KATA PENGANTAR
Penulis dan teman-teman dari IKMI
Riau, menjilbabkan Kota Pekanbaru, mulai tahun 1984. Saat itu penulis baru
masuk anggota muballigh IKMI dengan No 430 yang masih dipakai sampai hari ini. Titel
penulis waktu itu BA, lengkapnya M.Rakib,BA. Saat itulah yang yang sangat gencar
dialog Ketuhanan. Apakah Tuhan itu ada apakah “Tidak”. Setelah selesai dialog
seru, kami membuktikan adanya Tuhan melalui sains, logika, dan firman Allah.
Rombongan kami waktu itu sebahagian berlatarbelakang PII Riau, mahasiswa IAIN
dan UNRI, yang juga muballigh. Ketua IKMI waktu itu Bapak Chalil Ali.
Setelah 30 tahun berlalu, penulis
masih mengulang-ulang intisari dialog tentang TUHAN, ADA atau tidak. Awalnya
para peserta sengaja dibuat agak ragu, setelah itu barulah diberikan keyakinan,
dan hasilnya luar biasa, semua wanita Pekanbaru berjilbab sampai hari ini.
Tanpa penulis sadari, para pegai Bank pun akhirnya berjilab, baik Bank Syari’ah
maupun Bank umum. Hal ini bukan karena keberhasilan dakwah penulis dan
teman-teman tapi, memang banyak pihak waktu itu termotivasi, sehingga mata
penulis rasanya sejuk melihat para wanita berjilbab. Mereka, ada dokter,
Bankir, pegawai kantor pos, Sungguh al-hamdu lillah.
PENDAHULUAN
Pentingnya dibahas masalah TUHAN ada atau tidak, karena kelompok atheis
anti Tuhan, jumlahnya semakin banyak di hari ini. Mereka bertuhan kepada logika
semata. Tapi tidak mengapa, ikutkan saja logika mereka, pasti akhirnya mereka pasti terdesak.Misalnya:
Atheis :
Pada tahun berapa Tuhanmu dilahirkan?
Abu Hanifah : Allah berfirman: “Dia (Allah) tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.”
Atheis :Pada tahun berapa Dia berada?
Abu Hanifah :Dia berada sebelum adanya sesuatu.
Atheis :Kami mohon diberi contoh yang lebih jelas
dari kenyataan!
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka empat?
Atheis :Angka Tiga
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka tiga?
Atheis :Angka dua
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka dua?
Atheis :Angka satu
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis :Tidak ada angka (nol).
Abu Hanifah :Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain
yang mendahuluinya, kenapa kalian heran kalau sebelum Allah Yang Maha Satu yang
hakiki, tidak ada yang mendahului-Nya?
II. Maksud Allah Menghadap Wajahnya
Atheis: Kemana Robbmu menghadapkan wajahnya?
Abu Hanifah: Kalau kalian membawa lampu di gelap
malam,kemana lampu itu menghadapkan wajahnya?
Atheis: Ke seluruh penjuru.
Abu Hanifah: Kalau demikian halnya dengan lampu
yang cuma
buatan itu, bagaimana dengan Alloh Ta′ala, nur
cahaya langit dan bumi?.
III. Zat Allah SWT
Atheis: Tunjukkan kepada kami tentang zat Robbmu,
apakah ia benda padat seperti besi, atau cair seperti air, atau menguap seperti
gas?
Abu Hanifah: Pernahkah kalian mendampingi orang
sakit yang akan meninggal?
Atheis: Ya, pernah.
Abu Hanifah: Semula ia berbicara dengan kalian
dan mengge rak-gerakkan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam dan tidak
bergerak. Nah apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis: Karena rohnya telah meninggalkan
tubuhnya.
Abu Hanifah: Apakah waktu keluarnya roh itu
kalian masih ada disana?
Atheis: Ya, kami masih ada
Abu Hanifah:Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya
itu benda padat, seperti besi, atau cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Atheis: Entahlahlah kami tidak tahu.
Abu Hanifah: Kalau kalian tidak bisa mengetahui
bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk,
bagaimana kalian bisa memaksaku untuk
mengutarakan zat Alloh Ta′ala?!!
IV. Dimana Allah SWT
Atheis: Dimana kira-kira Robbmu itu berada?
Abu Hanifah: Kalau kami membawa segelas susu
segar ke sini, apakah kalian yakin kalau dalam susu itu terdapat zat minyaknya
(lemak)
Atheis: Tentu
Abu Hanifah: Tolong perlihatkan padaku, dimana
adanya Zat minyak itu
Atheis: Membaur dalam seluruh bagiannya
Abu Hanifah: Kalau minyak yang makhluk itu tidak
mempunyai tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak
kalian meminta kepadaku untuk menetapkan tempat
Alloh ta′ala?
V. Takdir Allah SWT
Atheis: Kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan
sebelum diciptakan, lalu apa kegiatan Robbmu kini?
Abu Hanifah: Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan
dan ada pula yang tidak dijelaskan
Atheis: Kalau orang masuk syurga ada awalnya,
kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal
selamanya?
Abu Hanifah: Hitungan angka pun ada awalnya tapi
tidak ada akhirnya
Atheis: Bagaimana kita bisa makan dan minum
disyurga tanpa buang air besar dan kecil?
Abu Hanifah: Kalian sudah mempraktekkannya ketika
kalian berada di dalam perut ibu kalian. Hidup dan makan-minum selama sembilan
bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita
lakukan hajat tersebut setelah keluar beberapa
saat ke dunia.
Atheis: Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah
dan tidak akan habis-habisnya jika dengan dinafkahkan?
Abu Hanifah: Allah juga menciptakan sesuatu di
dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak,seperti ilmu. Semakin
diberikan ilmu kita semakin berkembang dan tidak berkurang.
VI. Bukti Adanya Allah
Atheis: Perlihatkan bukti keberadaan Robbmu kalau
memang dia ada
Abu Hanifah ra berbisik kepada khadamnya agar
mengambil tanah liat, lalu dilemparkannya tanah liat itu ke kepala pemimpin
orang atheis itu . Para hadirin gelisah melihat peristiwa itu, khawatir terjadi
keributan, tetapi Abu Hanifah menjelaskan bahwa hal ini dalam rangka untuk
menjelaskan jawaban yang di minta kepadanya. Hal ini membuat orang atheis
mengenyitkan dahi,
Abu Hanifah: Apakah lemparan itu menimbulkan rasa
sakit di kepala anda?
Atheis: Ya, tentu saja.
abu hanifah: Dimana letak sakitnya?
Atheis: Ya, ada pada luka ini.
Abu Hanifah: Tunjukkanlah padaku bahwa sakitnya
itu memang ada, baru akan menunjukkan kepadamu dimana Robbku!
Orang atheis itu tidak menjawab tentu saja tidak
bisa menunjukkan rasa sakitnya, karena itu adalah suatu rasa dan ghaib tapi
rasa sakit itu memang ada.
Atheis: Baik dan buruk sudah ditakdirkan sejak
azal, tetapi kenapa ada pahala dan siksa?
Abu hanifah: Kalau anda sudah mengerti bahwa baik
dan buruk itu bagian takdir, mengapa anda kini menuntut aku agar di hukum
karena melempar tanah liat ke dahi anda? bukankah perbuatan itu bagian dari
takdir?
Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan masuk
Islamnya para atheis tersebut di tangan Al Imam abu hanifah radhiallahu.
(Kisah
Nyata)
Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.
Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas.
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali.
Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu
tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna.
Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari, Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.
Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam.
(Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein).
Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.
Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas.
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali.
Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu
tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna.
Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari, Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.
Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."
Profesor itu terdiam.
(Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein).
Mengkritisi
Kelemahan UU Pengadilan Anak
Diterbitkan Mei 26, 2008 Artikel Mahasiswa Ditutup
Kaitkata:anak nakal, hukum, Mahkmah Agung, Pengadilan Anak, Perlindungan Anak,pidana, Ronni, UU Nomor 23 Tahun 2002, UU Nomor 3 Tahun 1997
Kaitkata:anak nakal, hukum, Mahkmah Agung, Pengadilan Anak, Perlindungan Anak,pidana, Ronni, UU Nomor 23 Tahun 2002, UU Nomor 3 Tahun 1997
Oleh Ronni
Untuk mengakomodasi penyelenggaraan
perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, pemerintah
telah mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU ini lahir
untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum. Maka, kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih
mantap serta memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan
secara khusus.
Menurut saya, UU Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju
bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia. Namun
ada beberapa substansi dalam UU tersebut mengandung 7 (tujuh) kelemahan.
Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam pasal 1
angka (1) dinyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut saya, batas usia anak tersebut
harus diubah dari usia minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun.
Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan
sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya. Tetapi harus
melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak
tersebut ke arah lebih baik.
Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak
pidana. Dalam UU Pengadilan Anak disebutkan istilah anak nakal bagi anak yang
melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan
hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan
tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.
Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya
dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak
pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan. Untuk
itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak harus diganti
dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat
dalam UU Perlindungan Anak.
Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat
(6) dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak
di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat
tertentu. Menurut saya, penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak
menempatkannya di Rumah Tahanan Negara, tetapi menempatkannya pada panti-panti
sosial yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Depertemen Sosial.
Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah
untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang
baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sedangkan
penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikhawatirkan akan mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan.
Selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.
Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 2
UU Pengadilan Anak dinyatakan
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan
peradilan umum. Menurut saya, hendaknya peradilan anak itu menjadi badan
peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukannya sebagai lembaga
peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung.
Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang
berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan
peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang
ditentukan oleh hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tidak
terlepas dari tujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Dimana
hakim yang mengadili sidang tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal harus
mempunyai minat, perhatian dan dedikasi terhadap masalah anak.
Kelima, tidak adanya UU yang secara khusus mengatur tentang
hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum
maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara
khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak
yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang
berhadapan dengan hukum.
Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda
dengan tingkat kecakapan orang dewasa. Dan secara lebih jauh masalah ini akan
membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar
hukum. Juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk
menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya
tersebut.
Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif
penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat
menggunakan kewenangandiskresioner yang
dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan
berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada
negara.
Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga
penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan
pengadilan diversi terbatas pada tindakan
pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu
perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian,
kejaksaan maupun pengadilan. Shingga aparat kepolisian tidak menggunakannya
kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku.
Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan
penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan
terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka
waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya
pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar
lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari
perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum.
Dari kelemahan-kelemahan UU Pengadilan Anak tersebut, maka
pemerintah harus segera merevisi UU ini untuk menciptakan suatu perangkat hukum
yang memberikan perlindungan secara maksimal terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebab, anak yang
melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri.
Yaitu korban dari lingkungan budaya yang mengkondisikan anak melakukan tindak
pidana itu.
No comments:
Post a Comment