PERBANDINGAN POSITIF
ANTARA AL-QURAN DAN BIBEL TENTANG MEMUKUL ANAK
A.Mengapa kita perlu
menghukum anak kita ?
Amsal 29:17 : " Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu."
Markus 9: 42 : "Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut."
Dua cara orang tua menyesatkan anak-anak mereka:
1. Dengan memberi contoh yang salah.
2. Dengan membiarkan yang salah dilakukan dan tak memberi hukuman.
Menghukum, bila :
1. kata-kata orang tua tak lagi didengar.
2. Anak mengulangi kesalahan yang sama.
3. Cara lain yang lebih halus tidak berhasil.
"Lebih baik menghukum sebelum terlambat"
“Anak-anak yang sudah diajar apa artinya “jangan” dari sejak lahir,lebih mudah dikendalikan.”
“Orang tua wajib mempunyai pendirian yang teguh untuk membentuk tabiat anak. Dengan tenang dan lemah lembut berkata,ya diatas ya dan tidak diatas tidak.”
“Kebanyakan penghuni penjara didunia ini adalah orang yang tidak memiliki sifat penurut.”
Bagaimanakah cara menghukum anak ?
5 Langkah memberi hukuman pada anak :
1.) Harus diterangkan dahulu kesalahannya dan nyatakan betapa terlukanya orang tua atas perlakuannya.
2.) Bimbing sianak mengerti dan mengakui kesalahannya.Untuk yang remaja, ajak anak berdiskusi. Pastikan anak mengerti dengan jelas mengapa mereka dipukul
3.) Berdoalah bersama-sama karena telah mendukakan hati bapak dan ibu maupun Tuhan.
4.) Rotan atau lidi adalah alat yang dianjurkan untuk digunakan,bagi yang remaja hukuman tekanan psykologis,dianjurkan.
5.Setelah dirotan atau dilidi,peluklah sianak dan jangan tinggalkan.
Kay Kuzuma,Ed.D, mengatakan :
“Jika setelah anda memukul anak,lalu anak membanting pintu,mengata-ngatai,menantang anda dengan
sinar mata kebencian,atau berteriak:”Tidak sakit.”,atau melawan dengan sikap yang lain,maka:
1.Ulangi pukulan dengan tenang/Jangan panik.
2.Lakukan pendisiplinan dengan cara lain.
Jangan biarkan anak mendikte anda dan melawan dengan sikap terbuka.
Amsal 23:13,14 : "Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.
Amsal 29:17 : " Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu."
Markus 9: 42 : "Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut."
Dua cara orang tua menyesatkan anak-anak mereka:
1. Dengan memberi contoh yang salah.
2. Dengan membiarkan yang salah dilakukan dan tak memberi hukuman.
Menghukum, bila :
1. kata-kata orang tua tak lagi didengar.
2. Anak mengulangi kesalahan yang sama.
3. Cara lain yang lebih halus tidak berhasil.
"Lebih baik menghukum sebelum terlambat"
“Anak-anak yang sudah diajar apa artinya “jangan” dari sejak lahir,lebih mudah dikendalikan.”
“Orang tua wajib mempunyai pendirian yang teguh untuk membentuk tabiat anak. Dengan tenang dan lemah lembut berkata,ya diatas ya dan tidak diatas tidak.”
“Kebanyakan penghuni penjara didunia ini adalah orang yang tidak memiliki sifat penurut.”
Bagaimanakah cara menghukum anak ?
5 Langkah memberi hukuman pada anak :
1.) Harus diterangkan dahulu kesalahannya dan nyatakan betapa terlukanya orang tua atas perlakuannya.
2.) Bimbing sianak mengerti dan mengakui kesalahannya.Untuk yang remaja, ajak anak berdiskusi. Pastikan anak mengerti dengan jelas mengapa mereka dipukul
3.) Berdoalah bersama-sama karena telah mendukakan hati bapak dan ibu maupun Tuhan.
4.) Rotan atau lidi adalah alat yang dianjurkan untuk digunakan,bagi yang remaja hukuman tekanan psykologis,dianjurkan.
5.Setelah dirotan atau dilidi,peluklah sianak dan jangan tinggalkan.
Kay Kuzuma,Ed.D, mengatakan :
“Jika setelah anda memukul anak,lalu anak membanting pintu,mengata-ngatai,menantang anda dengan
sinar mata kebencian,atau berteriak:”Tidak sakit.”,atau melawan dengan sikap yang lain,maka:
1.Ulangi pukulan dengan tenang/Jangan panik.
2.Lakukan pendisiplinan dengan cara lain.
Jangan biarkan anak mendikte anda dan melawan dengan sikap terbuka.
Amsal 23:13,14 : "Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.
KATA PENGANTAR
Mulai kulia di S3 UIN, penulis
tertarik mebahas tentang memukul anak
secara benar menurut firman Allah dan
menurut Psikologi moderen. Kedudukan
penulis sebagai pelatih guru-guru dan widyaiswara pendidikan di LPMP Riau,
mengharuskan penulis meneliti tentang hukuman disipli dan sanksi fisik dalam
pendidikan formal. Akhirnya penulis menemukan teori bahwa memukul anak itu
tidak berbahaya, jika caranya benar, sesuai dengan al-Quran dan hadits.
Albertina S.C. | Jumat, 19 April 2013 - 17:29:27 WIB
: 429
(Dok/Telegraph)
(Dok/Telegraph)
Memukuli
anak tidak berbahaya, jika anak-anak merasa dicintai, klaim studi.
NEW YORK – Menjadi ibu dan ayah yang tegas bisa baik
untuk anak-anak. Asal, anak-anak tahu bahwa disiplin yang diterima untuk alasan
yang tepat dan mereka merasa dicintai, menurut studi terhadap para remaja yang
dipublikasikan dalam jurnal Parenting: Science and Practice, baru-baru ini.
Meski begitu, kelompok orang tua beberapa lembaga bereaksi keras terhadap temuan ini. Menurut mereka, disiplin fisik hanya akan menyebabkan penderitaan jangka panjang.
Tim dari Albert Einstein College of Medicine di New York, Amerika Serikat, ini menemukan efek menyakitkan dari disiplin keras—semisal—ancaman lisan atau memukul—terhapus ketika anak merasa dicintai. Hukuman, menurut para peneliti, tidak lantas membuat anak berperilaku antisosial, asalkan anak percaya bahwa hukuman itu memang tepat, mengutip Telegraph, Kamis (18/4).
Para peneliti mempelajari sekelompok remaja Meksiko-Amerika. Dari studi ini, peneliti menemukan bahwa punya ibu yang penuh kasih—atau “persepsi kehangatan ibu—memberi perlindungan terhadap perilaku antisosial. Persepsi itu menghasilkan hubungan yang positif antara disiplin keras dan cara mereka untuk mengajarkan anak mereka mengatasi suatu masalah di kemudian hari.
Dr Miguelina Jerman, penulis utama, menjelaskan "teori lampiran"--yang dapat berfungsi sebagai kerangka teori untuk mempelajari hubungan yang signifikan--menyatakan bahwa tanggapan hangat dari orang tua merupakan faktor penting dalam menciptakan kebahagiaan dan rasa aman anak-anak.
Berpegang pada keyakinan bahwa mereka dicintai oleh orang tua mereka, dapat melindungi para remaja dari perasaan ditolak, bahkan ketika mereka disetrap atau mendapat disiplin keras. Dr German mengatakan disiplin tidak secara otomatis menyebabkan perilaku antisosial.
"Hubungan antara keduanya adalah bersyarat dan tunduk pada faktor-faktor lain," kata Dr German yang menekankan bahwa memberikan batasan-batasan ketat atas para siswa juga menjadi norma dalam budaya Latin. "Selalu ada pengaruh lain yang dapat berperan mengurangi potensi-potensi yang berbahaya bagi anak kecil," kata Dr German.
Namun, memukul anak masih menjadi perdebatan seru dan ditemukan berisiko lebih besar membuat anak agresif, nakal, dan hiperaktif. Temuan ini segera memancing kontroversi dan keprihatian para orang tua soal cara terbaik untuk membesarkan anak-anak.
Di Inggris misalnya, orang tua tidak secara eksplisit dilarang memukul anak-anak mereka. Tetapi, hukum yang berlaku sekarang menunjukkan mencederai anak hingga kulitnya memerah adalah ilegal.
Meski begitu, kelompok orang tua beberapa lembaga bereaksi keras terhadap temuan ini. Menurut mereka, disiplin fisik hanya akan menyebabkan penderitaan jangka panjang.
Tim dari Albert Einstein College of Medicine di New York, Amerika Serikat, ini menemukan efek menyakitkan dari disiplin keras—semisal—ancaman lisan atau memukul—terhapus ketika anak merasa dicintai. Hukuman, menurut para peneliti, tidak lantas membuat anak berperilaku antisosial, asalkan anak percaya bahwa hukuman itu memang tepat, mengutip Telegraph, Kamis (18/4).
Para peneliti mempelajari sekelompok remaja Meksiko-Amerika. Dari studi ini, peneliti menemukan bahwa punya ibu yang penuh kasih—atau “persepsi kehangatan ibu—memberi perlindungan terhadap perilaku antisosial. Persepsi itu menghasilkan hubungan yang positif antara disiplin keras dan cara mereka untuk mengajarkan anak mereka mengatasi suatu masalah di kemudian hari.
Dr Miguelina Jerman, penulis utama, menjelaskan "teori lampiran"--yang dapat berfungsi sebagai kerangka teori untuk mempelajari hubungan yang signifikan--menyatakan bahwa tanggapan hangat dari orang tua merupakan faktor penting dalam menciptakan kebahagiaan dan rasa aman anak-anak.
Berpegang pada keyakinan bahwa mereka dicintai oleh orang tua mereka, dapat melindungi para remaja dari perasaan ditolak, bahkan ketika mereka disetrap atau mendapat disiplin keras. Dr German mengatakan disiplin tidak secara otomatis menyebabkan perilaku antisosial.
"Hubungan antara keduanya adalah bersyarat dan tunduk pada faktor-faktor lain," kata Dr German yang menekankan bahwa memberikan batasan-batasan ketat atas para siswa juga menjadi norma dalam budaya Latin. "Selalu ada pengaruh lain yang dapat berperan mengurangi potensi-potensi yang berbahaya bagi anak kecil," kata Dr German.
Namun, memukul anak masih menjadi perdebatan seru dan ditemukan berisiko lebih besar membuat anak agresif, nakal, dan hiperaktif. Temuan ini segera memancing kontroversi dan keprihatian para orang tua soal cara terbaik untuk membesarkan anak-anak.
Di Inggris misalnya, orang tua tidak secara eksplisit dilarang memukul anak-anak mereka. Tetapi, hukum yang berlaku sekarang menunjukkan mencederai anak hingga kulitnya memerah adalah ilegal.
