Thursday, May 9, 2013

KETIKA MEMUKUL ANAK TIDAK DAPAT DIHINDARI



PENDAHULUAN
PENULIS sebagai widyaiswara pendidikan, sering mendapatkan pertanyaan tentang guru yang menyatakan “Saya memukul karena tidak dapat dihindari lagi”. Kini semakin jelas, sudah ada peraturan. “Peraturan itu akan berlaku bagi semua kepala sekolah, guru dan siswa. Bentuknya seperti SOP, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kekerasan antarpelajar,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam pertemuan dengan kapolda, tokoh pendidik, kepala sekolah, OSIS yang mengusung tema “Setop Tawuran”, Selasa (2/10) malam. Mendikbud juga menegaskan permendikbud tersebut akan memberi dukungan penuh pada kepolisian untuk menangani dan memberi hukuman kepada siapa pun pelaku kekerasan pelajar.
         Namun, dia meminta pemberian sanksi jangan dianggap sebagai bentuk mencederai siapa pun. Hukuman itu diberikan dalam bentuk kecintaan pada dunia pendidikan, siswa, guru, dan kepala sekolah. “Sekarang kita jangan lagi mencari siapa yang salah, terlalu banyak biaya yang keluar hanya untuk mencari siapa yang salah. Kita semua bertekad membangun dunia pendidikan tanpa tawuran. Kita hentikan perilaku primitif yang mengedepankan kekerasan. Jangan membiarkan adik-adik kita terjebak pada hal-hal negatif," Nuh menegaskan.
         Mendikbud juga mendorong agar semua sekolah membangun jejaring dan kerja sama antarsekolah. Dengan demikian, hubungan antarsekolah semakin baik dan saling mengenal antarsiswa dan guru. Tokoh pendidikan Arif Rahman menambahkan, kekerasan antarpelajar hanya bisa dicegah, jika ada pola asuh yang baik dalam keluarga. Selain itu, sekolah harus tegas mencegah terjadinya tawuran.
“Jangan sampai seolah-olah sekolah kecolongan. Sekolah harus cepat mengidentifikasi anak yang bermasalah,” tuturnya.
Arif menegaskan pemerintah harus tegas membuat regulasi yang dituruti semua pihak terkait, mulai dari dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, dan siswa. Harus ada sanksi tegas dan tidak bisa ditoleransi bila sekolah membiarkan kekerasan antarpelajar. 

        Masyarakat juga diminta menunjukkan kepedulian bila terjadi kekerasan antarpelajar. Semuanya harus bertindak. Termasuk tayangan televisi yang dinilai ikut memicu terjadinya kekerasan pada anak. Sementara itu, psikolog anak Seto Mulyadi menegaskan lahirnya kekerasan di sekolah menjadi momentum bagi semua pihak untuk introspeksi. Ini karena anak-anak bermasalah biasanya kurang perhatian dari lingkungan, terutama orang tua. 


         Seto menambahkan, anak menjadi mudah melakukan kekerasan hanya untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Ini karena di sekolah siswa sangat sedikit memiliki ruang untuk mengaktualisasikan diri. Dia juga menilai sistem pendidikan tidak ramah anak. Kurikulum tidak berpihak pada kepentingan anak. 
Budayawan Mochammad Sobari menjelaskan, sekolah hanya bisa mencetak anak-anak pandai, tapi tidak memiliki karakter. Sekolah hanya mengukur anak dengan kecerdasan otak, mengabaikan anak-anak bodoh dan bermasalah.


        DUNIA pendidikan di Aceh kembali ternodai dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh seorang oknum guru di SMA Negeri 7 Kota Lhokseumawe, terhadap seorang siswanya. Akibat tindak kekerasan fisik yang dilakukan oknum gurunya itu, Muslem, siswa kelas 2 IPS di SMA Negeri 7 Kota Lhokseumawe itu dilaporkan mengalami gangguan di bagian syaraf (Serambi, 25/3/2013). 

         Peristiwa kekerasan seperti ini tentu bukan yang kali pertama terjadi dalam dunia pendidikan baik dalam konteks lokal maupun nasional. Bahkan mungkin banyak peristiwa kekerasan lain yang pernah terjadi, tapi tidak terpublikasi di media massa.

Peristiwa di atas mengingatkan saya dengan komentar beberapa orang guru dalam beberapa pelatihan yang berbeda. Intinya ada kesan di antara guru kontemporer yang menyalahkan kondisi pendidikan dewasa ini yang dianggap memasung kebebasan mereka dalam melaksakan tanggung jawab mendidik dan mengajar yang mereka emban. 


        “Gimana kita mau mendidik dengan benar kalau sedikit saja siswa dijewer sudah dilaporkan ke polisi,” komentar seorang guru suatu kali. “Sekarang ini, kita serba susah sebagai guru. Kita jadi takut menghukum dikarenakan nanti akan dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM) dan UU Perlindungan Anak,” jelas seorang guru pada kesempatan yang lain. 


BAB       I
CURHAT GURU-GURU  TENTANG NASIBNYA

Komentar-komentar sedemikian rupa memang tidak bisa ditolak begitu saja, karena memang itu adalah bentuk curahan hati (curhat) mereka sebagai pendidik yang mengalami langsung bagaimana situasi di lapangan. Tapi dari beberapa komentar tersebut memang ada hal-hal yang perlu diluruskan.


 Tindakan kekerasan

         Kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (W.W. Charters, 197). 


         Unsur terpenting pelaku dari corporal punishment seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti guru, dosen, ustaz, dan lain-lain yang seharusnya memiliki otoritas dan kewajiban untuk melindungi anak. Lebih lanjut lagi kekerasan dalam dunia pendidikan pada dasarnya bisa berbentuk fisik dan nonfisik. Kekerasan yang berbentuk fisik antara lain seperti memukul, menampar, menjewer, menyepak, membanting, dst. 


Selain itu, kekerasan fisik terhadap anak juga bisa berbentuk seksual (pelecehan seksual, pencabulan, pemerkosaan dst). Sementara kekerasan nonfisik dapat berbentuk kata-kata (verbal) seperti membentak, mengumpat, merendahkan, menghina, dst. 

        Dari penjelasan di atas tergambar bahwa kekerasan terhadap anak pada dasarnya bukan hanya berbentuk fisik, sebagaimana yang pada umumnya dipahami sepintas oleh guru di atas, akan tetapi juga meliputi kekerasan lisan (verbal) maupun seksual. 

Reward (ganjaran, hadiah) dan punishment dalam dunia pendidikan pada umumnya dikorelasikan dan dianggap berasal dari pembahasan reinforcement (dorongan, dukungan, motivasi) yang diperkenalkan oleh Thorndike (1898-1901). 


       Dorongan atau motivasi tersebut ditujukan untuk memperkuat sikap/tingkah laku individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila reinforcement ini ditiadakan, maka sebagai akibatnya perbuatan individu tersebut akan melemah.

        Dalam teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal adanya teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas. Oleh karena itu mereka harus selalu diawasi serta dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan bahwa mereka mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility). 

          Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan bahwa rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya.
  

        Berkenaan dengan hal ini, menurut kaca mata Islam, konsep pemberian hadiah dan pemberian hukuman juga bukan merupakan terma yang asing lagi. Alquran al-Karim sendiri banyak memuat dan menyinggung kedua konsep ini, di antaranya dalam Surat al-Taubah ayat 74, al-Ruum ayat 10, al-Bayyinah ayat 6 dan 8, al-Baqarah ayat 61-62, al-Ankabut ayat 53 dan 58, dan Ali Imran ayat 10 dan 21.
 
BAB    II
HADIAH DAN HUKUMAN MENURUT AL-GAZALI

      Seorang pemikir Islam terkemuka, al-Ghazali, berpendapat bahwa reward sudah sepantasnya diberikan kepada peserta didik yang berprestasi di depan anak-anak yang lain. Tujuannya adalah agar anak-anak yang lain menjadi termotivasi untuk berbuat kebaikan yang serupa.


 Reward dan punishment

      Dalam dunia pendidikan ada teori umum bahwa sistem pemberian reward dan punishment yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment tersebut dikurangi dan bahkan kalau bisa dihindari, sedangkan konsep pemberian reward lebih ditekankan aplikasinya. Dengan ungkapan lain konsep reward ini sudah semestinya lebih banyak menjadi penekanan dibandingkan punishment. Kalaupun punishment harus diberlakukan, maka bentuknya harus yang bersifat mendidik, bukan yang bersifat melukai fisik atau menjatuhkan aspek psikis si anak.


       Proses pemberian hukuman (punishment) yang lebih menekankan pada hukuman fisik dan non fisik yang cenderung mencederai tubuh dan jiwa peserta didik dalam proses pendisiplinan diri, sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah saw sebagai sosok teladan seluruh umat manusia di bumi-Nya ini telah memberikan bukti-bukti nyata; Bagaimana cara mendidik anak yang baik dan benar, yaitu diiringi dengan pendekatan kasih sayang, keuletan serta kesabaran, dan bukan dengan cara kekerasan. 


       Namun demikian, tentu saja hal ini tidak dapat kemudian dimaknai dengan memanjakan si anak. Pemberian reward yang tidak pada tempatnya atau berlebihan (apalagi kalau selalu berbentuk material), justru akan menimbulkan kesan yang negatif pada diri si anak. Karena hal ini secara langsung akan menggiring mereka untuk berprinsip tidak akan berbuat baik bila tidak diberikan hadiah. 

       Di sinilah para pendidik (guru, dosen, ustaz, dan lain-lain) dituntut untuk memahami jiwa peserta didik. Yang perlu dicatat adalah bahwa tugas dan kewajiban mereka bukan hanya sebagai penyampai dan pemberi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, akan tetapi juga sekaligus pembimbing (counsellor) dan suri teladan yang baik. Wallahu a’lam bis shawab.
Hari Selasa depan aku tidak ingin masuk sekolah. Gurunya kejam. Masa aku tadi dipukul di kelas cuma karena salah membaca.” Demikian ungkapan seorang siswa kelas 2 sekolah dasar di kota Samarinda. Kekerasan dalam proses belajar-mengajar hingga hari ini masih belum bisa dihentikan. Pemahaman dan kapasitas guru yang kurang, menjadikan siswa sebagai sasaran amarah. Belum termasuk tekanan kehidupan guru yang keras.

         Bila melihat pada pasal 28 (2) Konvensi tentang Hak-hak Anak disebutkan bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak. Lebih lanjut pasal 37 (a) menyatakan tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
        Tindakan penegakan disiplin ataupun peningkatan daya serap anak, harusnya tidak dilakukan dengan kekerasan. Apa yang dibacakan oleh Ms. Gabriela Azurduy Arrieta (Bolivia) dan Ms. Audrey Chenynut (Monaco) pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Special Session untuk Anak tanggal 8 Mei 2002 harusnya dimaknai lebih mendalam oleh pelaku pendidikan di negeri ini. Salah satu yang pesannya bahwa pentingnya persamaan kesempatan dan akses kepada pendidikan berkualitas yang bebas biaya dan diwajibkan, serta lingkungan sekolah yang memungkinkan anak merasa bahagia dan senang untuk belajar.
Lebih jauh, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dr Seto Mulyadi menyatakanbahwa sekitar 80 hingga 90 persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan, karena arti sebenarnya pendidikan itu adalah hak, bukan suatu kewajiban. Berjuta anak Indonesia yang ke sekolah karena terpaksa, mendapatkan suasana sekolah yang tidak asyik, dan tidak menyenangkan, padahal belajar efektif adalah belajar yang menyenangkan.

          Kondisi sistem pendidikan negeri ini yang carut-marut menjadikan semakin banyak tindakan kriminal, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Korupsi yang membudaya, bukan hanya masalah moralitas, tapi lebih pada bahwa pendidikan belum berhasil membangun generasi cerdas dan kreatif.
       Kekerasan guru terhadap siswa sangat berdampak pada perkembangan psikologis anak. Keengganan anak untuk terus belajar mata pembelajaran yang diajarkan oleh seorang guru akan berbuah pada tidak bertambahnya pengetahuan anak terhadap mata pembelajaran tersebut. Selain juga, traumatik berkelanjutan akan tercipta pada jiwa anak.
        Proses pembelajaran cerdas dan kreatif yang masih belum dimiliki oleh para guru, juga tidak lepas dari peran lembaga pencetak guru yang cenderung statis dan tidak bergerak mengikuti perkembangan pengetahuan. Sejak sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) digunakan hingga kurikulum 2004 dan kurikulum 2006, baru sebagian kecil guru yang menerapkan proses belajar siswa yang cerdas dan kreatif. Minimnya penggunaan alam sebagai media belajar merupakan sebuah indikator sederhana dari miskinnya kapasitas seorang guru. Belajar secara monoton di dalam kelas berlangsung secara berkelanjutan, pada akhirnya membuahkan generasi statis, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kehancuran negeri ini.
       Silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar.
       Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
       Peringatan Hari Anak Nasional tahun 2006 yang bertemakan “Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia” dengan subtema “Anak Indonesia Sehat, Cerdas, Bercita Cita Tinggi, Berahklak Mulia” bisa jadi hanya sekedar slogan semu. Penerapan dalam berbagai sektor kehidupan telah sangat jauh dari apa yang tertuliskan. Ini terlihat jelas dari sistem pendidikan yang diberlakukan di negeri ini.
         Langkah penting sudah seharusnya diambil oleh Dewan Pendidikan Kota maupun Dinas Pendidikan Kota, untuk sesegera mungkin melakukan pengawasan terhadap pelaku pendidikan, khususnya perilaku kekerasan oleh guru di dalam ruang kelas. Kualitas guru serta kapasitas guru, terutama dalam hal metodologi pembelajaran, bukan hanya dibiarkan menjadi statis. Selain juga untuk sesegera mungkin meningkatkan kesejahteraan guru. Walau sebenarnya, guru bukanlah harus menjadi sebuah profesi, namun guru merupakan sebuah ruang pengabdian.
         Lebih penting bagi orang tua siswa untuk berani bersuara. Berdialog dengan anak untuk memantau perkembangannya. Termasuk disaat semakin banyaknya pungutan di sekolah dalam berbagai bentuknya. Bila tak ada suara dari orang tua siswa, maka bukan tidak mungkin Komite Sekolah (yang pada umumnya diisi oleh pejabat pemerintah dan pengusaha) akan memberlakukan pungutan yang tidak wajar di sebuah sekolah. Juga ketika masih kerap terjadinya kekerasan terhadap anak di sekolah, maka sudah selayaknya membuat pengaduan kepada institusi teknis (Dinas Pendidikan), maupun kepada pihak penegak hukum (bila telah dianggap sangat tidak wajar), agar pendidikan menjadi lebih baik di masa datang.
                                   

                                               BAB     III

                          MEMUKUL ANAK TIDAK SALAT 
                             ADALAH PERINTAH TUHAN


        (Kisah Nyata) Tuhan memerintahkan memukul anak yang tidak salat, tapi pukulannya tidak boleh berbekas, dan itupun sebagai tindakan terakhir. Tuhanlah yang menciptakan aturan untuk manusia. Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".

        Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
 
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.
"Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut. Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan.
 Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan."

         Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos. Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?" "Tentu saja," jawab si Profesor
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.
Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.
Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas.
Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali.
Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu
tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak.
Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya.
Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna.
 
Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap.
 
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut.
 
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

           Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari, Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah,
Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.
Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan.
 
Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

Profesor itu terdiam.
(Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein).
Diposkan oleh Afif Ali Khan a.k.a Afif Agus Komara di 20.11

 

 

Mengkritisi Kelemahan UU Pengadilan Anak

Oleh Ronni

Untuk mengakomodasi penyelenggaraan perlindungan hak anak dalam proses peradilan pidana di Indonesia, pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. UU ini lahir untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Maka, kelembagaan dan perangkat hukum yang lebih mantap serta memadai mengenai penyelenggaraan peradilan anak perlu dilakukan secara khusus.

        Menurut saya, UU Pengadilan Anak merupakan suatu langkah maju bagi perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan anak di Indonesia. Namun ada beberapa substansi dalam UU tersebut mengandung 7 (tujuh) kelemahan.

Pertama, berkaitan dengan usia anak nakal. Dalam pasal 1 angka (1) dinyatakan anak nakal adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai usia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Menurut saya, batas usia anak tersebut harus diubah dari usia minimal 8 (delapan) tahun menjadi 12 (dua belas) tahun. Sebab pada usia tersebut anak-anak tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan sidang peradilan anak atas tindak pidana yang dilakukannya. Tetapi harus melalui mekanisme tersendiri yang bertujuan untuk mengendalikan prilaku anak tersebut ke arah lebih baik.

       Kedua, istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Dalam UU Pengadilan Anak disebutkan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini berbeda sekali dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan istilah anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, istilah anak nakal mengandung pengertian seseorang yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

      Padahal anak yang melakukan tindak pidana berbeda halnya dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari lingkungan budaya tempat ia dibesarkan. Untuk itu istilah anak nakal yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak harus diganti dengan istilah anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak.

Ketiga, penahanan terhadap anak nakal. Dalam pasal 44 ayat (6) dinyatakan penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahan Negara, atau di tempat tertentu. Menurut saya, penahanan terhadap anak nakal tersebut seharusnya tidak menempatkannya di Rumah Tahanan Negara, tetapi menempatkannya pada panti-panti sosial yang disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Depertemen Sosial.

Sebab tujuan penahanan anak melalui panti-panti sosial adalah untuk mengadakan pembinaan terhadap anak tersebut sehingga menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Sedangkan penahanan anak melalui Rumah Tahanan Negara dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental anak yang masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.

Keempat, struktur dan kedudukan peradilan anak. Dalam Pasal 2 UU Pengadilan Anak dinyatakan Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut saya, hendaknya peradilan anak itu menjadi badan peradilan yang secara struktur hukum maupun kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang berdiri sendiri di bawah Mahkamah Agung.

Peradilan anak yang dikehendaki adalah peradilan yang berlangsung dari peradilan tingkat pertama, peradilan tingkat banding dan peradilan tingkat Mahkamah Agung sebagaimana layaknya fungsi peradilan yang ditentukan oleh hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari tujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak itu sendiri. Dimana hakim yang mengadili sidang tindak pidana yang dilakukan oleh anak nakal harus mempunyai minat, perhatian dan dedikasi terhadap masalah anak.

Kelima, tidak adanya UU yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum baik yang berkonflik dengan hukum maupun sebagai korban dari tindak pidana. Perlunya undang-undang yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa yang berhadapan dengan hukum.

Hal ini disebabkan tingkat kecakapan seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa. Dan secara lebih jauh masalah ini akan membawa perbedaan pada motivasi anak untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Juga harus dipertimbangkan tingkat kemampuan seorang anak untuk menjalani hukuman sebagai akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukannya tersebut.

Keenam, tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangandiskresioner yang dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada negara.

Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Shingga aparat kepolisian tidak menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Ketujuh, tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah dari aparat penegak hukum.

Dari kelemahan-kelemahan UU Pengadilan Anak tersebut, maka pemerintah harus segera merevisi UU ini untuk menciptakan suatu perangkat hukum yang memberikan perlindungan secara maksimal terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebab, anak yang melakukan tindak pidana juga merupakan korban dari tindak pidana itu sendiri. Yaitu korban dari lingkungan budaya yang mengkondisikan anak melakukan tindak pidana itu.





No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook