PENDAHULUAN
HAM atau yang
sering dikenal dengan Hak Asasi Manusia, saat ini merupakan sebuah gagasan yang
sangat populer. Ide ini meluas keseluruh penjuru dunia dan dianggap sebagai
dewa penolong bagi umat manusia. Bahkan gagasan HAM sudah menjadi standar baik
dan buruk bagi manusia. Segala perbuatan yang melanggar HAM dianggap tercela,
sedangkan perbuatan yang sesuai dengan HAM dianggap terpuji.
Berabad-abad
lamanya HAM telah mendasari ide perjuangan kemerdekaan di berbagai negara dalam
menginspirasi perjuangan rakyat melawan tirani/para diktator. Tetapi, seiring
berkembangnya jaman, HAM gagal sebagai spirit perjuangan rakyat terhadap
kedzaliman, penindasan, dan kediktatoran. Bahkan lambat laun, secara konsepsi
maupun realitanya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan dibalik ide HAM.
Pelaksanaan the Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) sering menggunakan
standar ganda. Korporasi besar (MNCs) lewat aktivitasnya yang merusak
lingkungan, menteror manusia, menjarah kekayaan alam sebuah negara, bahkan
sering memberangus lembaga-lembaga yang berseberangan. Anehnya, perbuatan
tersebut dibiarkan begitu saja atas nama kebebasan. Tetapi, ketika ada
seseorang yang mencoba kritis terhadap kebijakan korporasi (MNCs), ia langsung
diajukan ke pengadilan dan dikatakan melanggar HAM.
KONTRADIKSI HAM DALAM CENGKRAMAN KORPORASI
Kemunculan ide HAM berawal dari sebuah pandangan filsafat dan
tradisi politik dalam konteks liberalisme. Liberalisme yang menjadikan
kebebasan sebagai nilai politik yang utama, mempunyai akar sejarah di Eropa
Barat pada abad kegelapan (The Dark Age). Nilai kebebasan menemukan puncaknya ketika Eropa mengalami era
pencerahan. Kaum cendekiawan dan filosof berteriak lantang memperjuangkan dan
mengagung-agungkan kebebasan demi meraih idealisme kebahagian umat manusia.
Dalam konteks
sosial-kemasyarakatan, liberalisme menyakini bahwa individu-individu yang bebas
merupakan pondasi masyarakat yang baik. Hal ini merupakan buah pikiran Locke
yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1)
kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan; (2)
kebebasan intelektual, di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran
khas empirisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern
HAM.
Gagasan tersirat
dari ide ini menegaskan bahwa manusia akan menemukan eksistensinya ketika
diberi kebebasan dalam hidupnya. Dengan akalnya, manusia akan mampu menggunakan
kebebasannya secara optimal dalam berkreasi dan berekspresi. Disamping itu,
kebebasan individu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga akan
memunculkan balance (keseimbangan). Maka dari itu siapapun boleh hidup dengan
mengatasnamakan kebebasan dirinya.
Dalam implementasinya, ide kebebasan HAM banyak kontradiksinya.
Individu, masyarakat, dan negara yang mengatasnamakan kebebasan HAM justru
menimbulkan banyak kerusakan dan konflik sosial. Semakin HAM diterapkan oleh
semua pihak, semakin menimbulkan banyak virus yang menghancurkan kehidupan
manusia. Beberapa kontradiksi yang muncul pada kebebasan dalam HAM antara lain;
Pertama, HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain
secara sistematis. Dengan adanya kebebasan ekonomi dalam konteks kebebasan
kepemilikan yang dilandasi rasa ingin memiliki kekayaan sebesar-besarnya.
Manusia akan berpikir bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan
menghalalkan segala cara. Prinsipnya cukup sederhana, mengumpulkan kekayaan
merupakan hak asasi manusia, maka orang akan berpikir seribu satu cara untuk
meraup untung sebesar-besarnya, walaupun cara yang dia tempuh merugikan banyak
orang.
Logika inilah yang
diterapkan oleh korporasi multinasional (MNCs). Demi melaksanakan hak asasi
manusianya dalam meraup keuntungan, para korporasi ini akhirnya tidak
mempedulikan berapa nyawa sekalipun yang sudah jadi tumbalnya. Sebut saja korporasi bernama ‘Merck’, perusahaan ini tercatat
telah mengakibatkan tercabutnya 55.000 orang meninggal dunia. Adalah Dr. David
Graham, pegawai pada Unit Keamanan Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration, FDA) yang kesaksiannya sebelum rapat komite senat mengguncangkan
publik AS. Riset Graham mencatat sekitar 88.000 sampai 139.000 orang di AS
menderita serangan jantung atau stroke akibat meminum obat radang sendi Vioxx buatan Merck. “Sekitar 40
persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 35.000-55.000 orang, meninggal”, kata
Graham.