Jeremy Todd, Kepala Eksekutif Family Lives,
tegas mengatakan tidak
pernah mendukung orang tua memukul anak. Menurut dia, cara terbaik untuk
memberi pelajaran adalah dengan berkomunikasi dengan anak.
Menurut dia, orang tua yang menghubungi lembaganya mengatakan “memukul muncul sebagai reaksi” dan terjadi dalam situasi yang tidak terkendali. “Mereka sering menyatakan penyesalan, itu bukan sesuatu yang membuat perasaan mereka nyaman. Kami tidak mendukung penelitian itu.”
Sebagian pihak berpendapat memukul bukan bentuk hukuman yang efektif dan malah dapat merusak kepercayaan antara anak dan pengasuh mereka. Satu hal yang penting, memukul sama saja mengajari anak untuk memukul juga.
Meski begitu, studi sebelumnya menemukan bahwa anak-anak lebih cenderung tumbuh dewasa dan lebih menyesuaikan diri dengan baik, jika orang tua mengasuh mereka dengan disiplin. Pengasuhan tradisional yang “otoriter” dikombinasikan kehangatan dan kepekaan dengan harapan yang tinggi tentang perilaku akan menghasilkan anak-anak yang lebih “kompoten”, menurut studi yang digelar para peneliti London Institute of Education pada 2009.
Justine Roberts dari Mumsnet Founder berpendapat, “Jelas lebih baik memukul “dengan maksud baik” daripada “dengan maksud buruk.”.
Tapi, para pengguna Mumsnet percaya bahwa lebih baik tidak menggunakan kekerasan terhadap anak-anak.
“Rasanya munafik memberitahu anak-anak agar tidak memukul orang lain, namun melakukan hal yang sama pada mererka,” kata Roberts.
Menurut dia, orang tua yang menghubungi lembaganya mengatakan “memukul muncul sebagai reaksi” dan terjadi dalam situasi yang tidak terkendali. “Mereka sering menyatakan penyesalan, itu bukan sesuatu yang membuat perasaan mereka nyaman. Kami tidak mendukung penelitian itu.”
Sebagian pihak berpendapat memukul bukan bentuk hukuman yang efektif dan malah dapat merusak kepercayaan antara anak dan pengasuh mereka. Satu hal yang penting, memukul sama saja mengajari anak untuk memukul juga.
Meski begitu, studi sebelumnya menemukan bahwa anak-anak lebih cenderung tumbuh dewasa dan lebih menyesuaikan diri dengan baik, jika orang tua mengasuh mereka dengan disiplin. Pengasuhan tradisional yang “otoriter” dikombinasikan kehangatan dan kepekaan dengan harapan yang tinggi tentang perilaku akan menghasilkan anak-anak yang lebih “kompoten”, menurut studi yang digelar para peneliti London Institute of Education pada 2009.
Justine Roberts dari Mumsnet Founder berpendapat, “Jelas lebih baik memukul “dengan maksud baik” daripada “dengan maksud buruk.”.
Tapi, para pengguna Mumsnet percaya bahwa lebih baik tidak menggunakan kekerasan terhadap anak-anak.
“Rasanya munafik memberitahu anak-anak agar tidak memukul orang lain, namun melakukan hal yang sama pada mererka,” kata Roberts.
Sumber : Telegraph
Abdullah Nashih
Ulwan, terj. Jamaludin Miri,
Tarbiyatul Aulad
fil Islam,
Pustaka Amani, Jakarta, 1999, h.326
PENDAHULUAN
Orangtua
disarankan tidak mendidik anak dengan cara kekerasan fisik karena mental dan
fisiknya masih lemah yang bisa berakibat buruk. Anak-anak harus dilindungi
bagaimana pun susahnya dia didik. Jika diberi tahu lewat kata-kata saja tidak
cukup, ada cara yang dibolehkan untuk memukulnya tapi bukan sembarang memukul.
Dalam Children's Act 2004 ada batasan-batasan yang diperjelas bagi orangtua jika ingin memukul anaknya, yaitu tidak boleh menimbulkan bekas atau luka, tidak memukul dengan keras dan tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.
"Orangtua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat," ujar Marjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010).
Bagaimana memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun.
Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orangtuanya.
Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata positif agar anak tahu apa kesalahannya.
Jika tepukan ringan tersebut dilakukan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.
Tapi orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat, karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi agresif.
Sumber :http://health.detik.com
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Resor Jakarta Barat sudah memeriksa para saksi terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya di SMP Islam Terpadu Insan Mubarok. "Sudah diperiksa sembilan saksi. Termasuk Kepala Sekolah," ujar Kepala Satuan Reskrim Polres Jakarta Barat, Ferdi Sambo, Jumat 30 September 2011.
Ferdi mengatakan, proses penyelidikan masih terus dilakukan dan rencananya giliran Kholil, guru yang diduga melakukan pemukulan, akan dipanggil pekan depan. Seperti diberitakan sebelumnya, Kholil diadukan oleh orang tua AS, siswa Kelas IX sekolah itu, karena melakukan pemukulan.
Insiden yang terjadi pada Kamis 22 September lalu di asrama SMPIT Al Mubarok tersebut telah melukai AS di bagian pelipis. Siswa itu bahkan disebutkan orang tuanya sempat pingsan.
Kholil sendiri membantah telah melakukan pemukulan. Menurut dia, itu merupakan kecelakaan karena Kholil tidak berniat melukai AS.
Pihak sekolah sempat menskors AS dari kegiatan belajar mengajar. Namun keputusan itu direvisinya kembali kemarin setelah menuai kritik.
Dalam Children's Act 2004 ada batasan-batasan yang diperjelas bagi orangtua jika ingin memukul anaknya, yaitu tidak boleh menimbulkan bekas atau luka, tidak memukul dengan keras dan tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.
"Orangtua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat," ujar Marjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010).
Bagaimana memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun.
Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orangtuanya.
Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata positif agar anak tahu apa kesalahannya.
Jika tepukan ringan tersebut dilakukan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.
Tapi orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat, karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi agresif.
Sumber :http://health.detik.com
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Resor Jakarta Barat sudah memeriksa para saksi terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya di SMP Islam Terpadu Insan Mubarok. "Sudah diperiksa sembilan saksi. Termasuk Kepala Sekolah," ujar Kepala Satuan Reskrim Polres Jakarta Barat, Ferdi Sambo, Jumat 30 September 2011.
Ferdi mengatakan, proses penyelidikan masih terus dilakukan dan rencananya giliran Kholil, guru yang diduga melakukan pemukulan, akan dipanggil pekan depan. Seperti diberitakan sebelumnya, Kholil diadukan oleh orang tua AS, siswa Kelas IX sekolah itu, karena melakukan pemukulan.
Insiden yang terjadi pada Kamis 22 September lalu di asrama SMPIT Al Mubarok tersebut telah melukai AS di bagian pelipis. Siswa itu bahkan disebutkan orang tuanya sempat pingsan.
Kholil sendiri membantah telah melakukan pemukulan. Menurut dia, itu merupakan kecelakaan karena Kholil tidak berniat melukai AS.
Pihak sekolah sempat menskors AS dari kegiatan belajar mengajar. Namun keputusan itu direvisinya kembali kemarin setelah menuai kritik.
BAB I
KRITIK TOTAL UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
DI INDONESIA( UU.RI NOMOR 23 TAHUN 2002
A.Ruang lingkup perlindungan anak Indonesia
Kritik pertama dari sejarah lahirnya
Undang-Undang Perlindungan Anak, berawal dari salah satu bentuk keseriusan
pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan
Undang-Undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun
ketika itu, kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU
Perlindungan Anak, dibahas pemerintah dan DPR, pertengahan tahun 2001. Pasal-pasal serta ayat
yang memenuhi undang-undang ini terbaca bahwa bangsa ini bertekat untuk melindungi anak-anak. Hukuman
fisik bagi anak-anak, meliputi dilema sanksi hukuman fisik,[1]
yang kemudian dilarang oleh UU RI No.23
tahun 2002. Sedangkan hukum Islam membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu. Kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor.
23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas
menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan hukuman fisik, kepada anak-anak.” [2] Lebih-lebih lagi Indonesia
merupakan salah satu negara anggota penandatanganan dari
konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan
negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau
kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan
atau hukuman sebagai
berikut:
1. Penghapusan
sansksi hukuman
fisik.
Russel
menambahkan, "Hukuman
fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada
gunanya,[3] dalam
pendidikan. Hukuman seperti itu baru fektif kalau bisa menyadarkan si anak.
Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera.
2.Pro
kontra sanksi hukuman fisik.
Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri. Hal yang diharapkan, anak-anak menyadari kekeliruannya
melalui sanksi hukuman itu, lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi
orang lain dan karena ia ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha
menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan
bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan
demikian, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan
kadar dan waktu yang tepat.
Argumen lain yang disodorkan oleh
kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan
rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus
mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan
perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental
budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Tentunya hukuman itu harus
ringan dan mengena kepada sasaran.[4]
3.Batasan perlindungan pada hukuman fisik
Ruang lingkup dan batasan, kewenangan negara
dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.[5]
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[6]
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.[5]
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[6]
2. Jaminan pelaksanaan perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu
peraturan yang tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau perda, yang
perumusannya sederhana teapi dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan
secara merata dalam masyarakat.
Kemudian pengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
Indonesia.[7]
Adapun hak dan kewajiban orang tua, menurut UU No 1 Tahun 1974.
1.Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakla sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan 5. orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum,6 orang tua tidak boleh memindahkan hak /menggadaikan benda yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap Anak; 2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.
4.Pengasuhan dan pengangkatan anak
serta perwalian.
5.Perlindungan
Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.[8]
Perlindungan anak dalam perkara pidana, dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya.[9] Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana, dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya.[9] Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
Anak-anak menjadi korban yang kekerasan dalam rumah tangga, berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di sekolah atau dalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah[10] dan dalam Rumah Tangga dan :
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan e. Pelayanan bimbingan rohani
B. Urgensi
Undang-Undang
Nomor
23 Tahun 2002
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini
menyatakan:
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.[11] UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”pasal [12] Dan pada pasal 24 yang menyatakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, [13] baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan[14] dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul)[15] dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini. Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,[16] atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Komisi Nasional Perlindungan Anak,
menyatakan bahwa, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 500 kasus, pada
2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus. Sebanyak 68 persen
kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak
dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup lengkap
aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang No.
4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang terakhir,
anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi dan kekerasan.[17] Jagankan
penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak orang lain sehingga
menjadi sakit atau menderita pun bisa di penjara lima tahun. Hanya prakteknya tidak gampang
memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Anak
yang jadi korban penganiayaan atau kekerasan seksual biasanya belum mampu atau
tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak kasus yang baru terungkap
setelah anak tewas. Perlakuan
salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari dalam
keluarga dan berasal dari luar lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga, berupa :
1. Dalam keluarga, berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.[18]
b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Di luar keluarga, berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak. Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber, hanya di madarasah dan di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[19] karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[20] ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C.
Signifikansi UU Perlindungan Anak.
UU Perlindungan Anak
pada Pasal 81 ayat 2 UU Nomor 23 tahun 2002 bahwa Anak adalah seseorang yang
belum
berusia 18 ( delapan belas ) tahun
dikategorikan masih kanak-anak, juga termasuk anak yang masih di dalam
kandungan. Apabila
seseorang belum berumur 18
tahun, tiba-tiba melangsungkan pernikahan, tegas di katakan pernikahan anak di bawah umur.
1.Anak
berada di pihak yang lemah
Hukuman Fisik dan
pernikahan dini, merupakan pemangkasan
kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh,
berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama.[21] Jika anak tersebut, dipukul, bisa dikatakan melakukan kekerasan[22] dan
dikriminalisasi[23]
terhadap anak-anak seperti yang dinyatakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002. Bagi orang tua, ada berkewajiban ntuk mencegah adanya perkawinan
pada usia muda.
2.Anak
dalam keadaan keterpaksaan
Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak. [24] Sering terjadi pernikahan di bawah umur karena adanya unsur paksaan di kalangan masyarakat. Selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. Sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh Syekh puji ini seharusnya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda Rp.60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belum
cukup umur. pada kasus Syekh puji ini seharus nya Ulfa di kembalikan kepada
orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam pernikahan di
bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara agar mendapat
pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau masih berada di
tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh Syekh Puji. Timbul
pertanyaaan , antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan di saat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada Syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang
dilakukan oleh orang tua dan guru kepada ,menunjukkan hukuman yang
kejam.Fenomena kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah
saatnya ditiadakan, karena hukumankadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi
justru sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu
membuktikan kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di
kelas, tapi guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari
mall, ‘play station’, televisi, dan
lingkungan sekitar,” ujarnya. Karena
itu, seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi,
karena hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru, sementara di luar
bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa.
Belajar itu memang perlu kerja
keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang
menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan menjadi pendidik yang
menyenangkan pula. Menurut dari data – data yang saya lihat yakni bangkitnya
minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa,
terciptanya makna, munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan
munculnya atau didapatkannya nilai kebahagiaan.[25]Tindak kekerasan guru
terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman video singkat yang
berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK Negeri Gorontalo
merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap siswa yang
semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat mengendalikan
diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang
bersangkutan.
Pada dasarnya orang tua dan guru
menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan
hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai
tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang
dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa. [26] Akan tetapi,
anak-anak penting untuk dilindungi.
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah. Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh parasiswa.[27]
Disiplin di sini diartikan
ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum disiplin
diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar realistik
menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang mutunya
rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah. Jawabanya
mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak mudah
diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam hal ini
kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu apa yang
harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya terkesan
menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas atau
yang lain. Ketidaktepatan dalam hal guru masuk
kelas sehingga jeda waktu pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk
melakukan tindakan indisipliner.[28]
Komitmen guru dalam hal ini kadang sering menjadi penyebabnya. Dalam manajemen
sekolah, biasanya pengawasan banyak yang tidak bisa berjalan dengan baik,
lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit
majunya.[29] Tapi
ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga… di antaranya ialah :
1.Agar sekolah menjadi tertib 2.Agar dapat mengikuti proses KBM
(kegiatan belajar mengajar) dengan nyaman dan tenang. 3.Melatih murid untuk tepat waktu 4.Melatih murid disiplin 5.Melatih murid untuk mandiri 6.Melatih murid menaati peraturan di masyarakat kelak, dan melatih respon mereka dalam menyikapi sebuah peraturan.[30]
Menurut Clemes ,2001, 47, ada beberapa pertanda yang
menunjukkan bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk
diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan:
1.Anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk, dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri, pasti membutuhkan penghargaan. 2.Anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan, mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan. 3.Anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian, perlu diberikan penghargaan, jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain. 4.Anak yang merasa kecewa, karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil. 5.Anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif, atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.[31]
Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis.”
1. Peraturan
otoritarian
Dalam peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat
dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan disiplin sekolah ini, diminta
mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu.
Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi[32]
atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang
mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak
perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu
berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari
luar diri seseorang.
2. Peraturan
permisif
Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut
keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan
bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat
seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku,
tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan
dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena
yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif
serta liar tanpa kendali.
3. Pendekatan yang demokratis
Pendekatan peraturan demokratis
dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak
memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini
menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat
diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman
dimaksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Dalam disiplin
sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa
patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti peraturan yang ada
bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada
manfaat.
Sanksi adalah hukuman yang diberikan
kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang melanggar tata tertib atau
kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah, yang secara eksplisit berbentuk
larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas 2001:10, “Sanksi yang diterapkan
agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan
trauma psikologis.” Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang paling
ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa:
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
Pemberian hukuman tidak ada bedanya
dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan
merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya,
pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman,[33] termasuk respons negatif. Akan
tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku
seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik
akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa
mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang
memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan
mengurangi frekuensi negatifnya.
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.[34]
Apa
kegunaan peraturan yang dicanangkan oleh banyak sekolah ? Banyak anak –
anak yang tidak setuju dengan masalah tersebut. Dan hanya segelintir orang yang
merasa menyukai tata tertib. Tentu peraturan dibuat bukan untuk dilanggar.
Tetapi, sebagian siswa merasa harus mengubah aturan yang dianggap kurang bermutu itu. Tak semua siswa
berambut gondrong itu, nakal, karena
rambut tak mempengaruhi akal pikiran. Meskipun ia botak kalau memang nakal
tetap nakal, meskipun rambutnya panjang tapi kalau asalnya pintar akan pintar juga.[35] Mereka yang kurang percaya diri,
akan rambutnya akan malas turun ke sekolah karena malu dengan rambutnya yang
tidak cocok apabila dicukur pendek, atau
mereka akan belajar bolos. Bolos itu tak hanya disebabkan oleh faktor
malas tetapi juga malu. Itu semua akibat
aturan. Begitupun dengan seragam yang hanya menjadi logo/formalitas
belaka. Siswa yang ingin sekolah diharuskan memakai seragam lengkap dengan
atributnya.[36]
Bahkan sebagian menganggap ini merupakan bentuk kekerasan fisik ataupun mental dan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak-anak mereka. Tanggapan dan reaksi dari orangtua seperti ini sebenarnya wajar saja, sebab setiap orangtua pasti tidak mau menerima anak-anak mereka yang dianggap nakal atau tidak disiplin. Sebenarnya hukuman bukan berarti kekerasan, terlebih jika diberikan secara tepat dan edukatif. Namun semua itu dikembalikan kepada guru yang memberlakukan hukuman tersebut. Hukuman bisa saja berubah menjadi suatu kekerasan baik kekerasan fisik maupun psikologis jika guru yang membuat hukuman tersebut tidak mengetahui tujuan dan fungsi diberikannya hukuman kepada murid atau tidak bisa menggunakan hukuman tersebut secara tepat. Bahkan bisa saja pemberian hukuman tersebut dapat menimbulkan rasa dendam ataupun trauma dari murid akibat tidak bisa menerima hukuman yang diberikan oleh gurunya, selain itu dapat juga menurunkan rasa percaya diri murid bahkan dapat melemahkan hubungan guru dengan murid.
Orangtua sebaiknya memang diberi
tahu bahwa anaknya dihukum di sekolah, namun tentunya guru harus bisa
menjelaskan penyebab murid tersebut mendapat hukuman agar orangtua juga bisa
menerima konsekuensi atau resiko yang diterima oleh anaknya, dengan demikian
tidak akan terjadi salah paham antara orangtua dengan guru. Akan lebih baik
jika sebelumnya ada kesepakatan yang sudah dibuat secara tertulis antara guru
dengan murid.Bahkan juga dengan orangtua tentang bentuk konsekuensi positif dan
negatif yang akan diberikan kepada murid dalam rangka penerapan disiplin di
kelas maupun di sekolah, sehingga jika terjadi suatu pelanggaran yang membuat
seorang murid harus menerima konsekuensi berupa hukuman di sekolah / kelas maka
orangtua mengetahuinya dan bisa menerima konsekuensi yang diterima anaknya
sebagai suatu pembelajaran.
Idealnya jika hukuman tersebut
diberikan secara tepat. Artinya tepat dalam porsinya, tepat dalam waktu
pemberiannya, tepat dalam penggunaannya, dan tepat dalam bentuk hukumannya
serta ada follow up atau pembahasan
dari hukuman yang diberikan, maka akan memberikan efek sadar dan jera bagi
murid yang mengalaminya, dengan harapan tidak akan mengulangi kesalahan atau
pelanggaran yang sama dan lebih bertanggung jawab atas perilakunya. Maka hukuman tersebut menjadi
efektif. Namun sebaliknya, jika hukuman diberikan dalam porsi yang tidak sesuai
dengan kesalahan yang dilakukan, waktu pemberiannya tidak segera serta bentuk
hukumannya tidak ada nilai edukasinya dan tidak ada tindak lanjutnya, maka
hukuman tersebut tidak akan efektif dan tentunya tidak bisa memberikan efek
jera dan tidak membuat murid menyadari kesalahannya, bahkan hukuman tersebut
justru akan menjadi penguat bagi perilaku buruk murid, terlebih jika guru
mengabaikan perilaku positif yang coba ditunjukkan oleh murid.
Hukuman dalam konteks “mengajari siswa yang melakukan
delinkuensi,[37]
seharusnya diperbaiki lagi. Dalam hal edukasi yang tepat dan tindak lanjutnya
kepada siswa setelah hukuman itu diberikan kepada siswa tersebut. Tetapi kalau
hukuman dalam konteksnya “membunuh siswa” sebaiknya itu dihilangkan saja. Para
orang tua juga sebaiknya memberikan andil yang besar untuk perkembangan anaknya
pula. Dengan pengawasan dan perhatian dari para orang tua, para siswa pun /
anak – anak akan terhindar pula dari
“hukuman. Ditulis dalam PIKA | Bertanda: hukuman siswa seharusnya, kedisiplinan siswa sekarang, peraturan disiplin hukuman, peraturan sekolah sekarang, seharusnya pelanggaran siswa, tindak lanjut hukuman.
Tak seorangpun
menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang
sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya
masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak
anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut
merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara
fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi
di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul
anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah
yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya
terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54
secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang
untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak.
Kritik penulis terhadap UU ini ialah,[38]
mengapa tidak dibuat pengualian di dunia
pendidikan, karena di dunia pendidikan ada hukuman pemukulan murid ,tapi tidak
mengandung kekerasan. Walaupun Indonesia merupakan salah satu
penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel
37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa:
”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan
atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut
belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan
penelitian Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtida’iyah di propinsi Riau ditemukan
bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan
kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami
hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.[39] Ibarat gunung es, kasus kekerasan, sering muncul di
permukaan. Masih banyak tindak kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak.[40]
Demikian rapuhnya kenyamanan anak-anak di dunia
pendidikan, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap para
pelajar, para remaja, bahkan
Balita, terus
meningkat. Karena itu
perlu diperhatikan dan dianalisis
kembali tentang:
1.Hak Anak
dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) Pasal
1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan
hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat
dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan
keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya;
dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas
dasar kelayakan.
Dalam Pasal 2
Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya diarahkan untuk
mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan
terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong saling
pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa memandang
perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk
memelihara perdamaian.[41]
Dalam upaya
global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai, standar dan prinsip
yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all Form of Discrimination
Against Women, CEDAW),[42]Descrimination Based on Religion or Belief).[43]
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang
Pendidikan untuk semua (Education for
all).
Secara khusus
dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam menyelenggarakan pendidikan yang
dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination
(non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan
terbaik bagi anak), the right to life,
survival and development (hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan), dan respect for the
views of the child (penghargaan terhadap pendapat anak). Pertama, Non-discrimination.Yang
dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas
dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis
kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam
status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki
kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak,[44]
antara lain:
1.
Prinsip
kepentingan
terbaik
bagi anak.
The Best Interests of The Child. Yang
dimaksud dengan prinsip kepentingan
terbaik
bagi anak, adalah dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan
sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan
yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama.
2.
Prinsip
hak hidup .
The Right to Life, Survival and Development.Yang
dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah
hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[45]Karena
itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi
kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat
1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang
melekat atas kehidupan (inherent
right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara
maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.
3.
Penghargaan
terhadap pendapat anak.
Respect for The Views of The Child. Yang
dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas
hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Kemudian pembelajaran berbasis pemenuhan hak anak ialah:
a.
Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang
kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Oleh karenanya,
suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses pembelajaran dan latihan
dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi nilai dan sikap menjadi
efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera diatasi agar tidak
merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa lingkungan
sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama psikologis yang mempengaruhi
belajar akademis. Di samping itu, guru akan mencapai hasil lebih tinggi jika
mereka mampu menyingkirkan segala amcam ancaman, melibatkan emosi siswa dan
membangun hubungan yang humanistik. Bobbi dePorter menyarankan
terpenuhinya enam suasana agar dapat membangkitkan minat, motivasi, dan
keriangan anak mengikuti proses belajar:
Pertama,
menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya amat
berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-mengajar, baik
guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam
dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka mentalitas
guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi
keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu
percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri
sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar
tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk
menumbuhkan kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara
siswa. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh, seperti memperlakukan siswa sebagai manusia
sederajat,[46]
mengetahui
apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka mengenai hal-hal
yang terjadi dalam kehidupan mereka. Membayangkan apa yang siswa lakukan, antara lain:
Pertama, mengetahui hal yang
menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-benar mereka inginkan.
Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan siswa, maka sebaiknya
ditanyakan kepada siswa.
Kedua, hindari sejauh mungkin
sikap sok tahu. Berbicara
dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan
dengan jelas dan halus. Melakukan
kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat
siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan dapat mengubah sikap negatif.
Belajar dalam iklim menyenangkan, tanpa ada paksaan dan tekanan, akan
menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban atas persoalan yang
dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan siswa belajar
dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat dilakukan dengan membiasakan
membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan, berteriakan ‘hore’ menghentikkan
jari, menulis poter, membuat catatan pribadi, membuat kejutan, pengakuan atas
prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal terpenting dar langkah ini adalah
menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau.[47]
b.
Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh
kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling menghargai, empati
terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya. Emosi positif ini
umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi sosialnya, seperti
keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat. Pendidikan
keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di sekolah.
Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara sinergis,
saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari keluarga yang
suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan kejujuran, rasa
tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain. Menyebabkan anak
atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut. Kualitas emosional
yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan formal di sekolah yang
disiplin.[48]
Pendidikan
berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses
internalisasi nilai positif bukanlah pengetahuan tentangnya, seperti
memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep toleransi, atau menjelaskan apa
itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan tentangnya. Proses internalisasi
nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan strategi belajar
dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi
positif berguna bagi pembentukan watak (character
building)[49]
Berikut ini akan diuraikan beberapa
kualitas emosi positif dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi
positif tersebut maka yang berkembang kemudian adalah karakter negatif. Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia
seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya
ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi,
seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya
mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia
lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi
kealpaannya, misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada
kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum
secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya
seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian,
tugas adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk
mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan, namun tetap ada sanksi.[50]
Jika cara
kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi karena tidak mengerjakan PR, maka
suatu saat apabila santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia bisa berbohong,
mencari alasan lain sehingga sang guru tidak memberi hukuman. Jika alasan
berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia harus
mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut akan mencari jalan untuk
menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum. Bila santi pamit kepada
orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain kerumah temannya akan
dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan mengatakan keluar rumah untuk
belajar bersama dengan temannya.[51]
Akibatnya, watak bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya
sudah tidak menghormati terhadap kejujurannya.
Perlakuan hukum-menghukum ini
akan dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan
bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya
melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh
cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
Apakah ini
berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu tidak demikian
maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling akhir, setelah
proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan
skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang dilakukan tergolong
berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Jika demikian
halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara hukuman untuk
menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam karakter negatif.
Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan semata-mata bersifat
fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian. Lagi pula tidak
semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.(Corporate punishmen.)[52]
Kedua, bersikap toleran, tidak memaksakan
untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah diucapkan tetapi sulit
untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau membiarkan suatu perbuatan,
sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan perbuatan, sikap atau
pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara diametral sekalipun. Dalam
bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa
selira, yakni menjaga perasaan orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku
mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa seseorang
perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang lain sebagai hal yang
berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang tersebut. Dengan kesadaran
toleransi atau tepa selira
tadi, bila suatu saat nanti terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win
solution akan lebih mudah dicapai, karena masing-masing pihak dapat
memahami perbuatan, sikap atau pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah
menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya.
Jadi, toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap saling mengerti dan
toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi menyadari arti
perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu menjadi
bentuk-bentuk kekerasan.[53]
Menghargai
perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang lain di tengah kehidupan
kita secara kolektif, learning to live together. Sekedar contoh, salah
satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para siswa yang berasal dari
85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa, budaya, ras dan
lain-lain. Contoh lainnya, International
Islamic University Malaysia yang
berdiri sejak 1983 setelah gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan
oleh beberapa negara Islam. Universitas ini menerima perwakilan dari 32 negara
dan 30% di antaranya berasal dari luar negeri.
Dalam proses
belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan melalui berbagai metode
pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah mengajarnya, memberi waktu luang
untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya jawab untuk bertanya, membahas, usul,
mengkritik atau bahkan menolak pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu
dliakukan secara rasional dengan menghargai perbedaan pendapat di antara
peserta didik, maka dengan demikian Pak Fuad telah berupaya menanamkan sikap
toleransi di antara para muridnya.[54]
Lebih dari sekedar pengetahuan tentang apa itu
toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana cara bertoleransi, memberi teladan
melalui metode mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi.
Bila setiap kali guru atau
dosen melakukan demikian, bila semua guru dan sekolah bersikap demikian, toleransi
menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture of peace) akan mudah dicapai. Hasil pengujian terhadap lebih dari
7000 orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat
empati antara lain adalah orang menjadi lebih stabil secara emosional, lebih
populer, lebih ramah dan lebih berhasil dalam percintaan.[55]
Menurut Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk
pesona, sukses sosial bahkan kharisma.
Di tengah
pertengkaran yang sengit sekalipun, misalnya, guru tahu pasti kapan harus
bertahan dan kapan harus menyerah karena guru menyadari perasaan Anda dan
perasaan orang lain tentang hal yang dipertengkarkan.[56]Empati
berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan untuk ikut merasakan
segala sesuatu yang dirasakan orang lain karena kesamaan cita-cita,
penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu.
Empati tidak harus terjadi akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang
lain, atau didahului dengan saling kenal. Lawan dari simpati adalah antipati,
yakni perasaan ketidaksenangan terhadap orang lain yang dapat berujud
kebencian. Padahal kebencian memicu permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan.
Untuk mencegah kekerasan, yang perlu dibangun adalah sikap empati, dan bukan
antipati.[57]
Pada dasarnya
tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk mencapai keberhasilan. Orang yang over-pessimistic
bila berhasil meraih sesuatu, besar kemungkinan ia akan berlebihan dalam
merayakan keberhasilannya. Sebaliknya orang yang over-optimistic, bila berhasil terhadap sesuatu, akan bersikap biasa-biasa
saja. Tatkala orang yang sama-sama berhasil, berkumpul di satu tempat untuk
merayakan kesuksesannya, maka luapan emosi kegembiraannya sulit dibendung.
Peristiwa kelulusan adalah hal lumrah dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila
orang yang overjoy tersebut berkumpul dan menimbulkan gerakan massal,
dan ada faktor pemicu, maka perilaku ini dapat berpotensi menggerakkan massa
tersebut mengarah kepada perilaku kekerasan kolektif.
Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling
kasih dan cinta antar sesama, tidak peduli apakah ia berkulit hitam atau putih,
kaya atau miskin, penduduk atau pendatang, warga negara lokal atau asing.
Dengan sentuhan bahasa cinta antar sesama, semuanya bisa duduk bersebelahan
dalam satu ruang kelas. Dalam hal ini, guru tidak sekedar mengajar namun juga
sebagai orang tua kedua ketika anak-anak berada di sekolah. Begitu pula orang
tua di rumah, menjadi guru yang kedua bagi putra-putrinya. Yang berlangsung
kemudian adalah sentuhan cinta dibarengi dengan semangat mendidik, atau mendidik
dilakukan dengan penuh kasih sayang, mengurangi tindakan dilenkuensi.[58]
Pendidikan damai
menumbuhkan cinta pada sesama, cinta lingkungan, dan cinta alam semesta. Cinta
pada sesama menghindarkan konflik dan permusuhan, mencegah kekerasan dan
perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap melestarikan dan merawat lingkungan
agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam semesta menjadikan anak tidak
merusak alam bahkan menjaganya dari kepunahan. Itulah sebabnya pendidikan damai
memberikan materi kesadaran pribadi, toleransi, kepedulian dengan sesama dan
cinta ini untuk memupuk budaya damai, anti kekerasan dalam berperilaku anak-anak.[59]
Keenam, bersikap adil. Ketidakadilan merupakan bentuk
kekerasan institusional (intitutional
violence), seperti halnya kemiskinan, rasialis, pelecehan seksual,
serta bentuk repressive
lainnya. Kekerasan institusional muncul sebagai akibat kebijakan pihak-pihak
tertentu (biasanya lembaga yang berwenang) dalam memutuskan perkara. Kebijakan
tidak adil yang dirasakan oleh seorang korban dapat diluapkan dengan kekesalan,
kekecewaan atau ketidakpuasan.
Bila ketidakadilan dirasakan oleh banyak
orang, hal ini akan memicu gerakan massa untuk menuntut keadilan, seperti unjuk
rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk rasa buruh pabrik menuntut kenaikan
gaju atau tunjangan, protes mahasiswa menolak kenaikan biaya kuliah, atau akasi
demonstrasi para aktivis penentang perang, bermula dari kebijakan yang kurang
transparan dan kurang adil ini. Aksi massal menuntut keadilan atas kebijakan
tertentu sewaktu-waktu bisa berubah menjadi overt violence atau
kekerasan terbuka bila ada faktor pemicu yang mendorong massa menjadi bringas
dan anarki. Misalnya suara tembakan atau pukulan yang mengenai salah satu
peserta aksi. Hal ini dapat memanaskan situasi dan menggiring massa pada
kekerasan kolektif.[60]
Mencegah
kekerasan kolektif bukanlah hal mudah mengingat pihak yang bertikai belum tentu
sepakat dengan tuntutan yang diajukan. Pengusaha yang memiliki pabrik tidak
serta merta menerima tuntutan pegawainya untuk kenaikan gaji karena alasan yang
masuk akal. Demikian pula pihak rektorat bisa bertahan tetap menaikkan biaya
kuliah mahasiswa dengan alasan yang profesionalitas. Begitu pula dengan
kebijakan pemerintah untuk perang melawan para teroris atau separatis,
dilakukan demi rust andorder
atau mencegah kerusuhan dan menjaga ketertiban. Dalm hal ini, yang perlu
dilakukan adalah barganing position
antara kedua belah pihak, sehingga keputusan yang diambil merupakan kompromi
kedua belah pihak yang dapat mencegah aksi-aksi kekerasan.[61]
Ketidakadilan
sebagai kekerasan institusional dapat mengakibatkan munculnya kekerasan
tandingan (counter-violence),
seperti aksi teror, sabotase, mogok massal, bahkan tindakan anarkis lainnya.
Kebijakan yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan (violenceas potensial).
Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan
demi kekerasan. Di sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian
mensyaratkan kebijakan yang adil.
Demokratisasi hukuman
disiplin intinya adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan
musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term politik.
Perlawanan terhadap kolonialisme, misalnya merupakan perjuangan mewujudkan
demokrasi. Demos artinya
rakyat, sedang kratos berarti
kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, kedaulatan rakyat atau,
dalam term politik berarti pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Bentuk pemerintahan demokratis tercermin dari proses pemerintahannya
yang dilakukan melalui pemilihan umum dengan karakter demokrasi, yaitu kebebasan, persamaan
hak, keadilan, musyawarah, dan tanggungjawab.
[1]
Lihat Kusuma, W. Mulyanah, Hukum dan Hak-hak Anak, (Jakarta, CV. Rajawali, 1986),254 Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak,
berawal dari salah satu bentuk keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak
Anak (KHA) tahun 1990. Terdiri dari 14 bab dan 93 pasal. Disahkan di Jakarta,
tanggal 22 Oktober 2002. Dari keseluruhan pasal yang tersedia menarik untuk
menelaah pasal 2 dan 3 undang-undang ini mengingat kedua pasal tersebut
membicarakan asas dan tujuan. Dua buah pasal yang sesungguhnya menjadi jiwa
dari pasal-pasal lain. Karena kedua pasal ini sangat membantu untuk memahami
keseluruhan pasal-pasal lain dalam undang-undang dimaksud.
[2] Amiruddin dan Zainal Azikin.
2004. Pengantar Metode Penelitian
Hukum.
Jakarta: Rajawali Press..Lihat Andreas Kapardis.1999. Psikologi dan Hukum (Psychology
And Law).
Diterjemahkan oleh Achmad Ali. Makassar: FH Unhas. Anom Surya Putra. 2003. Teori Hukum Kritis. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.. Lihat juga Anthon Freddy Susanto. 2005. Semiotika Hukum. Bandung: Refika Aditama. Antonio Cessie. 2005. Hak Asasi Manusia Di Dunia yang
Berubah (Human Rights In A Changing Word). Diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia..Berhubungan dengan Aristoteles.
2007. Politik
(La Politica). Diterjemahkan oleh Syamsur Irawan. Bandung: Visi Media. Lihat Atkinson,
Rita L., et.al. 1983. pengantar
psikologi. terj. Nurdjannah Taufiq. Jakarta: Erlangga. Lihat juga Bambang Mulyono. 1984. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penaggulangannya. Yogyakarta: Kanisius.Lihat Bambang
Sunggono. 2006. Metodologi
Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press.. Lihat juga Jean Soto menyatakan"Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, berakar dari hukuman-hukuman
dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka.
Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat
manusia ini bisa sirna." Tetapi
argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim
dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita
terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orang tuanya, akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman
tersebut dan bukan hukuman itu. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber
penderitaan umat manusia. Lihat juga Khalid Bin Ali Al-Musyaiqih, Op.Cit.,121
[3]Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice , Refki Aditama,
Bandung, 2009, hlm. 34-35. Bandingkan Lilik Mulyadi, 2005. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Cipta Aditya
Bakti. Hal. 16-17. Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum
Pidana Anak. Bandung, PT. Refika Aditama. hal. 17. Berkaitan dengan Anna
Volz, Advocacy Strategies Training
Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice,
Defence for Children International, 2009. Dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Anak
yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional, Internet, hal 1. Diakses pada 19 September 2012. Lihat juga Joan Durant yang
merupakan kepala peneliti dan rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of
Eastern Ontario di Ottawa, mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi
agresif dan anti sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan
gangguan pertumbuhan. Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman
fisik akan mengurangi materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen
atau IQ. "Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan
mengakibatkan sikap agresif pada anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami
banyak kesulitan, misalnya saja depresi dan penggunaan narkoba," ujar
Durant. "Tidak ada penelitian yang menunjukkan hasil positif jangka panjang
dari hukuman fisik," diterapkan di
32 negara.
[5] Ishaq.. Dasar-Dasar
Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 54. Lihat juga Jan Hendrik Kapar. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kansius, 1996.),39.. Lihat juga Jazim Hamidi.. Hermeneutika
Hukum.(Jakarta:
UII press. 2005), 88.
Lihat juga John Gillisen dan Frits Gorle. 2005. Sejarah Hukum Suatu Pengantar (Historische Inleiding
Tot Het Recht). Diterjemahkan
oleh Fredy Tengker. Bandung: Refika Aditama. Kansil.. Pokok-Pokok Etika profesi hukum. (Jakarta: Pradya Paramita. 2006),hlm 281
[6] TM..Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Para Ahli yang pro dengan hukuman fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak.
Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat
tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani
anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka
tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah
nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya.
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan
bahwa hukuman dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin
hanya masuk sebagai alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar
bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi Manusia,
, (Semarang, Pustaka Rizki Putra : 1997), 12
[7] Abdullah, A.S. Teori-Teori Pendidikan
Berdasarkan Al Qur’an. (Jakarta: PT.
Rineka Cipta. 1990).57 Lihat juga Agus Soejono. Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. (Bandung: CV. Ilmu, 1980), 231.
Bandingkan dengsn Baharits,A.H.S.Tanggung Jawab
Ayah Terhadap Anak
Laki-Laki. Jakrta: Gema Insani Press, 1996.),24. Berkaitan dengan Indrakusuma, A.D.
Pengantar Ilmu Pengetahuan.
Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973 ), 48
Rahmat, J..Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda
Karya,1994 ), 166 .Lihat juga Soeitoe,
S. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 982),123
. Lihat juga Sukadipura, B..Aneka
Problema Keguruan.(Bandung: Angkasa,1982), 67
Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. (Jakrta: PT.
Rineka Cipta,1992). 98.Bandingkan dengan Tafsir, A. Pendidikan Dalam
Ilmu Perspektif Islam.
(Bandung: Remaja Rosdakarya.,1992),
59 bahwa anak berkebutuhan khusus,
juga harus dilindungi, mereka juga
memiliki hak yang sama dengan anak yang lainnya. Mereka juga memiliki
talenta yang baik guna meningkatkan prestasi dan potensinya. Prestasi anak
berkebutuhan khusus di antaranya dalam bidang olahraga, seni dan kebudayaan.
Menurut dia, setiap manusia memiliki potensi, minat, dan bakat yang harus
dikembangkan dengan baik. Salah
satunya, katanya, bagaimana menumbuhkembangkan anak untuk hidup dan berkembang
dengan baik. "Apabila hak anak dapat terpenuhi maka akan membentuk anak
Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang dengan baik, cerdas, ceria, dan
berakhlak mulia," katanya. Linda menjelaskan, ABK adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Anak berkebutuhan
khusus, di antaranya penyandang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan anak dengan gangguan
kesehatan. Oleh karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki, katanya, ABK
memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan
dan potensi mereka. Ia
mencontohkan tunanetra memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan
Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
[9] Sulaiman,
In’am, Masa Depan Pesantren (Eksistensi
Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi). Malang : Madani (Kelompok Intrans
Publishing, 2010), 341. Lihat juga Moleong,
lexi j, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi
revisi). Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
2006), 78.Bandingkan
Ritzer, George, dan Douglas, Goodman, Teori
Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern.
Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008). 18. Tidak seorangpun
menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang
sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya
masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak
anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak. merupakan salah satu penanda
tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang
mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan
siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang
merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut
belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan
penelitian Nur Hidayati, dari penelitian
lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa
hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran
antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini
dari guru-guru mereka secara rutin.
[10] Sanksi ta‘zîr dapat berupa: (1) hukuman
mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4)
pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8)
peyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11)
nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagian hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbîkh); (14) pewartaan (tasyhîr).
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga karena guru kurang profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak, agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak," tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar Grafika : 2008) ,28
Bentuk sanksi ta‘zîr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah atau yang mewakilinya yaitu qâdhî (hakim) diberikan hak oleh syariat untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masih banyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak, juga karena guru kurang profesional, miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini sering menerima keluhan guru yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak, agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak," tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar Grafika : 2008) ,28
[11] Syahran, M. Ridwan.. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, Trull, 1999),266. Lihat juga Timothy J. (Clinical
Psychology (Seventh Edition). Dirangkum oleh
Didi Tarsidi dari Belmont, California: Thomson Wadsworth.
2005).,79.Lihat juga Van Apeldoorn, L.J.. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. Cet. 22. Jakarta: Pradnya Paramita, 1985),119. Lihat juga Watson Robert, dan
Hendry Clay lindgren. 1974. Psychology Of The Child. New York: Jon Wiley
and Sons. Berkaitan dengan Wawan Tanggul Alam.. Etika Profesi Hukum. (Jakarta: Milenia Populer. 2004),256. Bandingkan Weithorn,
Lois A. Psychology and Child Custody Determinations: Knowledge, Roles, and
Expertise. University of Nebraska Press. 1987),118
[12] Khalid
Abdurrahman, 10 Kesalahan Orang Tua Yang
TIdak Disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya , Kekerasan
, Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif . Romantisme yang salah 4.
Mudah terpancing emosi ketika keinginan anak tidak terpenuhi, si anak
sering kali rewel atau merengek, menangis, berguling dsb, dengan tujuan
memancing emosi orang tua yang pada akhirnya ortu marah atau malah mengalah.
Jika terpancing, anak akan merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan orang
tuanya. Akibatnya ketika dewasa: Mudah manipulasi orang lain dengan
pura2 sakit, minta dikasihani Suka menuntut keinginannya dipenuhi à bila tidak
: malas – marah - balas dendam 5. “Berbohong Kecil – Tidak tepati janji Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang
jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil
ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika dewasa: Mudah janji pada orang lain,
tetapi tidak menepati ( integritas ) Suka berbohong 6. “Banyak Mengancam”“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan
nggak ada yang mau menolong!””Ini salah.....itu tidak benar...., nanti dihukum
Bu Guru loh” “….nanti Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9.
Menghukum Anak Saat Kita Marah
Jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi
kita sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan
cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anak2nya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar.
[13]
Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan
niscaya perilaku (siswa) akan lebih semrawut. Bisa
menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak,
apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan
menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus
benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan
hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan
pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan.
[14] Lihat Maidin Gultom. Perlindungan Hukum terhadap Anak
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.(Bandung : Refika Aditama,
2008,) hlm. 4. Lihat Irma Setyowati Sumitro. Aspek Hukum
Perlindungan Anak. Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hlm. 19. Dengan Maidin Gultom. Op.cit., hlm 55-56. Lihat B. Simanjuntak. Kriminologi.
Bandung : Tarsito, 1984, hlm. 55. Lihat juga Romli Atmasasmita. Peradilan
Anak di Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 1997, hlm. 51. Lihat Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. 51.Lihat juga Maidin Gultom. Op.cit., hlm 37-38. Lihat Bismar Siregar dkk. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta : Rajawali, 1986, hlm.22.Bandingkan juga at Maidin Gultom. Op.cit.,
hlm 98-99.
[16]
Lihat M. Harahap. Yahya Beberapa
Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 36
12 Fathur Rohman, Bentuk-Bentuk Pelanggaran Santri.
Pealanggaran dalam proses pembelajaran non formal dan seringkali mendapat hukuman
berkaitan dengan tugas, (pendidikan,
departemen bahasa dan departemen keamanan) tersebut, diantaranya adalah: 1.Santri
tidak menggunakan kopiah dalam shalat berjamaah.2. Santri bermain/bercanda di
masjid .3.Santri tidak shalat berjamaa’ah .4.Santri terlambat pergi shalat
berjama’ah .5.Santri tidak menggunakan Bahasa Arab/Inggris untuk komunikasi. 6.Santri mencuri barang/uang milik teman .7.Santri
berkelahi dengan temannya 8.Santri keluar pondok tanpa izin .9.Santri membuat
gaduh ketika jam belajar . 10.Santri merokok.11.Santri memiliki kecenderungan
seksual pada sesama jenis 12.Santri berpacaran.
[18]
Beberapa definisi hukuman telah
dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya: Pertama, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara
sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu
anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk
tidak mengulanginya. Lihat Amin Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah memberikan atau mengadakan
nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan
maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah
perbaikan ,Suwarno, Jakarta, 1981), 115.
[19]‘Abdurrahman Ibn
Nashir, As Sa’diy, Al Qawa’id
al-Fiqhiyyah,.Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat berbenturan maka
diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid
(kerusakan) : bisa haram atau makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua
pilihan yang jelek, maka diambil yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah
satunya haram dan yang lainnya makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka
memakan sesuatu yang masih diragukan keharamannya lebih didahulukan daripada
memakan sesuatu yang pasti haramnya. Apabila keduanya haram atau keduanya
makruh, maka yang dikerjakan adalah yang paling ringan keharamannya atau
kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya dalam kondisi darurat !!
[20]Hukuman
pukulan rotan adalah sebuah hukuman tindak pidana yang berlaku di Malaysia, Aceh dan Singapura. Undang-undang mengenai pukulan rotan.
Jumlah pukulan rotan terbanyak yang bisa dikenakan kepada seorang terdakwa
menurut undang-undang Malaysia ialah 24 kali pukulan rotan. Terdapat dua jenis
rotan yang digunakan: Rotan jenis tipis, yang digunakan untuk kasus sogok-menyogok, kesalahan korupsi, dan kriminalitas kerah putih; Rotan
jenis tebal, yang digunakan untuk tindak kejahatan serius, umpamanya kasus perkosaan dan kejahatan seksual. Rotan jenis tipis tidak begitu
merusakkan badan, tetapi lebih menyakitkan. Pukulan rotan dengan rotan tebal
yang melebihi lima kali bisa mengakibatkan impotensi dan mati rasa dari punggung ke bawah, dimana hal tersebut sukar
disembuhkan. Oleh karena sakitnya pukulan rotan yang begitu dahsyat,
undang-undang Malaysia telah memberi pengecualian pada kategori-kategori di
bawah terhindar dari hukuman tersebut: Perempuan,
karena pukulan rotan bisa mengganggu kesehatan kandungan; Lelaki berumur 50
tahun keatas; Orang yang disahkan tidak sehat oleh dokter; dan Orang gila. Aturan hukum pukulan
rotan (Merotan).
Pada
hari hukuman merotan dilaksanakan, para terhukum yang terlibat akan memperoleh pemeriksaan kesehatan. Mereka akan berbaris dalam sebuah
barisan untuk giliran masing-masing di tempat yang mana lokasi pelaksanaan
hukuman merotan tidak bisa terlihat oleh mereka. Pejabat Penjara Negeri Johor akan menyaksikan pelaksanaan
merotan, bersama-sama dengan seorang dokter dari Rumahsakit Sultanah Aminahdan seorang pegawai penjara.
Pemeriksaan teliti lalu diambil supaya hukuman merotan tidak dijatuhkan kepada
orang yang salah. Petugas penjara akan membacakan hukuman kepada terhukum, dan
memintanya mengesahkan adakah hukuman yang terbaca itu betul atau tidak. Ia
juga akan menanyakan terhukum tersebut apakah pembelaan telah dibuat. Jika belum, hukuman
merotan akan ditangguhkan sehingga keputusan pembelaan dinyatakan. Patung terpidana yg diikat ke rangka berbentuk
"A". Dalam gambar ini, kepalanya masih belum diletakkan dibawah kayu
melintang. Terdakwa masih dalam keadaan
telanjang selepas pemeriksaan kesehatan, kecuali sehelai penutup yang diikatkan
di pinggang. Sewaktu dirotan, tangan dan punggungnya diikat kepada suatu rangka
berbentuk "A". Kepalanya diletakkan dibawah sebatang kayu melintang
supaya badannya membungkuk. Algojo yang
melaksanakan hukuman merotan haruslah kompeten dan disahkan melalui ujian/tes
oleh pengadilan. .
[24]Yasraf Amir Piliang.. Dunia
yang Berlari Mencari Tuhan-Tuhan Digital. (Jakarta: Grasindo, 2004)182.Bandingkan Yusti
Probowati Rahayu. Dibalik Putusan Hakim. Sidoarjo: Citra Media, 2000),311. Ditinjau dari Perkawinan yang di
lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dan anak di bawah umur, yang telah dijatuhi putusan Sela nomor
233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah
pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum.
karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat yang ada
pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan
posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban. Penolakan Perkawinan di
usia muda terhadap anak di bawah umur, harus ditolak. Penolakakan juga datang
dari berbagai aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah
memenuhi aspek materil dan
Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di
bawah umur yang dilakukan oleh Syekh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam
hal keputusan Hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di mana
pelaku perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
[25] Budiman,
Leila C. Mengenal
Dunia Kanak-Kanak. (Jakarta: Rajawali Press, 1985),107. Lihat juga Dagun, Save M.. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 79. Bandingkan dengan Dana Zohar
dan Ian Marshall.. Spiritual
Intelligence (Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik
Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan). Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 2001), 155 . Lihat juga Daniel Goleman. Emotional Intelligence. New york: Bantam,1996) 135.
Bandingkan Darwan Prinst. 2003. Hukum Anak Di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. Lihat
juga Departemen pendidikan dan kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), 56 Pendidikan yang paling berpengaruh adalah pendidikan emosi,
di mana guru harus bisa mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas. Emosi itu sebetulnya tidak ada yang
negatif dan positif, tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus
dikendalikan,” katanya. Melalui pengendalian emosi itulah, katanya, akan
tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati yang senang dan situasi otak
cemerlang.
[26]
Kritik terhadap UU No.23 Th 2002, secara umum, bagaimanapun baik suatu peraturan
perundang-undangan, namun kalau substansinya tidak dapat diterapkan, maka
undang-undang itu merupakan huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau
membuat peraturan hendaknya memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu: (1)
Undang-undang yang dibuat harus jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak
mudah merubah karena alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable);
(3) Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di
dalamnya kepastian hukum (certainty). Kemudian tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat
yang positif yang hidup dalam masyarakat.
[27] Spirit perlindungan yang termaktub dalam UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 39 UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen dijelaskan bahwa perlindungan yang merupakan hak guru meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja. Merupakan kewajiban pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan untuk memberikan perlindungan
tersebut. Perlindungan terhadap guru akan berjalan optimal jika masing-masing
pemangku pendidikan menyadari hal itu. Dijelaskan dalam Pasal 39 UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen, guru berhak mendapatkan perlindungan hukum yang
mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Perlindungan
profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat
guru dalam melaksanakan tugas dan pada
waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain .Lihat
UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 39.
[28] Erich Fromm. Akar
Kekerasan (The Anatomy Of Human Destructiveness). Diterjemahkan oleh Imam Muttaqin. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2000),62,. Bandingkan Erna karim., Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999),109. Lihat
juga Faturochman.. Keadilan
Perspektif Psikologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, . 2002),66.
[29] Pengaturan mengenai kekerasan dan
penganiayaan terhadap anak dapat kita temui dalam pasal pidana penganiayaan
ringan yaitu Pasal 351 jo. 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”). Berkaitan dengan
hal ini, pada 2010 pernah ada putusan Mahkamah Agung mengenai penganiayaan terhadap seorang anak yang dilakukan oleh
tetangganya yaitu putusanNo. 606 K/Pid.Sus/2009. Korban yang bernama Winarto telah dianiaya
oleh Terdakwa atas nama Trimurti Rundu Padang alias Mama Ajeng dengan cara
mencubit kedua tangan korban, dada, pipi, serta memukul bagian belakang korban
serta menendang alat kelamin korban. Penganiayaan terjadi setelah anak Terdakwa
yang bernama Erik terlibat perkelahian dengan Winarto yang membuat anak
Terdakwa itu menangis. Jaksa Penuntut Umum menuntut Mama Ajeng dengan pidana
penganiayaan Pasal 351 KUHP dan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan
terhadap anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU 23/2002. Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri
memutus bersalah terdakwa dan terdakwa dikenakan pidana percobaan 1 (satu)
tahun 10 (sepuluh) bulan serta harus membayar biaya perkara Rp2 ribu. Putusan
ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Apabila Anda
hendak memproses perkara ini secara pidana, Anda dapat melaporkan pelaku kepada
kepolisian. Namun, hemat kami, adalah lebih baik mengedepankan pendekatan
kekeluargaan sepanjang perbuatan tersebut tidak membahayakan anak Anda secara
fisik maupun psikis.
[31] Lihat Clemes 2001:47 Ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman
dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit
untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh: 1.Seorang anak
yang mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh
kegagalannya sendiri pasti membutuhkan penghargaan. 2.Seorang
anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit
melakukan kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila
diberikan penghargaan. 3.Seorang anak yang sangat manja dan takut melakukan
tugasnya sendirian perlu diberikan penghargaan jika dia ternyata mampu
melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain. 4.Seorang anak
yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih
pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif.
[32]
Sanksi potong gundul atau disebut halq ialah memotong rambut dengan
menghilangkan rambut seluruhnya. Istilahnya plontos. Halq ini beda dengan taqshir yaitu memotong sebagian rambut atau
sekedar potong pendek. Kepala gundul memang sebagian dari tanda-tanda golongan
khawarij atau kelompok haruriyah (karena mereka banyak domisili di daerah
Harur). Golongan kategori menyimpang dari jalan tenga (sikap tawassuth) yang
menamakan (mendakwa) dirinya sebagai kelompok Syurah (orang-orang yang menukar
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat) ini salah satu tandana disebut oleh
Rasululloh Sholallohu 'alaihiwassalam mayoritas gundul.
[33]
Dalam
peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang
berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati
peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati
dan mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat.
Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau
hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat
penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian
tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Peraturan
Permisif. Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak
menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan
bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat
seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku,
tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan
dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena
yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif
serta liar tanpa kendali.
[34]
Banyak
guru yang sekarang ini khawatir memberikan pendidikan disiplin pada murid
karena akan disalahartikan sebagai tindak kekerasan. Hukuman disiplin bagi
murid yang melanggar tata tertib dijadikan alasan bagi orangtua dan keluarga
untuk membawa guru ke ranah hukum kriminal. Malah, sebagian orangtua merasa
bangga dengan tindakan mengadukan guru memberikan hukuman pelanggaran disiplin
sekolah. Sampai saat ini memang belum ada titik temu terkait pengaduan
penganiayaan terhadap murid oleh guru. Hal ini menjadi dillema serta membuat
guru khawatir dan cemas memberikan pendidikan disiplin pada muridnya karena
harus berhadapan dengan pelanggaran hak azasi manusia. Antara-hukuman-dan-disiplin-sekolah.
[35]
Tindak
Kekerasan Guru terhadap Siswa.Akhir-akhir ini
tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah
rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu
SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam
oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang bersangkutan.
[36]
Mengapa orang barat dan jepang yang tak memakai seragam dan
berambut gondrong,tapi bisa menguasai
dunia dengan kepintarannya. Banyak orang yang rapi,disiplin,pandai menjadi
musuh masyarakat/koruptor. Itu semua hanya topeng belaka, jangan mendidik siswa
dengan topeng. Seakan-akan niat tulus itu tak berarti apa-apa dibandingkan BP3
dan seragam sekolah. Itu sebabnya banyak siswa nakal menjadi pembangkang, karena
mereka sekolah tidak didasari niat itu tadi.Banyak salah persepsi dari orangtua
terhadap hukuman yang didapat sang anak dari guru mereka.
[37] Juvenile Deliquency adalah suatu
tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial
yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. Ketentuan kejahatan anak atau disebut
delikuensi anak diartikan sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam
title-titel khusus dari bagian KUHP dan atau tata peraturan perundang-undangan.
Pengadilan anak dibentuk karena dilatar belakangi sikap keprihatinan yang
melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang
dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga diperlukan
tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak. Pengadilan anak
dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang kurang menguntungkan bagi
anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana anak tidak boleh
diperlakukan sama seperti orang dewasa.
[38] Kritik Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus
diper-hatikan dan menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu: a. Harus
mengandung per-aturan; b. Peraturan yang telah diatur harus diumumkan; c.
Peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut; d. Peraturan harus dirumuskan
sebagai susunan kalimat yang mudah dimengerti; e. Suatu susu-nan tidak boleh
mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lainnya; f. Peraturan tidak
boleh mengandung norma yang tidak dapat diterapkan; g. Tidak boleh terlalu
cepat merubah peraturan, karena akan berakibat subjek hukum kehilangan
orientasinya; h. Harus ada kecocokan peraturan yang diundangkan dengan
peraturan pelaksanaanya.
[39] Hidayati,. Memperkecil
Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah. (Jakarta:
Departemen Agama 2007). 24. Lihat juga Undang-undang
Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan
siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada
anak-anak. 2007
[40]
Kelemahan dalam berbagai substansi peraturan
perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk
diimplementasikan, over-lapping substansi antara satu undang-undang
dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan kewenangan antara satu lembaga
dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya phenomena tersebut tidak
selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik atau civil servant tidak
perlu rebutan kewenangan, karena tujuan keberadaan civil servant adalah
melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan oleh negara.
[41]
Sedangkan
pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama untuk menentukan
jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak mereka. PBB
menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk memelihara
perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya menyeluruh
PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik damai yang
memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses dehumanisasi
yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi, perkosaan,
kekerasan, dan perang.
[42]Lihat Office of
the High Commisioner for Human Rights, Convention
on the Eliminationof all Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR,
1979),1-12. Hasil konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi
Sidang Umum PBB No. 34 /180 tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak
3 September 1981. Hasil konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar
berisikan perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan..
[43]Lihat Declaration on the Elimination or All Form
of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief,
(Geneva: OHCHR)
[46] Kekerasan dalam pendidikan telah diharamkan dan
dianggap pelanggaran HAM. Jaman dahulu jika seorang guru memukul murid dengan
tangan atau tongkat rotan dianggap hal yang wajar dan biasa. Apalagi jika ayah
atau ibu memukul anaknya. Itu dianggap bagian dari proses pendisiplinan, bahkan
ungkapan cinta kasih dan rasa sayang kepada murid atau anak. Namun jaman sudah
berubah. Penghukuman fisik apalagi menggunakan tongkat atau alat lain tidak lagi
dianggap sesuatu yang lazim, wajar, normal apalagi baik dan benar. Penghukuman
fisik (bahkan kata-kata kasar atau menghina) bahkan oleh orangtua sendiri telah
dianggap kekerasan. Apa yang jaman dahulu dianggap sangat baik pada jaman
sekarang malah dianggap tidak baik. Orang
tua dan guru harus, menerima
perubahan konsepsi dan sikap pendidikan itu dengan syukur dan sukacita.
Perubahan itu kita anggap membuat kita semakin manusiawi dan dekat dengan
status kita sebagai manusia terhormat dan mulia yang diciptakan Allah menurut
citraNya. Pada masa kini tanpa menggunakan tongkat, sapu lidi, ikat pinggang,
atau gagang kayu kita tetap bisa mengasihi anak-anak kita dan murid-murid yang
dipercayakan kepada kita. Kita bisa mendidik tanpa harus menghajar, memukul atau
melibas. Ada banyak sekali cara tanpa kekerasan untuk mendorong seorang anak
pintar, berdisiplin dan menghargai norma. Itu artinya sebagai orangtua, guru,
atasan, kakak atau abang, kita pun harus belajar banyak lagi.Lihat Bunadi Hidayat, op.cit.,109.
[47]
Langkah-langkah antisipasi hukuman fisik, terhadap remaja.
Hal
ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.: 1.Memberikan
teladan dalam wujud komunikasi yang jelas 2.Mengakui
setiap usaha siswa 3.Murah senyum 4. Menggunakan
energi untuk menciptakan lebih banyak energi 5. Menjadi
pendengar yang baik 6. Mengungkapkan
pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri. 7.Menyatakan
kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di dalamnya.
[48]
Lihat Siagian, Disiplin
merupakan tindakan manajemen 1998:305-307, mendorong para anggota
organisasi memenuhi berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para anggota
organisasi. Dengan demikian pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan
yang berusaha memperbaiki dan membentukk pengetahuan, sikap, dan perilaku
karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja
secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi
kerjanya. Dalam suatu organisasi sesederhana apapun berikutnya, terdapat dua
jenis disiplin, yaitu disiplin yang bersifat preventif maupun yang bersifat
korekatif. Demikian pula bentuk pendisiplinan pun dalam organisasi mencakup
pendisiplinan prevetnif dan pendisiplinan korektif. Pendisiplinan preventif
merupakan bentuk pendisiplinan yang bersifat tindakan yang mendorong para
bawahan untuk taat pada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar
yang telah ditetapkan. Sedangkan pendisiplinan korektif lebih ditujukan kepada
pemberian sanksi kepada bawahan atas sejumlah pelanggaran yang telah
dilakukannya. Dengan kejelasan dan penjelasan
tentang pola sikap, tindakan, dan perilaku yang diinginkan dari setiap anggota
organisasi maka diusahakan pencegahan pelanggaran, dan jangan sampai para
pegawai berperilaku negatif.
[49]
Membangun
watak tergolong dalam hidden curriculum yang pencapaiannya
bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya. Watak tidak
dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang perlu
dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat membangun
watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka. Pembangunan
watak dan model lebih efektif diperoleh melalui cara dialogis, dengan jalan
mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo Freire, untuk menjadikan pendidikan
itu bermakna, maka paradigma yang digunakan harus diarahkan kepada
pendidikan dialogis dan transformatif. Pendidikan dengan nilai transformatif
menghasilkan sumber daya dengan kinerja yang mandiri, tidak perlu dikontrol,
produktif, dapat mengendalikan diri (dalam mengawali dan mengakhiri pekerjaan,
dalam menciptakan dan melaksanakan pekerjaan, dan dalam menyelesaikan
pekerjaan).
[50] Tujuan dari
adanya sanksi disiplin ini adalah koreksi, yaitu dengan adanya tahap peringatan
yang jelas tentang apa yang diperlukan dan akibat-akibat ketidakpatuhan. Jika
digunakan sistem progresif yang demikian, para arbiter akan mengevaluasi snaksi
terhadap norma arbitrasi untuk menentukan keadilan sistem disiplin.
Sanksi-sanksi harus diberikan secara progresif. Tindakan disiplin awal adalah
tepat bagi pelanggaran dan pelanggaran yang lebih tinggi tingkatannya akan
menghasilkan pula sanksi-sanksi yang lebih tinggi pula. Namun demikian,
pendisiplinan bawahan memerlukan sikap manajemen yang tepat. karena masalah
disiplin adalah masalah kepegawaian yang saling terkait.Manajemen perlu
mengingat, bahwa mereka tidak dapat membuat seseorang bekerja dengan efektif.
Hanya pegawai/bawahan yang dapat membuat hal itu terjadi. Para bawahan harus
memahami bahwa sebagai hasil pelanggarannya, dia telah berada pada suatu jalan
menuju ke sanksi tertentu, sesuai dengan bobot pelanggarannya. Interaksi antara
pendisiplinan bawahan ini menjelaskan bahwa disiplin bukan untuk bawahan
tertentu saja, tetapi setiap bawahan dalam keadaan yang sama, akan
diperlakukank dengan cara yang sama pula. Pembinaan disiplin pegawai sebagai
bentuk pembinaan sikap terhadap bawahan adalah suatu bentuk upaya yang sinkron
dengan keinginan dari pemimpin untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama
dengan cara yang positif. Sering hal tersebut tidak mungkin terjadi. Tujuan
utama dak tindakan pendisiplinan adalah memastikan bahwa perilaku bawahan telah
konsistenk dengan peraturan organisasi. Faktor-faktor yang umum
mempengaruhi disiplin bawahan, meliputi dimensi individu (kemampuan, persepsi,
motif, sasaran, kebutuhan, dan nilai); suasana motivasi dan kompensasi; dimensi
kelompok (status, norma, keeratan, dan komunikasi); dan struktur organisasi
(termasuk unsur-unsur makro dalam pengendalian dan pencemaran).
Prestasi kerja mempengaruhi sasaran-sasaran organisasi dan individu. Prestasi kerja bawahan yang produktif, memberikan sasaran dan umumnya tidak memerlukan surat peringatan atau disiplin. Dan sebaliknya, prestasi kerja bawahan yang tidak produktif berasal dari sasaran-sasaran organisasi dan individu yang tidak terpenuhi.
Prestasi kerja mempengaruhi sasaran-sasaran organisasi dan individu. Prestasi kerja bawahan yang produktif, memberikan sasaran dan umumnya tidak memerlukan surat peringatan atau disiplin. Dan sebaliknya, prestasi kerja bawahan yang tidak produktif berasal dari sasaran-sasaran organisasi dan individu yang tidak terpenuhi.
[51]Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan,
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan: 1. pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
"fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab". 2. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas) 3. Tentang kekerasan
fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
[52]Corporate punishment terbagi
atas tiga buah tipe utama: - Parental Corporate punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga - School
Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid
di sekolah - Judicial Corporate punishment, misalnya
pemukulan atau pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor hokum.
Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait
memyatakan kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926 kasus
yang dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya
terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan.
[54]Sudah seharusnya guru mempunyai payung hukum yang
sama. Undang-Undang Perlindungan Guru yang kemudian melahirkan Komisi
Perlindungan Guru adalah wajib untuk segera direalisasikan. Selama ini situasi
dunia pendidikan yang menyangkut payung hukum perlindungan guru masih belum
kondusif. Karena banyak guru yang akhirnya berurusan dengan penegak hukum
karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka banyak yang belum terlindungi oleh hukum
dan kadang karena kepolosan atau minimnya pengetahuan, justru menghadapkan
mereka pada hukum itu sendiri,” Ahmad
Zaenal . Banyak guru yang terseret ke meja hijau, karena kasus-kasus yang
terjadi di sekolah padahal boleh jadi perbuatan guru adalah murni untuk
memberikan penyadaran dan efek jera kepada siswa. Ada beberepa alasan mengapa
guru harus segera mempunyai Undang-Undang Perlindungan Guru dan kemudian
melahirkan Komnas Perlindungan Guru: 1. Untuk memberikan payung hukum kepada Guru
2. Untuk
memberikanadvokasi kepada guru, yang notabene tidak mengetahui permasalahan
hukum. 3. Memberikan kenyamanan dalam melaksanakan
tugasnya. 4. Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan anak
dan Komnas perlindungan anak, dan yang tidak kalah penting adalah 5.
Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap guru.
[57]
Kebalikan
dari hukuman fisik adalah rasa empati mewujudkan perasaan maupun pemahaman pemikiran seseorang
dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa
merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati cenderung merasakan
sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada dalam situasi yang
dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang menggunakan perasaannya
secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong oleh emosinya seolah-olah
ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain, feeling
into a person or thing. Seseorang dapat
merasakan sakit orang lain tanpa mengorbankan diri atau harus mengendalikan
situasi. Anda memperoleh kekuatan inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional,
dan mental yang sama dengan yang Anda kerahkan dalam kesadaran aktif.
[58] Shaw dan McKay, Delikuensi Di Daerah Pemukiman Golongan
Masyarakat Kelas Bawah, Penelitian ,1969.
Selama tiga puluh tahun di Chicago berkenaan dengan yang menyimpulkan bahwa di
daerah pemukiman golongan masyarakat kelas bawah, dimana kemapanan dan
keseragaman nilai sosial masyarakat stabil, delikuensi cenderung dinilai
sebagai alternatif yang disetujui oleh para pelakunya sebagai alternatif
perilaku walaupun merupakan pelanggaran hukum. Dan pada
kenyataannya rata-rata anggota geng motor yang dianggap meresahkan ini adalah
orang-orang yang tidak cukup memiliki kemapanan sosial, baik dalam ekonomi,
intelektual, maupun strata sosial lainnya. Aksi geng motor saat ini tidak lebih
dari sikap kegamangan, frustasi atau keputusasaan atas kondisi sosial yang
mereka hadapi Agustin Satyawati, 2007.Alternatif
SolusiMenurut Hirchi dalam Junger, 1990, ada motto yang berkembang di kalangan
anak delikuen yaitu bahwa, “Kami akan melakukannya jika kami bisa
melakukannya”, sehingga dalam keadaan demikian, Cohen dan Felson dalam Junger,
1990 mengemukakan dalam opportunity theory bahwa, “Jika anda memberikan
kesempatan kepada remaja untuk melakukan pelanggaran sebagian besar dari mereka
pasti akan melakukannya”. Remaja memang belum mempunyai identifikasi diri yang kuat
dengan masyarakatnya dan hanya memiliki sedikit rasa tanggung jawab. Maka
disini perlu satu proses pendampingan atau keterikatan attachment remaja oleh seseorang yang sangat berarti baginya
seperti orang tua, teman, keluarga ataupun guru. Keterikatan emosional ini
meliputi tiga sub konsep, yaitu : kasih sayang antara remaja dengan orang-orang
yang memiliki ikatan emosional dengannya, komunikasi diantara mereka dan
pengawasan. Sehingga Rutter dan Giller dalam Junger, 1990 melihat ketiga konsep
tersebut sebagai faktor-faktor yang penting peranannya dalam melindungi remaja
mengekspresikan perilaku delikuennya.Konsep pedampingan ini tentunya perlu
disosialisasikan dan diimplementasikan secara intensif oleh pemerintah dan
dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau pun organisasi-organisasi
sosial lainnya dalam rangka tindakan preventif ataupun pengentasan delikuensi
yang diarahkan kepada masyarakat strata bawah dan secara khusus kepada anggota
keluarga geng motor sebagai ikatan sosial terdekatnya.
[59] Delinkuensi dan
Strata Sosial. Dalam konteks delinkuensi, Cohen 1955 memaparkan
hasil penelitiannya yang memperlihatkan anak-anak kelas pekerja yang mengalami
anomi di sekolah yang mayoritas dari berisi siswa dari strata kelas menengah,
sehingga mereka membentuk sub-budaya yang anti nilai-nilai menengah yang
berisikan norma-norma yang negatif dalam pandangan masyarakat. Remaja
dari kelas bawah tersebut cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan
simbolis sehingga selama mereka berlomba dengan remaja kelas menengah mereka
banyak mengalami kekecewaan dan kemudian membentuk ‘geng’.
[60]
Prinsip-prinsip sanksi tersebut adalah sebagai
berikut: 1) Komunikasi
standar. Kebijakan-kebijakan, standar dan
prosedur-prosedur disiplin lama, dibuat secara tertulis dan dikomunikasikan
kepada para bawahan. 2) Mengumpulkan
fakta-fakta Para pimpinan mengumpulkan
data-data faktual jika suatu pelanggaran terjadi. Jika tindakan disiplin
tertantang, beban pembuktian terletak pada pimpinan untuk memperlihatkan bahwa
ada penyebab terhadap perlakuan yang demikian. 3) Konsistensi. Disiplin
harus diimplementasikan secara konsisten. Jika tidak akan muncul keraguan
terhadap situasi di antara pegawai. Para pimpinan harus menerapkan tindakan
disiplin yang sama dalam keadaan-keadaan yang serupa. 4) Ketepatan waktu Hukuman
disiplin harus diterapkan secepat mungkin setelah terjadi suatu pelanggaran.
Namun demikian, dalam keadaan dimana emosi sangat mudah meledak, maka penerapan
terhadap prinsip ini dapat sedikit diperlonggar.
No comments:
Post a Comment