SHOLAT TIGA KALI SEHARI ? LUAR BIASA
KATA PENGANTAR
PENULIS
pernah membaca buku Lentera Hati, karya Prof.M.Quraisy Sihab bahwa, mufti Palestina pernah menyarankan
agar shalat itu digabungkan pada tiga waktu saja, dengan alasan adanya desakan
ekonomi dan industri, dan generasi muda cenderung meninggalkan shalat, karena
mereka rasakan berat. Sebagai muballigh, penulis merasa perlu membahasa hal
itu, karena pendengar ceramah penulis hadir beberapa golongan dan latar
belakang pendidikan yang sangat beragam. Ada yang berpola pikir Liberal JIL,
ada yang berpola pikir Salafy dan ada yang berbau komunis sosialis.
Penulis ingin mengingatkan pembaca,
bahwa zaman terus berubah. Kemunafikan muncul di seluruh lini.Prof.Dr.Fazlurrahman
juga punya gagasan shalat tiga kali sehari. Pada akhir tahun 1969 Fazlur
Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California,
Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di
universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran,
filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam,
kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.
Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat
disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan
menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya
keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak
ia temukan di Pakistan (A’la, 2003: 40).
Selama di Chicago, Fazlur
Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam.
Kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya di basement rumahnya,
yang terletak di Naperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas
Chicago. Rahman sendiri menggambarkan aktitivitas dirinya tersebut laiknya ikan
yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara (Wan Daud, 1991: 108). Dari
konsistensinya dan kesungguhannya terhadap dunia keilmuan akhirnya Rahman
mendapatkan pengakuan lembaga keilmuan berskala internasional. Pengakuan
tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della
Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas
California, Los Angeles.
Pada pertengahan dekade
80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu,
dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman
untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and
Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan
setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin
parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor
pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun
setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.
Perkembangan Pemikiran dan
Karya-Karya
Pemikiran Fazlur Rahman
dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan,
dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada
periode ini Rahman hanya menghasilkan karya-karya yang besifat historis,
seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam:
Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat
jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian
yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya
tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116).
Periode Pakistan merupakan
tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar
dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian
historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami
perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun
faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini
ialah.
1. Adanya kontroversi yang
akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan
tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada
definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu,
2. Kontak yang intens dengan
Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada
hakikat tantangan Islam pada periode modern,
3. Posisi penting sebagai
Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam
Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam
meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006:
71-72).
Walaupun belum ditopang oleh
metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan
kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007:
21). Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab
tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer
dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman
dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam
arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada
jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç
(dalam Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah
berkeinginan mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali
kepada Alquran dan Hadis.
Mutiara-mutiara pemikiran
yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic
Methodology in History (1965), dan Islam (1966). Buku yang disebut pertama
merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang dipublikasikan di jurnal
Islamic Studies. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis dengan bertujuan untuk
memperlihatkan, pertama, evolusi historis dari aplikasi keempat prinisp pokok
pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah, ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual
dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam (Rahman, 1995: ix).
Buku kedua Rahman yang lahir
pada peridoe kedua ini ialah berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan
umum agama Islam selama empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika
buku ini menjadi dasar pengantar umum tentang studia Islam. Dua buah artikel
pertama yang tersusun dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan
Alquran, ketika dipublikasikan di Pakistan sempat menuai pelbagai kontroversi.
Kontroversi terjadi berkenaan padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan
proses pewahyuannya kepada Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara
keseluruhannya adalah kalam Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan
perkataan Muhammad saw (Rahman, 2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang
difokuskan untuk memberi definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some
Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation
of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic
Solution of Pakistan’s Educational Problems.
Perkembangan dan periode
pemikiran Fazlur Rahman berikutnya ialah periode Chicago yang terhitung dari
kepindahannya ke Chicago. Seluruh karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini
mencakup kajian Islam historis dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil
ia hasilkan pada periode ini diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major
Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition.
Buku yang pertama penulis
sebut di atas murni merupakan karya yang bertemakan Islam historis dan tidak
memiliki hubungan dalam kajian-kajian Islam normatif. Sedangkan buku kedua
karya Rahman pada periode kedua ini membahas mengenai delapan tema pokok
Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat,
Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta
Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang kerap kali disebut sebagai magum opus
Fazlur Rahman ini mengkaji pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan
tema-tema yang telah disebut sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara
menghubungkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan
sikap atau tanggapannya atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para
orientalis (seperti Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain
sebagainya) yang kerap kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran
merupakan kelanjutan atau terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada
sebelumya (seperti Yahudi dan Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil
membangun landasan filosofis yang terga untuk perenungan kembali makna dan
pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer.
Buku berikutnya yang Rahman
hasilkan pada periode Chicago ini ialah Islam and Modernity: Transformation of
an Intelectual Tradition. Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas
Rahman dalam menata masa depan Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini
tidak melulu membahas Islam historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi
pembangunan umat Islam dan bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode
modern. Berikutnya ialah buku yang berjudul Helath and Medicine in Islamic
Tradition, buku ini berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai
sebuah sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.
Setelah mengkaji
perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan pada buku-buku yang ia hasilkan
sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat dikatakan bahwa Rahman mengalami
perubahan concern pemikiran serta kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan
ini disebabkan oleh kesadaran Rahman bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi
krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh
Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya, kemudian membuatnya berupaya
membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis tersebut (Amal, 1996: 148-149).
PENDAHULUAN
Islam Wetu Telu Di
Bayan Lombok: Dialektika Islam Dan Budaya Lokal, seperti yang pernah
dibahas oleh Muhammad Harfin
Zuhdi bahwa shalat tiga kali sehari, hadirnya
adalah sebelum Islam datang ke Nusantaradi Indonesia ini sudah
ada berbagai macam adat kuno dan
kepercayaan lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal
sosial. Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama
yang beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu-Budha.
Alih-alih membersihkan
sepenuhnya anasir non-Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada akhirnya
disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam Abangan di Jawa, dan
Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan
kepercayaan lokal yang mengandung anasir non-Islami.
Di pulau Jawa, Lombok
dan wilayah lain, Islam sarat diwarnai oleh kebudayaan asli setempat
“…Islam, dengan segelintir pengecualian, dipraktekkan di seluruh kepulauan
Indonesia sebagai sebuah agama tradisional rakyat. Dimana-mana Islam disatukan
dengan kepercayaan lokal”. Di samping itu juga tidak terlalu mengejutkan
mendapati bahwa mayoritas orang Islam nominal memandang Islam secara sempit
sebagai syãhadat, berpantang makan daging babi, dan minum alkohol serta
berkhitan bagi kaum prianya.
Perbedaan perspektif dan pemahaman
dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam, serta akomodasi agama ini
ke dalam struktur lokal yang spesifik telah menyumbang pluralitas dan parokialitas
Islam di Indonesia.
Bedasarkan elaborasi di
atas terlihat bahwa terdapat pluralitas ekspresi keberagamaan di Indonesia. Di
pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni
antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat
dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima
dikatagorikan agama samãwi. Klasifikasi ini bukan merupakan suatu yang terpisah
satu sama lain. Kedua katagori ini bisa saling tumpang tindih, di mana sebuah
katagori memiliki karakteristik tertentu yang juga bisa dipunyai katagori lain,
begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, agama tradisional memuat nilai-nilai,
konsep, pandangan, dan praktek-praktek tertentu hingga pada batas-batas
tertentu juga bisa ditemukan dalam agama samãwi. Begitu juga halnya dengan
agama samãwi bisa mengandung sesuatu yang ternyata lebih parokial.
Identifikasi Wetu
Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima
yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada
muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu
Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para
kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting
keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat
al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik
yang, bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk
animistik dan antropomorpismenya.
Islam Wetu Telu:
Kepercayaan dan Ritus Keberagamaan
Penelitian sosioligis ilmuwan Barat
abad ke-20, seperti Van Eerde dan Bousquet, menunjukkan bahwa di kalangan
masyarakat Sasak terdapat tiga kelompok
keagamaan; Sasak Boda, Waktu Lima dan Wetu Telu. Sasak Boda disebut-sebut
sebagai agama asli masyarakat Lombok. Kendati dari penyebutannya mirip dengan
kata Budha, mereka bukanlah penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui
Sidharta Gautama sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran pencerahannya.
Menurut Erni Budiwanti, agama Boda ditandai oleh animisme dan panteisme .
Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dari berbagai dewa lokal lainnya
merupakan fokus utama dari praktek Sasak Boda.
Penganut Boda merupakan komunitas kecil
dan masih ditemukan pada awal abad ke-20, tinggal di bagian utara Gunung
Rinjani [Kecamatan Bayan dan Tanjung] dan di beberapa desa di sebelah selatan
Gunung Rinjani. Diduga, dulunya mereka berasal dari bagian tengah pulau Lombok
dan mengungsi ke wilayah pegunungan untuk menghindari proses islamisasi.
Sementara penganut Wetu
Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan
sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat nenek moyang
mereka. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di
dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di
sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu
sejalan dengan agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini
menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat sinkretik.
Beberapa kalangan melihat fenomena Wetu
Telu dalam makna yang sama dengan penganut Islam abangan atau
Islam Jawa di Jawa, sebagaimana trikotomi yang diajukan Geertz, dan ditulis
oleh Mark Woodward. Namun penyebutan Islam Wetu Telu ini disangkal oleh Raden
Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah. Menurutnya, Islam hanya satu, tidak
ada polarisasi antara waktu tiga [Wetu Telu] dan Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu
Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan
bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan
kami yang kuasa dan nabi Muhammad sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat
pun diucapkan oleh penganut Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab,
kata Gedarip, diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: Asyhadu Ingsun
sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka
sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah.
Allahhuma shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji [bersaksi]
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad
adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima agama
Islam.
Selanjutnya ia
mensinyalir bahwa lahirnya istilah Islam Wetu Telu ini berasal dari zaman
penjajahan Belanda yang menjalankan politik devide et et impera untuk
memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam Wetu Telu versus
Islam Waktu Lima.
Bagi komunitas Wetu
Telu di Bayan , salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu, paling
tidak ada empat konsepsi mengenai Wetu Telu. Walau berbeda-beda, keempatnya
merupakan satu kesatuan pengertian, karena masing-masing tokoh yang diwawancarai
mengakui konsepsi yang dikemukakan oleh tokoh Wetu Telu lainnya.
Pertama, pandangan yang
menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata
Wetu berasal dari kata Metu, yang berarti muncul atau datang dari,
sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua
makhluk hidup muncul [metu] melalui tiga macam sistem reproduksi : 1]
melahirkan [menganak], seperti manusia dan mamalia; 2] bertelur [menteluk],
seperti burung; dan 3] berkembang biak dari benih atau buah [mentiuk], seperti
biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tetumbuhan lainnya. Tetapi
fokus kepercayaan Wetu Telu tidak terbatas hanya pada sistem reproduksi,
melainkan juga menunjuk pada Kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup
untuk hidup dan mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.
Kedua, persepsi yang
mengatakan bahwa Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama
lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil
dan jagad besar. Jagad kecil disebut alam raya atau mayapada yang terdiri atas
dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain, sedangkan manusia dan makhluk
lainnya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada
alam semesta.
Ketiga, konsepsi yang
menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam
kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus;
dilahirkan [menganak] hidup [urip] dan mati [mate].
Kegiatan ritual sangat
terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu diiringi upacara,
merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status
selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Keempat, konsepsi yang
menyatakan bahwa pusat kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam dan
Hawa.
Sehubungan dengan
kepercayaan ini, penganut Wetu Telu mengadakan ritual-ritual yang terkait
dengan siklus tersebut. Adapun ritual-ritual [upacara] yang terkait dengan
kehidupan dinamakan gawe urip, yang mencakup seluruh tahapan hidup manusia
semenjak dilahirkan hingga menikah. Yang termasuk dalam gawe urip, antara lain:
1. Buang Au [Upacara
Kelahiran], merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar dukun
beranak [belian] setelah membantu persalinan. Upacara ini dilaksanakan
kira-kira satu minggu setelah melahirkan. Pada saat itu pula orang tua
mengumumkan nama anaknya setelah berkonsultasi dengan pemangku atau kyai
mengenai nama yang cocok untuk anaknya.
2. Ngurisang (Pemotongan
Rambut), merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan setelah buang au.
Upacara ini diadakan untuk seorang anak yang sudah mencapai usia antara 1
sampai 7 tahun. Ngurisang dianggap penting karena setelah ini anak yang
menjalaninya disebut selam [Muslim] sebagai lawan dari Boda, artinya orang yang
belum di-Islam-kan.
3. Ngitanang
[Khitanan], yang dilakukan saat anak berusia antara 3 hingga 10 tahun. Seperti
buang au dan ngurisang, ngitanang juga dipandang sebagai simbol peng-Islam-an.
Seorang anak masih tetap Boda sampai ia dikhitan.
4. Merosok [Meratakan
Gigi], merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak menjadi
dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kyai menghaluskan gigi bagian depan
anak laki-laki dan gadis remaja yang berbaring di berugak.
5. Merari/Mulang
[“mencuri” Gadis] dan Metikah [Perkawinan]
Sedangkan ritual-ritual
yang dilaksanakan berkaitan dengan kematian disebut gawe pati [ritual kematian
dan pasca kematian]. Upacara ini dilaksanakan mulai dari hari penguburan [nusur
tanah], hari ketiga [nelung], hari ketujuh [mituk], hari kesembilan [nyiwak],
hari keempat puluh [matang puluh], keseratus [nyatus] hingga hari keseribu
[nyiu].
Upacara-upacara ini
bertujuan untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur. Hal ini
terkait erat dengan persepsi penganut Wetu Telu bahwa kematian adalah suatu
tahap untuk menjamin tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran [lingkaran
leluhur] dan ritual-ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini. Melalui do’a
yang dibaca pada saat upacara diyakini bahwa arwah si mati dipertemukan dengan
para leluhurnya.
Dari keempat konsep
yang saling mengkait dan merupakan satu kesatuan di atas, warna Islam memang
ada dalam kepercayaan Wetu Telu. Warna Islam juga ditemukan dalam ritual-ritual
yang berkaitan dengan hari besar Islam, seperti :
1. Rowah Wulan dan
Sampet Jum’at
Kedua upacara ini
dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan puasa [Ramadlan]. Rowah Wulan
diselenggarakan pada hari pertama bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at
dilaksanakan pada jum’at terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai
upacara pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk
menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa.
Upacara-upacara ini
tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang
melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa
yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.
2. Maleman Qunut dan
Maleman Likuran
Maleman Qunut merupakan
peringatan yang menandai keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini
dilaksanakan pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan
Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat terakhir shalat
witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali atas dasar ini
kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman Qunut.
Sedangkan Maleman Likuran
merupakan upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan
puasa. Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur, maleman
selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada malam ini masyarakat
Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan makanan untuk para kyai yang
melaksanakan shalat tarawih di masjid kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26,
dan 28 dirayakan dengan makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut
sedekah maleman likuran.
3. Maleman Pitrah dan
Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik
dengan saat pembayaran zakat fitrah di kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam
tradisi Wetu Telu terdapat sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya
dengan Waktu Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat
dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah kepada para kyai
yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja. Bentuk
pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran Waktu Lima, yang juga mentradisi di
kalangan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan
jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam
tradisi Wetu Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang,
termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu disebut Pitrah Urip, sedangkan
untuk yang sudah meninggal disebut Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran
Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu
Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara
pemuka agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.
4. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan
seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi. Dalam perayaan ini, seluruh Kyai
dipimpin Penghulu melakukan Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat
yang menandai pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran
Topat berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan ini,
ketupat menjadi santapan ritual utama.
5. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik
dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya
dilakukan dua bulan setelah lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di
antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan
pemotongan kambing berwarna hitam.
6. Selametan Bubur
Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur
puteq dan bubur abang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut
penanggalan Wetu Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia
dan beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq [bubur putih] dan
bubur abang [bubur merah] merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam
upacara ini. Bubur putih melambangkan air mani yang merepresentasikan
laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah haid yang merepresentasikan
perempuan.
7.Maulud
Dari penyebutannya,
terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu
pelaksanaannya sama, yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya
untuk memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara lainnya,
berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.
Sedangkan kepercayaan
lainnya adalah kepercayaan akan roh leluhur dan makhluk halus yang menempati
benda-benda mati yang disebut penunggu [penjaga]. Roh leluhur dianggap penting
dalam kepercayaan Wetu Telu, sebagai bukti bahwa antara mereka yang hidup saat
ini memiliki keterkaitan dengan serta kewajiban atas mereka yang sudah
meninggal dunia. Oleh karena itu, setiap upacara, apapun namanya, selalu
diawali dengan upacara pembersihan makam dan meletakkan benda-benda untuk
diinapkan di makam leluhur sebelum semua upacara dilaksanakan. Ini dimaksudkan
untuk meminta izin sekaligus memberitahu para leluhurnya bahwa mereka
mengadakan suatu upacara.
Dialektika Tradisi
Islam Normatif dan Islam Kultural
Islam sebagai sebuah
sistem tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal
yang masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan. Elemen tersebut adalah doktrin
atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti [core
element] di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual
sebagai elemen permukaan [peripheral element] disisi lain. Disebut elemen inti
karena ia menjadi ruh substantif dari agama Islam yang tanpa kehadirannya agama
tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan
mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata jika
tampak ke wilayah permukaan.
Dari segi doktrinal,
Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-rubah,
namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tataran praksis
komunitas umatnya, maka warna Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya
interpretasi akibat perbedaaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala
konsekuensinya itu belakangan membentuk sebuah peradaban Islam yang sangat
heterogen dan dinamis, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Aspek yang
terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam
secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektiaka sejarah yang
berbeda-beda namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.
Dengan demikian, Islam
harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan
realitas; mencakup dimensi kepercayaan [belief] yang berupa tauhid dan
diimplementasikan ke dalam dimensi praksis yang meliputi ritual, budaya dan
tradisi dan tradisi keislaman lainnya.
Sebagai konsekuensi
lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut
sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, “Islam normatif” atau, istilah Richard
C. Martin, “Islam formal”yang ketentuannya tertuang secara ekplisit didalam
teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praksis menyangkut dimensi
kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan faktor eksternal yang
melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari
akumulasi pengetahuan secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara “Islam
formal” dan budaya lokal Muslim tertentu.
Dalam mengkaji Islam
beserta makna derivasinya, paling tidak ada dua pendekatan yang digunakan,
yaitu Pendekatan teksual dan pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual
menekankan pada signifikansi teks-teks sebgai sentra kajian Islam dengan
merujuk kepada sumber-sumber suci [pristine source] dalam Islam, terutama
al-Qur’an dan al-Hadits. Pendekatan ini sangat penting untuk melihat realitas
Islam normatif yang tertulis baik secara eksplisit maupun implisit.
Fenomena ritual
keagamaan yang banyak bercampur dengan tradisi lokal tidak dapat disangkal
lagi, kepercayaan dan ritual sinkretik atau abangan sangat banyak ragamnya.
Banyak peneliti Islam Indonesia, yang memberikan keterangan tentang Islam yang
begitu berbeda dengan karakter Islam Arab.
Fenomena ini juga
diamini oleh Martin van Bruinessen, dengan menunjukkan bukti bahwa banyak praktek
yang dikatagorikan Islam abangan juga ditemukan di belahan lain dunia Islam. Ia
membandingkan deskripsi Geertz tentang agama abangan dengan
pengamatan-pengamatan pada kehidupan sehari-hari kaum petani Mesir, pada awal
abad ke-19, yang dilakukan oleh studi klasik lain, karya Lane: Manners and
Customs of the Modern Egyptians [Perilaku dan Kebiasaan Orang-orang Mesir
Modern]. Beberapa praktek kurang islami yang terlihat dalam perilaku keagamaan
orang Jawa, telah dikenal juga oleh orang-orang Mesir.
Di samping itu banyak
praktek magic yang bersumber dari Islam, bahkan tidak diragukan lagi bersumber
dari tanah suci [Makkah]. Isinya banyak memuat tentang naskah magis populer dan
ramalan-ramalan, yang juga dikenal sebagai primbon atau dalam versi yang lebih
islami disebut kitab mujarobat, yang diperoleh langsung dari karya-karya
penulis Muslim Afrika Utara abad ke-12-13, yakni Syeikh Ahmad al-Buni.
Beberapa kepercayaan
dan praktek lokal telah menjadi bagian kompleksitas budaya global. Banyak umat
Islam kontemporer Indonesia enggan menyebutnya Islami karena mereka menentang
konsepsi Islam modern [universal]. Namun demikian, lanjut Martin, dalam
beberapa kasus, meraka masuk ke Indonesia sebagai bagian dari perluasan
peradaban Islam, meski tidak menjadi tulang punggung agama Islam. Mereka
merepresentasikan gerakan awal islamisasi, dan adalah keliru jika dikatakan
bahwa islamisasi adalah gerakan sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses
yang dimulai sejak abad ke-13 sampai 15 H.
Akomodasi, Adaptasi dan
Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal
Dialektika Islam dengan
realitas kehidupan sejatinya merupakan realitas yang terus menerus menyertai
agama ini sepanjang sejarahnya. Sejak awal kelahirannya, Islam tumbuh dan
berkembang dalam suatu kondisi yang tidak hampa budaya. Realitas kehidupan ini
–diakui atau tidak—memiliki peran yang cukup signifikan dalam mengantarkan
Islam menuju perkembangannya yang aktual sehingga sampai pada suatu peradaban
yang mewakili dan diakui okeh masyarakat dunia.
Oleh karenanya, kondisi
kehidupan keagamaan kaum muslimin pada saat ini tidak dapat dipisahkan dari
proses penyebaran Islam di Indonesia sejak beberapa abad sebelumnya. Ketika
Islam masuk di Indonesia, kebudayaan nusantara telah dipengaruhi oleh agama
Hindu dan Budha, selain masih kuatnya berbagai kepercayaan tradisional, seperti
animisme, dinamisme, dan sebagainya. Kebudayaan Islam akhirnya menjadi
tradisi kecil di tengah-tengah Hinduisme dan Budhisme yang juga menjadi tradisi
kecil. Tradisi-tradisi kecil inilah yang kemudian saling mempengaruhi dan
mempertahankan eksistensinya.
Kemampuan Islam untuk
beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling
bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami
transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia,
tetapi juga karena ada jarak-jarak kultural.
Proses komporomi
kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam
keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang
dari ajaran Islam yang murni. Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan,
apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan.
Sementara di pulau Lombok dikenal dengan istilah Islam Wetu Telu.
Proses islamisasi yang
berlangsung di Nusantara pada dasarnya berada dalam proses akulturasi. Seperti
telah diketahui bahwa Islam disebarkan ke Nusantara sebagai kaedah normatif di
samping aspek seni budaya. Sementara itu, masyarakat dan budaya di mana Islam
itu disosialisasikan adalah sebuah alam empiris. Dalam konteks ini, sebagai
makhluk berakal, manusia pada dasarnya beragama dan dengan akalnya pula mereka
paling mengetahui dunianya sendiri. Pada alur logika inilah manusia, melalui
perilaku budayanya senantiasa meningkatkan aktualisasi diri. Karena itu, dalam
setiap akulturasi budaya, manusia membentuk, memanfaatkan , mengubah hal-hal
paling sesuai dengan kebutuhannya.
Dari paradigma inilah,
masih dalam kerangka akulturasi, lahir apa yang kemudian apa yang dikenal
sebagai local genius. Di sini local genius bisa diartikan sebgai
kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap
pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik,
yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya.
Pada sisi lain, secara
implisit local genius dapat dirinci karakteristiknya, yakni: mampu bertahan
terhadap dunia luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur dunia luar;
mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan
memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.
Wacana Islam Wetu Telu
dalam hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam pribumi atau Islam
kultural, yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam
dalam manifestasi kehidupan. Penghargaan ini dapat dipahami jika memandang
kebudayaan sebagai sumber nilai yang dimaknai dengan tindakan konkret di ruang
sosial. Sebagai sumber bagi tindakan, nilai-nilai dalam tradisi atau agama
bukanlah nilai yang murni, namun selalu diuji dalam kemampuannya menghadapi
persoalan kehidupan. Dalam pengujian itu nilai-nilai tradisi dan agama dapat
terus berubah, dinamis, dan bersifat sementara.
Selalu ada hubungan
timbal balik antara subjek pelaku dengan struktur objektif atau kebudayaan
[sebagai seluruh pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam
bentuk simbolik]. Dalam hubungannya dengan pelaku ini, simbol-simbol agama atau
tradisi ditentukan oleh kesediaan pelaku dalam mempergunakannya dan bagaimana
si pelaku mempergunakannya bergantung pada kepentingan dirinya dalam ruang dan
waktu. Si pelaku selalu memiliki pilihan untuk mempergunakan satu simbol di
antara simbol-simbol yang lain secara pragmatis. Dengan cara ini keberbedaan
antara nilai tradisi dan agama dapat dikawinkan atau dikomunikasikan karena
perpisahan antara keduanya akan menghasilkan kontraproduktif bagi keduanya.
Islam Wetu Telu
dapat dipahami jika secara rela menjadikan Islam sebagai salah satu bagian dari
ruang heteroglosia yang secara alamiah membutuhkan yang nilai dari tradisi lain
demi pengayaan dan pendewasaan dirinya. Sebaliknya, tradisi adat Wetu Telu juga
dapat menerima Islam sebagai sebuah cermin bagi pengembangan dirinya ke arah
yang lebih baik.
Berdasarkan elaborasi
ini, maka dalam konteks ini, pribumisasi Islam diharapkan mampu melakukan
secara simultan langkah invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif untuk
menemukan, merekonsiliasi, dan mengkomunikasikan serta menghasilkan
konstruksi-konstruksi baru.
Konstruksi tersebut
tidak harus merupakan pembaruan secara total atau kembali ke tradisi leluhur
masa lalu secara total pula, namun pembaruan yang dimaksud di sini adalah
pembaruan terbatas sesuai dengan prinsip al-’Adah Muhakkamah. Jadi, sebuah
invensi dalam konteks pribumisasi Islam tidak dimaksudkan menemukan tradisi
atau autentisitas secara literal, melainkan bagaimana tradisi-tradisi lokal itu
menjadi sesuatu yang dapat berdialektika dan dimodifikasi ulang sesuai dengan
konteks dimensi ruang dan waktu [zamân wa makân; time and space] sesuai dengan
kaidah Taghayyur al-Ahkâm bi at-Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa
al-Ahwâl.
Pribumisasi Islam,
dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah berhenti mengupayakan
berkurangnya ketegangan antara norma agama dan manifestasi budaya. Wallâh A’lam
bi al-Shawâb.
_____________
BAB I
A.Shalat Dalam Mazhab Ahlul Bait
Seorang profesor bidang studi Islam di Turki memicu
kontroversi, setelah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh sholat hanya
tiga kali dalam sehari, dan bukan lima kali asalkan memperbanyak doa.Fatwa itu
dikeluarkan oleh Profesor Muhammad Nour Dugan, dan ia mendapat dukungan dari
sejumlah profesor bidang hukum Islam lainnya, sehingga menimbulkan perdebatan
yang panas di media massa Turki.Para cendekiawan Islam yang mendukung fatwa
tersebut antara lain Dr. Ali Kusa. Ia beralasan, Nabi Muhammad Saw dalam
kasus-kasus khusus menggabungkan dua waktu sholat
.
1.Shalat Dalam Mazhab Ahlulbait
Jika anda membaca Qs. 17:78 dan Qs. 11:114 maka jelaslah maka shalat 5 kali
sehari dalam 3 waktu :
* Zuhur dan ashar
* Maghrib dan isya
* Subuh
.
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the
“Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
How many prayer times are mentioned? THREE, NOT five. Count them: the
“Sun’s Decline, Darkness of the Night, and the Morning Prayer.” That’s
THREE, not FIVE.
Now, what did the Prophet (PBUH&HF) do? Here’s
what Ibn Abbas, one of the
most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of
the books of tradition):
most famous narrators, says according to the Musnad of Ibn Hanbal (One of
the books of tradition):
“The Prophet (PBUH&HF) prayed in Madina, while
residing there,
NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven
Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and
`Asr combined).”
NOT TRAVELING, seven and eight (this is an indication to the seven
Raka’t of Maghrib and Isha combined, and the eight Raka’t of Zuhr and
`Asr combined).”
Musnad al-Imam Ibn Hanbal, vol. 1, page 221.
Also, in the Muwatta’ of Malik (Imam of Maliki sect),
vol. 1, page 161, Ibn
Abbas says:
Abbas says:
“The Prophet (PBUH&HF) prayed Zuhr and `Asr in
combination and Maghrib
and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”
and Isha in combination WITHOUT a reason for fear or travel.”
As for Sahih Muslim, see the following under the
chapter of “Combination of
prayers, when one is resident”:
prayers, when one is resident”:
Ibn Abbas reported: The messenger of Allah(may peace
be upon him)
observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset
and Isha prayers together without being in a state of fear or in a
state of journey
observed the noon and the afternoon prayers together, and the sunset
and Isha prayers together without being in a state of fear or in a
state of journey
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1515
Ibn
Abbas reported that the messenger of Allah(may peace be upon him)
combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset
prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of
danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words
are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So
that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.”
combined the noon prayer with the afternoon prayer and the sunset
prayer with the Isha prayer in Medina without being in a state of
danger or rainfall. And in the hadith transmitted by Waki(the words
are): “I said to Ibn Abbas: What prompted him to do that? He said: So
that his(prophet’s)Ummah should not be put to (unnecessary) hardship.”
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1520
Abdullah
b. Shaqiq reported: Ibn Abbas one day addressed us in the
afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and
the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A
person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned
away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you
be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon
and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b.
Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to
Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion.
afternoon(after the afternoon prayer) till the sun disappeared, and
the stars appeared, and the people began to say: Prayer, prayer. A
person from Banu Tamim came there. He neither slackened nor turned
away, but (continued crying): Prayer, prayer. Ibn Abbas said: May you
be deprived of your mother, do you teach me sunnah? And then he said:
I saw the messenger of Allah(may peace be upon him) combining the noon
and afternoon prayers and the sunset and Isha prayers. Abdullah b.
Shaqiq said: Some doubt was created in my mind about it. So I came to
Abu Huraira and asked him(about it) and he testified his assertion.
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1523
Abdullah
b. Shaqiq al-Uqaili reported: A person said to Ibn Abbas(as
he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and
said: May you be deprived of your mother, do you teach us about
prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the
messenger of Allah(may peace be upon him).
he delayed the prayer): Prayer. He kept silent. He again said: Prayer.
He again kept silent, and he cried: Prayer. He again kept silent and
said: May you be deprived of your mother, do you teach us about
prayer? We used to combine two prayers during the lifetime of the
messenger of Allah(may peace be upon him).
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1524
Ibn
Abbas reported: The messenger of Allah(may peace be upon him)
observed the noon and afternoon prayers together in Medina without
being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I
asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked
Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy
prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to
[unnecessary] hardship.
observed the noon and afternoon prayers together in Medina without
being in a state of fear or in a state of journey. Abu Zubair said: I
asked Sa’id[one of the narrators] why he did that. He said: I asked
Ibn Abbas as you have asked me, and he replied that he[the Holy
prophet] wanted that no one among his Ummah should be put to
[unnecessary] hardship.
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1516
Ibn
Abbas reported that the Messenger of Allah(may peace be upon him)
observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he
combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset
and Isha prayers(seven Rakahs).
observed in Medina seven (rakahs) and eight(rakahs), i.e., (he
combined) the noon and afternoon prayers(eight rakahs) and the sunset
and Isha prayers(seven Rakahs).
Sahih
Muslim, English version, Chapter CCL, Tradition #1522
.
2.Wudhu syi’ah
Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua
tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena
mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya
dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya
terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu
dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam
ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam
Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan
kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama
yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu
dengan dua basuhan dan dua usapan”.
title=safinah v:shapes="_x0000_i1027">
Sebagaimana
diketahui, pada tertib ritual wudhu, madzhab ahlusunnah mewajibkan membasuh
kaki.
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
Sementara, madzhab syi’ah mewajibkan mengusap kaki (bukan membasuh kaki), berdasarkan ayat al-Qur’an :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.” [5]
Sedang
hadits-hadits seputar hal itu juga diriwayatkan, baik dari jalur ahlusunnah
maupun syi’ah. Namun, larangan sebagian ulama ahlusunnah untuk mengusap kaki
dikarenakan hadits-hadits yang memerintahkan membasuh kaki; yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Khalid bin Walid, Amr bin al-‘Ash, Urwah, dan lain-lain [6].
Dan sejarah membuktikan bahwa keempat orang tersebut adalah orang-orang yang
tidak menyukai, bahkan memerangi Ahlul Bait as. Sementara hadits-hadits dari
jalur ahlusunnah, yang memerintahkan untuk mengusap kaki, sebagai berikut :
1.
Baihaqi meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Rifa’ah bin Rafi’, yang mengatakan
bahwa Rasulullah (saww) bersabda : “Sungguh tidaklah kalian mengerjakan sholat,
hingga kalian mengerjakan wudhu sebagaimana perintah Allah, yakni “basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”.” [7]
2.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang berkata bahwa ayat “usaplah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” mengandung makna “mengusap”.
[8]
3.
Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan Ibn Majah meriwayatkan dari Ibn Abbas, yang
berkata : “Orang-orang telah membasuh, padahal tidak aku jumpai dalam
Kitabullah kecuali mengusap.” [9]
dan
lain-lain.
Sementara
dari jalur Ahlul Bait as (syi’ah), terdapat banyak sekali riwayat yang
memerintahkan untuk mengusap kaki, seperti :
1.
Imam Muhammad al-Baqir as, ketika menerangkan wudhu Rasulullah saww, mengatakan
bahwa Rasul saww mengusap kakinya sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan : “Usaplah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [10]
2.
Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan bahwa ayat : “basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan
kedua mata kaki” termasuk ayat muhkam, yang tidak memerlukan takwil lagi.
Adapun batasan (hukum) wudhu adalah membasuh muka dan kedua tangan, serta
mengusap kepala dan kedua kaki. [11]
3.
Imam Ali al-Ridha as, ketika ditanya seseorang, mengatakan bahwa surat
al-Maidah tersebut sudah jelas, yaitu mengusap kepala dan kedua kaki. [12]
4.
Imam Muhammad al-Baqir as, ketika ditanya tentang darimana perintah untuk
mengusap kepala dan kedua kaki, maka beliau menjawab bahwa perintah tersebut
tercantum dalam al-Qur’an : “basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
serta usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. [13]
Referensi:
[5]
QS. al-Maidah: 6
[6]
Al-Syaukani, “Nailul Authar”, jilid 1, bab “Sifat Wudhu”; Suyuthi, “Durr
al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[7]
Suyuthi, “Durr al-Mantsur”, jilid 3, tentang (QS. al-Maidah: 6).
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Al-Hurr al-Amili, “Wasail al-Syi’ah”, jilid 1, hal. 389, riwayat 1022.
[11]
Ibid, hal. 399, riwayat 1042.
[12]
Al-Majlisi, “Bihar al-Anwar”, jilid 80, hal. 283, riwayat 32.
[13]
Al-Kulaini, “Al-Kafi”, jilid 3, hal. 30, riwayat 4.
3.Perbahasan Wudhu’
يا أَيُّهَا الَّذينَ
آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ
أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ
تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ
أَيْديكُمْ مِنْهُ ما يُريدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ
يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai
dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit,
berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau
menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah
itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Maidah:6)
Di
dalam ayat di atas, dua bentuk ayat perintah digunakan:
(i)
“faghsilu” yang berarti “basuh”
(ii) “wamsuhu” yang berarti “sapu/usap”.
Adalah
jelas bahawa bentuk ayat perintah “basuh” merujuk pada dua objek iaitu mukamu
(wujuhakum) dan kedua tanganmu (aidiyakum) manakala bentuk perintah kedua pula
(sapu/usap) merujuk pada dua objek lainnya iaitu bagian kepalamu (bi ru’usikum)
dan kedua kakimu (arjulakum)
Perkataan
“muka” berarti bagian depan kepala, bermula dari bagian dahi dan bawah dagu,
dan dari telinga ke telinga. Dalam artinya yang sah, sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadis2 para A’immah as,ia merangkumi bagian muka dari batas
anak rambut ke bagian hujung dagu, dan sebatas sejengkal dari sisi ke sisi.
Perkataan
tangan berarti organ yang digunakan untuk menggenggam, dan merangkumi bagian
atas antara bahu dan hujung jari. Maka, dari sudut bahasa, perkataan “yad”
adalah umum bagi lengan,lengan bawah dan tangan. Apabila sesuatu perkataan itu
digunapakai secara umum dalam lebih dari satu maksud, adalah penting untuk
pembicara menjelaskan maksud katanya…dengan ini, kita lihat perkataan ‘ill ‘l
marafiq “sehingga dengan siku” dalam ayat ini, menjelaskan hingga batas manakah
wudu’ itu harus dilakukan.
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’)
( Wasa’il, jilid 1. hlm.283-286 bahagian 17-19 pada bab wudu’)
Kini
kita sampai pada satu perbedaan utama antara Syiah dan Sunni dalam cara
melakukan wudu’. Sunni membasuh lengan mereka dari hujung jari ke siku,
manakala Syiah pula, membasuh lengan mereka dari siku ke hujung jemari. Seperti
yang dinyatakan di atas, perkataan “hingga dengan siku” tidak menjelaskan
kepada kita untuk membasuh lengan dari hujung jari hingga ke siku, malah,
perkataan ini semata mata memberitahu bagian tangan yang manakah yang termasuk
dalam bagian wudu’.
Lalu,
bagaimana kita melakukan wudu’ dari siku ke hujung jemari? Jawaban pada
persoalan ini terkandung di dalam sunnah. Salah satu dari tanggungjawab Rasul
saaw adalah untuk menjelas dan menunjukkan tatacara sebenar berwudu’, dan ini
kita peroleh lewat hadis para A’immah as.
Zurarah
bin A’yan meriwayatkan hadis berikut:
“Imam Muhammad al-Baqir (a.s) berkata “Mahukah aku perlihatkan pada kalian cara wudu’nya Rasulullah saaw?” Kami menjawab, “Ya”. Apabila air dibawakan ke hadapan Imam, Imam lalu membasuh tangannya, setelah itu beliau menyingsing lengan bajunya. Beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana, menceduk air dgn tangannya dan mencurahkannya ke dahinya. Beliau membiarkan air itu mengalir hingga ke janggutnya kemudian membasuh mukanya sekali. Kemudian, beliau memasukkan tangan kirinya ke dalam air dan menceduknya dengan tangannya dan menuangkannya ke ke siku tangan kanannya turun ke hujung jemarinya. Beliau mengulangi hal yang sama dengan tangan kanannya dan menuangkannya ke siku kirinya hingga ke hujung jemarinya.
Lalu
setelah itu, beliau megusap bagian depan kepalanya dan muka kakinya dengan sisa
air dari tangan kanan dan kirinya”( Wasa’il jilid 1 hlm 272)
Dalam
hadis yang lain Imam Muhammad al-Baqir (a.s) meriwayatkan cara berwudu yang
serupa dari Amirul Mukminin as yang menunjukkan cara berwudu Rasulullah saaw
saat diminta seseorang (Wasa’il jilid 1 hlm 272)
Kata
perintah “wamsahu “usap/sapu” berarti menyapukan tangan dsb pada sesuatu. Bila
perkataan seperti ini digunakan dalam bentuk kata transitif, ia menandakan
penyempurnaan dan keseluruhan perbuatan (sebagai contoh maksudnya “basuh
seluruh kepalamu”)
Namun,
setiap kali verb ini diikuti oleh huruf “ba”, ia menandakan sebagian darinya
(bermakna, “basuhlah sebagian dari kepalamu”) Dalam ayat wudu’ ini, huruf “ba”
telah digunakan dalam ayat perintah wudu’ yang berarti, terjemahannya yang
tepat adalah “basuhlah sebagian dari kepalamu”
Bagian
kepala yang manakah yang harus dibasuh saat berwudu’? Al Quran tidak
menyebutkannya, namun hal ini bisa kita temukan di dalam sunnah Rasul saaw.
Terdapat banyak hadis dari para A’immah as yang menjelaskan hal ini, bahawa
“sebagian dari kepala” adalah bagian depannya (Wasa’il jilid 1 hlm 289)
Perkataan
“arjulukum ” berarti “kaki, keseluruhan kaki”. Untuk mengkhususkan maksudnya,
adalah penting untuk menambahkan perkataan “illa ‘l-ka’bayn”, “hingga kedua
mata kaki”. Kata “ar-julakum” adalah berhubung kepada “bi ru’usikum” “sebagian
dari kepalamu” oleh kata sendi “wa=dan “. Dengan ini, ayat tersebut berarti
“usap/sapu sebagian dari kakimu”
Sekali
lagi, di sini, kita temukan perbedaan di antara Syiah dan Sunni. Sunni membasuh
keseluruhan kaki mereka sedangkan Syiah hanya mengusap bagian atas kaki mereka
hingga ke mata kaki. Sekaitan hal ini, al Quran dan hadis hadis para A’immah
as, menjelaskan bahawa “mengusap sebagian dari kakimu” itulah yang benar, dan
tafsir inilah yang juga diterima oleh mufassir kenamaan Sunni Imam Fakhru
‘d-Din ar-Razi in his Tafsir al-Kabir.( ar-Razi, Tafsir al-Kabir, vol.3, p.370)
Satu
satunya asas bagi Sunni dalam “membasuh kaki” adalah sebagian hadis yang
terakam dalam kitab2 hadis mereka.
Hadis2
ini tidak valid karena:
Pertamanya,
terdapatnya percanggahan dengan perintah al Quran. Rasul saaw bersabda “Jika
hadisku disampaikan padamu, maka letakkannya di hadapan al Quran, jika ia
sejalan dengan kitab Allah, ambillah, dan jika sebaliknya, tolaklah”
Keduanya,
mereka menentang sunnah Rasul saaw, sebagaimana yang dijelaskan oleh para
A’immah as, yang diterima oleh semua kaum Muslimin. Bahkan sebagian dari
sahabat yang mengatakan adalah salah untuk menisbahkan “membasuh kaki” kepada
Rasul saaw.
Sebagai
contohnya, sahabat Ibn Abbas berkata, “Allah telah menetapkan dua basuh dan dua
usap dalam berwudu’. Tidakkah engkau perhatikan, saat Allah memerintahkan
bertayyamum, Allah telah meletakkan duausapan pada dua basuhan (muka dan
tangan) dan menghilangkan dua usapan (kepala dan kaki) ( Muttaqi al-Hindi,
Kanzu ‘l-Ummal, jil. 5, hlm. 103 (hadith 2213).Juga Musnad Ibn Hanbal, jil. 1,
hlm.108).
Ketiga,
hadis Sunni dalam hal ini (wudu’) adalah saling bertentangan. Sebagian hadis
menyebutkan “membasuh kaki” seperti hadis Humran yang dikutip oleh Bukhari dan
oleh Ibn ‘Asim yang dikutip oleh Muslim. Manakala sebagian dari hadis pula
mengatakan bahawa Nabi saaw “mengusap kaki”, seperti hadis Ibad bin Tamim yang
berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw melakukan wudu’, dan Baginda mengusap
kakinya”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Ta’rikh of al-Bukhari, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, Sunan Ibn Abi Shaybah, dan Mu’jamu ‘l-Kabir at-Tabarani; dan semua
perawinya adalah tsiqah. ( al-’Asqalani, al-’lsabah, jil. 1, hlm. 193; juga
Tahdhib at-Tahdhib).
Dan
adalah suatu kesepakatan bahawa di dalam kaedah (usulu ‘l-fiqh) jika ada hadis2
yang bertentangan, maka yang sejalan dengan al Quran diterima dan selainnya
ditolak
Diriwayatkan
dari Rifa’ah Ibn Rafi’ bahawa beliau bersama dengan Rasul saaw lalu Baginda
saaw bersabda, “Hakikatnya, tiada solat yang diterima sehinggalah seseorang itu
menyempurnakan wudu’nya sebagaiman yang ditetapkan oleh Allah yang Maha
Perkasa, iaitu membasuh muka dan tangan hingga ke siku dan mengusap kepala dan
kedua kaki hingga ke mata kaki” . (Sunan Ibn Majah. jil. 1, bag 57, hadis 460,
No. 453; Sunan Abi Dawud, No. 730; Sunan Al-Nisa’i, No. 1124; Sunan Al-Darimi
1295)
Al-Bukhari,
Ahmad, Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi Umar, Al-Baghawi, Al-Tabarani, Al-Bawirdi dan
yang lainnya meriwayatkan dari Abbad Ibn Tamim Al-Mazani yang meriwayatkan
bahawa bapanya berkata, “Aku melihat Rasulullah saaw berwudu’ dan mengusap
kakinya dengan air”(Al-Isaba, jil. 1, hlm. 185, No. 843)
Abu
Malik Ash’ari memberitahu kerabatnya, “Mari, biar aku tunjukkan cara
berwudu’nya Rasulullah saaw” Beliau meminta air untuk berwudu’. Beliau menghidu
air tersebut lalu membasuh mukanya tiga kali dan membasuh tangannya dari siku
tiga kali dan mengusap kepala dan muka atas kakinya. Kemudian mereka solat
(Musnad Ahmad Ibn Hanbal, No. 21825)
Diriwayatkan
dari Rubayyi’ bahawa dia berkata, “Ibn Abbas datang kepadaku dan bertanyakan
tentang hadis yang aku riwayatkan dari Rasul saaw yang menceritakan tentang
Nabi saaw membasuh kakinya saat berwudu’. Lalu Ibn Abbas berkata, “Manusia
mengelak apa sahaja kecuali basuh, sedang aku tidak melihat di dalam kitab
Allah kecuali menyapu” (Sunan Ibn Majah, jil. 1, hlm. 156, No. 458, No. 451;
Musnad Ahmad, No. 25773 )
Ulama
Syi’ah berkeyakinan bahwa dalam berwudhu diwajibkan membasuh kedua tangan dari
atas ke arah bawah. Sementara kaum Ahlusunnah berpendapat bahwa manusia
(mukallaf) bebas memilih antara membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah
atau sebaliknya. Tetapi disunatkan membasuhnya dari ujung jari-jari ke arah
atas.(Al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil khamsah, hal. 80, al-Fiqhu ‘ala al-madzâhibil
arba’ah, jilid 1, hal. 65 pada pembahasan jumlah sunat-sunat dan lain-lain;
Shalat al-mukmin al-qahthani, jilid 1, hal. 41, 42.)
Fukaha
Syi’ah mendasari pandangannya dengan sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa
Rasululah Saw membasuh kedua tangannya dari atas ke bawah.( Wasâ’il as-Syi’ah,
jilid 1, hal. 387 pada abwâbul wudhu, bab 15, bâbu kayfiyati al-wudhu wa
jumlatin min ahkamihi).
Dan
berdasarkan riwayat sahih lainnya sebagai penafsiran yang disampaikan oleh para
Imam makshum As atas ayat yang berkaitan dengan wudhu.(. Surat al-Maidah (5):
6).
Riwayat
tersebut berbunyi: “Kalian harus membasuh kedua tanganmu dari atas ke bawah”(
Wasa’il as-Syi’ah, jilid 1, abwâbu al-wudhu, bab 19, h 1.)
Adapun
mengenai redaksi “ila” yang terdapat di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Wahai
orang-orang yang beriman, ketika kamu ingin melakukan shalat, maka basuhkan
wajahmu dan kedua tanganmu hingga bagian siku” (Qs. Al-Maidah [5]:6) dapat
dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menjelaskan batasan-batasan basuhan dan
kadarnya, bukan menjelaskan tata cara membasuh. Dengan kata lain bahwa ayat
tersebut menentukan batasan dan kadar tangan yang harus dibasuh dalam berwudhu
itu hingga bagian siku.( Kata “marâfiq” adalah bentuk plural dari kata “mirfaq”
yang bermakna siku)
Untuk
memperjelas maksud apa yang disebutkan di atas kami akan sampaikan contoh
sebagai berikut. Misalnya ada seseorang berkata kepada pembantu masjid: “Uknus
al-masjid min al-bâb ila al-mihrâb” (sapulah masjid dari pintu sampai ke
mihrab). Dalam kalimat tersebut seseorang ingin menjelaskan kadar dan batasan
yang harus di sapu. Dia tidak bermaksud mengatakan dari mana memulainya dan
sampai dimana kesudahannya. Terlebih dalam ayat wudhu tersebut tidak terdapat
kata “min” (dari). Dengan demikian bahwa kata “ila” yang terdapat pada ayat di
atas itu tidak juga menunjukkan dianjurkannya (sunah) membasuh kedua tangan
dari ujung jari-jari ke arah siku. Sebagai bukti terbaik atas maksud ayat
tersebut adalah kebiasaan dan sunnah Rasulullah Saw yang telah dijelaskan oleh
para Imam suci Ahlulbait As.
Dengan
demikiian bahwa makna kata “ila” adalah ghayat ( Maknanya: ke, hingga), tetapi
menunjukkan tangan yang dibasuh ( Yakni bahwa batas tangan yang harus dibasuh
adalah sampai siku). dan bukan untuk cara membasuhnya.( Yakni bukan berarti
basuhannya itu sampai siku sehingga menimbulkan dugaan bahwa tata cara
membasuhnya itu harus ke arah siku). Atau bermakna “min” ( Bermakna: dari) atau
bermakna “ma’a” ( Bermakna: beserta, bersama). sebagaimana pandangan Syaikh
Thusi.( Wasâil as-Syi’ah, jilid 1, hal. 406).
Tatacara
berwudu’ dalam mazhab Ahlul Bayt as
Wudu’
dilaksanakan secara empat tahap:
1.
Membasuh muka. Selepas berniat, curahkan air dari atas arah anak rambut. Dengan
menggunakan tangan kanan, basuhlah muka itu dari atas ke bawah, hingga air itu
sampai ke seluruh wajah dari anak rambut ke dagu dan dari sisi ke sisi(bagian
yg tidak ditumbuhi janggut)
Bacalah
doa ini sebelum mulakan wudu’:
Bis
mail-lahi wa bil-lahi ; wal hamdu lil-lahi lazi ja’ala ma’a tahuran wa lam
yaj’alu najisa
dan
doa ini saat membasuh muka:
Allahumma
bayyiz wajhiy yawma tusawwidul wujuh; wa la tusawwid wajhiy yawma tubyyizul
wujuh
2.
Membasuh tangan dari siku ke hujung jemari. Lurutkan tangan ke bawah dan tidak
boleh naik ke atas saat membasuh tangan ke bawah. Mulakan pada tangan kanan
dahulu baru diikuti oleh tangan kiri.
Bacalah
doa ini saat membasuh tangan kanan:
Allahumma
‘atiniy kitabi bi yaminiy, wal khuda fil jinani bi yasariy, wa hasibniy hisaban
yasira
Bacalah
doa ini saat membasuh tangan kiri:
Allahumma
la tu’tiniy kitabiy bi shimaliy, wa la min wara’i zahriy, wa la taj’alha
maghluqatan ila ‘unuqi; wa a ‘uzu bika min muqatta ‘atin niyran
3.
Mengusap kepala. Dengan sisa air wudu’ itu (tidak perlu mengambil air lagi),
usapkan kepala dari bagian atas kepala turun ke anak rambut. Gunakan tangan
kanan, bisa dgn satu jari sahaja, namun sebaik baiknya 3 jari.
Bacalah
doa ini saat mengusap kepala:
Allahumma
ghash-shiniy bi rahmatika wa barakatika wa ‘afwika
4.
Mengusap muka kaki. Seperti kepala tadi, air yg masih tersisa pada tangan tadi
di usapkan pada kaki, bermula dari hujung jari kaki hingga ke atas (menggunakan
tapak tangan), iaitu pada mata kaki(pergelangan kaki). Kaki tidak boleh
digerakkan saat mengusap, hanya tangan sahaja yg digerakkan (kaki juga bisa
diusap dari mata kaki ke hujung jari) Gunakan tapak tangan kanan utk kaki kanan
dan tapak tangan kiri utk kaki kiri.
Bacalah
doa ini saat mengusap kaki:
Allahumma
thab-bitniy ‘alas sirati yawma tuzillu fiyhil aqdam ; waj’al sa’iy fi ma
urziyka ;anniy ; ya zul jalali wal ikram
**Adalah
penting utk memperhatikan bahawa saat menyapu kepala dan kaki, kedua dua bagian
itu harusnya tidak basah, pastikan keduanya tidak berair.
_______________________________________________________________
di
sunni -ketika membahas nasikh-mansukh-ayat wudlu ini dijadikan dalil bolehnya
sunnah mengapus hukum qur’an. Di antara dalilnya adalah berikut ini:
Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahi, telah
menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah
menceritakan kepada kami Asim al-Ahwal, dari Anas yang mengatakan bahwaAl-Qur’an menurunkan perintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah
memerintahkan untuk membasuh(nya). Ibnu
Katsir berkata Sanad atsar ini sahih.
Ibn
Katsir berkata “Memang diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf hal yang
memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.” kemudian ia membawakan
dalil-dalilnya, di antaranya:
1.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Humaid
yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat
itu berada di dekat¬nya, “Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah
ke pada kami di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan
masalah bersuci (wudlu). Maka ia mengatakan, ‘Basuhlah wajah dan kedua tangan
kalian dan usaplah kepala serta basuhlah kaki kalian. Karena sesungguhnya tidak
ada sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran
selain dari kedua telapak kakinya. Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan
bagian luarnya serta mata kakinya’.” Maka Anas berkata, “Mahabenar Allah dengan
segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman,‘Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian’
2.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij ,
dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri atas dua basuhan dan dua sapuan.
3.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah. Ibnu Abu
Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Abu Ma’mar Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab,
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya “dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian
sampai dengan kedua mata kaki.”(al-Maidah: 6). Makna yang
dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan membasuhnya).
Yang
aneh, kenapa ia justeru menyerang syi’ah dengan pernyataan: “Orang-orang yang
menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap sepasang khuf dari
kalangan ulama Syi’ah, sesungguhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan.”
Apa
hubungannya dengan syi’ah, kenapa ia tidak mengkritik salaf yang berpendapat
demikian tapi malah syi’ah yang disesatkan? aneh…
Ada 3
Amalan Bersuci (QS. 4: 43 dan QS. 5: 6) dengan perintah mandi, membasuh dan
mengusap:
1.Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
2.Sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.
3. Sapulah mukamu dan tanganmu.(tayamum)
Perbedaan
qira’at tidak mempengaruhi arti dan maksudnya. Membasuh kaki karena mengikuti
perintah “membasuh muka” bertentangan dengan susunan kalimat yang fasih seperti
dicontohkan pada perintah “mengusap muka”
Sunni
sendiri umumnya mengakui bahwa ayat tersebut menyuruh mengusap kaki, hanya saja
ada sunnah yang mewajibkan membasuh kaki. Sehingga ada yang membawa dalil
sunnah tsb sebagai penjelas dan ada juga sebagai penghapus hukum ayat tersebut.
Bagi
saya ayat-ayat perintah dalam al-Quran adalah penting. semoga kita tidak
termasuk orang yang diadukan oleh Rasul SAW:
“Berkatalah
Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang
tidak diacuhkan.” (QS. 25: 30)
Love to read it,Waiting For More new Update and I Already Read your Recent Post its Great Thanks.
ReplyDeleteLoved your writings also. Concept of the topic was well discussed. Love to come here again. Thanks!
ReplyDeleteLoved your writings also. Concept of the topic was well discussed. Love to come here again. Thanks!
ReplyDelete