Wednesday, May 8, 2013

BAGITU GARANGNYA PARA ANTI TUHAN MENANTANG AGAMA-AGAMA (Buktikan, mana Tuahnmu)



KATA PENGANTAR

     Penulis dan teman-teman dari IKMI Riau, menjilbabkan Kota Pekanbaru, mulai tahun 1984. Saat itu penulis baru masuk anggota muballigh IKMI dengan No 430 yang masih dipakai sampai hari ini. Titel penulis waktu itu BA, lengkapnya M.Rakib,BA. Saat itulah yang yang sangat gencar dialog Ketuhanan. Apakah Tuhan itu ada apakah “Tidak”. Setelah selesai dialog seru, kami membuktikan adanya Tuhan melalui sains, logika, dan firman Allah. Rombongan kami waktu itu sebahagian berlatarbelakang PII Riau, mahasiswa IAIN dan UNRI, yang juga muballigh. Ketua IKMI waktu itu Bapak Chalil Ali.

      Setelah 30 tahun berlalu, penulis masih mengulang-ulang intisari dialog tentang TUHAN, ADA atau tidak. Awalnya para peserta sengaja dibuat agak ragu, setelah itu barulah diberikan keyakinan, dan hasilnya luar biasa, semua wanita Pekanbaru berjilbab sampai hari ini. Tanpa penulis sadari, para pegai Bank pun akhirnya berjilab, baik Bank Syari’ah maupun Bank umum. Hal ini bukan karena keberhasilan dakwah penulis dan teman-teman tapi, memang banyak pihak waktu itu termotivasi, sehingga mata penulis rasanya sejuk melihat para wanita berjilbab. Mereka, ada dokter, Bankir, pegawai kantor pos, Sungguh al-hamdu lillah.


PENDAHULUAN

         Pentingnya dibahas masalah TUHAN ada atau tidak, karena kelompok atheis anti Tuhan, jumlahnya semakin banyak di hari ini. Mereka bertuhan kepada logika semata. Tapi tidak mengapa, ikutkan saja logika mereka, pasti akhirnya mereka pasti terdesak.Misalnya:

Atheis              :         Pada tahun berapa Tuhanmu dilahirkan?
Abu Hanifah   :         Allah berfirman: “Dia (Allah) tidak      melahirkan dan tidak dilahirkan.”
Atheis :Pada tahun berapa Dia berada?
Abu Hanifah :Dia berada sebelum adanya sesuatu.
Atheis :Kami mohon diberi contoh yang lebih jelas dari kenyataan!

Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka empat?
Atheis :Angka Tiga
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka tiga?
Atheis :Angka dua
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka dua?
Atheis :Angka satu
Abu Hanifah :Angka berapa sebelum angka satu?
Atheis :Tidak ada angka (nol).
Abu Hanifah :Kalau sebelum angka satu tidak ada angka lain yang mendahuluinya, kenapa kalian heran kalau sebelum Allah Yang Maha Satu yang hakiki, tidak ada yang mendahului-Nya?

II. Maksud Allah Menghadap Wajahnya

Atheis: Kemana Robbmu menghadapkan wajahnya?
Abu Hanifah: Kalau kalian membawa lampu di gelap malam,kemana lampu itu menghadapkan wajahnya?
Atheis: Ke seluruh penjuru.
Abu Hanifah: Kalau demikian halnya dengan lampu yang cuma
buatan itu, bagaimana dengan Alloh Ta′ala, nur cahaya langit dan bumi?.

III. Zat Allah SWT

Atheis: Tunjukkan kepada kami tentang zat Robbmu, apakah ia benda padat seperti besi, atau cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Abu Hanifah: Pernahkah kalian mendampingi orang sakit yang akan meninggal?
Atheis: Ya, pernah.
Abu Hanifah: Semula ia berbicara dengan kalian dan mengge rak-gerakkan anggota tubuhnya. Lalu tiba-tiba diam dan tidak bergerak. Nah apa yang menimbulkan perubahan itu?
Atheis: Karena rohnya telah meninggalkan tubuhnya.
Abu Hanifah: Apakah waktu keluarnya roh itu kalian masih ada disana?
Atheis: Ya, kami masih ada
Abu Hanifah:Ceritakanlah kepadaku, apakah rohnya itu benda padat, seperti besi, atau cair seperti air, atau menguap seperti gas?
Atheis: Entahlahlah kami tidak tahu.
Abu Hanifah: Kalau kalian tidak bisa mengetahui bagaimana zat maupun bentuk roh yang hanya sebuah makhluk,
bagaimana kalian bisa memaksaku untuk mengutarakan zat Alloh Ta′ala?!!

IV. Dimana Allah SWT

Atheis: Dimana kira-kira Robbmu itu berada?
Abu Hanifah: Kalau kami membawa segelas susu segar ke sini, apakah kalian yakin kalau dalam susu itu terdapat zat minyaknya (lemak)
Atheis: Tentu
Abu Hanifah: Tolong perlihatkan padaku, dimana adanya Zat minyak itu
Atheis: Membaur dalam seluruh bagiannya
Abu Hanifah: Kalau minyak yang makhluk itu tidak mempunyai tempat khusus dalam susu tersebut, apakah layak
kalian meminta kepadaku untuk menetapkan tempat Alloh ta′ala?

V. Takdir Allah SWT

Atheis: Kalau segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, lalu apa kegiatan Robbmu kini?
Abu Hanifah: Ada pekerjaan-Nya yang dijelaskan dan ada pula yang tidak dijelaskan
Atheis: Kalau orang masuk syurga ada awalnya,
kenapa tidak ada akhirnya? Kenapa di syurga kekal selamanya?
Abu Hanifah: Hitungan angka pun ada awalnya tapi tidak ada akhirnya
Atheis: Bagaimana kita bisa makan dan minum disyurga tanpa buang air besar dan kecil?
Abu Hanifah: Kalian sudah mempraktekkannya ketika kalian berada di dalam perut ibu kalian. Hidup dan makan-minum selama sembilan bulan, akan tetapi tidak pernah buang air kecil dan besar disana. Baru kita
lakukan hajat tersebut setelah keluar beberapa saat ke dunia.
Atheis: Bagaimana kebaikan syurga akan bertambah dan tidak akan habis-habisnya jika dengan dinafkahkan?
Abu Hanifah: Allah juga menciptakan sesuatu di dunia, yang bila dinafkahkan malah bertambah banyak,seperti ilmu. Semakin diberikan ilmu kita semakin berkembang dan tidak berkurang.

VI. Bukti Adanya Allah

Atheis: Perlihatkan bukti keberadaan Robbmu kalau memang dia ada
Abu Hanifah ra berbisik kepada khadamnya agar mengambil tanah liat, lalu dilemparkannya tanah liat itu ke kepala pemimpin orang atheis itu . Para hadirin gelisah melihat peristiwa itu, khawatir terjadi keributan, tetapi Abu Hanifah menjelaskan bahwa hal ini dalam rangka untuk menjelaskan jawaban yang di minta kepadanya. Hal ini membuat orang atheis mengenyitkan dahi,
Abu Hanifah: Apakah lemparan itu menimbulkan rasa sakit di kepala anda?
Atheis: Ya, tentu saja.
abu hanifah: Dimana letak sakitnya?
Atheis: Ya, ada pada luka ini.
Abu Hanifah: Tunjukkanlah padaku bahwa sakitnya itu memang ada, baru akan menunjukkan kepadamu dimana Robbku!
Orang atheis itu tidak menjawab tentu saja tidak bisa menunjukkan rasa sakitnya, karena itu adalah suatu rasa dan ghaib tapi rasa sakit itu memang ada.
Atheis: Baik dan buruk sudah ditakdirkan sejak azal, tetapi kenapa ada pahala dan siksa?
Abu hanifah: Kalau anda sudah mengerti bahwa baik dan buruk itu bagian takdir, mengapa anda kini menuntut aku agar di hukum karena melempar tanah liat ke dahi anda? bukankah perbuatan itu bagian dari takdir?
Akhirnya perdebatan itu berakhir dengan masuk Islamnya para atheis tersebut di tangan Al Imam abu hanifah radhiallahu.
http://mysoo.files.wordpress.com/2009/08/sun-light-from-above_1042.jpg

(Kisah Nyata)
Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
 
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.
 
Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut.
Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata,
"Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?"
"Tentu saja," jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas.
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali.
Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu
tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna.
 
Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.
 
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut.
 
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari, Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.
Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
 
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.
(Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein).
Diposkan oleh Afif Ali Khan a.k.a Afif Agus Komara di 20.11

 

 

Mengkritisi Kelemahan UU Pengadilan Anak

Oleh Ronni

Untuk mengakomodasi penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU ini lahir untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka, kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih mantap serta memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan secara khusus.

Menurut saya, UU Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia. Namun ada beberapa substansi dalam UU tersebut mengandung 7 (tujuh) kelemahan.

Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam pasal 1 angka (1) dinyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut saya, batas usia anak tersebut harus diubah dari usia minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun. Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya. Tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik.

Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam UU Pengadilan Anak disebutkan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan. Untuk itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak.

Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat (6) dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat tertentu. Menurut saya, penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak menempatkannya di Rumah Tahanan Negara, tetapi menempatkannya pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Depertemen Sosial.

Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sedangkan penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.

Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 2 UU Pengadilan Anak dinyatakan Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut saya, hendaknya peradilan anak itu menjadi badan peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung.

Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Dimana hakim yang mengadili sidang tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal harus mempunyai minat, perhatian dan dedikasi terhadap masalah anak.

Kelima, tidak adanya UU yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum.

Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa. Dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya tersebut.

Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangandiskresioner yang dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara.

Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Shingga aparat kepolisian tidak menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum.

Dari kelemahan-kelemahan UU Pengadilan Anak tersebut, maka pemerintah harus segera merevisi UU ini untuk menciptakan suatu perangkat hukum yang memberikan perlindungan secara maksimal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebab, anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Yaitu korban dari lingkungan budaya yang mengkondisikan anak melakukan tindak pidana itu.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook