KEJAHATAH BARAT TERHADAP
INDONESIA
Kejahatan asing, di Indonesia,
Mendangkalkan, citarasa agama,
Menghancurkan, akhlaqul karimah,
Melalui diskotik, rokok dan ganja.
Barat perkenalkan, minuman keras,
Ditambah pula, pergaulan bebas.
Filem porno, tanpa batas.
Hasil bumi, terus dikuras.
Kejahatan Barat, disebut Imperialis
Penjajahannya, berotak Iblis.
Anak jajahan, dijadikan pengemis.
Gerakan pembodohan, susah ditangkis.
PT. Preeffot, di Papua,
Menyimpan emas, tiada tara,
Kini tinggal, sepi merana.
Gunung yang lain, sedang dicerna.
Zalimnya kolonialisme (colonialism) maupun jahatnya imperialisme (imperialism) sering
digunakan secara bergantian. Kata kolonialisme (colonialism) jika
merujuk pada Oxford English Dictionary (OED; kamus Oxford Bahasa Inggris)
berasal dari bahasa yunani/romawi, yakni ‘colonia’ yang berarti
perkebunan/pertanian (farm) atau perkampungan/penghuni tetap
(settlement), dan berhubungan pada bangsa Romawi yang telah mendiami wilayah
lain akan tetapi masih menahan atau menguasai masyarakat dari wilayah tersebut,
untuk merampas tiga “G” yaitu Gold, Glorie, dan Gospel Bibel
(Loomba, 1998: 1).
Menurut pandangan Loomba (1998:2),
kolonialisme telah menimbulkan suatu implikasi berupa perbudakan, penjajahan, perkosaan. perjumpaan
antarmanusia dalam bentuk penaklukan, pembantaian dan dominasi. Model kolonialisasi secara
langsung telah berefek pada hubungan traumatik dalam sejarah masyarakat yang
dikuasai. Jadi, dalam pandangannya, Loomba memberikan suatu acuan defenisi yang
menegaskan bahwa kolonialisme juga berarti penguasaan dan kontrol atas wilayah
dan harta benda orang lain (can be defined as the conquest and control of
other people’s land and goods).
Kolonialisme dapat dilihat sebagai
bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara lain. Sistem dominasi yang
dilakukan penjajah (misalnya Eropa) terhadap belahan negara lain yang dianggap
lebih lemah selama berabad-abad lamanya. Namun, perkembangan kolonialisme dari
motif-motif penguasaan dengan instrumen teknologi tradisional ke modern
ujung-ujungnya menimbulkan ketumpangtindihan defenisi dengan imperialisme.
Praktik kolonialisme dari fase
tradisional ke modern terdapat perbedaan motif. Jika dalam fase tradisional
instrumennya adalah senjata maka dalam fase modern (juga berlaku pada
masyarakat pasca kolonial) model dominasinya menjadi tersembunyi sehingga
seolah-olah tidak disadari oleh wilayah atau negara yang dikuasai.
Mengenai hal ini, Loomba (1998: 3)
menganggap bahwa dominasi sebagai ciri khas dari pendudukan, sehingga
kolonialisme dibedakan menjadi dua macam, yakni kolonisme lama atau pra
kapitalis dan modern atau kolonialisme kapitalis. Kolonialisme lama dijalankan
dengan menguasai wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya sesuai dengan kemampuan
transportasi yang ada saat itu. Kolonialisme modern dilakukan melalui hubungan
dua arah meliputi sumber daya manusia, ekonomi dan politik. Dengan kata lain,
model kolonialisme modern dilakukan dengan dua cara, yakni perbudakan dan surat
perjanjian.
Merujuk pada pendangan Loomba, dua
hubungan antara penjajah dan terjajah dalam kolonialisme modern membuat
masyarakat pribumi tidak hanya bertindak sebagi budak. Loomba menjelaskan
(1998: 4)
Kedua gerakan penjajah dan yang
terjajah; pribumi tidak hanya bertindak sebagai budak, tetapi juga sebagai
buruh kontrak, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima dan saudagar, dan
pejabat kolonial utamanya sebagai administrator, tentara, perwakilan dagang,
wisatawan dan pedagang, penulis, staf domestik, misionaris, guru, dan ilmuan.
Hal yang terpenting adalah meskipun kolonialisme Eropa melibatkan berbagai
teknik dan pola dominasi, penetrasi mendalam hingga ke beberapa kalangan
masyarakat dan melibatkan kontak dengan orang lain relatif dangkal, semua dari
mereka menghasilkan ketimpangan ekonomi, yakni semata-mata untuk kepentingan
pertumbuhan kapitalisme industri Eropa (Both colonized and the colonizer
moved; the former not only as slavers but also indentured laboerers, domestic
servants, travelers and traders, and colonial masters as administrators,
soldiers, merchants settlers, travelers and traders, writers, domestic staff,
missionaries, teachers, and scientists. The essential point is that although
European colonialism involved a variety of techniques and patterns of
domination, penetrating deep into some societies and involving a comparatively
superficial contact with others, all of them produced the economic imbalance
that what necessary for the grouth of European capitalism industry).
Berdasarkan pandangan Loomba (1998),
diferensiasi antara kolonialisme pra kapitalis dan kolonialisme kapitalis juga
berlaku bagi imperialisme. Hal ini karena imperialisme sama dengan
kolonialisme, yakni juga berlangsung sejak masa pra kapitalis. Namun beberapa
ahli menyebutkan bahwa kolonialisme lebih dahulu dari imperialisme.
Imperialisme (imperialism) berasal dari bahasa latin dari akar kata
imperare/imerium, yang berarti: a) memerintah, b) hak untuk memerintah, c)
kekaisaran atau kerajaan (Kutha Ratna, 2007: 23). Secara sederhana, imperial
juga didefinisikan sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan kekaisaran, dan
imperialisme adalah aturan sebagai kaisar, utamanya kaitannya dengan kelaliman
(despotism) dan kesewenang-wenangan (Loomba, 1998: 4-5).
Kolonialisme dan imperialisme
memiliki perbedaan, yakni kolonialisme bersifat fisik sementara imperialisme
nonfisik. Menurut Loomba (1998: 5), dalam kaitannya dengan sejarah
perkembangnnya ada dua pendapat berbeda dalam memandang kolonialisme dan
imperialisme. Pertama, mengatakan bahwa secara monolitis kolonialisme
melahirkan kapitalisme, sebagai kolonialisme kapitalis. Kolonialisme inilah
yang disebut imperialisme. Pendapat kedua mengatakan bahwa baik kolonialisme
maupun kapitalisme pada dasarnya sudah ada sebelum kapitalisme, seperti
kekaisaran Rusia dan kemaharajaan Spanyol. Imperialisme (Michael Doyle, dalam Kutha Ratna: 23-24)
merupakan antarhubungan formal dan informal, dalam hal ini secara politis
mengontrol negara lain. Selain kekuatan fisik, imperialisme juga dapat
dikontrol melalui kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada
umumnya. Saat kolonialisme telah berakhir, imperialisme masih tetap berlangsung
dalam bentuk praktik politik, ideologi, ekonomi, dan praktik-praktik sosial
lain. Dalam perkembangannya, imperialisme kemudian dianggap sebagai akumulasi
konsep untuk menguasai dan bahkan sebagai teori.
Kaitan antara kolonialisme,
imperialisme, dan kapitalisme pada prinsipnya menjadi alat dominasi Barat
sebagai penjajah kolonial untuk menguasai Timur. Kolonialisasi dan
imperialisasi bangsa Barat atas dunia Timur memunculkan suatu kesadaran
geopolitis yang diterapkan baik ke dalam naskah estetis seperti karya seni
maupun ilmu pengetahuan, seperti ekonomi, sosiologi, sejarah, filologi, dan
ilmu-ilmu yang lain. Bentuk kesadaran geopolitis tersebut kemudian disebut
sebagai orientalisme.
~ Orientalisme dan Wacana Kolonial
Said (2001) membatasi wacana
orientalisme dalam tiga perspektif. Pertama, orientalisme sebagai suatu cara
untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman
manusa Barat Eropa. Timur dalam imajinasi Eropa adalah dunia yang lain (the
others), sebab bagi Eropa, Timur tidak hanya dekat, melainkan juga tempat
koloni-koloni Eropa terbesar, terkaya dan tertua, sumber peradaban dan
bahasa-bahasanya, serta saingan budayanya. Sebagai tambahan, Timur telah
mendefenisikan Barat (Eropa) sebagai imaji, ide, kepribadian, dan perlawanan
yang berkaitan dengannya.
Kedua, orientalisme sebagai suatu
gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang
dibuat antara “Timur” (the orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the
occident). Dengan demikian,pandangan tersebut menjadi titik tolak bagi
novelis, penyair, filosof, teoritikus politik, ekonomi, dan para administrator
negara menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial
dan perhitungan-perhitungan politik mengenai dunia Timur, rakyatnya, adat
kebiasaannya, “pikirannya’nya, atau nasib yang telah ditakdirkan baginya.
Ketiga, orientalisme sebagai sesuatu
yang didefinisikan secara lebih historis dan material daripada kedua arti
sebelumnya. Dengan pijakan dari peristiwa abad ke delapan belas sebagai batasan
yang kasar, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk
berurusan dengan dunia Timur. Artinya, berurusan dengan Timur dengan membuat
pernyataan-pernyataan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya,
menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerintahnya. Secara sederhana,
Said mengatakan bahwa orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi Timur.
Ketiga bentuk penafsiran tersebut
mengisyaratkan dua hal, yakni orientalisme sebagai rekaan Barat untuk membangun
demarkasi dengan Timur, dan kedua, orientalisme sebagai pembenaran Barat untuk
melestarikan dominasi pada dunia-dunia Timur. Barat dengan segala instrumen
hegemoniknya berupaya membangun suatu pencitraan terhadap dunia Timur.
‘Kelainan’ (otherness) dari Timur direproduksi oleh Barat dengan
memproduksi dan menguasai teks-teks yang merupakan pikiran, tingkah laku, dan
segala aktifitas kemanusiaan. Dengan kata lain, teks ditafsirkan sebagai
keseluruhan hasil kebudayaan yang dihasilkan manusia (Kutha Ratna, 2008: 28).
Orientalisme sebagai struktur yang
membedakan Barat dan Timur dalam pandangan Said (2001: 56) pada akhirnya adalah
pandangan politis atau realita yang strukturnya menunjang perbedaan yang akrab
(Eropa, Barat, ‘Kita’) dengan yang asing (Timur, ‘mereka’). Wacana orientalisme
memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau
sebagai jaringan berbagai kepentingan dan makna yang bersifat intetektual yang
diimplikasikan dalam berbagai konteks, sosial, politik, dan konstitusional dari
hegemoni kolonial.
Hegemoni kolonial Barat melalui
reproduksi teks-teks yang menegasikan Timur membangun suatu bentuk oposisi
biner dan justru dinikmati Barat sebagai upaya pencerahan di Timur. Para
orientalis Barat menciptakan discourse (diskursus) berupa sistem pengetahuan
tentang Timur dan lalu berkembang menjadi suatu pranata penjajahan (Said, 2001:
126).
Bagi Said (2001: 129) orientalisme
selalu membawa dua sifat; pertama, kesadaran diri ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan
kepentingan linguistik Timur bagi Eropa, dan kedua, kecenderungan untuk
membagi, membagi lagi, dan membagi kembali pokok permasalahannya tanpa pernah
mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak
berubah-ubah, dan obyek yang benar-benar khas.
Secara tegas orientalisme menjadi
suatu sistem pengetahuan yang secara terus menerus digali Barat untuk
mengidentifikasi Timur sebagai sesuatu yang berbeda dan berada di bawah Barat.
Lebih lanjut, dalam pandangan Said (2001: 134) bahwa situasi semacam itu di satu pihak
seola-olah menunjukkan ada lumbung yang dinamakan Timur di mana semua sikap
Barat yang otoritatif, anonim dan tradisional terhadap Timur ditumpukkan tanpa
banyak pikir. Sementara di sisi lain, sesuai dengan tradisi tukang dongeng,
orang bisa saja menceritakan pengalaman mengenai Timur atau yang terjadi di
Timur yang dianggap tidak sesuai dengan semua sikap Barat.
Sikap hegemonik Barat atas Timur
sebagai sikap relasional yang tidak hanya terbangun dari represi dan intervensi
melainkan juga penegetahuan sebagaimana dijelaskan sebelumnya telah memperkokoh
imperialisme Eropa atas Timur. Sikap orientalis tersebut menguasai pers dan
pikiran masyarakat untuk membentuk suatu situasi oposisional antarperadaban.
Meskipun Barat tergolong minoritas dalam suatu koloni, Barat tetap mampu
menguasai. Mengenai hal ini, Abdul Malik (dalam Said, 2001: 143) menerangkan
situasi tersebut dengan deskripsi; hegemonisme minoritas yang memiliki” dan
antroposentrisme yang bersekutu dengan Eropasentrisme: seorang Barat kelas
menengah kulit putih yakin bahwa adalah hak preogratif manusiawinya tidak hanya
untuk mengatur dan mengurus dunia non-putih tetapi juga untuk memilikinya,
hanya karena per defenisi ‘nya’ (it) tidaklah menunjukkan sifat yang
betul-betul menusiawi seperti ‘kita’ (we).
Situasi tersebut jelas menunjukkan
supremasi Barat yang menelanjangi sistem sejarah, sosial, politik, dan budaya
Timur. Bagi Barat, Timur hanya penanggap (reactor) yang pasif sementara
Barat adalah aktor (actor) yang aktif. Barat adalah penonton, penilai
dan juri bagi setiap tingkah laku Timur (Said, 2001: 144).
Orientalisme didiagnosis sebagai
wacana yang menciptakan atau mengorientasi Timur untuk tujuan-tujuan konsumsi
imperial. Menurut Said (dalam Gandhi, 2007: xii) bahwa Timur yang muncul dalam
orientalisme adalah sebuah representasi yang dikerangkakan oleh seluruh
rangkaian kekuatan yang membawa Timur dalam pemahaman Barat, kesadaran Barat,
dan kemudian, dalam kekuasaan Barat. Sebagai tambahan, bahwa orientalisme lebih
tertarik untuk memberi perhatian pada pembuatan makna-makna kolonial dan pada
konsolidasi kolonial.
Wacana kolonial dari orientalisme
tersebut didukung oleh sistem tradisi, kekuasaan, dan sistem pengetahuan yang
sengaja diciptakan untuk mendomestifikasi Timur menjadi sesuatu yang lain (otherness).
Konstruksi superior barat sebagaimana disebutkan bersifat hierarkis dan
oposisional yang tidak adil dan menindas karena Eropa dicitrakan sebagai
pelopor peradaban sehingga dibenarkan untuk melakukan kolonialisasi, menguasai
atau menjinakkan yang lain (Budiantara, dalam Noor dan Faruk, 2003). Penjinakan
yang dilakukan oleh Barat terhadap Timur melalui integrasi pencitraan atau
stereotipe adalah upaya penegasan dominasi. Wacana kolonial merupakan konsep
kunci yang dikritik oleh poskolonial. Di Hindia Belanda, integrasi wacana
kolonial dilakukan secara intensif dengan membentuk sosok “inlander”
yang jinak dari sistem dominasi kolonial.
Sumber Rujukan
Kutha Ratna,
Nyoman. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Loomba,
Ania. 1998. Colonialism/Postcolonialism. London and New York: ROUTLEDGE.
Noor,
Rusdian dan Faruk. 2003. Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi Terhadap
Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia Karya PAT. Jurnal Sosiohumanika 16B (2) Edisi
Mei. Fakultas Ilmu Budaya UGM. (Online), (http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail/detail.php?dataId=2097 .,diakses 18 April 2010).
Said, W.
Edward. 2001. Orientalisme. Diterjemahkan oleh Asep Hikmat. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Hubungan Antara Orientalisme dan
Imperialisme”
Kajian Politik:
(Dipresentasikan dalam kajian
reguler SASC (Said Aqil Siradj Center), pada hari Kamis, 1 Oktober 2009)
Abstraksi
Bagaimanapun kajian orientalis
tak memiliki orientasi tunggal. Orientalisme adalah kajian tetang budaya Timur
yang bermula dari misi kristenisasi kemudian berlanjut pada misi imperialisme
hingga akhirnya berakhir pada misi ilmiah, seperti berkembang pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 di universitas-universitas tersohor seperti di Barat.
Makalah saya di bawah ini mencoba
menjelaskan hubungan antara kajian orientalis Barat terhadap praktek penjajahan
Eropa terhadap negara-negara Timur.
Bab I
[Pengaruh Studi Orientalis
Terhadap Imperialisme]
I. Timur Sebagai Basis Kolonialis
Ada dua pembagian Timur yang
telah ditetapkan Eropa dan Amerika di abad
ke-19, pertama, Al-Syarq Al-Adnâ atau Timur Dekat, yang mencakup sebelah
selatan timur Eropa. Kedua Al-Syarq Al-Aqshâ atau Timur Jauh, meliputi India,
selatan timur Asia, Cina dan Jepang.
Namun di awal abad ke-20,
pembagian geografis ini lambat laun mulai tergeser dan mengikis seiring
terjadinya ekspansi wilayah Timur. Akhirnya kedua kubu ini menyatu menjadi satu
kesatuan barisan “Timur Tengah”.
Label Timur Tengah ini tak lain
digencarkan oleh seorang sejarahwan-militer Amerika terkemuka, Alferd Thayer
Mahan, di tahun 1902, yang mencatat bahwa pelabelan ini tak luput dari siasat
politik untuk menguasai kekuatan armada laut dan strategi kekuasaan Timur.
Seperti yang digencarkan dalam penguasaan Hawaii, Cuba, Puerto Rico,
Philippines dan Amerika Tengah.
Lebih lanjut Alferd Thayer Mahan
menguatkan pendapatnya bahwa strategi pembatasan Timur Tengah ini karena Timur Tengah membentang dari Jazirah
Arab hingga Persia, termasuk Afghanistan dan Pakistan.
Beranjak setelah Perang Dunia
kedua, istilah Timur Tengah mulai mendominasi hingga disebut dengan “mideast”.
Istilah ini pun akhirnya tak
hanya populer dikalangan Barat, namun melintasi pada bahasa daerah Timur Tengah
itu sendiri. Sehingga tak sedikit para jurnalis dan protokol-protokol resmi
yang menyebut Arab dengan Al-Âlam Al-Arabî atau Negara Arab. Sebagai sebuah
isyarat pada seluruh negara yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa
nasionalnya, baik yang di Timur Tengah maupun di utara Afrika, dari Irak sampai
Maroko.
Karena itu, nampaklah bahwa Timur
Tengah merupakan istilah baru yang dirancang sendiri oleh Barat untuk
kepentingan politik dan kekuasaan.
II. Dinamika dan Orientasi
Orientalis
Sebenarnya studi peradaban Timur
oleh intelektual Barat menjadi diskursus dan wacana kontroversial berkisar pada
scholarly knowledge of eastern cultures, languages, and people (Pengetahuan
tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Timur).
Kajian orientalis diawali dengan
misi kristenisasi akibat pengaruh misionaris yang mulai bergrilya sejak abad
ke-8 Hijriah.
Sekedar catatan! Rupanya
pengalaman traumatis akibat kekalahan gereja dalam perang Salib menimbulkan
dendam kesumat tersendiri. Maka umat kristiani kemudian bersumpah menekuk
kekuatan Islam.
Cendekiawan Kristen berpikir
keras agar dakwah kristenisasi mengelabuhi pikiran umat Islam. Pemuka gereja
juga mulai mendalami ajaran Islam untuk membentengi akidah umat kristiani dari
pengaruh ajaran Islam, dan berusaha menggali kelemahan umat Islam.
Sayang misi ini tak berlangsung
lama, misi tendensius kristenisasi gereja Latin dan Eropa segera punah seiring
melapuknya doktrin gereja yang bersumber dari fanatisme dan kekuasaan
membabi-buta gereja Roma.
Pada mulanya studi bahasa Timur
sejatinya tak luput dari faktor ideologi kristenisasi, seperti pada Abad
Kegelapan gereja tekun belajar bahasa Arab untuk mengenal Islam meski harus
mereka akui sendiri semuanya demi niat busuk menghancurkan Islam.
Masa Abad Pertengahan, studi
bahasa dan kebudayaan Arab tunduk pada misi misionaris. Sebuah interesting baru
dalam mengkaji Timur ini juga tak lain karena terilhami runtuhnya Granada pada
tahun 1492 dan hanya meninggalkan sekelompok kecil bangsa Moriscos yang
berbahasa Romawi.
Maka seruan untuk mengkaji Timur
lebih digaungkan sebagai pengganti dari semakin pudarnya bahasa Romawi, selain
juga memasukkan studi Timur setelah menyatu kedalam kurikulum bahasa Semit,
sehingga studi Timur pun diupayakan masuk pula di bawah kontrol Vatikan.
Usaha dini ini juga tentunya akan
sangat membantu mereka nantinya, dalam usaha peningkatan strategi politik dan
komersial yang lebih baik dalam menyambut kebudayaan yang universal dan
membantu untuk bisa bergabung bersama studi muslim.
Demi rasa bakhti pada agama, dan
jiwa patriotnya pada Perancis, Guillume Postel (1510-1581) ikut berkontribusi
besar dalam pembelajaran bahasa Bangsa Timur dengan mengumpulkan sejumlah
manuskrip-manuskrip yang bersumber dari Timur.
Murid Postel, Joseph Scaliger
(1540-1609), seorang ensiklopedis terkemuka. Scaliger turut berusaha keras
meningkatkan bobot kajian orientalis di jamanya.
Abad ke-15 adalah awal
kegemilangan Eropa yang mengawali spirit
Renaissence (arti Renaissence adalah:
“lahir kembali”).
Renaissence mampu mereformasi
kejumudan berfikir teologi Kristen menuju kebebasan falsafi hakiki. Abad
Kebangkitan Eropa mengilhami para orientalis mengkaji Islam dan Timur bukan
bermisi kristenisasi, tapi berlajut pada praktik kolonialisasi.
Ada asumsi mengatakan:
“pengetahuan berdampak pada penguasaan”. Atau lebih mendetail hubungan ini
dijelaskan Focault sebagai keterkaitan antara knowledge and power.
Teori ini kemudian dikembangkan
kaum orientalis untuk menguasai wilayah Timur. Artinya, semakin pakar
orientalis mempelajari Timur maka semakin banyak kesempatan untuk menjajah
wilayah Timur. Penjajahan ini yang dipraktekkan imperialis Eropa.
Seperti India yang dijajah
Inggris, Al-Jazaer dijajah Perancis, kemudian Mesir dan Tunis ikut dicaplok
juga. Wilayah Asia Indonesia pun tak ketinggalan. Ibu pertiwi Indonesia dijajah
Belanda sejak pertengahan abad ke-17.
Pada tahun 1587 percetakan
Kardinal Ferdinand de Medici Tuscany mencetak buku-buku Arab di Eropa. Di
antaranya adalah karya-karya filsuf Ibn Sina di bidang kedokteran dan filsafat.
Di penghujung abad ke-17 dan awal
abad ke-18, isu kristenisasi di kajian orientalis tak lagi mendominasi. Bahkan
di abad ke-18, di seluruh Inggris dan Prancis, para orientalis sudah putus
relasi dengan ulama-ulama teologia gereja.
Sejak itu riset akademik
orientalis murni obyektif. Bahkan tak segan-segan di antara mereka jujur
mengakui peradaban Islam.
Periode ini bak masa pencerahan
Eropa dalam bidang sains, karya ilmiah, politik, ideologi, dan perekonomian
yang ditunjangi oleh ilmu pengetahuan ini.
Kemajuan sains ini terus
berkembang dan maju hingga akhirnya tak hanya didasari oleh hasrat misionaris
belaka, namun lebih sebagai kebutuhan bagi mereka sendiri.
Pada Abad ke-17 isu kristinisasi
pun mulai berkurang. Saat itu Eropa sudah bisa berpikir mandiri. Eropa dapat
berpikir sendiri meski tanpa bimbingan gereja.
Seiring dengan bubarnya perang
antaragama, dan seiring dengan kesadaran kaum intelektual untuk ilmiah, kajian
orientalis cenderung bebas dari misi indoktriner Gereja. Faktor yang membentuk
perubahan seperti ini tentunya tak luput dari pengaruh yang rasionalisme .
Sejatinya kemajuan ilmu pengetahuan
di zaman Abad Pertengahan dan yang berlanjut pada masa renaissance adalah
sebuah pukulan berat yang menghantam ideologi kristiani sendiri.
Barat mulai bergeser menuju sisi
obyektifitasnya di abad pertengahan, dikarenakan beberapa faktor: kedekatan
geografis, relasi politik yang erat, peningkatan perekonomian, dan perkembangan
para misionaris yang berkunjung ke Timur, dan bersatunya umat kristiani di
eropa.
Obyektifitas paling besar adalah
karena dipengaruhi oleh nilai studi tentang ajaran moral Islam.
Bangsa Eropa melihat bahwa umat
Islam di Timur sebagai padang daratan luas yang kaya dan makmur, dan peradaban
maju bak sebuah monumen agung mewah yang tak terungkapkan dengan kata.
Zaman renaissance yang identik
dengan ciri kosmopolitanisme dan jati diri yang ensiklopedis dengan segala
ekspresi budayanya, telah mempersilahkan umat muslim Timur untuk mempelajari
hak mereka.
Pada awal abad 20, obyektifitas
kajian orientalis mulai nampak mendominasi.
Para orientalis pun berlomba-lomba melakukan riset professional. Bisa
kita lihat beberapa Sekolah bahasa Timur dibangun demi kepentingan riset ilmiah
seperti di Perancis dan Belanda.
Tak pelak lagi, imperialisme yang
digencarkan Eropa rupanya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
masyarakat dunia.
Imperialisme berhasil menjajah
tak lain berkat dorongan ilmiah orientalis yang mengabdi pada ambisi Eropa
untuk menguras kekayaan Timur.
III. Kenapa Barat Menjajah Timur?
Kolonialisasi adalah contoh
paling signifikan akan bukti tercorengnya harga diri bangsa Timur. Bagaimana
tidak, selama berabad-abad umat Islam berhasil menaklukkan pelbagai belahan
dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur Tengah hingga Asia telah lumat, tunduk di
bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan itu kini kabur ditelan puing-puing
sejarah belaka. Diawali abad ke-19 umat Islam dipaksa tunduk di bawah Adikuasa
kolonial Barat.
Harapan terakhir umat Islam
bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani. Namun ironisnya, tahun 1942
kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang menganti
sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.
Runtuhnya kekhalifahan Turki
Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang Dunia, justru semakin
memperpanas keadaan. Yang akhirnya praktik kolonialisasi Barat terhadap Timur
semakin merajalela. Saudi Arabia berusaha membebaskan diri justru dipatahkan
oleh Turki. Libanon dan Palestina pun dirampas Inggris, Napoleon datang ke
Mesir tahun 1789, Belanda pun mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan
Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, 85%
wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat.
Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk
menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa
seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di
negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur
Asia, termasuk Indonesia.
Abad ke-19, adalah abad di mana
orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat.
Orientalis menkaji hampir semua
disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, histori, dan teks politik. Secara
umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya
dan peradaban Barat.
Di abad ini pula Abraham
Hyacinthe Anquetil dan william Jones telah menangkap khayal imajinatif mengenai
masa “kontemporer” mengenai dunia baru yang eksotis, dari Timur menjadi Barat.
British yang berada di India dan
Napoleon yang sedang menduduki Mesir telah mengenal potensi besar untuk
memanfaatkan orientalis, seperti Jones, untuk membangun imperium mereka.
Berhubungan dengan mutu intelektual para orientalis dengan kepalsuan dominasi
politik.
Meninjau kembali pengalaman buruk
masa lalu, peristiwa dilematis ini kini mengundang pertaanyaan-pertanyaan tak
kunjung usai dari kaum intelektual
Timur, apakah penyebab Barat menjajah Timur? Adakah yang salah dengan Timur
(Islam)?
Ada dua kelompok cendekiawan
Islam yang mencoba menjawabnya dengan jawaban yang saling kontradiktif.
Kelompok pertama lebih menyalahkan pada pihak luar. Adi, kenapa umat Islam
terpuruk, menderita, miskin dan malang, tak lain karena orang-orang Eropa
sengaja ingin menghancurkan umat Islam diseluruh belahan dunia. Alas an ini
tentunya mereka menyudutkan para orientalis yang banyak berpartisipasi aktif
dalam membantu kolonialis Barat dalam penguasaan Timur terutama dalam bidang
politik dan militernya.
Kelompok kedua, lebih memilih
menyalahkan diri sendiri, tubuh umat Islam. Kelompok ini memandang bahwa
keterpurukan umat Islam, miskin dan bodohnya adalah dikarenakan kelalaian dan kemalasan mereka dalam mengkaji
Al-Qur’an. Dan tak mengindahkan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang yang
rupanya telah banyak di adopsi Barat jauh berabad-abad sebelumnya. Kelompok ini
pun menguatkan, sepanjang umat Islam kuat dan bersatu, maka mustahil Eropa
berani menjajah kita. Umat Islam terpuruk, tak lain karena umat Islam sendiri
yang jauh dari ruh-ruh keislaman itu sendiri. Karena tak dipungkiri, Barat pun
mau karena mengadopsi keilmuan-keilmuan Islam. Yang darinya pencerahan
“Enlightenment” Eropa dimulai.
Maka, kelompok kedua ini tak
segan-segan mengajak umat slam untuk belajar pada Barat. Karena, hanya dengan
menguasai ilmu, teknik, dan filsafat modern Barat, maka Umat Islam akan menemui
kejayaanya kembali. Berbeda dengan kelompok pertama yang ‘anti Barat’. Baginya,
cara Islam meraih kembali pencerahannya adalah dengan kembali pada tradisi lama
Islam. Karena mempelajari tradisi ilmu dan filsafat Barat hanya akan
menjerumuskan umat Islam pada system kebaratan yang tak ada sisi warna
keislamannya itu.
Sample yang paling dekat adalah
munculnya paham liberalisme yang merupakan cermin paling transparan dalam
meramaikan modernisme barat. Ada yang berpendapat, liberalisme adalah racun
ganas di era saat ini yang mencoba mengaburkan kajian keislaman dari jati
dirinya. Namun, kelompok kedua berpendapat bahwa liberalisme perlu dipelajari,
di perdalami, dan dipahami secara benar. Jangan sampai trauma searah
kolonialisme terulang lagi.
Referensi :
Maxime Rodinson, Europe and the
Mystique of Islam, I. B. Tauris & Co Ltd London, 1988.
Zachary Lockman. Târîkh
Al-Istishrâq Wa Siyâsah; Al-Shirâ’ `Alâ Tafsîr Al-Sharq Al-Awsath (first ed.).
2007. Beirut: Dar Shorouk.
3. A.L. Macfie, Orientalism, The
American University, Kairo, 2000
A.
Pengantar
Orientalisme, secara etimologi berasal dari kata ‘orient’ yang berarti timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa yang ada di timur serta secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat ketimuran. Sedangkan secara terminologi, orientalisme dimaknai sebagai suatu cara atau metode yang digunakan untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat, atau dapat pula dipahami sebagai suatu gaya berpikir yang dipakai berlandaskan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur dan Barat.
Beragam bacaan memaparkan motivasi atau faktor yang melatarbelakangi mengemukanya orientalisme di kalangan para pemikir Barat. Motivasi utama munculnya upaya ini adalah ‘kekaguman’ Barat akan Islam yang sejak kemunculannya di awal abad ke-7 Masehi telah mendominasi dunia dengan beragam keberhasilan dan kegemilangan dari beragam aspek yang dicapainya. Atau, dalam ungkapan lain sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Bernard Lewis bahwa usaha-usaha yang dilakukan Barat dalam penyelidikan terhadap Timur selalu berawal dari ‘rasa ingin tahu intelektual’. Motivasi lainnya yang tak kalah penting adalah kebutuhan para penjajah yang merupakan negara-negara besar Eropa seperti Spanyol, Portugal, Inggris, Italia dan Prancis untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang menjadi jajahannya.
Dengan demikian, lengkaplah sudah motivasi
kemunculan orientalisme yang berawal dari kekaguman sekaligus keheranan yang
kemudian dilengkapi dengan keinginan untuk terus menguasai tanah jajahan dengan
mengetahui banyak hal yang ada dalam masyarakat tersebut.
Berikut ini akan dilakukan pemaparan respons-respons atau tanggapan-tanggapan yang mengemuka seiring dengan upaya penyelidikan dunia Timur oleh Barat. Tanggapan-tanggapan berikut ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu tanggapan yang muncul dari kalangan Barat sebagai pelaku orientalisme dan tanggapan yang berasal dari kalangan Timur sebagai objek kajian orientalisme yang dilakukan Barat.
Berikut ini akan dilakukan pemaparan respons-respons atau tanggapan-tanggapan yang mengemuka seiring dengan upaya penyelidikan dunia Timur oleh Barat. Tanggapan-tanggapan berikut ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu tanggapan yang muncul dari kalangan Barat sebagai pelaku orientalisme dan tanggapan yang berasal dari kalangan Timur sebagai objek kajian orientalisme yang dilakukan Barat.
B. Tanggapan-Tanggapan Mengenai Orientalisme
Perbincangan mengenai Orientalisme menjadi semakin ramai terutama sejak Edward Said, seorang Kristen Palestina dan aktivis PLO di Amerika, menulis buku berjudul Orientalisme. Dalam buku ini, Said memaparkan secara panjang lebar hakekat Orientalisme itu, yang baginya secara keseluruhan tidak lebih dari alat penjajah bangsa-bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur khususnya Timur-Islam. Gugatan yang paling mendasar dari Said muncul dalam penolakannya terhadap istilah Orientalisme, atau ketimuran. Menurutnya apa yang dikatakan Timur bukanlah sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Dalam istilah Said, Timur (Orient) adalah imaginative geography yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Kriteria Timur tidak pernah jelas secara kategoris, kalaupun ada sesuatu yang menjadikan Barat-Timur berbeda, hal itu juga merupakan hasil konstruksi sepihak masyarakat Barat. Persoalan metodologis kemudian muncul ketika imajinasi Barat tentang Timur ini dinyatakan sebagai temuan yang bersifat obyektif dan netral. Untuk itu Said menganggap kajian Orientalisme selalu berkedok ilmiah dengan mengatasnamakan diri pada ilmu.
Dalam bukunya yang lain, Orientalism: Western Conceptions of The Orient, Edward Said mengatakan bahwa upaya-upaya penyelidikan yang dilakukan oleh kalangan orientalis telah melegitimasi negara-negara kolonial yang sebagian besarnya berasal dari Eropa untuk menjajah dan menancapkan kekuasaannya di dunia Timur. Lebih lanjut, menurut Said, kemunculan orientalisme yang melakukan penyelidikan dunia Timur dilatarbelakangi oleh tiga hal yang selama ini seakan disembunyikan. Yaitu: pertama seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis, atau meneliti tentang Timur yang mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan memahami kebudayaan-kebudayaan Timur, baik sebagai seorang antropolog, sosiolog, sejarawan, maupun filolog. Kedua, orientalisme merupakan gaya berpikir yang mendasarkan pada pembedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara Timur dan hampir selalu Barat. Dan Ketiga adalah orientalisme merupakan institusi yang berbadan hukum yang dapat didiskusikan dan dianalisis untuk menghadapi dunia Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan, menggambarkan, mengajarkan tentang Timur dan sekaligus menguasainya. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, membangun kembali sesuai keinginan Barat dan menguasai semua yang ada di Timur.
Berdasarkan cara pandang Said dalam mengemukakan kritikannya terhadap orientalisme ini, maka dapat disimpulkan bahwa apa pun yang dihasilkan oleh penyelidikan Barat terhadap Timur (terutama Islam) hanya memberi manfaat bagi Barat. Hal ini karena upaya tersebut dilakukan untuk semakin menguatkan dominasi dan penguasaan Barat atas berbagai wilayah Timur lengkap dengan beragam sumberdaya yang dimilikinya. Di samping itu, upaya penyelidikan dalam bingkai orientalisme juga untuk melihat beragam kelemahan yang ada dalam masyarakat Timur, baik yang mereka sadari maupun yang tidak mereka sadari selama ini.
Lebih lanjut Said mengemukakan contoh dari sebuah kajian yang dilakukan oleh Jacques Waardenburg dalam bukunya berjudul L’Islam dans le miroir de l’Occident. Berdasarkan penelitiannya terhadap beberapa tokoh orientalis, Waardenburg sampai pada sebuah teori cermin, yaitu memantulkan sesuai apa yang ada di depannya. Ignaz Goldziher yang mengagumi Islam atas toleransi terhadap agama-agama lain ternyata menampakkan corak yang sebenarnya ketika berhadapan dengan realitas kehidupan Nabi Muhammad dan syariat Islam, begitu juga dengan Duncan Balck McDonald yang mengakui kesalehan dan ortodoksi Islam harus dicemarkan oleh pendapatnya bahwa Islam merupakan penyimpangan Kristen, Carl Becker yang menganggap peradaban Islam sebagai peradaban yang terbelakang dan Snouck Horgronje yang menganggap mistisisme adalah bagian esensial Islam hingga membuat agama ini lumpuh.
Inilah watak asli para orientalis Barat yang
dikritik Said layaknya cermin yang akan memantulkan sesuatu yang ada di
depannya apa adanya dan Barat dengan motivasinya yang tidak baik terhadap Timur
akan menampakkan wajah aslinya, berupa kebencian berbalut kekaguman pada
akhirnya. Hal ini karena bagi Barat, dunia Timur (khususnya Islam) adalah
trauma abadi yang sekian lama menjadi objek kekaguman sekaligus juga kebencian
untuk ditaklukkan dan dikuasai. Kagum karena rekam sejarah mencatat
kegemilangan Timur pernah mampu menguasai hampir sebagian besar dunia dalam
segala aspek kehidupan dan benci karena Barat pernah menjadi bagian dari
penguasaan yang dilakukan oleh Timur (baca: Islam) tersebut.
Tokoh Barat lainnya yang memberi tanggapan terhadap orientalisme adalah Gordon E. Pruett yang berpendapat bahwa banyak orientalis yang memojokkan makna-makna Islam melalui operasionalisasi metodologi dunia. Kecenderungan umum yang terdapat pada tulisan orientalis adalah menganggap Islam sebagai fenomena obyektif. Dengan cara ini keyakinan Islam dan pandangan orang Islam sendiri tidak banyak diperhatikan, sehingga orientalis seringkali gagal memahami Islam secara lebih memadai. Selanjutnya juga ada Bryan S. Turner, pengamat sosiologi Islam ini melihat bahwa gambaran tentang Islam dan Timur dalam Orientalisme sangat bersifat Eurosentris. Hal ini dikarenakan Islam merupakan kekuatan asing terbesar dalam masyarakat Barat yang nantinya menjadi semacam perbandingan bagi orang Barat sendiri.
Tokoh Barat lainnya yang memberi tanggapan terhadap orientalisme adalah Gordon E. Pruett yang berpendapat bahwa banyak orientalis yang memojokkan makna-makna Islam melalui operasionalisasi metodologi dunia. Kecenderungan umum yang terdapat pada tulisan orientalis adalah menganggap Islam sebagai fenomena obyektif. Dengan cara ini keyakinan Islam dan pandangan orang Islam sendiri tidak banyak diperhatikan, sehingga orientalis seringkali gagal memahami Islam secara lebih memadai. Selanjutnya juga ada Bryan S. Turner, pengamat sosiologi Islam ini melihat bahwa gambaran tentang Islam dan Timur dalam Orientalisme sangat bersifat Eurosentris. Hal ini dikarenakan Islam merupakan kekuatan asing terbesar dalam masyarakat Barat yang nantinya menjadi semacam perbandingan bagi orang Barat sendiri.
Di samping itu, ada kritik yang cukup obyektif dan simpatik dari Marshall Hodgson kepada Clifford Gertz, seorang antropolog Amerika yang bukunya Religion of Java sangat berpengaruh di Indonesia di kalangan tertentu. Gertz dalam bukunya itu secara ringkasnya menyatakan: “sejauh-jauh orang Jawa itu Islam, namun unsur-unsur Hinduisme, Budhisme, dan Animismenya masih lebih banyak dari pada unsur Islamnya.” Menurut Hodgson, inilah contoh stategem kolonialistik yang mencoba memperkecil makna kehadiran Islam di suatu negeri jajahan. Gertz, kata Hodgson melakukan stategem yang juga dianut oleh para ahli di kalangan kaum penjajah Perancis atas kawasan Afrika Utara.
Sedangkan tanggapan mengenai orientalisme yang muncul dari kalangan Islam dapat dibedakan dalam dua bagian. Yaitu, kalangan yang dengan tegas menolak kajian-kajian yang dilakukan oleh orientalis dan kelompok yang dapat menerima jika memberi manfaat bagi Islam. Untuk menyebut salah seorang dari kelompok pertama adalah Mazin bin Shalah Muthabaqani, seorang guru besar orientalisme di Arab Saudi.
Penolakan yang dilakukan Muthabaqani
ini didasarkan pada pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh orientalisme,
yaitu : pertama pengaruh aqidah : berupa lahirnya generasi sekuler, baik di
kalangan intelektual, pemerintah, militer, maupun orang awam di Dunia Islam.
Mereka semuanya menjadi satu arus dan trend yang meneriakkan pemisahan agama
dari kehidupan. Padahal aqidah ini sangat bertolak belakang dengan aqidah Islam
yang terikat dengan segala bidang kehidupan dengan seperangkat hukum-hukum
syariahnya. Pengaruh lainnya, adalah merebaknya kecenderungan terhadap ide-ide
marjinal yang menyimpang dari aqidah Islam, seperti tasawuf Ibnu ””””Arabiy
(wahdatul wujud) yang mendapat perhatian khusus dari kalangan orientalis.
Kedua, pengaruh sosial : karena didorong kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam, kalangan orientalis berusaha mencari faktor yang dapat merusak soliditas masyarakat muslim. Contohnya, di Aljazair, orientalis menghapuskan kepemilikan umum (atas tanah publik) yang akhirnya membuat terpecah belahnya beberapa kabilah. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai dengan konsep kepemilikan umum yang ada dalam ajaran Islam. Pengaruh sosial lainnya adalah terancamnya keutuhan keluarga, karena kaum orientalis menaruh perhatian besar pada ide-ide gender dan feminisme yang membodohi sekaligus memprovokasi kaum muslimah untuk memberontak terhadap hukum-hukum Islam tetang pengaturan keluarga (misalnya masalah ketaatan kepada suami, nafkah, dan hak cerai).
Kedua, pengaruh sosial : karena didorong kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam, kalangan orientalis berusaha mencari faktor yang dapat merusak soliditas masyarakat muslim. Contohnya, di Aljazair, orientalis menghapuskan kepemilikan umum (atas tanah publik) yang akhirnya membuat terpecah belahnya beberapa kabilah. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai dengan konsep kepemilikan umum yang ada dalam ajaran Islam. Pengaruh sosial lainnya adalah terancamnya keutuhan keluarga, karena kaum orientalis menaruh perhatian besar pada ide-ide gender dan feminisme yang membodohi sekaligus memprovokasi kaum muslimah untuk memberontak terhadap hukum-hukum Islam tetang pengaturan keluarga (misalnya masalah ketaatan kepada suami, nafkah, dan hak cerai).
Ketiga, pengaruh politik-ekonomi : mempropagandakan sistem demokrasi dan dikatakannya sebagai sistem politik paling ideal untuk umat manusia. Pada saat yang sama, mereka menyerang dan menjelek-jelekkan sistem politik Islam, yaitu khilafah. Thomas W. Arnold, misalnya, menuding bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab dapat menjadi khalifah, lantaran keduanya telah melakukan suatu persekongkolan. Orientalis lain, Bernard Lewis, menyatakan bahwa sistem politik Islam adalah sistem diktator yang memaksakan ketundukan dan kehinaan atas bangsa-bangsa muslim. Bahkan lebih dari itu, Bernard Lewis menganggap sistem politik Islam menyerupai sistem komunis dalam hal kediktatoran dan kesewenang-wenangannya. Sementara itu dalam bidang ekonomi, orientalis mempropagandakan system ekonomi kapitalis dan sosialis. Pada saat yang sama, mereka menyerang sistem ekonomi Islam.
Keempat, pengaruh budaya-pemikiran: cara pandang atau perspektif orientalis telah menjadi sumber pemahaman bagi umat untuk memahami Islam, setelah sebelumnya umat Islam hanya menggunakan cara pandang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, menurut tuntunan para ulama muslim. Umat Islam kini meyakini demokrasi, sebagai ganti dari keyakinan terhadap sistem politik Islam (khilafah). Umat Islam lebih meyakini sistem ekonomi kapitalisme, daripada sistem ekonomi Islam. Demikian pula cara pandang orientalis di bidang ilmu sosiologi, psikologi, sejarah, dan sebagainya telah mengisi, memenuhi, sekaligus meracuni otak generasi muda Islam, yang sebelumnya terisi dengan pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang.
Kalangan lainnya yang melakukan penolakan terhadap obyektivitas kajian orientalis ini muncul dalam bentuk nativisme (pandangan yang menyatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang mengetahui tentang dirinya). Pandangan ini di antaranya dikemukakan Mahmud Shakr yang berpendapat bahwa untuk dapat memahami Islam seseorang harus menjadi Muslim dahulu, karena Islam sebagai agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Pijakan ini mendorong Shakr untuk tidak melihat adanya kebenaran dalam karya orientalis tentang Islam maupun Arab. Baginya, orientalis yang berlatar belakang budaya Barat dan beragama non Islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam. Pandangan ini sebenarnya cukup umum di kalangan umat Islam. Kelebihannya adalah kemampuan Shakr untuk menerjemahkan penolakannya terhadap Barat dalam rumusan dan kaidah ilmiah. Di samping itu, Aijaz Ahmed juga menolak kajian-kajian orientalisme karena penyelidikan-penyelidikannya kemudian memunculkan dikotomi antara Barat dan Timur. Lebih lanjut, hasil kajian Barat melalui orientalisme menciptakan teori Dunia Ketiga (third world) yang membagi-bagi dunia menjadi tiga kategori wilayah, yaitu negara maju, sedang berkembang dan negara miskin. Padahal menurutnya, dunia ini hanya satu, bukan tiga sebagaimana kategori Barat, dan dunia yang satu ini termasuk di dalamnya pengalaman kolonisasi dan imperialisasi yang dilakukan Barat.
Kelompok kedua yang memberi tanggapan atas kajian orientalis adalah kalangan yang dapat menerima jika upaya tersebut bermanfaat bagi Islam.
Kalangan ini biasanya melandaskan
pendirian dan penilaiannya mengenai orientalisme berdasarkan ilmu pengetahuan
atau ilmiah. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang
berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena
memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan
hanya sebagian kecilnya saja. Salah satu contohnya adalah Maryam Jamilah yang
menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar
di Barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam
lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha
mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan
hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang. Para orientalis dari Inggris
seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis karya
penting berupa penerjemahan karya-karya Islam klasik sehingga
terjemahan-terjemahan itu untuk pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca
di Eropa.
Menurut Jamilah, pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Menurut Jamilah, pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Contoh lainnya dari kalangan Islam kelompok kedua ini adalah Muhammad Abdul Rauf, yang tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (fair-minded orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur. Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di dunia. Jika demikian banyak kalangan sepakat bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika akademik dan keilmuan yang diakui secara universal, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.
C. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa orientalisme merupakan cara atau metode yang digunakan Barat untuk memahami dan menyelami dunia Timur. Upaya yang dilakukan oleh Barat ini sudah berlangsung lama seiring dengan terjadinya persentuhan antara kedua wilayah tersebut dalam sejarahnya. Penyelidikan yang dilakukan Barat terhadap Timur dalam bingkai orientalisme memunculkan beragam tanggapan, baik dari kalangan intern Barat sendiri maupun dari kalangan Timur. Tanggapan yang muncul dari Barat lebih banyak didominasi oleh kritikan yang mengarah pada ketidakjujuran motivasi Barat dalam melakukan kajian tersebut, seperti yang diperlihatkan oleh Edward W. Said. Sedangkan tanggapan yang berasal dari Timur dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yang menolak dan menerima dengan syarat memberi manfaat bagi Timur.
Yogyakarta, Akhir 2009
Amal, Taufik Adnan. 1992. “Al-Qur’an di Mata Barat: Kajian Baru John Wansbrough” dalam Ulumul Qur’an No. 3.
As-Syaukani, A. Lutfi. 1994. “Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalis” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6 Vol. V.
As-Siba’i, Mustafa Hasan. 1997. Membongkar Kepalsuan Orientalisme, terj. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Burke, Edmund. 1995. “Orientalism” dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World. New York Oxford: Oxford University Press.
Fauzi, Ihsan Ali. 1992. “Orientalisme di mata Orientalis: Maxim Rodinson tentang Citra dan Studi Barat atas Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2.
Hodgson, Marshall G. S.1974. The Venture of Islam. Vol. II. Chicago: The University of Chicago Press.
Hitti, Philip K. 2005. History of The Arabs, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Husein, Assaf. 1984. “The Ideology of Orientalism” dalam Assaf Husain. et.al. (ed.), Orientalism, Islam, and Islamisists. tt: Amanah Books.
Jamilah, Mariam. 1997. Islam dan Orientalis: Sebuah Kajian Analitik. Jakarta: Rajawali Press.
King, Richard. 1999. ‘Orientalism and Indian Religions’. dalam Richard King Orientalism and Religion; Postcolonial Theory, India and ‘The Mistic East’. London & New York: Routledge.
Martin, Richard C. 2001. ‘Islam dan Studi Agama’. dalam Richard C. Martin (ed.) Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Muthabaqani, Mazin bin Shalah. al-Istisyrāq, al-Istisyrāq wa Makānatuhu Baina al-Madzāhib al-Fikriyyah al-Mu’āshirah, http://www.saaid.net.
Nashr, Sayyed Husain. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka.
Prasetyo, Hendro. 1999. “Pembenaran Orientalisme: Kemungkinan dan Batas-batasnya” dalam Jurnal Islamika, No. 3 Januari-Maret.
Turner, Bryan S.1992. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesis Sosiologi Weber. Jakarta: Rajawali Press.
Rasyid, Daud. 1993. Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Jakarta: Usama Press.
Rauf, Muhammad Abdul. 2001. “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Richard C. Martin (ed.), Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Said, Edward W. 2001. Orientalisme, Bandung: Pustaka.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Watt, W. Montgomery. 1972. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburg: Edinburg University Press.
No comments:
Post a Comment