Kayu
kulim, jangan diukir,
Kalau bolong, susah ditekan.
Sesama muslim, dituduh kafir.
Karena sombong, bermental Setan.
Karena sombong, bermental Setan.
Nenek sihir, menyuruh
jemput.
Meninggalkan sholat, jadi berani,
Seperti tidak takut, Malaikat maut.
Mengapa aku, duduk di kursi,
Meninggalkan sholat, jadi berani,
Seperti tidak takut, Malaikat maut.
Mengapa aku, duduk di kursi,
Terlalu lama,
duduk di bangku.
Bagaimana kau,
tidak korupsi,
Gaji sebulan, habis seminggu.
Mengapa aku, naik
taksi,
Di oplet, banyak
yang nakal.
Bagaimana aku,
tidak korupsi,
Jumlah gajiku,
tidak masuk akal.
Pangkal dibelit di pohon jarak
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Jangan dibuat yang dilarang syarak
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Jarak nan tumbuh tepi serambi
Pohon kerekot bunganya sama
Itulah perbuatan yang dibenci Nabi
Petuah diikut segala ulama
Pohon kerekot bunganya sama
Buahnya boleh dibuat colok
Petuah diikut semua ulama
Jangan dibawa berolok-olok
Rusa banyak dalam rimba
Kera pun banyak tengah berhimpun
Dosa banyak dalam dunia
Segeralah kita minta ampun
Kera banyak tengah berhimpun
Sandarkan galah pada pohon
Segeralah kita meminta ampun
Kepada Allah tempat bermohon
Tuman dipegang jatuh ke laut
Disambar yu jerung tenggiri
Imanpun tetap sehingga maut
Di situ baru tahukan diri
Disambar yu jerung tenggiri
Sutan Amat mandi bersimbur
Di situlah baru tahukan diri
Malaikat memalu dalam kubur
Kait-kait di padang temu
Terap ditimbun di ujung galah
Baik-baik berpegang pada ilmu
Harapkan ampun pada Allah
Temu itu banyak warnanya
Ada yang putih ada yang biru
Ilmu itu banyak gunanya
Tiada boleh orang menggaru
Pecah cawan di atas peti
Cawan minum Sutan Amat
Tuhan Allah yang mahasuci
Jangan dilupakan setiap saat
Banyaklah hari antara hari
Tidak semulia hari Jumat
Banyaklah nabi antara nabi
Tidak semulia Nabi Muhammad
Delima batu dipenggal-penggal
Bawa galah ke tanah merah
Lima waktu kalau ditinggal
Ibu bapak pasti marah
Buah ini buah berangan
Masak dibungkus sapu tangan
Dunia ini pinjam-pinjaman
Akhirat kelak kampung halaman
Belah buluh bersegi-segi
Buat mari serampang ikan
Kuasa Allah berbagi-bagi
Lebih laut dan juga daratan
Asam rumbia dibelah-belah
Buah separuh di dalam raga
Dunia ikut firman Allah
Akhirat dapat masuk surga
Ambil galah kupaskan jantung
Orang Arab bergoreng kicap
Kepada Allah tempat bergantung
Kepada Nabi tempat mengucap
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam riang-riang
Menangis di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Kemumu di dalam semak
Jatuh melayang selaranya
Meski ilmu setinggi tegak
Tidak sembahyang apa gunanya
Kumpulan Pantun AGAMA Sabtu Minggu bekerja bakti Bersih
tempat kampung halaman Bagi kamu yang suka ngaji Ada tempat di sisi Tuhan
Banyak bulan perkara bulan Tidak semulia bulan puasa Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa Daun terap diatas dulang Anak udang mati dituba
Dalam kitab ada terlarang Yang haram jangan dicoba Bunga kenanga diatas kubur
Pucuk sari pandan Jawa Apa guna sombong dan takabur Rusak hati badan binasa
Anak ayam turun sepuluh Mati seekor tinggal sembilan Bangun pagi sembahyang
subuh Minta ampun kepada Tuhan Pantun Agama Terbaru Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang Menangis mayat dipintu kubur Teringat badan tidak
sembahyang Asam kandis asam gelugur Ketiga asam si riang-riang Menangis mayat
dipintu kubur Teringat badan tidak sembahyang Dari rumah membawa izin Izin
paraf kepada mukmin Minal aidzin wal faidzin Mohon maaf lahir dan batin Banyak
bulan perkara bulan Tidak semulia bulan puasa Banyak tuhan perkara tuhan Tidak
semulia Tuhan Yang Esa Kucing itu kakinya empat Kalau tiga berarti cacat Wahai
kamu cepatlah tobat Sebelum ajal datang mendekat
Paham kaum Wahabi ini adalah paham
Takfir. Yaitu menganggap ummat Islam itu Ahlul Bid’ah, sesat, syirik, kafir,
dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat Islam dengan sebutan yang mereka
sendiri tidak suka:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi
yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan
adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]
Sebetulnya firman Allah di atas jelas
agar kita tidak mengejek sesama Muslim dengan sebutan yang tidak disukai
seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi kafir. Namun kenapa kaum Wahabi yang
katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya?
Tak jarang juga kaum Wahabi berburuk
sangka/curiga sehingga orang yang berziarah kubur kemudian berdoa kepada Allah
mendoakan mayat tersebut, mereka duga sebagai berdoa kepada kuburan dan
menyebutnya sebagai penyembah kuburan. Begitu pula ada yang menulis saat dia
tengah berteduh di bawah pohon karena kepanasan di padang pasir kemudian berdoa
kepada Allah, tiba-tiba seorang Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau menyembah
pohon?”. Main tuduh orang sebagai penyembah pohon padahal tidak mendengar apa
isi doa orang tersebut. Padahal buruk sangka itu dosa:
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]
Jadi
bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah Kuburan
padahal mereka itu sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”?
Mereka sekedar mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering
melakukan Ziarah Kubur:
Dari
Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah pernah
-dahulu- melarang engkau semua perihal ziarah kubur, tetapi sekarang
berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim) Dalam riwayat lain disebutkan:
“Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur, maka baiklah berziarah, sebab
ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat.”
Dari
Aisyah ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. itu setiap malam gilirannya di tempat
Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar pada akhir malam ke makam Baqi’, kemudian
mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum
mu’minin, akan datang padamu semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan besok
yakni masih ditangguhkan waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allah
menyusul engkau semua pula. Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’
Algharqad ini.”[54] (Riwayat Muslim)
Dari
Buraidah r.a., katanya: “Nabi s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para sahabat-
jikalau mereka keluar berziarah ke kubur supaya seseorang dari mereka
mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para penghuni
perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur- dari kaum mu’minin dan Muslimin.
Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul engkau semua. Saya memohonkan
kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan keselamatan.” (Riwayat Muslim)
Dari
Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah s.a.w. berjalan melalui kubur-kubur Madinah
lalu beliau menghadap kepada mereka -penghuni-penghuni kubur-kubur- itu dengan
wajahnya, kemudian mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai
para ahli kubur, semoga Allah memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu
semua. Engkau semua mendahului kita dan kita akan mengikuti jejakmu.”
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits
hasan.
Saat
kita ziarah ke makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga kalau
orang-orang yang menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai menyembah
Nabi sehingga sering mengusirnya. Padahal itu tidak benar.
Terkadang
juga Muhammad bin Abdul Wahab terlalu ekstrim dalam menuduh ummat Islam itu
syirik seperti di bawah:
Masalah
tauhid, yang merupakan pondasi agama Islam mendapat perhatian yang begitu besar
oleh Syekh Muhammad Abdul Wahhab. Perjuangan tauhid beliau terkristalisasi
dalam ungkapan la ilaha illa Allah. Menurut beliau, aqidah atau
tauhid umat telah dicemari oleh berbagai hal seperti takhayul, bid’ah dan
khurafat (TBC) yang bisa menjatuhkan pelakunya kepada syirik. Aktivitas-aktivitas
seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka
mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka,
mengusap-usap kuburan tersebut dan memohon keberkahan kepada kuburan tersebut.
Seakan-akan Allah SWT sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui
para tokoh mereka, dan orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan
syirik apabila mereka percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal
atau juru kunci makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat
memperoleh keuntungan.
Mungkin
ada beberapa ummat Islam yang syirik. Tapi apa iya mayoritas ummat Islam itu
seperti di Jazirah Arab bahkan di Mekkah dan Madinah jadi syirik menyembah
kuburan, pohon, dan sebagainya sehingga dia sampai memerangi mereka? Ada satu
video yang mempertanyakan: “Jika ummat Islam di Mekkah dan Madinah itu Musyrik
dan Kuffar sehingga dibunuh, lalu ummat Islam yang asli itu ada di mana?”:
Dijelaskan
juga pada situs Arrahman.com yang mendukung Wahabi:
Pada
awalnya, idenya tidak begitu mendapat tanggapan bahkan banyak mendapatkan
tantangan, kebanyakan dari saudaranya sendiri, termasuk kakaknya Sulaiman dan
sepupunya Abdullah bin Husain.
Muhammad
bin Abdul Wahab mendapat tentangan bahkan dari kakaknya Sulaiman yang juga
ulama. Bahkan ayahnya, Abdul Wahab, yang merupakan guru dari Muhammad bin Abdul
Wahab (MAW) juga menentang MAW karena pemikirannya yang ekstrim. Ini tak
disebut di situ, tapi di literatur lain ada sehingga sebagian ulama Aswaja
menuding MAW tidak bersanad karena gurunya sendiri menentang pemikirannya.
Banyak ulama yang tidak setuju sehingga MAW harus meninggalkan negerinya. Kalau
Nabi Muhammad meninggalkan kota Mekkah karena kaum kafir menolak Islam kita
mengerti. Tapi jika seorang “ulama” harus meninggalkan negerinya yang mayoritas
Muslim beserta banyak ulama juga di situ, harusnya kita bertanya-tanya mengenai
pahamnya.
Padahal
menurut Nabi, Ummat Islam itu tidak akan berkumpul/sepakat dalam kesesatan.
Jadi kalau ada firqoh yang menganggap mayoritas ummat Islam sesat, justru
firqoh itulah yang sesat atau Khawarij:
Dari ‘Umar bin Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ
أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ
“Tetaplah
bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama
satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang
menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah”
[Shahîh, diriwayatkan Ibnu Abu
'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/18), Imam
at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387),
dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5)]
كُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ
Tetaplah kalian bersama jamaah maka
sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di atas kesesatan.”
Sanadnya jayyid, diriwayatkan Imam
Ibnu ‘Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini diriwayatkan Imam ath-Thabrani
dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para perawinya terpercaya sebagaimana
yang telah disebutkan dalam Majma Zawa`id (5/219
dari
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .
“Sesungguhnya, umatku tidak akan
sepakat di atas kesesatan. “
Shahîh, diriwayatkan Ibnu Majah
dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul- Mashabih
(174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2167),
al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih (174), dan al-Hakim dalam
Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395, 396 dan 397) dari Ibnu ‘Umar dengan
lafazh: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atau umat Muhammad di atas
kesesatan”. Hadits ini dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam al-Miskât (no. 173)
dan terdapat shahid dari hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan at-Tirmidzi dan
al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang shahîh. Lihat Shahîhul Jami’,
al-Albâni (1/378, no. 1848)
Di
situ juga disebut bagaimana MAW bekerjasama dengan Raja Arab guna memerangi
musuhnya:
Selanjutnya,
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkerjasama secara sistematis dan saling
menguntungkan dengan keluarga Saud untuk menegakkan Islam.
Padahal
Nabi dan juga para ulama Tabi’in memerintahkan agar menjauhi para
penguasa/raja:
Rasulullah
SAW. Beliau bersabda, ”Barang siapa tinggal di padang pasir, ia kekeringan.
Barang siapa mengikuti buruan ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi
pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah.” (Riwayat Ahmad).
Abu
Hazim (Ulama Tabi’in 140 H) mengatakan, ”Sebaik-baik umara, adalah mereka
yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai
penguasa.”
Selain
Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in juga pernah
menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu para penguasa, karena di
pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan memperoleh dunia mereka,
kecuali setelah mereka membuat musibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).
Ada
juga tulisan:
Gerakan al-Muwahhidun atau
yang kini sering disebut sebagai gerakan “wahabi” ini menjadi ancaman bagi
kekuasaan Inggris di daerah perbatasan dan Punjab sampai 1871. Ketika itu
pemerintah Inggris bersekongkol untuk mengeluarkan ‘fatwa’ guna memfitnah kaum
Wahhabi sebagai orang-orang kafir.
Yang
jadi pertanyaan, apa benar Wahabi jadi “ancaman” bagi Inggris? Bukannya justru
Wahabi itu yang bekerjasama dengan Inggris membantu Ibnu Saud untuk berontak
terhadap Kekhalifahan Islam Turki Usmani?
Apa
ada buku sejarah yang menceritakan Ibnu Saud dan Wahabi memerangi Inggris?
Tidak ada! Yang mereka perangi adalah para penguasa Turki Usmani dan juga ummat
Islam yang mereka tuding sebagai Musyrik dan Kafir. Silahkan baca:
Sanjungan
bahwa berkat MAW negara-negara Islam jadi berontak terhadap penjajah seperti
Inggris dan merdeka pun sangat tidak beralasan. Hingga wafatnya MAW tahun 1787
M tidak ada negara Islam yang merdeka dan bebas dari penjajahan Inggris cs.
Sebagai contoh, Indonesia baru merdeka tahun 1945 atau 158 tahun setelah
wafatnya MAW. Itu pun maaf bukan karena Wahabi karena Wahabi itu sangat-sangat
minoritas di Indonesia.
Sebaliknya
akibat Kekhalifahan Turki Usmani melemah akibat pemberontakan Ibnu Saud-MAW
yang didukung senjata dan dana dari Inggris, Palestina jatuh ke tangan Inggris
untuk kemudian diserahkan kepada Yahudi di tahun 1948:
Dokumen Ekspos Pendiri Saudi Yakinkan Inggris untuk Dirikan
Negara Yahudi
Ini
beda dengan Nabi Muhammad yang saat hidup pun sudah membebaskan kota Madinah,
Mekkah dan juga jazirah Arab dari kungkungan kaum kafir dan juga Yahudi.
Lagi
pula banyak yang mewaspadai gerakan Wahabi itu adalah Ulama Aswaja yang tidak
ada hubungannya dengan Inggris seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib
Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah. Silahkan baca:
FPI
membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama,
WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham
dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim:
Pandangan Habib Munzir Al Musawa
dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:
beda dengan orang orang wahabi,
mereka tak punya sanad guru, namun bisanya cuma menukil dan memerangi orang
muslim.
mereka memerangi kebenaran dan memerangi
ahlussunnah waljamaah, memaksakan akidah sesatnya kepada muslimin dan
memusyrikkan orang orang yg shalat.
Yang
jelas sikap Wahabi yang sangat keras terhadap sesama Muslim dari memaki Muslim
sebagai Ahlul Bid’ah, Penyembah Kuburan, Musyrik, Kafir, dsb itu justru tidak
sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah Nabi yang justru lemah-lembut terhadap
sesama Muslim:
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
[Ali 'Imran 159]
Ummat
Islam itu berkasih sayang terhadap sesama, namun keras terhadap orang-orang
kafir:
“Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.Kamu lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.” [Al Fath 29]
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah 54]
Jadi
bagaimana mungkin mereka “MenghidupkanSunnah” jika Al Qur’an yang jelas saja
sudah dilanggar?
Terlalu Ekstrim dalam Memvonis
Bid’ah
Dalam
hal memvonis Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para Imam Mazhab
itu boleh dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru dari Imam
Hanafi dan Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam Hambali.
Toh meski Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga Qunut Subuh,
tidak pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam Syafi’i sebagai
Ahlul Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam Hambali malah berguru
kepada Imam Syafi’i.
Banyak
hal yang menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur Ulama justru
tidak bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat 20, Qunut
Subuh, dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah, lalu
mereka musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan terlalu gampang memvonis
sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya pelajari sejarah dan hadits
dulu sebelum begitu.
1.
Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2. Zaman Umar jadi Khalifah,
Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah
bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas
KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada
sekarang.
2.
Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang. Namun
pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan
sehingga tidak tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak
Hafidz Qur’an yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu
bid’ah. Namun desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya
Al Qur’an dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka?
Tidak bukan?
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
3.
Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada. Bahkan Nabi melarang sahabat untuk
menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para
ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al
Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah
yang masuk neraka.
4.
Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan
Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.
5.
Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin Tsabit
melakukannya. Nabi membolehkannya.
6.
Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang Habsyi
melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi melarangnya.
Justru Nabi menontonnya.
7.
Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib
bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila
imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar.
Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah) sudah
banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang
ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura’.
(Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin
kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar.”
[HR Bukhari]
Dsb.
Tidak
Bisa Menerima Perbedaan Pendapat
Salafi
Wahabi tidak bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut mereka
kebenaran hanya satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan salafi ini diperkuat oleh
kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya
banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman salafi terhadap hadits
Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: ˜Inilah
jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan
kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang
bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak
kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya
inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim)
(Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).
Padahal jika kita membaca ayat Al
Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa Jalan yang Lurus (Shirothol
Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan kaum Yahudi (yang Dimurkai
Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat). Jadi insya Allah jika dia
Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia akan selamat.
Salafi meyakini bahwa merekalah yang
disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan yang selamat dan masuk syurga,
sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan bid’ah dan akan masuk neraka.
Hadits tersebut berbunyi :
“Umatku akan terpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu
golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR
Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan mengutip dua hadits tentang;
satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan hanya satu jalan yang lurus,
maka salafi meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut kedua hadits tersebut.
Salafi-lah satu-satunya golongan yang selamat dan masuk syurga, serta golongan
yang menempuh jalan yang lurus itu. Simaklah pernyataan salafi :
“Dan orang-orang yang tetap di
atas manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka
dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan salafi.”(Lihat
Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj
Dakwah, hal. 33, catatan kaki).
“Kami di atas manhaj yang
selamat, di atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan
“alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan
Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).
Padahal
jika kita benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits Nabi yang
bercerita tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa menerima
adanya perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan Islam.
Sesungguhnya
perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para
Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali
saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud
dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79
berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu
jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima
bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian,
bahkan peperangan.
Bagaimana
cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali
menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal
sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat
indah kepada kita semua.
Dalam Shahih
al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab
pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan
berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam
menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua
menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua
sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT
dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,”
sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat
bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam
Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa
Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ
إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ،
فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ
نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“
“
Janganlah
ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu
ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah
sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:
“Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.”
Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela
salah satunya.”
Sekali
lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan
kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela
salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah
jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu
sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di
perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu.
Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari
Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu
dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur
Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di
dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia
menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau
telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu
menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360]
an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat
saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji
Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang
atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda
bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir
atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah
melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di
Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak
melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah,
sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau
berdzikir atau bersholawat!
Saat
berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada
yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas
bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang
berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan
orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan
orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan
itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi
menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka
langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan
mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah
laknat”.
Meski
tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin Muhammad,
cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib
menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat
tahun 107 hijriyah.
Imam
Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini
adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam
As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah,
lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan
manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam
memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana
Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan
(ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966].
Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di
waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s.
Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang
empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman
a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang
empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing
diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila
tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing
itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah
keputusan yang tepat.
Jelas
orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan
Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya
pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah
persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah
bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi
itulah beberapa kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti Habib
Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita mewaspadai
hal ini:
FPI
membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama,
WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak sepaham
dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar Sendiri
Jika
kita teliti Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang lahir pada
abad 1-3 Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan tidak memaksa
orang untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini
berbeda sekali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan yang lahir
di tahun 1.115 Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya Muwahhidun
atau Manhaj Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan memaksa agar
ummat Islam lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.
Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah
Islam
sebenarnya tidak menganjurkan perdebatan karena bisa merusak persaudaraan.
Namun kaum Salafi Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya kata-kata
Ahlul Bid’ah, Sesat, Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang sayangnya
ditujukan kepada sesama Muslim.
Nabi
Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Imam
Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam
Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam
Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam
Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad
ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
Imam
as-Syafi’I rahimahullah berkata:
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
Referensi:
Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah
tentang Wahabi:
beda
dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya cuma
menukil dan memerangi orang muslim.
mereka
memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan akidah
sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.
Rasulullah
saw. bersabda: Sesungguhnya di antara ummatku ada orang-orang yang membaca
Alquran tapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam
dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah
melesat dari busurnya. Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh
mereka seperti terbunuhnya kaum Aad. (Shahih Muslim No.1762)
Muhammad bin Abdul Wahab Penegak Panji Tauhid
usamah
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Hidayatullah.com–Pada
abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat jauh menyimpang dari ajaran
Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sana-sini banyak praktik syirik dan
bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka hanya sebatas di lingkungan
saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang
yang begitu kuat dari pihak yang menentang.
Jumlah
pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping pengaruh kuat dari
tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik tersebut demi
kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di
belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat
Islam sekarang ini.
Dari
segi aspek politik, di jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang
terpecah-pecah. Terlebih khusus di daerah Nejd. Perebutan kekuasaan selalu
terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif
untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para
penguasa makmur dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Mereka sangat marah
bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan mereka. Para
tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan
kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan
benar. Dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi
pengertian kepada umat tentang akidah atau agama yang benar.
Pada
saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum
muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik,
bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum
muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta
ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan
sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.
Di
Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat kuburan sahabat Zaid
bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan
melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta
berkah dan meminta berbagai hajat. Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat
sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk
para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup.
Penyimpangan
bahkan juga terjadi di Hijaz (Mekkah dan Madinah), walaupun penyebaran ilmu
agama berada di dua kota suci ini. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan
selain Allah. Juga kebiasaan menembok serta membangun kubah-kubah di atas
kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak
mara bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar,
apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama. Pasti
lebih memprihatinkan.
Hal
tersebut kemudian disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam
kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang
melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada
waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya.
Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat
aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah,
“Maka
apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan
agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan,
seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam
ayat ini Allah terangkan bahwa ketika mereka berada dalam ancaman tenggelam
dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala
atau sesembahan mereka. Namun saat mereka telah selamat sampai di daratan,
mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan
syirik setiap saat dalam kondisi apa pun.
Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab lahir tahun 1115 H di ‘Uyainah, salah satu
perkampungan daerah Riyadh. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal
dengan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf). Ali Musyarraf ini cabang atau
bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf, kakek beliau ke-9
menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin
Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad
bin Buraid bin Musyarraf.
Muhammad
bin Abdul Wahab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi sejak usia belia.
Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya.
Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia. Beliau mulai
thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur’anul Karim, sehingga tidak aneh kalau
sudah hafal ketika umur 10 tahun.
Yang
demikian itu terjadi karena banyak faktor mendukungnya. Di antaranya semangat
yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, serta keadaan lingkungan
keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus-menerus
menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau
yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.
Dalam
satu suratnya kepada temannya, Syaikh Abdul Wahab berkata, “Sesungguhnya dia
(Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus. Kalau seandainya dia
belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta, menguasai apa
yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua
belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas menjadi imam, maka aku jadikan dia
sebagai imam shalat berjamaah karena ma’rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan
pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia
meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku
berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia
menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam.”
Berguru
pada Ulama Haramain
Setelah
berhaji beliau belajar pada para ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama
lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah.
Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah
yang sekaligus guru pelajaran Fiqih Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid.
Tidak
berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji
kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu pada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di
Madinah beliau belajar dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat
berkumpulnya ulama dunia. Di antara guru beliau yang paling beliau kagumi dan
senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh
Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu dari para
ulama Madinah al-Munawwarah, maka beliau kembali lagi ke kampung halaman,
Uyainah.
Setahun
kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi. Negeri yang dicita-citakan
untuk menuntut ilmu adalah Syam. Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat
akan kegiatan keislaman. Di sana terdapat sebuah madrasah yang memberikan
keilmuan tentang madzhab Hambali, dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan
tersebut. Namun karena perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung
sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi menuju Bashrah (Irak).
Pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus
sangatlah mudah.
Setelah
di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara itu tidak sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula
dianggap mudah, ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab tinggal di Bashrah. Beliau belajar fiqih dan hadits pada sejumlah ulama,
di antaranya bernama Syaikh Muhammad al-Majmu’i. Di samping ilmu fiqih dan
hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah, sehingga beliau
betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat
mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah.
Ternyata
tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama
suu’. Karena ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab itulah, akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah.
Kemudian
beliau pergi menuju suatu tempat bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa
saat di sana, beliau melanjutkan perjalanan menuju al-Ahsaa’. Di daerah
tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu agama pada para ulama
al-Ahsaa’. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa’ tersebut adalah
Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh
Muhammad bin Afaliq. Dan memang Ahsaa’ saat itu merupakan gudangnya ilmu
sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab
berdatangan ke Ahsaa’ untuk menuntut ilmu.
Kemudian
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab melanjutkan kelana thalabul-ilmi ke daerah
Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H. Kebetulan ayah beliau yang tadinya
menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah
beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi
baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua, Syaikh Abdul Wahab bin
Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H. Sepeninggal ayahnya,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala
aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama
beliau mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun berdatangan ke Haryamala
menuntut ilmu pada beliau. Bahkan para pemimpin negeri di sekitar Haryamala pun
menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi
menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma’mar untuk
tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.
Amir
Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Ma’mar sangat gembira dengan kedatangan
beliau. Bahkan dia berkata kepada Syaikh, “Tegakkanlah dakwah di jalan Allah
dan kami senantiasa akan membantumu.” Maka mulailah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab sibuk dengan urusan dakwah, ta’lim, serta mengajak manusia kepada
kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dalam
waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk
Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk
thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah untuk
belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Pada
suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemui Amir Uyainah. Beliau
berkata, “Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma’mar), izinkanlah saya untuk
menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun
dalam rangka menentang syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Ta’ala
tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid. Kubah
Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan mengubah aqidah mereka. Oleh
karena itu wajib bagi kita menghancurkannya.”
Kemudian
Amir Uyainah menjawab, “Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian
itu.” Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau
dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari
penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab.
Maka
keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama 600 tentara Uyainah, dan di
tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma’mar. Setelah penduduk
Jabaliyah mendengar kabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka
serempak mereka berniat mempertahankan kubah tersebut. Tapi kubah Zaid bin
Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan sembah, berhasil dihancurkan.
Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau selalu memberantas hal-hal
yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan.
Beliau
pun menegakkan hukuman had (hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi yang
berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir
Al-Ahsaa’, yakni Sulaiman bin Urai’ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari
bani Khalid. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita.
Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab dibunuh. Kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang
biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah.
Rasa
cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin
Abdul Wahab seraya berkata, “Wahai Syaikh sesungguhnya Amir Al-Ahsaa’ telah
menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu.
Kami tidak ingin membunuhmu! Dan kami pun tidak berani dengan dia. Tiada daya
dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul
mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini.”
Kemudian
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Wahai Amir, sesungguhnya apa yang aku
dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini
serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di
negeri para musuhnya. Jika engkau bersabar dan beristiqamah serta mau menerima
ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir
Al-Ahsaa’, dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta’ala akan
menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya.”
Kemudian
Amir Uyainah berkata lagi, “Wahai Syaikh, sesungguhnya kami tiada daya dan
upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk
menentangnya.” Maka tiada pilihan lain bagi Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab,
kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau
sendiri.
Tempat
yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah beliau selanjutnya adalah
negeri Dir’iyyah. Hal ini karena negeri Dir’iyyah semakin hari semakin kuat
dalam hal ketentaraan. Terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu
dirongrong oleh Sa’d bin Muhammad, pemimpin Bani Khalid. Di sisi lain, hubungan
antara para pemimpin Dir’iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis.
Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk
mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di saat itu pula Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir’iyyah.
Tapi
sebab yang terpenting kepergian beliau menuju negeri Dir’iyyah adalah karena
dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para
pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua
saudara Amir Dir’iyyah (Tsinyan dan Musyairi), dan juga anaknya yang bernama
Abdul Aziz.
Di
saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berada di rumah keluarga Suwailin,
datanglah Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud atas anjuran istrinya untuk
menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Akhirnya terwujud suatu kesepakatan
bersama untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal
mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagai asas dan pondasi bagi
berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).
Sebagian
dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula
tercetuslah suatu pernyataan, urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin
Sa’ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan
bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta keturunannya. Namun nampaknya
pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan
Muhammad bin Sa’ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan,
demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat mumpuni untuk
melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur
sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja.
Demikianlah,
Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan Amir Dir’iyyah berada di atas kesepakatan
yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke Rahmatullah. Dan
selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari.
[berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
k3nj1:
Untuk
melengkapi latar belakang dan sejarah Wahabi :
1701
: Muhammad Bin Abdul Wahab dilahirkan di Uyainah Nejd.
1713an
keatas : Pergi ke Basrah untuk menuntut ilmu, disana Muh. Bin Abdul Wahab
bertemu Mr. HEMPHER mata mata Inggris yang mengaku sbg Muslim dari Turki yang
punya misi mencari kelemahan untuk menghancurkan Khilafah Turki Otoman dari
dalam.
Hempher
menggunakan Muh Bin Abdul Wahab sebagai boneka penyebaran mazhab baru yang
“bebas” dengan dalih kebebasan IJTIHAD “mengkaji langsung dari Qur’an dan
Hadis” walaupun menyelisihi pemahaman para sahabat, para imam mazhab yg 4 dan
para ulama muktabar.
Hempher
menjanjikan dukungan dana dan senjata dari Inggris bagi Imam Mujtahid yang baru
muncul ini.
Tujuan
utama Hempher adalah agar Muh.Bin Abdul Wahab mencetuskan revolusi
pemberontakan melepaskan diri terhadap Khilafah Islam Turki Ottoman.
Dengan
agenda tersembunyi akan melakukan pemberontakan, dibangunlah doktrin2 baru
untuk melegeslasi tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah
Turki Ottoman dan semua orang yang tidak mendukung revolusi wahabi, yaitu :
Membuat
ajaran baru yang mudah meng KAFIR kan kaum Muslimin, sebagai alasan untuk
menghalalkan darahnya apabila tidak mau bergabung dengan gerakan Wahabi.
No comments:
Post a Comment