAS






PANTUN

JAHAT AKIBAT, PENGARUH TEMAN
ANAK YANG BAIK, BISA KESETANAN
KEWAJIBAN ORANG TUA, MEMBERI ARAHAN
AGAR HIDUPNYA, TAAT DAN SOPAN


    NENEK SIHIR, MENYAPU HALAMAN,
    PUTUS KARET, TALI CELANA.
    HATI-HATI, DALAM BERTEMAN,
                                                            ADA PENCOPET, JADI SARJANA.  

  

          Pertengkaran diantara anak-anak bersaudara adalah hal biasa. Anak-anak siapapun dia: adik, kakak atau anak tunggal semua suka melanggar aturan. Ketika di tegur, ludah belum kering sudah di ulang lagi. Endingnya, keluarlah jerit tangis yang memekakkan telinga. Perilaku anak di bawah sepuluh tahun memang labil. Terkadang patuh, terkadang tanpa rasa bersalah melanggar aturan yang telah di tetapkan. Secara psikologis, si kecil masih mengalami proses pengembangan moral. Ini memungkinkan mereka dapat membedakan mana yang benar dan salah, serta melakukan keduanya sekaligus. Begitulah anak-anak. Mereka lebih menyukai yang enak dan menyenangkan, tanpa memikirkan benar atau salahnya. Fitrahnya manusia cenderung pada kebaikan. Begitu pun anak-anak. Umumnya, anak merasa takut setelah melakukan kesalahan. Ini menjadi sisi yang berguna untuk menuntun perilaku baiknya. Karena tak jarang si kecil justru menutupi kekeliruannya dengan berbohong. Jadi, jangan keliru menyikapinya. Tanggapi pengakuan ini dengan sabar, karena ia telah berusaha untuk jujur.
            Ajaklah berdiskusi mengapa tindakannya itu dianggap sebagai suatu kekeliruan. Tapi jangan hanya bisa menyalahkan. Berikan juga pujian karena telah berlaku jujur. Sebaliknya, berilah anak sanksi jika ia melanggar aturan. Biasanya anak lebih konsekwen jika sanksi yang akan diberikan di diskusikan dulu. Atau, biarkan anak memilih sendiri sanksi untuk kesalahannya. Dalam menerapkan sanksi, orangtua harus konsisten. Jika sekali saja lolos dari sanksi maka wibawa aturan akan luntur.
          Dalam menerapkan sanksi, hindarilah jenis sanksi yang mengarah pada kekerasan, baik secara lahiriah maupun secara mental. Kekerasan lahiriah misalnya berupa pemukulan, tendangan ataua pengurungan. Sedangkan kekerasan mental berupa pemberian julukan buruk, misalnya si nenek sihir, si egois, si goblok! Jangan juga menyebut kelainan fisik si anak seperti si peyang, si cebol, atau si tukang ngompol. Hukuman seperti ini akan berdampak amat dalam pada si kecil. Hukuman fisik akan berujung pada trauma yang berpotensi mengganggu kejiwaannya. Adapun hukuman psikis akan mengganggu perkembangan mentalnya. 
       Disiplin pada anak sejak dini memang di perlukan, selama hal tersebut dilakukan secara wajar, sesuai aturan agama dan mempertimbangkan usia maupun perkembangan anak. Yang juga perlu diperhatikan adalah memprioritaskan hal-hal apa dari sekian banyak hal yang akan di buat aturannya. Jangan sampai kita berharap terlalu banyak (tidak realistis) pada anak-anak kita untuk disiplin dalam segala hal yang jelas sangat sulit untuk mereka lakukan. Bukankah sebagai pribadi yang dewasa kita juga perlu waktu untuk dapat berdisiplin? kita juga belum tentu sanggup dan dapat menerima dengan lapang dada ketika pasangan kita menerapkan disiplin yang kaku pada kita dalam banyak hal tanpa kompromi, apalagi menggunakan kekerasan? Bagaimana dengan anak-anak kita, buah hati kita, apakah sanggup dan lapang dada mendapatkan perlakuan yang keras dari kita? Tentu saja mereka hanya korban, yang belum punya daya untuk menolak atau membalas. Mungkin ada anak yang sepertinya tampak kuat, acuh bahkan menjadi kebal dengan bentakan dan pukulan orang tuanya, tetapi hatinya tidak sekuat fisiknya. Ada konflik psikologis yang bisa terjadi pada diri anak-anak kita yang mungkin bisa terbawa sampai mereka dewasa.
       Saya yakin kita sebagai orang tua tidak berharap demikian. Sebagai contoh, anak perlu latihan disiplin dalam hal  menyikat  gigi, tidak jajan sembarangan, bangun pagi, berpakaian, makan, mandi, bergiliran dengan teman, menonton tivi, bermain, membeli mainan, tidak mengganggu adik dan lainnya. Ternyata jika di perhitungkan, ada banyak hal yang kita harapkan pada anak. Tapi semoga kita tetap menjadi orang tua yang bijaksana dan menetapkan standart yang realistis bagi anak-anak kita. Berilah mereka waktu dan kesempatan untuk mencapai standart tersebut. Sebagai orang dewasa pun tentunya kita berharap mendapatkan kesempatan dari orang lain untuk mencapai suatu standart bukan ? Anak perlu rentang waktu, kesempatan, dorongan dan lingkungan yang kondusif untuk memiliki kebiasaan yang baik dalam banyak hal. Anak tidak akan merasa nyaman jika terlalu banyak di atur, dilarang, dimaki dan hal-hal negatif lainnya.
         Anak-anak juga merasa tertekan jika pada usia mereka yang sangat muda, mereka dituntut untuk berbuat baik, tapi cara yang di lakukan orang tua tidak baik. Disadari atau tidak, dalam hal ini orang tua tidak menjadi contoh yang baik bagi anak, terutama dalam mengontrol emosi. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi model bagi anak-anak. Rasulullah Saw adalah teladan kita. Beliau merupakan pribadi berdisiplin tinggi, tetapi beliau tetap bersikap lembut pada anak-anak dan sangat menghargai proses bukan?kita harus lebih fokus pada pengembangan disiplin anak dengan menghargai proses mereka menuju kebaikan dan disiplin, bukan dengan menuntut hasil pembentukan disiplin anak secara tepat dan dengan kekerasan. Tiap anak bersifat unik. Namun demikian, prinsip dasar disiplin relatif sama.

     MENCARI BENALU, KE SIALANG,
       TEMPAT ORANG, MENCARI ROTAN
                   SEGAN DAN MALAU, KALAULAH HILANG
PERSIS SEPERTI, BABI HUTAN.

PUTRI KEMBAR, LAHIRNYA MALAM,
PERMAISURI, SANGATLAH GIRANG
PEPAT DI LUAR, RUNCING DI DALAM,
MENTAL YAHUDI, KINI BERSARANG.

         Lahirnya para pemimpin BERMENTAL COPET, juga yang berkualitas, bijaksana, adil serta mampu mengurangi angka kemiskinan, memanglah takdir dari yang kuasa. Tapi menjadi dambaan setiap anak negeri ini. Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas makin jelas terlihat karena hampir setiap hari saja orang berbicara, mengeluh tentang para pemimpin yang salah langkah, para pemimpin yang kurang memperhatikan nasib rakyatnya. Tetapi, sangatlah disayangkan karena sampai kehari ini, ternyata masih belum banyak orang yang berbicara tentang bagaimana sebenarnya liku dan proses dari kemunculan/ lahirnya seorang pemimpin itu.
        Dewasa ini, orang justru malah lebih banyak tertarik untuk berbicara hanya sebatas tentang berbagai masalah kesulitan hidup yang masih menggeluti lebih dari 20 % rakyat dinegeri ini dimana berbagai kesulitan hidup itu, telah pula mengakibatkan munculnya berbagai masalah sosial ditengah masyarakat banyak. Mulai dari masalah banyaknya gepeng, pengangguran, prostitusi, penipuan sampai kepada masalah pelanggaran hukum lainnya yang kualitasnya semakin hari semakin meningkat.
       Potret dari kemiskinan itu, sepintas lalu saja sudah dapat kita lihat dari masih banyaknya gubuk-gubuk reot hunian penduduk yang bukan hanya dapat kita lihat dikampung-kampung tetapi juga dapat kita lihat dikota-kota besar. Begitu pula dengan gepeng yang semakin hari semakin banyak berkeliaran hampir di setiap kota. Tambahan lagi, busung lapar atau gizi buruk masih saja menghiasi kehidupan sebahagian masyarakat yang terpinggirkan di negeri ini. Padahal kalaulah mendengarkan nyanyian Koes Plus, tanah kita ini adalah tanah sorga, dengan untaian khatulistiwa zamrud dan mutiaranya, semua bisa jadi tanaman. Sampai-sampai batupun, katanya, bisa jadi tanaman, begitulah kayanya bumi kita ini.
Rasanya, nyanyian Koes Plus itu tidaklah terlalu berlebihan, karena sumber daya alam negeri kita ini, kata dunia, memanglah melimpah ruah. Namun demikian, ironisnya, penduduknya masih saja cukup banyak yang harus terpaksa hidup dibawah garis kemiskinan.
      Dalam hal kemiskinan ini, sampai ada yang mengatakan bahwasanya kehidupan sebahagian penduduk negeri ini masih saja mirip seperti ayam yang bertelur diatas padi tetapi harus mati kelaparan. Kenapa ???. Inilah permasalah pokok yang masih belum banyak dipahami orang.
       Sehubungan dengan masih banyaknya penduduk miskin ini, berbagai pihak sejak lama sudah mencoba mencari penyebabnya sekaligus mencari jalan keluarnya. Berbagai pendapat, analisa dan cara untuk mengurangi kemiskinan ini telah pula dikemukakan orang. Meskipun demikian berbagai usaha itu belum banyak mendatangkan hasil.
       Di antara sekian banyak pendapat yang paling mengemuka diantaranya adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya penyebab dari masalah masih banyaknya penduduk miskin dinegeri ini tak lain adalah disebabkan karena negeri ini sampai saat ini masih saja belum dapat menemukan pemimpin yang berkualitas bahkan banyak pula yang mengatakan bahwasanya mereka telah salah dalam memilih pemimpin.
Dari satu sisi, pendapat itu mungkin ada benarnya, tetapi dari sisi yang lain, pendapat itu tampaknya harus ditinjau ulang kembali.
       Untuk itu mari, coba kita lihat negara-negara tetangga yang telah lebih dahulu merasakan nikmatnya kemakmuran. Sebagaimana pepatah lama mengatakan, “mengambil contoh kepada yang telah sudah, mengambil tuah kepada yang menang”. Lihatlah negeri Singapura misalnya, sebuah negara kecil dengan kepemimpinan seorang Lee Kwan Yu ternyata telah mampu menguasai perdagangan di Asia Tenggara. Kemudian, negara Malaysia yang berada dibawah asuhan para pemimpinnya yang tentunya juga lebih berkualitas, yang dipilih oleh rakyatnya yang tentunya juga rakyat yang lebih berkualiatas; telah pula berhasil menjadikan masyarakat banyaknya, menjadi lebih sejahtera sehingga sampai kehari ini Malaysia tidaklah pernah mengirimkan seorangpun pembantu ke Indonesia. Sementara Indonesia yang begitu kaya dengan sumber daya alamnya ini dan juga sama-sama dari ras Melayunesia, sama seperti penduduknya negeri Malaysia; tetapi karena SDM-nya yang belum cukup berkualitas, maka sampai saat ini Indonesia masih harus berbangga hati dengan kemampuannya yang telah berhasil mengirimkan jutaan pembantu ke Malaysia dan negara lainnya. Begitu juga dengan Vietnam negeri yang meskipun agak terlambat mendapatkan kemerdekaannya, tetapi telah pula berhasil melakukan ekspor berasnya. Sementara kita negeri yang subur ini masih saja harus meng-impor berbagai kebutuhan pokok, mulai dari beras, jagung, kedele sampai-sampai singkongpun katanya harus di-impor. (Selanjutnya silahkan dibaca di blog: dinamikalogis)
Meskipun bangsa yang besar ini telah melihat begitu banyak contoh kemajuan yang telah diperoleh oleh negara-negara lain yang tentunya berkat arahan dari para pemimpin mereka yang memang lebih berkualitas, yang dapat menjadikan rakyatnya menjadi lebih sejahtera; namun ironisnya semenjak kemerdekaan sampai kehari ini, ternyata semua contoh-contoh itu masih belum dapat menjadi pendorong, menggugah bangsa ini untuk berpikir, menyadari dan memperbincangkan tentang asal muasal dari seorang pemimpin itu sebenarnya dari mana. Oleh karena itu, mari sama-sama kita kita coba merenungkan ungkapan berikut ini.

Kini dizaman tehnologi serba canggih ini, seharusnya sudah saatnya bagi kita masyarakat Indonesia ini untuk berfikir kembali, menyadari bahwasanya kemunculan seorang pemimpin itu sebenarnya adalah ibaratkan buah-buahan yang dihasilkan oleh sebatang pohon. Bagaimanapun, misalnya, sebatang pohon mangga logikanya pastilah akan menghasilkan buah mangga. Sebatang pohon mengkudu pastilah akan menghasilkan buah yang kelat, pahit dan kesat. Adalah mustahil bila sebatang pohon mengkudu akan menghasilkan buah mangga yang harum dan manis – dengan tekhnologi persilangan barangkali ?.
Kita tentunya juga menyadari, bahwasanya meskipun setiap pohon mangga pastilah akan menghasilkan buah mangga; namun, hal itu bukanlah satu jaminan langsung bahwasanya setiap pohon mangga akan menghasilkan buah mangga yang harum, manis dan enak. Karena kalaulah pohon mangga itu sendiri dalam keadaan kurang baik, maka buah mangga yang dihasilkannya tentulah juga akan kurang baik. Bagaimanapun, yang jelas tidaklah mungkin pohon mangga akan berbuah durian.
Gambaran dari ungkapan diatas, adalah dimaksudkan untuk menjelaskan bahwasanya tampilan seorang pemimpin itu sebenarnya adalah cerminan dari pola pikir, mental dan tabiat dari masyarakatnya sendiri. Dari satu kelompok masyarakat yang baik, biasanya ada harapan untuk melahirkan seorang pemimpin yang juga baik. Sebaliknya dari satu kelompok masyarakat yang kusut dan freeman; kemungkinannya juga akan melahirkan seorang pemimpin yang kusut dan freeman.
Tidakkah kita memperhatikan bahwasanya satu kelompok biasanya akan melahirkan atau akan memilih para pimpinannya ?. Tidaklah pernah terjadi sebaliknya dimana seorang pemimpin akan melahirkan atau akan memilih masyarakatnya.
Sehubungan dengan gambaran ungkapan diatas, mari sama-sama kita perhatikan, contoh-contoh pola pikir dan mental masyarakat dari beberapa negara yang telah melahirkan pemimpinnya dengan kualitas seperti apa.
Bangsa Jepang misalnya, adalah satu bangsa yang sejak lama kita ketahui dimana masyarakatnya mempunyai rasa malu yang sangat mendalam. Rata-rata masyarakat Jepang akan merasa sangat malu sekali bila gagal melaksanakan satu amanah. Baik itu amanah dari orang tuanya ataupun amanah dari kelompoknya, amanah dari perusahaannya atau amanah dari negaranya. Kebanyakan masyarakat Jepang merasa lebih baik mundur bahkan bunuh diri saja (harakiri) bila mereka telah gagal dalam melaksanakan satu tanggung jawab yang harus dipikulnya. Tidak seperti kebanyakan masyarakat dinegeri ini yang tetap saja ngotot dengan segala kegagalannya, malah masih saja mau lagi menambah jabatan baru.
Dengan dorongan mental dan pola pikir rasa malu seperti itu, bangsa Jepang yang meskipun kalah dan bangkrut setelah dikeroyok rame-rame oleh Sekutu pada perang dunia ke 2 dan diwajibkan pula membayar pampasan perang yang tidak sedikit; ternyata dalam waktu hanya beberapa puluh tahun saja, bangsa Jepang sudah mampu bangkit kembali; bahkan mampu pula mensejajarkan dirinya dengan negara-negara G7 yang pernah meluluh lantakkan negeri mereka dulunya.
Keberhasilan tersebut tentulah berkat strategi usaha yang telah dilakukan oleh para Pemimpin bangsa Jepang yang tentunya berasal dari masyarakatnya sendiri yang memang juga punya mental rasa malu yang sangat besar itu.
Seterusnya mari pula kita lihat mental dan pola pikir dari masyarakat bangsa Cina yang begitu gigih, ulet dan yakin dengan keberhasilan berbagai usaha dagangnya dan program jangka panjangnya. Dengan pola pikir seperti itu, masyarakat Cina ternyata telah melahirkan para pemimpin yang semakin lihay dalam strategi menata ekonomi negerinya guna mensejahterakan masyarakat banyaknya.
Keahlian pemimpin Cina dalam menata ekonominya sampai-sampai telah menjadikan produksi dalam negeri Indonesia semakin terhenyak yang diakibatkan oleh semakin membanjirnya berbagai barang-barang buatan Cina ke Indonesia, yang semakin sulit untuk dibendung.
Lain lagi halnya dengan masyarakat Barat yang semakin maju, karena masyarakatnya yang dinamis; mengutamakan kualitas, ketegasan, kerapian, keselamatan, kebersihan, kesehatan, kenyamanan dan didukung pula oleh tingkat intelijensia mereka yang memang lebih tinggi.
Dari masyarakat yang memang punya intelijensia yang cukup tinggi seperti itu, selain telah melahirkan para pemimpin yang berkualitas, masyarakat barat juga telah melahirkan cukup banyak orang-orang yang telah menemukan (inventor) berbagai peralatan canggih yang sangat dibutuhkan manusia didalam kesehariannya.
Dengan berbagai temuan tekhnologi yang sangat diperlukan manusia dalam kesehariannya itu, dimana temuan-temuan tersebut telah dibeli oleh banyak orang; tentulah wajar saja kalau mereka (penemu-penemu itu) menjadi orang-orang kaya didunia ini.
Ketika para pemimpin bangsa-bangsa lain semakin hari semakin maju untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat banyaknya; pemimpin bangsa ini justru malah makin tersandung, terpuruk dengan sejuta masalah yang semakin menyulitkan untuk dapat menciptakan negeri yang adil, aman dan makmur.
Ironisnya lagi, bangsa yang besar ini, sepertinya semakin hari semakin kehilangan arah untuk dapat menciptakan kemakmuran itu. Padahal, semenjak kemerdekaan bangsa ini sudah berkali-kali berganti bukan hanya para pemimpinnya tetapi juga strategi pola pemerintahannya. Namun, strategi pemerintahan yang pas itu ternyata masih juga belum ditemukan.
Kalau dulu diawal zaman kemerdekaan disebut zaman revolusi. Setelah itu zaman darurat. Dilanjutkan lagi dengan zaman komunis. Seterusnya zaman Orde Lama. Diganti lagi dengan Orde Baru dan kini menjadi zaman refromasi, setelah itu entah zaman apa lagi namanya. Meskipun demikian, yang namanya kesejahteraan masyarakat banyak itu ternyata masih saja meerupakan angan-angan.
Sampai disini tentu timbul pertanyaan, kenapa bangsa yang besar dengan sumber daya alam yang melimpah ruah ini sebegitu sulitnya untuk dapat menciptakan kemakmuran itu ?. Kalau sudah begitu, tentunya ada yang salah. Tetapi kalau memang ada yang salah, salahnya itu dimana ?. Nah, untuk mendapatkan jawabannya, mari sama-sama kita renungkan lagi ungkapan berikut ini.
Ibaratkan kerusakan sebuah mesin. Biasanya seorang mekanik hanya akan segera dapat memperbaiki kerusakannya bila sang menkanik bisa segera tahu yang rusak itu apa. Tetapi bila sang mekanik tidak segera dapat menemukan kerusakannya itu apa, maka dapat dipastikan bahwa kerusakan itu tidak akan segera dapat diperbaiki.
Demikian pula keadaannya dengan negeri kita ini. Bagaimana mungkin bangsa ini akan dapat memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya kalaulah pokok permasalahannya, yang telah menjadi hambatan mendasarnya belum dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri?.
Oleh sebab itu, kini sebagai langkah awal dari usaha perbaikan itu, mari sama-sama kita dalami atau kita pahami dulu apa saja sebenarnya permasalahan yang telah terjadi dengan masyarakat kita ini. Terutama kebiasaan masyarakatnya, metalnya, tabiatnya dan pola pikirnya yang sebenarnya adalah suatu permasalahan pokok yang sangat menentukan dalam hal maju atau mundurnya bangsa ini sebagaimana diuraikan dalam ungkapan berikut ini:
1. Berjuta-juta orang dinegeri ini, tanpa ada rasa beban, tanpa ada rasa bersalah; dengan santainya seenaknya saja membuang sampah sembarangan meskipun tempat itu baru saja dibersihkan.
2. Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja belum bisa menghargai atau bertenggang rasa terhadap jasa usaha, kerja keras dari para pencinta lingkungan dan petugas kebersihan yang harus berhujan dan berpanas mengumpulkan sampah-sarap yang mereka tebarkan.
3. Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja menjadikan sungai-sungai sebagai tong sampah, memasang pamlet-pamlet disembarang tempat yang justru semakin mengotori lingkungan. Mereka tidak peduli bahwasanya yang namanya sampah, walaupun memang harus dibuang tetapi mestilah dengan cara yang pantas. Karena walaupun sampah, bila dilecehkan, diremehkan, dicampakkan sesuka-sukanya, maka setiap saat sang sampah bisa saja sakit hati. Kalau sang sampah sudah sakit hati, sang sampah tak akan segan-segan untuk melakukan serangan balik.
Kalau sang sampah sudah melakukan serangan balik, maka manusia yang meremehkan sampah itu tidak akan berdaya untuk mengelak dari serangannya. Dan bila sampah sudah melakukan serangan balik, tak tanggung tanggung akibatnya manusia bisa mengalami kerugian yang sangat besar. Terjadilah banjir yang dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Tersebarlah bebagai penyakit yang berbahaya.
4. Berjuta-juta orang dinegeri ini telah terbiasa atau membiasakan diri hidup dalam lingkungan kumuh semraut brantakan. Selama hidupnya hampir-hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk merapikan dan membersihkan minimal lingkungannya sendiri.
Dari masyarakat yang masih memiliki pola pikir yang kumuh, berantakan, seperti itu, tentulah sangat wajar bila dinegeri ini juga telah terlahir para pemimpin yang juga tidak punya rasa kepedulian dengan keadaan yang kumuh brantakan pada daerah yang berada dibawah kendali pengaturan atau pimpinannya.
5. Berjuta-juta orang dinegeri ini masih saja belum terdorong untuk lebih peduli dengan berbagai kerusakkan dilingkungannya.
6. Berjuta-juta orang dinegeri yang didiami oleh kebanyakan orang beriman ini, telah memperburuk suasana lingkungan dengan melakukan corat coret pada dinding-dinding, pagar-pagar, batu-batu cagar alam, jembatan atau tiang-tiang bahkan pakaian mereka sendiripun yang seharusnya dijaganya kebersihannya justru juga dicorat coretnya seperti anak sekolah yang baru saja lulus ujian. Tidak sedikit pula malah kulit badannya yang diberikan Tuhan dengan kulit yang mulus bersih yang seharusnya dijaganya, yang seharusnya dia bangga telah diberikan kulit yang mulus bersih oleh yang Maha Kuasa, itupun dicorat coretnya juga dan itupun ternyata masih juga belum cukup untuk memuaskan hasrat semrawut mereka. Hal ini semakin jelas terlihat, karena beberapa tahun kebelakangan ini, untuk semakin memuaskan hasrat kesemrawutan bathinnya, terpaksalah rambut dikepala sendiri yang dijadikan sasaran. Kalau dulu kebanyakan orang akan merasa bangga bila bisa tampil dengan rambut yang disisir rapi dan bersih, sedangkan kini malah sebaliknya orang akan merasa sangat bangga kalau bisa tampil dengan rambut yang semrawut kusut, seperti layaknya orang-orang yang baru saja bangun dari tidurnya.
Selain dari itu, kesemrawutan dinegeri ini semakin bertambah parah lagi, manakala kita melihat kepada tata cara kerjanya pihak listrik (PLN), telepon, tv kabel dan air pump. Karena pemasangan kabel listrik (PLN), kabel telepon, tv kabel dan pipa air pump, dipasang benar-benar dengan cara seni yang kusut semrawut pula, seperti sarang burung tempua.
7. Ketika kami pergi melaksanakan haji di tahun 2001, kami telah melihat bahwa pada batu peringatan pertemuan Adam dan Hawa di bukit Rahmah yang besarnya sekitar 1.5 X 1.5 meter dan tingginya 3 meter itu, penuh dengan corat coretan tulisan dan hebatnya lagi 95 % tulisan itu adalah tulisan latin dalam bahasa Indonesia. Tidak ada tulisan Arab atau tulisan Cina.
8. Berjuta-juta orang telah melakukan pengrusakkan fasilitas umum, merusak telepon umum, merusak taman, merusak pagar, merusak cagar budaya, melempari kaca-kaca spion keamanan dijalan ditikungan kritis, melempari kaca rumah, toko dlsb. Semua itu dilakukannya hanyalah untuk kepuasan pribadi mereka semata.
Dari masyarakat yang miskin kepedulian seperti digambarkan diatas, maka terlahirlah;
a. Para pemimpin yang juga punya pola pikir kusut semrawut. Bahkan Undang-Undang yang disusun/ diciptakan oleh para pemimpin inipun juga undang-undang yang kusut marut dan masih harus diperdebatkan
b. Para pemimpin yang hanya bisa membangun tetapi tidak punya program pencegahan dan pemeliharan untuk berbagai aspek kehidupan sosial masyarakatnya (Pemimpin auto pilot istilah sekarang). Setelah mereka selesai membangun, maka lepaslah tanggng jawab mereka. Selanjutnya bagi para pemimpin itu, nasib bangunan itu terserahlah kepada alam. Mau hidup, mau mati, mau roboh mereka tidak mau tahu lagi.
c. Para pemimpin yang harus menunggu kecelakaan besar dan parah terlebih dahulu, baru tampil memperbaikinya bagaikan seorang pahlawan kesiangan.
d. Para pemimpin yang harus menunggu longsor dulu, baru tampil dengan projek besarnya.
e. Para pemimpin yang tidak punya rasa kepedulian dengan banyaknya ruas jalan yang hancur-hancuran didaerahnya.
f. Para pemimpin yang harus menunggu rusak berat dulu — meskipun sudah terjadi selama puluhan tahun — baru ada perbaikan asal jadi. Itupun kadang harus didemo dulu baru ada reaksinya.
9. Berjuta-juta orang telah memaksakan diri memakai tortoar, bahu jalan bahkan sebahagian besar badan jalan untuk berjualan sehingga kendaraan yang lalu lalang dijalan tersebut menjadi kehilangan haknya. Mereka tak berfikir/ peduli bahwasanya jalan itu adalah haknya kendaraan untuk lalu lintas yang dibayar melalui STNK dan tortoar itu pun sebenarnya adalah juga haknya pejalan kaki.
10. Berjuta-juta pengemudi malah merasa bangga bila telah berhasil ugal-ugalan melanggar aturan lalu lintas, menerobos lampu merah, mencuri/ mendahului/ memotong jalan dengan kecepatan tinggi dijalan umum, tak peduli ditempat sempit, ditikungan atau tempat kritis lainnya, mereka tetap saja memaksakan diri mendahului setiap kendaraan yang ada didepannya sambil mengacung-acungkan tangannya layaknya polisi yang sedang mengusir orang-orang dijalanan karena ada penguasa yang akan lewat. Sepertinya mereka merasa, ketika mereka berada dijalanan itu, hanya dialah orang yang paling berkepentingan. Padahal perilaku sopir seperti itulah diantaranya yang sering mengakibatkan tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Hebatnya lagi, bila terjadi kecelakaan rem lah yang selalu dijadikan alasan. Padahal, meskipun mobil balap f1 yang memang sudah dirancang khusus untuk kecepatan tinggi, masih saja bisa selip. Apalagi mobil besar yang sebenarnya dirancang hanya untuk kecepatan 60 tentu saja pasti selip bila dipacu dengan kecepatan diatas 100 km/ jam, ditambah lagi dengan dorongan bawa muatan lebih dari 20 ton yang semakin mengecilkan tenaga rem
11. Walaupun demikian, ironisnya, Polisi Lalu lintas tidak pula berdaya menghentikan perilaku kebut-kebutan dijalan raya itu. Tidak seperti di Malaysia; meskipun mereka termasuk negara kecil, tetapi Polisinya ternyata ada kemampuan untuk menghentikan kebut-kebutan itu.
12. Berjuta-juta pengemudi seenaknya saja menerobos/ memotong dikanan jalan, disamping ratusan pengemudi lainnya yang sedang dengan segala kesabarannya antri menunggu giliran dikala jalan sedang mengalami kemacetan. Mereka menerobos tanpa rasa bersalah. Mereka menerobos, sepertinya hanya mereka sajalah yang ingin cepat sampai.
Akibat dari ulah para pengemudi yang ugal-ugalan itu, tidak sedikit orang didaerah perumahan yang terpaksa melakukan pengrusakan terhadap jalan yang sudah diaspal mulus dengan cara membuat bandulan atau istilah masyarakatnya adalah polisi tidur. Pengrusakan jalan didaerah perumahan dengan cara membuat bandulan itu terpaksa mereka lakukan karena kebanyakan para pengemudi, terutama pengemudi sepeda motor benar-benar tidak punya perasaan, timbang rasa dengan cara tancap gas ditambah lagi dengan raungan knalt pot kendaraan mereka yang meraung sangat memekakan dan menyakitkan telinga bagi mereka yang berada dipinggir jalan.
Dari para pengemudi yang memetingkan diri sendiri seperti itu, maka muncullah para pemimpin yang katanya demi kepentingan rakyat. Padahal dalam kenyataanya merek justru mendahulukan kemewahannya. Mobil mewahnya, kantor mewahnya, rumah mewahnya, perjalanan dinas mewahnya. Kalau masih ada sisa, barulah itu untuk rakyat.
13. Berjuta-juta orang, cendrung tidak malu berperilaku pengemis, melakukan pungutan atau minta sedekah secara paksa dijalan umum, dipasar, bahkan ditempat rekreasipun yang seharusnya bisa santai. Begitu banyaknya pengemis dinegeri ini sehingga menjadi sulit untuk membedakan mana yang pengemis sungguhan dan mana pula pengemis kambuhan. Mereka kadang cendrung minta sedekah ini dengan cara memaksa, kadang dengan memanfaatkan istilah aministrasi, keamanan, jatah, upah angkat dlsb (mirip penyamun dimasa dulu), cuma bedanya kalau dulu para penyamun melakukan rampasan ditempat tersembunyi sedangkan sekarang dilakukan terang–terangan ditempat umum dimana para penegak hukum hampir setiap hari dapat melihatnya. Mereka tidak berfikir resiko apa yang akan terjadi akibat dari pungutan-pungutan yang banyak itu. Mereka tidak peduli bahwa nilai total pungutan-pungutan itu akan dibebankan oleh pengusaha dan pedagang terhadap harga barang dagangan dan produksinya, sehingga harga-harga barang akhirnya akan menjadi semakin mahal untuk dijangkau.
Dari lingkungan masyarakat banyak yang cendrung berperilaku pengemis itu, maka lahir pulalah;
a. para pemimpin yang juga cendrung mengemis berhutang keluar negeri meskipun hutang yang ada sudah bertumpuk triliunan. Entah siapa, kapan dan bagaimana hutang-hutang itu akan dapat dibayar lunas nantinya.
b. Para pemimpin yang lebih cendrung mengemis berhutang dari pada berusaha keras untuk memberdayakan masyarakatnya sendiri dengan berbagai program padat karya.
c. Para pemimpin yang cendrung mengemis dengan membengkakan atau memotong nilai harga proyek-proyek yang akhirnya menjadikan proyek-proyek itu terpaksa dibangun asal jadi dengan kualitas dibawah standar bangunan. Karena dana proyek yang sampai kepada pelaksana sudah sangat minim sekali.
14. Berjuta-juta orang lebih suka melakukan usaha tidak wajar dengan alasan cari makan, padahal hasilnya dihabiskan untuk mabuk-mabukan berhura ria di klub malam, hotel-hotel, di meja bilyar, di meja domino atau tempat hiburan lainnya.
15. Berjuta-juta orang telah membabat hutan habis-habisan, tanpa peduli bahwa penggundulan hutan itu dapat mengakibatkan banjir bandang, longsor yang parah, semakin panasnya suhu udara atau semakin tandusnya tanah pertanian.
16. Berjuta-juta orang telah melakukan manipulasi ukuran dengan mempergunakan tiga macam ukuran. Ada yang namanya ukuran net, ada yang namanya ukuran Medan dan ada pula yang namanya ukuran Jawa. Kalau ukuran net itu artinya ukuran internasional, 4 mm misalnya benar-benar 4 mm persis atau lebih. Tetapi kalau ukuran Medan, yang namanya 4 mm itu ketemunya paling hanya 3.2, 3.5 mm. Kalau 10 mm, ketemunya paling yah hanya 8.5 mm. Itulah dia ukuran Medan.
17. Berjuta-juta pedagang telah melakukan penipuan (manipulasi) dengan menambahkan formalin atau borax kedalam bahan makanan, menyuntikkan zat pewarna merah dan pemanis buatan kedalam buah semangka agar kelihatannya masak ranum. Menyuntikkan air kedalam daging agar timbangannya menjadi lebih berat. Ada juga yang memberi pemutih kedalam makanan krupuk dan merebus ikan dengan bayclin agar kelihatan lebih menarik. Mereka tidak peduli kalau perbuatan tipuannya itu akan menimbulkan berbagai penyakit berbahaya bagi orang lain.
18. Berjuta-juta orang telah melakukan penipuan (manipulasi) dengan cara membuat undian-undian palsu, usaha multi level, menipu mesin-mesin ATM yang telah merugikan banyak orang dengan kerugian yang tidak sedikit. Melakukan penjambretan dan pencopetan yang sangat menyengsarakan orang atau korbannya.
19. Tidak sedikit pula operator celuler yang telah melakukan penipuan dengan cara sedot pulsa.
20. Berjuta-juta orang tanpa merasa bersalah telah menjadi pendukung/ pembela dari perbuatan melawan hukum/ peraturan dengan cara menjadi pembeli ditempat-tempat dimana jelas-jelas dilarang berjualan, dengan cara menjadi penadah dari barang-barang curian, dengan cara menjadi penadah dari barang-barang seludupan. Padahal akibat dari adanya pembelaan terhadap mereka yang melawan hukum itu, justru akan menyuburkan praktek pelanggaran hukum itu sendiri
Dari masyarakat yang masih dibelit oleh pola pikir yang cendrung manipulasi ini, maka lahir pulalah para pemimpin yang juga punya tabiat suka manipulasi, pemimpin yang cendrung untuk melakukan perbuatan korupsi dan berbagai penyelewengan.
21. Berjuta pendidik dinegeri ini cendrung didorong/ terdorong mendidik anak didiknya dengan cara menanamkan rasa kekerasan, dengan cara menghilangkan rasa malu pada kepada anak didiknya dengan alasan plonco, dengan alasan mapram, ospek, orientasi dan lain sebagainya. Terlebih lagi, biasanya dalam pelaksanaan perpeloncoan itu pada setiap tahun ajaran baru, para guru cendrung pula menyerahkan pelaksanaan perpeloncoan itu kepada murid atau mahasiswa yang baru saja naik ke tingkat dua. Akibatnya, karena ingatan murid yang diserahi tugas perpeloncoan tersebut masih segar dengan penderitaan siksaan yang telah mereka rasakan ketika mereka menjadi murid baru setahun yang lalu, maka mereka yang sudah naik kelas itu akan merasa pelaksanaan orientasi yang diserahkan kepada mereka itu adalah merupakan satu kesempatan baik bagi mereka untuk balas dendam kepada murid yang baru, bahkan tak jarang pula perlakuan mereka malah lebih sadis lagi dari apa yang pernah mereka alami pada tahun yang lalu. Buktinya, setiap tahun ajaran baru selalu saja ada korban yang tidak perlu.
Sepertinya, para pendidik dinegeri yang memiliki beragam adat, budaya dan sopan santun ini atau dinegeri yang katanya beradat ini, merasa ada hiburan tersendiri melihat para murid baru sampai termehek-mehek dipelasah oleh kakak kelasnya.
Padahal, kalaulah mapram alias ospek ini memang dirasa sangat perlu, mutlak, mesti harus dilaksanakan karena dianggap hanya itulah satu-satunya cara terbaik untuk menjadikan masyarakat bangsa Indonesia ini agar dapat menjadi lebih cerdas; mestinya ospek itu dilakukan oleh para guru itu sendiri, bukannya diserahkan kepada murid-murid yang baru naik kelas sehingga tingkat kesadisan dari ajaran perpeloncoan itu akan tetap sama dari tahun ketahun atau tingkat balas dendamnya tidak akan bertambah.
Memang, diakui, bahwasanya mereka yang dianggap telah melanggar batasan kewajaran yang tak jelas dalam sistem orientasi itu, bisa saja di adili dan diberikan sangsi. Tetapi buat apa sangsi itu bagi mereka yang sudah terlanjur meregang nyawa akibat perpeloncoan itu ?.
Sudah saatnya kini kita menyadari bahwasanya dengan system perpeloncoan seperti apa yang sudah pernah diterapkan selama ini, yang telah dibebankan kedalam dunia pendidikan dinegeri ini; maka lahirlah tidak sedikit siswa-siswa brutal yang semakin jauh dari rasa sopan santun, yang tidak punya rasa segan, yang tidak punya tenggang rasa terhadap kesulitan orang lain, yang semakin jauh dari rasa malu. Bahkan lebih jauh dari itu, dengan sistem pendidikan yang dibebani perpeloncoan ini juga telah melahirkan cukup banyak anak bangsa ini yang justru hobinya tawuran.
22. Banyak orang di negeri ini malah merasa bangga bukannya malu bila telah berhasil mengirimkan ribuan bangsanya untuk jadi pembantu ke negeri jiran dan negara-negara lainnya.
23. Berjuta-juta orang telah merokok di bus umum, ruangan umum/ ruangan ber AC. Mereka tidak peduli dengan penderitaan orang lain yang alergi terhadap asap rokok.
24. Berjuta orang cendrung berusaha keras untuk menuntut kenaikan gaji. Padahal apalah gunanya kenaikan gaji kalau nilai belinya malah jadi menurun. Tahun 70an dulu orang punya gaji cuma rata-rata Rp 75.000,- / bln. Tetapi karena harga beras ketika itu cuma Rp 250,-/ kg, maka dengan gaji sebanyak itu orang sudah dapat membeli beras sebanyak 300 kg. Sedangkan sekarang, orang yang rata-rata sudah punya gaji Rp 1.500.000,- / bln, tetapi karena harga berasnya kini naik pula menjadi Rp 7.500,- / kg, maka orang sekarang dengan gaji sebesar itu hanya dapat beli beras sebanyak 200 kg. Artinya jumlah gajinya memang sudah jauh naiknya, dari 75.000/ bln menjadi 1.500.000/ bln = 20 kali lipat (2000 %) , tapi apalah gunanya gaji bisa naik sampai 20 kali lipat sementara harga berasnya malah naik menjadi 30 kali lipat, dari Rp 250/ kg menjadi Rp 7.500,-/ kg = 3000 %. Jadi sama aja bohongnya tuh. Mestinya yang dituntut oleh masyarakat itu adalah turunnya harga barang. Bukannya melakukan demo menuntut kenaikan gaji.
Padahal, akibat dari demo-demo menuntut kenaikan gaji itu, cukup banyak pula perusahaan-perusahaan yang terpaksa harus gulung tikar – para buruh sepertinya tidak peduli itu. Sesungguhnya cara-cara menuntut kenaikan gaji yang sudah dilakukan selama ini dapat dicontohkan dengan gambaran berikut ini.
Suatu ketika, pada lantai dasar satu pasar swalayan sedang diadakan pertunjukan musik yang cukup ramai penontonnya. Salah seorang dari penonton, karena merasa pendek sehingga kurang leluasa untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut, maka dia berusaha naik kelantai 2. Ketika sudah berada di lantai 2, ternyata dia memang merasa lebih nyaman karena tempatnya menonton sudah lebih tinggi dari pertunjukan itu sendiri. Tetapi, ketika dia yang pendek sedang berada dalam lift, merasa tidak bebas melihat kiri dan kanan karena padatnya orang dalam lift tersebut; maka di mencoba lagi untuk menekan tombol agar dia bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan tujuan agar dia bisa bebas lagi untuk melihat. Namun, meskipun dia sudah naik beberapa tingkat ternyata dia tetap saja tidak bisa bebas untuk melihat, kenapa ?. Jawabannya tak lain tentu saja, ya karena orang-orang disampingnya juga turut naik.
Demikian juga dengan gaji. Kalau yang dituntut itu adalah naik gaji secara umum; meskipun itu bisa dikabulkan, paling itu akan terasa nikmat hanya untuk beberapa saat saja. Setelah itu barang-barang kebutuhan akan menyesuaikan/ melonjak lagi bahkan bisa lebih tinggi nilainya dari gaji semula. Lalu apa artinya naik gaji ???
Adakah kepedulian bangsa ini dalam hal ini. Oleh karena itulah, mestinya yang dituntut itu adalah turunnya harga barang-barang kebutuhan umum. Untuk menurunkan harga barang-barang sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan diantaranya;
a. Dengan cara menciptakan keseimbangan
b. Dengan cara bersunguh-sunguh dalam melaksanakan pembangunan. Tidak asal jadi. Seperti robohnya jembatan di Kalimantan. Akibatnya bila harus dibangun lagi, biaya jembatan itu menjadi 2 kali lipat, menjadi sangat mahal sekali. Itulah akibatnya bila pembangunan asal jadi.
c. Dengan melakukan penghematan, tidak boros seperti yang terjadi saat ini.
d. Dan yang lebih penting lagi, para penyeleweng dana rakyat jangan lagi dipelihara.