Kedua, Dengan menggunakan HAM,
korporasi multinasional tersebut melancarkan isu berkeinginan membantu beberapa
negara berkembang. Membantu dalam menyelesaikan problem pengelolaan sumber daya
alam yang selama ini belum optimal. Tetapi keyataannya, hal ini hanya merupakan
kedok semata untuk bisa merampok kekayaan alam yang ada pada sebuah negara.
Korporasi
multinasional (MNCs) ini akhirnya merampok kekayaan SDA di wilayah
negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak
pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan
berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di
negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai,
mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam
kondisi yang serba kekurangan.
Dari hasil perampokan mereka mengatasnamakan HAM, mereka
mendapatkan banyak sekali keuntungan finansial.
Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007,
pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan
Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil
mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di
dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan
perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya
selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal
Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun
mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.
Keuntungan yang
diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan
Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi
tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun
2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak
lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42,
463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.
Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering
menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir
orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari
Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan
Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau
the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.
Ketiga, Oleh korporasi multinasional, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan
mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola
sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya
merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.
Termasuk dampak
yang ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa
bahwa hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan
tersebut tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan
lingkungan.
Laporan 6 Nopember 2009 dari Organisasi Non Pemerintah dan
Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi
saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun
terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau Sumatera dieksploitasi
sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos
yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut
terjadi di seluruh propinsi dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran
hutan.
Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros
lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang
genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag
menyangga hulu-hulu sungai pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan
dataran tinggi hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di
pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500
perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa
mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan
sawit terjadi pada lahan PT RAPP, IKPP dan anak anak perusahaannya .
Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus
2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang.
AYO… KAUM MUSLIMIN !!!
Maka dari ketiga realita tersebut, sebenarnya menggambarkan bahwa
HAM telah menjebak umat manusia dalam berbagai macam penindasan. Tentu saja
dengan adanya wajah baru penindasan via HAM, dunia akan di isi oleh
manusia-manusia yang tidak bermoral. Kondisi duniapun berubah menjadi tatanan
sosial yang penuh dengan tipu muslihat dan konflik manusia secara makro seperti
saat ini.
Adanya kerusakan HAM yang dideklarasikan PBB dari mulai ide dan
implementasinya, maka sudah saatnya HAM disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan
umat manusia. Semakin banyak manusia meninggalkan HAM berarti satu langkah maju
untuk melawan dan menolak liberalisme berkedok kebebasan. Banyaknya manusia
menolak HAM berarti telah membela umat manusia untuk lepas dari berbagai
kedzaliman dan penindasan oleh para korporasi. []
KEJAHATAH BARAT TERHADAP
INDONESIA
Kejahatan asing, di Indonesia,
Mendangkalkan, citarasa agama,
Menghancurkan, akhlaqul karimah,
Melalui diskotik, rokok dan ganja.
Barat memperkenalkan, minuman keras,
Ditambah pula, minuman keras.
Filem porno, tanpa batas.
Hasil bumi, terus dikuras.
Kejahatan Barat, disebut Imperialis
Penjajahannya, berotak Iblis.
Anak jajahan, dijadikan pengemis.
Gerakan pembodohan, susah ditangkis.
PT. Preeffot, di Papua,
Menyimpan emas, tiada tara,
Kini tinggal, sepi merana.
Gunung yang lain, sedang dicerna.
Zalimnya kolonialisme (colonialism) maupun jahatnya imperialisme (imperialism) sering
digunakan secara bergantian. Kata kolonialisme (colonialism) jika
merujuk pada Oxford English Dictionary (OED; kamus Oxford Bahasa Inggris)
berasal dari bahasa yunani/romawi, yakni ‘colonia’ yang berarti
perkebunan/pertanian (farm) atau perkampungan/penghuni tetap
(settlement), dan berhubungan pada bangsa Romawi yang telah mendiami wilayah
lain akan tetapi masih menahan atau menguasai masyarakat dari wilayah tersebut,
untuk merampas tiga “G” yaitu Gold, Glorie, dan Gospel Bibel
(Loomba, 1998: 1).
Menurut pandangan Loomba (1998:2),
kolonialisme telah menimbulkan suatu implikasi berupa perbudakan, penjajahan, perkosaan. perjumpaan
antarmanusia dalam bentuk penaklukan, pembantaian dan dominasi. Model kolonialisasi secara
langsung telah berefek pada hubungan traumatik dalam sejarah masyarakat yang
dikuasai. Jadi, dalam pandangannya, Loomba memberikan suatu acuan defenisi yang
menegaskan bahwa kolonialisme juga berarti penguasaan dan kontrol atas wilayah
dan harta benda orang lain (can be defined as the conquest and control of
other people’s land and goods).
Kolonialisme dapat dilihat sebagai
bentuk penjajahan suatu negara terhadap negara lain. Sistem dominasi yang
dilakukan penjajah (misalnya Eropa) terhadap belahan negara lain yang dianggap
lebih lemah selama berabad-abad lamanya. Namun, perkembangan kolonialisme dari
motif-motif penguasaan dengan instrumen teknologi tradisional ke modern
ujung-ujungnya menimbulkan ketumpangtindihan defenisi dengan imperialisme.
Praktik kolonialisme dari fase
tradisional ke modern terdapat perbedaan motif. Jika dalam fase tradisional
instrumennya adalah senjata maka dalam fase modern (juga berlaku pada
masyarakat pasca kolonial) model dominasinya menjadi tersembunyi sehingga
seolah-olah tidak disadari oleh wilayah atau negara yang dikuasai.
Mengenai hal ini, Loomba (1998: 3)
menganggap bahwa dominasi sebagai ciri khas dari pendudukan, sehingga
kolonialisme dibedakan menjadi dua macam, yakni kolonisme lama atau pra
kapitalis dan modern atau kolonialisme kapitalis. Kolonialisme lama dijalankan
dengan menguasai wilayah-wilayah yang ada di sekitarnya sesuai dengan kemampuan
transportasi yang ada saat itu. Kolonialisme modern dilakukan melalui hubungan
dua arah meliputi sumber daya manusia, ekonomi dan politik. Dengan kata lain,
model kolonialisme modern dilakukan dengan dua cara, yakni perbudakan dan surat
perjanjian.
Merujuk pada pendangan Loomba, dua
hubungan antara penjajah dan terjajah dalam kolonialisme modern membuat
masyarakat pribumi tidak hanya bertindak sebagi budak. Loomba menjelaskan
(1998: 4)
Kedua gerakan penjajah dan yang
terjajah; pribumi tidak hanya bertindak sebagai budak, tetapi juga sebagai
buruh kontrak, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima dan saudagar, dan
pejabat kolonial utamanya sebagai administrator, tentara, perwakilan dagang,
wisatawan dan pedagang, penulis, staf domestik, misionaris, guru, dan ilmuan.
Hal yang terpenting adalah meskipun kolonialisme Eropa melibatkan berbagai
teknik dan pola dominasi, penetrasi mendalam hingga ke beberapa kalangan
masyarakat dan melibatkan kontak dengan orang lain relatif dangkal, semua dari
mereka menghasilkan ketimpangan ekonomi, yakni semata-mata untuk kepentingan
pertumbuhan kapitalisme industri Eropa (Both colonized and the colonizer
moved; the former not only as slavers but also indentured laboerers, domestic
servants, travelers and traders, and colonial masters as administrators,
soldiers, merchants settlers, travelers and traders, writers, domestic staff,
missionaries, teachers, and scientists. The essential point is that although
European colonialism involved a variety of techniques and patterns of
domination, penetrating deep into some societies and involving a comparatively
superficial contact with others, all of them produced the economic imbalance
that what necessary for the grouth of European capitalism industry).
Berdasarkan pandangan Loomba (1998),
diferensiasi antara kolonialisme pra kapitalis dan kolonialisme kapitalis juga
berlaku bagi imperialisme. Hal ini karena imperialisme sama dengan
kolonialisme, yakni juga berlangsung sejak masa pra kapitalis. Namun beberapa
ahli menyebutkan bahwa kolonialisme lebih dahulu dari imperialisme.
Imperialisme (imperialism) berasal dari bahasa latin dari akar kata
imperare/imerium, yang berarti: a) memerintah, b) hak untuk memerintah, c)
kekaisaran atau kerajaan (Kutha Ratna, 2007: 23). Secara sederhana, imperial
juga didefinisikan sebagai sesuatu yang bersinggungan dengan kekaisaran, dan
imperialisme adalah aturan sebagai kaisar, utamanya kaitannya dengan kelaliman
(despotism) dan kesewenang-wenangan (Loomba, 1998: 4-5).
Kolonialisme dan imperialisme
memiliki perbedaan, yakni kolonialisme bersifat fisik sementara imperialisme
nonfisik. Menurut Loomba (1998: 5), dalam kaitannya dengan sejarah
perkembangnnya ada dua pendapat berbeda dalam memandang kolonialisme dan
imperialisme. Pertama, mengatakan bahwa secara monolitis kolonialisme
melahirkan kapitalisme, sebagai kolonialisme kapitalis. Kolonialisme inilah
yang disebut imperialisme. Pendapat kedua mengatakan bahwa baik kolonialisme
maupun kapitalisme pada dasarnya sudah ada sebelum kapitalisme, seperti
kekaisaran Rusia dan kemaharajaan Spanyol. Imperialisme (Michael Doyle, dalam Kutha Ratna: 23-24)
merupakan antarhubungan formal dan informal, dalam hal ini secara politis
mengontrol negara lain. Selain kekuatan fisik, imperialisme juga dapat
dikontrol melalui kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan pada
umumnya. Saat kolonialisme telah berakhir, imperialisme masih tetap berlangsung
dalam bentuk praktik politik, ideologi, ekonomi, dan praktik-praktik sosial
lain. Dalam perkembangannya, imperialisme kemudian dianggap sebagai akumulasi
konsep untuk menguasai dan bahkan sebagai teori.
Kaitan antara kolonialisme,
imperialisme, dan kapitalisme pada prinsipnya menjadi alat dominasi Barat
sebagai penjajah kolonial untuk menguasai Timur. Kolonialisasi dan
imperialisasi bangsa Barat atas dunia Timur memunculkan suatu kesadaran
geopolitis yang diterapkan baik ke dalam naskah estetis seperti karya seni
maupun ilmu pengetahuan, seperti ekonomi, sosiologi, sejarah, filologi, dan
ilmu-ilmu yang lain. Bentuk kesadaran geopolitis tersebut kemudian disebut
sebagai orientalisme.
~ Orientalisme dan Wacana Kolonial
Said (2001) membatasi wacana
orientalisme dalam tiga perspektif. Pertama, orientalisme sebagai suatu cara
untuk memahami dunia Timur berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman
manusa Barat Eropa. Timur dalam imajinasi Eropa adalah dunia yang lain (the
others), sebab bagi Eropa, Timur tidak hanya dekat, melainkan juga tempat
koloni-koloni Eropa terbesar, terkaya dan tertua, sumber peradaban dan
bahasa-bahasanya, serta saingan budayanya. Sebagai tambahan, Timur telah
mendefenisikan Barat (Eropa) sebagai imaji, ide, kepribadian, dan perlawanan
yang berkaitan dengannya.
Kedua, orientalisme sebagai suatu
gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang
dibuat antara “Timur” (the orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the
occident). Dengan demikian,pandangan tersebut menjadi titik tolak bagi
novelis, penyair, filosof, teoritikus politik, ekonomi, dan para administrator
negara menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial
dan perhitungan-perhitungan politik mengenai dunia Timur, rakyatnya, adat
kebiasaannya, “pikirannya’nya, atau nasib yang telah ditakdirkan baginya.
Ketiga, orientalisme sebagai sesuatu
yang didefinisikan secara lebih historis dan material daripada kedua arti
sebelumnya. Dengan pijakan dari peristiwa abad ke delapan belas sebagai batasan
yang kasar, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga hukum untuk
berurusan dengan dunia Timur. Artinya, berurusan dengan Timur dengan membuat
pernyataan-pernyataan tentangnya, mendeskripsikannya, dengan mengajarinya,
menjadikannya sebagai tempat pemukiman, dan memerintahnya. Secara sederhana,
Said mengatakan bahwa orientalisme sebagai gaya Barat untuk mendominasi Timur.
Ketiga bentuk penafsiran tersebut
mengisyaratkan dua hal, yakni orientalisme sebagai rekaan Barat untuk membangun
demarkasi dengan Timur, dan kedua, orientalisme sebagai pembenaran Barat untuk
melestarikan dominasi pada dunia-dunia Timur. Barat dengan segala instrumen
hegemoniknya berupaya membangun suatu pencitraan terhadap dunia Timur.
‘Kelainan’ (otherness) dari Timur direproduksi oleh Barat dengan
memproduksi dan menguasai teks-teks yang merupakan pikiran, tingkah laku, dan
segala aktifitas kemanusiaan. Dengan kata lain, teks ditafsirkan sebagai
keseluruhan hasil kebudayaan yang dihasilkan manusia (Kutha Ratna, 2008: 28).
Orientalisme sebagai struktur yang
membedakan Barat dan Timur dalam pandangan Said (2001: 56) pada akhirnya adalah
pandangan politis atau realita yang strukturnya menunjang perbedaan yang akrab
(Eropa, Barat, ‘Kita’) dengan yang asing (Timur, ‘mereka’). Wacana orientalisme
memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang berpengaruh atau
sebagai jaringan berbagai kepentingan dan makna yang bersifat intetektual yang
diimplikasikan dalam berbagai konteks, sosial, politik, dan konstitusional dari
hegemoni kolonial.
Hegemoni kolonial Barat melalui
reproduksi teks-teks yang menegasikan Timur membangun suatu bentuk oposisi
biner dan justru dinikmati Barat sebagai upaya pencerahan di Timur. Para
orientalis Barat menciptakan discourse (diskursus) berupa sistem pengetahuan
tentang Timur dan lalu berkembang menjadi suatu pranata penjajahan (Said, 2001:
126).
Bagi Said (2001: 129) orientalisme
selalu membawa dua sifat; pertama, kesadaran diri ilmiah yang baru ditemukan yang berlandaskan
kepentingan linguistik Timur bagi Eropa, dan kedua, kecenderungan untuk
membagi, membagi lagi, dan membagi kembali pokok permasalahannya tanpa pernah
mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama, tidak
berubah-ubah, dan obyek yang benar-benar khas.
Secara tegas orientalisme menjadi
suatu sistem pengetahuan yang secara terus menerus digali Barat untuk
mengidentifikasi Timur sebagai sesuatu yang berbeda dan berada di bawah Barat.
Lebih lanjut, dalam pandangan Said (2001: 134) bahwa situasi semacam itu di satu pihak
seola-olah menunjukkan ada lumbung yang dinamakan Timur di mana semua sikap
Barat yang otoritatif, anonim dan tradisional terhadap Timur ditumpukkan tanpa
banyak pikir. Sementara di sisi lain, sesuai dengan tradisi tukang dongeng,
orang bisa saja menceritakan pengalaman mengenai Timur atau yang terjadi di
Timur yang dianggap tidak sesuai dengan semua sikap Barat.
Sikap hegemonik Barat atas Timur
sebagai sikap relasional yang tidak hanya terbangun dari represi dan intervensi
melainkan juga penegetahuan sebagaimana dijelaskan sebelumnya telah memperkokoh
imperialisme Eropa atas Timur. Sikap orientalis tersebut menguasai pers dan
pikiran masyarakat untuk membentuk suatu situasi oposisional antarperadaban.
Meskipun Barat tergolong minoritas dalam suatu koloni, Barat tetap mampu
menguasai. Mengenai hal ini, Abdul Malik (dalam Said, 2001: 143) menerangkan
situasi tersebut dengan deskripsi; hegemonisme minoritas yang memiliki” dan
antroposentrisme yang bersekutu dengan Eropasentrisme: seorang Barat kelas
menengah kulit putih yakin bahwa adalah hak preogratif manusiawinya tidak hanya
untuk mengatur dan mengurus dunia non-putih tetapi juga untuk memilikinya,
hanya karena per defenisi ‘nya’ (it) tidaklah menunjukkan sifat yang
betul-betul menusiawi seperti ‘kita’ (we).
Situasi tersebut jelas menunjukkan
supremasi Barat yang menelanjangi sistem sejarah, sosial, politik, dan budaya
Timur. Bagi Barat, Timur hanya penanggap (reactor) yang pasif sementara
Barat adalah aktor (actor) yang aktif. Barat adalah penonton, penilai
dan juri bagi setiap tingkah laku Timur (Said, 2001: 144).
Orientalisme didiagnosis sebagai
wacana yang menciptakan atau mengorientasi Timur untuk tujuan-tujuan konsumsi
imperial. Menurut Said (dalam Gandhi, 2007: xii) bahwa Timur yang muncul dalam
orientalisme adalah sebuah representasi yang dikerangkakan oleh seluruh
rangkaian kekuatan yang membawa Timur dalam pemahaman Barat, kesadaran Barat,
dan kemudian, dalam kekuasaan Barat. Sebagai tambahan, bahwa orientalisme lebih
tertarik untuk memberi perhatian pada pembuatan makna-makna kolonial dan pada
konsolidasi kolonial.
Wacana kolonial dari orientalisme
tersebut didukung oleh sistem tradisi, kekuasaan, dan sistem pengetahuan yang
sengaja diciptakan untuk mendomestifikasi Timur menjadi sesuatu yang lain (otherness).
Konstruksi superior barat sebagaimana disebutkan bersifat hierarkis dan
oposisional yang tidak adil dan menindas karena Eropa dicitrakan sebagai
pelopor peradaban sehingga dibenarkan untuk melakukan kolonialisasi, menguasai
atau menjinakkan yang lain (Budiantara, dalam Noor dan Faruk, 2003). Penjinakan
yang dilakukan oleh Barat terhadap Timur melalui integrasi pencitraan atau
stereotipe adalah upaya penegasan dominasi. Wacana kolonial merupakan konsep
kunci yang dikritik oleh poskolonial. Di Hindia Belanda, integrasi wacana
kolonial dilakukan secara intensif dengan membentuk sosok “inlander”
yang jinak dari sistem dominasi kolonial.
Sumber Rujukan
Kutha Ratna,
Nyoman. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Loomba,
Ania. 1998. Colonialism/Postcolonialism. London and New York: ROUTLEDGE.
Noor,
Rusdian dan Faruk. 2003. Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi Terhadap
Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia Karya PAT. Jurnal Sosiohumanika 16B (2) Edisi
Mei. Fakultas Ilmu Budaya UGM. (Online), (http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail/detail.php?dataId=2097 .,diakses 18 April 2010).
Said, W.
Edward. 2001. Orientalisme. Diterjemahkan oleh Asep Hikmat. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Hubungan Antara Orientalisme dan
Imperialisme”
Kajian Politik:
(Dipresentasikan dalam kajian
reguler SASC (Said Aqil Siradj Center), pada hari Kamis, 1 Oktober 2009)
Abstraksi
Bagaimanapun kajian orientalis
tak memiliki orientasi tunggal. Orientalisme adalah kajian tetang budaya Timur
yang bermula dari misi kristenisasi kemudian berlanjut pada misi imperialisme
hingga akhirnya berakhir pada misi ilmiah, seperti berkembang pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 di universitas-universitas tersohor seperti di Barat.
Makalah saya di bawah ini mencoba
menjelaskan hubungan antara kajian orientalis Barat terhadap praktek penjajahan
Eropa terhadap negara-negara Timur.
Bab I
[Pengaruh Studi Orientalis
Terhadap Imperialisme]
I. Timur Sebagai Basis Kolonialis
Ada dua pembagian Timur yang
telah ditetapkan Eropa dan Amerika di abad
ke-19, pertama, Al-Syarq Al-Adnâ atau Timur Dekat, yang mencakup sebelah
selatan timur Eropa. Kedua Al-Syarq Al-Aqshâ atau Timur Jauh, meliputi India,
selatan timur Asia, Cina dan Jepang.
Namun di awal abad ke-20,
pembagian geografis ini lambat laun mulai tergeser dan mengikis seiring
terjadinya ekspansi wilayah Timur. Akhirnya kedua kubu ini menyatu menjadi satu
kesatuan barisan “Timur Tengah”.
Label Timur Tengah ini tak lain
digencarkan oleh seorang sejarahwan-militer Amerika terkemuka, Alferd Thayer
Mahan, di tahun 1902, yang mencatat bahwa pelabelan ini tak luput dari siasat
politik untuk menguasai kekuatan armada laut dan strategi kekuasaan Timur.
Seperti yang digencarkan dalam penguasaan Hawaii, Cuba, Puerto Rico,
Philippines dan Amerika Tengah.
Lebih lanjut Alferd Thayer Mahan
menguatkan pendapatnya bahwa strategi pembatasan Timur Tengah ini karena Timur Tengah membentang dari Jazirah
Arab hingga Persia, termasuk Afghanistan dan Pakistan.
Beranjak setelah Perang Dunia
kedua, istilah Timur Tengah mulai mendominasi hingga disebut dengan “mideast”.
Istilah ini pun akhirnya tak
hanya populer dikalangan Barat, namun melintasi pada bahasa daerah Timur Tengah
itu sendiri. Sehingga tak sedikit para jurnalis dan protokol-protokol resmi
yang menyebut Arab dengan Al-Âlam Al-Arabî atau Negara Arab. Sebagai sebuah
isyarat pada seluruh negara yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa
nasionalnya, baik yang di Timur Tengah maupun di utara Afrika, dari Irak sampai
Maroko.
Karena itu, nampaklah bahwa Timur
Tengah merupakan istilah baru yang dirancang sendiri oleh Barat untuk
kepentingan politik dan kekuasaan.
II. Dinamika dan Orientasi
Orientalis
Sebenarnya studi peradaban Timur
oleh intelektual Barat menjadi diskursus dan wacana kontroversial berkisar pada
scholarly knowledge of eastern cultures, languages, and people (Pengetahuan
tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Timur).
Kajian orientalis diawali dengan
misi kristenisasi akibat pengaruh misionaris yang mulai bergrilya sejak abad
ke-8 Hijriah.
Sekedar catatan! Rupanya
pengalaman traumatis akibat kekalahan gereja dalam perang Salib menimbulkan
dendam kesumat tersendiri. Maka umat kristiani kemudian bersumpah menekuk
kekuatan Islam.
Cendekiawan Kristen berpikir
keras agar dakwah kristenisasi mengelabuhi pikiran umat Islam. Pemuka gereja
juga mulai mendalami ajaran Islam untuk membentengi akidah umat kristiani dari
pengaruh ajaran Islam, dan berusaha menggali kelemahan umat Islam.
Sayang misi ini tak berlangsung
lama, misi tendensius kristenisasi gereja Latin dan Eropa segera punah seiring
melapuknya doktrin gereja yang bersumber dari fanatisme dan kekuasaan
membabi-buta gereja Roma.
Pada mulanya studi bahasa Timur
sejatinya tak luput dari faktor ideologi kristenisasi, seperti pada Abad
Kegelapan gereja tekun belajar bahasa Arab untuk mengenal Islam meski harus
mereka akui sendiri semuanya demi niat busuk menghancurkan Islam.
Masa Abad Pertengahan, studi
bahasa dan kebudayaan Arab tunduk pada misi misionaris. Sebuah interesting baru
dalam mengkaji Timur ini juga tak lain karena terilhami runtuhnya Granada pada
tahun 1492 dan hanya meninggalkan sekelompok kecil bangsa Moriscos yang
berbahasa Romawi.
Maka seruan untuk mengkaji Timur
lebih digaungkan sebagai pengganti dari semakin pudarnya bahasa Romawi, selain
juga memasukkan studi Timur setelah menyatu kedalam kurikulum bahasa Semit,
sehingga studi Timur pun diupayakan masuk pula di bawah kontrol Vatikan.
Usaha dini ini juga tentunya akan
sangat membantu mereka nantinya, dalam usaha peningkatan strategi politik dan
komersial yang lebih baik dalam menyambut kebudayaan yang universal dan
membantu untuk bisa bergabung bersama studi muslim.
Demi rasa bakhti pada agama, dan
jiwa patriotnya pada Perancis, Guillume Postel (1510-1581) ikut berkontribusi
besar dalam pembelajaran bahasa Bangsa Timur dengan mengumpulkan sejumlah
manuskrip-manuskrip yang bersumber dari Timur.
Murid Postel, Joseph Scaliger
(1540-1609), seorang ensiklopedis terkemuka. Scaliger turut berusaha keras
meningkatkan bobot kajian orientalis di jamanya.
Abad ke-15 adalah awal
kegemilangan Eropa yang mengawali spirit
Renaissence (arti Renaissence adalah:
“lahir kembali”).
Renaissence mampu mereformasi
kejumudan berfikir teologi Kristen menuju kebebasan falsafi hakiki. Abad
Kebangkitan Eropa mengilhami para orientalis mengkaji Islam dan Timur bukan
bermisi kristenisasi, tapi berlajut pada praktik kolonialisasi.
Ada asumsi mengatakan:
“pengetahuan berdampak pada penguasaan”. Atau lebih mendetail hubungan ini
dijelaskan Focault sebagai keterkaitan antara knowledge and power.
Teori ini kemudian dikembangkan
kaum orientalis untuk menguasai wilayah Timur. Artinya, semakin pakar
orientalis mempelajari Timur maka semakin banyak kesempatan untuk menjajah
wilayah Timur. Penjajahan ini yang dipraktekkan imperialis Eropa.
Seperti India yang dijajah
Inggris, Al-Jazaer dijajah Perancis, kemudian Mesir dan Tunis ikut dicaplok
juga. Wilayah Asia Indonesia pun tak ketinggalan. Ibu pertiwi Indonesia dijajah
Belanda sejak pertengahan abad ke-17.
Pada tahun 1587 percetakan
Kardinal Ferdinand de Medici Tuscany mencetak buku-buku Arab di Eropa. Di
antaranya adalah karya-karya filsuf Ibn Sina di bidang kedokteran dan filsafat.
Di penghujung abad ke-17 dan awal
abad ke-18, isu kristenisasi di kajian orientalis tak lagi mendominasi. Bahkan
di abad ke-18, di seluruh Inggris dan Prancis, para orientalis sudah putus
relasi dengan ulama-ulama teologia gereja.
Sejak itu riset akademik
orientalis murni obyektif. Bahkan tak segan-segan di antara mereka jujur
mengakui peradaban Islam.
Periode ini bak masa pencerahan
Eropa dalam bidang sains, karya ilmiah, politik, ideologi, dan perekonomian
yang ditunjangi oleh ilmu pengetahuan ini.
Kemajuan sains ini terus
berkembang dan maju hingga akhirnya tak hanya didasari oleh hasrat misionaris
belaka, namun lebih sebagai kebutuhan bagi mereka sendiri.
Pada Abad ke-17 isu kristinisasi
pun mulai berkurang. Saat itu Eropa sudah bisa berpikir mandiri. Eropa dapat
berpikir sendiri meski tanpa bimbingan gereja.
Seiring dengan bubarnya perang
antaragama, dan seiring dengan kesadaran kaum intelektual untuk ilmiah, kajian
orientalis cenderung bebas dari misi indoktriner Gereja. Faktor yang membentuk
perubahan seperti ini tentunya tak luput dari pengaruh yang rasionalisme .
Sejatinya kemajuan ilmu pengetahuan
di zaman Abad Pertengahan dan yang berlanjut pada masa renaissance adalah
sebuah pukulan berat yang menghantam ideologi kristiani sendiri.
Barat mulai bergeser menuju sisi
obyektifitasnya di abad pertengahan, dikarenakan beberapa faktor: kedekatan
geografis, relasi politik yang erat, peningkatan perekonomian, dan perkembangan
para misionaris yang berkunjung ke Timur, dan bersatunya umat kristiani di
eropa.
Obyektifitas paling besar adalah
karena dipengaruhi oleh nilai studi tentang ajaran moral Islam.
Bangsa Eropa melihat bahwa umat
Islam di Timur sebagai padang daratan luas yang kaya dan makmur, dan peradaban
maju bak sebuah monumen agung mewah yang tak terungkapkan dengan kata.
Zaman renaissance yang identik
dengan ciri kosmopolitanisme dan jati diri yang ensiklopedis dengan segala
ekspresi budayanya, telah mempersilahkan umat muslim Timur untuk mempelajari
hak mereka.
Pada awal abad 20, obyektifitas
kajian orientalis mulai nampak mendominasi.
Para orientalis pun berlomba-lomba melakukan riset professional. Bisa
kita lihat beberapa Sekolah bahasa Timur dibangun demi kepentingan riset ilmiah
seperti di Perancis dan Belanda.
Tak pelak lagi, imperialisme yang
digencarkan Eropa rupanya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
masyarakat dunia.
Imperialisme berhasil menjajah
tak lain berkat dorongan ilmiah orientalis yang mengabdi pada ambisi Eropa
untuk menguras kekayaan Timur.
III. Kenapa Barat Menjajah Timur?
Kolonialisasi adalah contoh
paling signifikan akan bukti tercorengnya harga diri bangsa Timur. Bagaimana
tidak, selama berabad-abad umat Islam berhasil menaklukkan pelbagai belahan
dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur Tengah hingga Asia telah lumat, tunduk di
bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan itu kini kabur ditelan puing-puing
sejarah belaka. Diawali abad ke-19 umat Islam dipaksa tunduk di bawah Adikuasa
kolonial Barat.
Harapan terakhir umat Islam
bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani. Namun ironisnya, tahun 1942
kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang menganti
sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.
Runtuhnya kekhalifahan Turki
Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang Dunia, justru semakin
memperpanas keadaan. Yang akhirnya praktik kolonialisasi Barat terhadap Timur
semakin merajalela. Saudi Arabia berusaha membebaskan diri justru dipatahkan
oleh Turki. Libanon dan Palestina pun dirampas Inggris, Napoleon datang ke
Mesir tahun 1789, Belanda pun mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan
Perancis pun berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, 85%
wilayah Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat.
Pada Abad ke-18 Eropa mulai masuk
menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu pula, negara-negara Eropa
seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling berebut tanah kekuasaan di
negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti India, dan sebelah selatan timur
Asia, termasuk Indonesia.
Abad ke-19, adalah abad di mana
orientalis mencapai puncaknya dalam membentuk kebudayaan Barat.
Orientalis menkaji hampir semua
disiplin ilmu seperti eksotika, ekonomi, histori, dan teks politik. Secara
umum, orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan budaya
dan peradaban Barat.
Di abad ini pula Abraham
Hyacinthe Anquetil dan william Jones telah menangkap khayal imajinatif mengenai
masa “kontemporer” mengenai dunia baru yang eksotis, dari Timur menjadi Barat.
British yang berada di India dan
Napoleon yang sedang menduduki Mesir telah mengenal potensi besar untuk
memanfaatkan orientalis, seperti Jones, untuk membangun imperium mereka.
Berhubungan dengan mutu intelektual para orientalis dengan kepalsuan dominasi
politik.
Meninjau kembali pengalaman buruk
masa lalu, peristiwa dilematis ini kini mengundang pertaanyaan-pertanyaan tak
kunjung usai dari kaum intelektual
Timur, apakah penyebab Barat menjajah Timur? Adakah yang salah dengan Timur
(Islam)?
Ada dua kelompok cendekiawan
Islam yang mencoba menjawabnya dengan jawaban yang saling kontradiktif.
Kelompok pertama lebih menyalahkan pada pihak luar. Adi, kenapa umat Islam
terpuruk, menderita, miskin dan malang, tak lain karena orang-orang Eropa
sengaja ingin menghancurkan umat Islam diseluruh belahan dunia. Alas an ini
tentunya mereka menyudutkan para orientalis yang banyak berpartisipasi aktif
dalam membantu kolonialis Barat dalam penguasaan Timur terutama dalam bidang
politik dan militernya.
Kelompok kedua, lebih memilih
menyalahkan diri sendiri, tubuh umat Islam. Kelompok ini memandang bahwa
keterpurukan umat Islam, miskin dan bodohnya adalah dikarenakan kelalaian dan kemalasan mereka dalam mengkaji
Al-Qur’an. Dan tak mengindahkan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang yang
rupanya telah banyak di adopsi Barat jauh berabad-abad sebelumnya. Kelompok ini
pun menguatkan, sepanjang umat Islam kuat dan bersatu, maka mustahil Eropa
berani menjajah kita. Umat Islam terpuruk, tak lain karena umat Islam sendiri
yang jauh dari ruh-ruh keislaman itu sendiri. Karena tak dipungkiri, Barat pun
mau karena mengadopsi keilmuan-keilmuan Islam. Yang darinya pencerahan
“Enlightenment” Eropa dimulai.
Maka, kelompok kedua ini tak
segan-segan mengajak umat slam untuk belajar pada Barat. Karena, hanya dengan
menguasai ilmu, teknik, dan filsafat modern Barat, maka Umat Islam akan menemui
kejayaanya kembali. Berbeda dengan kelompok pertama yang ‘anti Barat’. Baginya,
cara Islam meraih kembali pencerahannya adalah dengan kembali pada tradisi lama
Islam. Karena mempelajari tradisi ilmu dan filsafat Barat hanya akan
menjerumuskan umat Islam pada system kebaratan yang tak ada sisi warna
keislamannya itu.
Sample yang paling dekat adalah
munculnya paham liberalisme yang merupakan cermin paling transparan dalam
meramaikan modernisme barat. Ada yang berpendapat, liberalisme adalah racun
ganas di era saat ini yang mencoba mengaburkan kajian keislaman dari jati
dirinya. Namun, kelompok kedua berpendapat bahwa liberalisme perlu dipelajari,
di perdalami, dan dipahami secara benar. Jangan sampai trauma searah
kolonialisme terulang lagi.
No comments:
Post a Comment