Bila cara-cara diatas bisa dilakukan, yakinlah nilai gaji yang ada sekarang saja sudah akan terasa cukup nikmat. Untuk lebih jelasnya, silahkan dibaca di tulisan berikutnya dengan judul “Reformasi Undang-Undang Indonesia” yang diterbitkan pada bulan April.
25. Dan tentunya masih ada lagi perilaku lainnya yang dapat menjadi petunjuk dari kecendrungan kurang pedulinya masyarakat kita terhadap lingkungannya. Baik itu dari lingkungan fisik maupun dari sudut mentalnya.
Dari sejumlah contoh pola pikir dan kebiasaan buruk masyarakat banyak dinegeri ini, yang digambarkan pada tulisan diatas, akan semakin jelaslah terlihat betapa masyarakat bangsa ini masih memiliki mental dan pola pikir yang sangat miskin kepedulian terhadap lingkungannya.
Sebenarnya masih ada lagi beberapa contoh lainnya dalam hal permasalahan miskin mental dan pola pikir ini yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan hidup dinegeri ini; yaitunya permasalahan politik, khianat dan …… yaaaa nantilah dulu. Pada episode berikutnya akan kita coba lagi membahasnya. Tapi, walau bagaimanapun, yang jelas dari semua rangkuman gambaran permasalahan mental; yang miskin kepedulian itulah sebenarnya yang menjadi penyebab utama dari kenapa bangsa yang besar ini dulunya dapat dengan mudahnya di jajah oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa selama lebih dari 350 tahun. Dan dengan mental rasa kepedulian yang sangat rendah itulah bangsa ini dulunya dengan mudahnya dapat pula diadu domba oleh pihak-pihak lain sementara kekayaan alam negeri ini tetap saja dikuras dan dibawa untuk negeri-negeri lain.
Namun demikian, sejarah ternyata berkata lain. Pada tahun 1940, tentara Dainippon Jepang dibawah arahan Kaisarnya telah pula merangsek ke Asia Tenggara untuk melakukan penjajahan. Tetapi cara penjajahan yang dilakukan Jepang saat itu sangatlah berbeda dengan cara penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa sebelumnya seperti Portugis, Ingris dan Belanda yang pernah menjajah bangsa yang besar ini.
Kalau bangsa Eropa melakukan penjajahan adalah dengan cara adu domba yang tidak disadari oleh bangsa ini yatu dengan cara memperalat para begundal, freeman atau para pengemis kambuhan untuk memerangi bangsanya sendiri; sedangkan Jepang melakukan penjajahan justru dengan cara membagero para begundal dan freeman itu sendiri apalagi kalau ketahuan ianya adalah pengkhianat; maka itu tidak akan ada ampun lagi, langsung saja diperintahkan untuk berhenti bernafas oleh Kempetai
Hebatnya lagi, akibat dari bagero dan banzai yang tak tanggung-tanggung yang telah dilakukan Jepang terhadap bangsa ini ketika itu; meskipun hanya beberapa tahun saja, ternyata justru telah menimbulkan rasa kepedulian yang sangat mendalam bagi sesama penduduk negeri ini. Perilaku yang tidak berperi kemanusiaan atau melanggar HAM yang dilakukan Jepang terhadap penduduk negeri ini, justru membangkitkan semangat tenggang rasa yang sangat mendalam terhadap penderitaan sesama anak bangsa ini sekaligus semangat juang untuk memerdekakan diri.
Begitulah masa berlalu. Setelah bangsa Jepang dikalahkan dengan cara dikeroyok rame-rame oleh bangsa-bangsa penjajah dari Eropa dibawah naungan bendera PBB, ternyata semangat perlawanan bangsa ini semakin hebat, sampai-sampai tentara sekutu yang ingin mengembalikan penjajahan Belanda dinegeri inipun dilawan.
Hal itu dapat terjadi, tak lain adalah karena dimasa penjajahan Jepang yang sangat singkat itu, para begundal-begundal anak emasnya Belanda atau para pengkhianat bangsa pada masa itu banyak yang sudah dibagero Jepang. Sehingga orang-orang yang dapat dijadikan tangan kananya Belanda atau orang-orang yang mau diperalat Belanda untuk jadi pengkhianat dan orang-orang yang mau diadu domba ketika itu sudah tidak banyak lagi.
Disini ada satu hal yang barangkali belum disadari oleh kebanyakan penduduk negeri ini yaitu; seandainya kegiatan penjajahan yang sedang marak dilakukan oleh bangsa-bangsa mini dari Eropa ketika itu tidak terganggu oleh munculnya Dainippon, Nazi dan Komunis; mungkin saja PBB tidak akan pernah ada. Tidakkah kita memperhatikan siapa sajakah sebenarnya yang dibela mati-matian oleh PBB ?.
Ironisnya, setelah negeri ini mendapatkan kemerdekaannya, sifat-sifat aslinya bangsa ini berangsur-angsur muncul kembali yaitu sifat miskin kepeduliannya. Haruskah bangsa yang besar ini harus kembali dibagero agar rasa kepeduliannya muncul lagi ??.
Kini kita kembali kepada pokok persoalan. Dari masyarakat yang miskin kepedulian ini, amatlah mustahil akan memunculkan para pemimpin yang juga benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Logikanya, bila seandainya dalam satu kelompok masyarakat agamis, telah terpilih seorang freeman untuk menjadi pimpinan, pastilah akan terjadi bentrok antara masyarakat dengan pimpinannya. Begitu pula sebaliknya, bila seandainya dalam satu kelompok masyarakat freeman atau lokalisasi, yang terpilih menjadi ketuanya adalah seorang ustazd atau orang baik-baik, tentulah juga akan terjadi bentrok; karena pola pikir masyarakatnya menjadi tidak sejalan dengan pimpinannya.
Dengan kata lain, tampilan seorang pemimpin sebenarnya adalah gambaran dari dari masyarakatnya sendiri.
Seandainya masyarakat dinegeri yang kaya dengan sumber daya alam ini memang benar-benar menginginkan negeri ini menjadi satu negeri yang adil aman dan makmur, maka orang-orang yang akan terpilih menjadi pimpinan dinegeri ini pastilah orang-orang yang juga benar-benar ada kemauannya untuk melaksanakan operasi pekat (menghentikan perbuatan maksiat) dan rakyat yang memilihnya akan mendukung pula usaha pimpin

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook