PENDAHULUAN
KUPERNAH BERTEMAN, ORANG YANG LICIK.
SETIAP BICARA, PORNONYA MENGGELITIK
MEMAKSAKAN KEHENDAK, MEMAKAI TAKTIK
DI DEPAN ORANG, DIA BERSIK-BISIK
MUNGKIN
DIA, KETURUNAN YAHUDI,
BERSILAT
LIDAH, MENJADI HOBI
MENGAMBIL
HAK ORANG, BERKALI-KALI
TANPA RASA
MALU, SAMA SEKALI.
Orang yang selalu merasa berkurangan
padahal nyatanya sudah berkelebihan, biasa disebut dengan istilah serakah atau
tamak. Orang serakah biasanya menginginkan agar dirinya memiliki sesuatu paling
banyak. Keinginannya itu tidak pernah berhenti. Apa yang sudah dimiliki,
sekalipun sudah terlalu banyak, masih selalu dirasa kurang, dan karena itu
masih ingin berusaha menambahnya.
Dua istilah yang agak mirip tetapi
sebenarnya maknanya berbeda, yaitu kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan hidup
setiap orang sesungguhnya tidak banyak. Sekedar iseng, saya pernah menghitung
kebutuhan konsumsi beras bagi setiap orang seumur hidup. Jika seorang makan
setiap hari secara normal, setiap 10 tahun hanya memerlukan beras sebanyak satu
ton. Sehingga, andaikan seseorang diberi karunia umur 70 tahun, maka paling hanya
memerlukan beras 7 ton saja. Padahal, satu hektar sawah, jika subur dan dipupuk
dengan baik, satu kali tanam bisa menghasilkan beras sebanyak itu.
Kebutuhan beras tersebut jika
dijabarkan lebih rinci adalah sebagai berikut. Bahwa satu kilo gram beras jika
dimasak, dengan hitungan normal bisa menjadi 12 piring nasi. Sebulan atau 30
hari jika makan tiga kali sehari, seseorang hanya membutuhkan nasi 90 piring.
Artinya, sebulan seseorang hanya membutuhkan beras 7,5 kg saja. Maka, jika
dikalkulasi, rata-rata satu tahun seseorang hanya membutuhkan satu kuintal
beras itu. Sedikit kaan ?
Sehubungan dengan itu, saya pernah
menghitung, ------masih sebatas iseng saja, seseorang yang berpuasa pada bulan
ramadhan, karena pada saat siang hari tidak makan, maka sebulan bisa menghemat
beras 2,5 kg. Beras yang tidak dimakan karena berpuasa itu ternyata sama
jumlahnya dengan kewajiban zakat fitrah yang harus dibayar, yaitu 2,5 kg.
Hitungan itu apa benar demikian, saya juga belum bisa memastikan. Tetapi
setidak-tidaknya, orang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan hitungan tersebut,
pasti mampu membayar zakat fitrah.
Selanjutnya, berbeda dengan
kebutuhan yang sangat sedikit itu, manusia masih selalu berusaha memenuhi
keinginannya. Keinginan bagi setiap orang tidak terbatas. Sekalipun kebutuhan
beras sehari-hari sangat sedikit, orang selalu berusaha mencari
sebanyak-banyaknya. Mereka menanam padi berhektar-hektar, masih ditambah dengan
kebun kelapa, sawit, cengkih, tebu, dan apa saja yang jumlahnya ----kalau bisa,
tidak terbatas. Selain itu anehnya, sekalipun sudah sedemikian banyak
penghasilannya, mereka tidak pernah merasa cukup.
BAB I
WALAUPUN SUDAH KAYA TETAP LICIK DAN SERAKAH
Masih menipu sekalipun kekayaannya sudah sedemikian besar, orang masih saja berusaha menambahnya lagi dengan berbagai usaha, misalnya berternak berbagai jenis binatang, ada sapi, kerbau, kambing, kucing, anjing, dan bahkan ular ataupun buaya dipelihara. Dengan begitu, ia bangga atas kepemilikannya itu. Padahal apakah semua kekayaannya itu akan dikunsumsi. Jawabnya, tentui juga tidak. Bagi mereka yang penting adalah berhasil merasa memiliki sebanyak-banyaknya. Itulah yang disebut sebagai orang serakah atau tamak.
Kadang sedemikian banyak jumlah kekayaan seseorang, yang jika dibanding dengan kebutuhannya sudah jauh berlebihan. Akan tetapi, kekayaan itu untuk memenuhi keinginannya, ----karena sifat serakah, dirasa belum mencukupi. Apa yang diinginkan masih jauh lebih banyak dari yang dimiliki. Sekalipun rumahnya sudah banyak, pabriknya ada di mana-mana, belum lagi usaha-usaha lainnya, dirasa masih kurang banyak lagi. Lagi-lagi, itu terjadi karena sifat serakah yang ada padanya.
Tentunya kita tidak hidup sendirian di bumi ini.
Kita pastinya hidup dalam sebuah komunitas bersama orang lain, kumpulan
orang-orang yang beraneka ragam. Karena keanekaragaman itulah ada kalanya kita
merasa sangat cocok dan ada kalanya kita merasa sangat tidak cocok dengan
seseorang atau juga merasa biasa saja. Semakin banyak jam terbang kita bergaul,
maka akan semakin kaya ‘kamus’ tata cara pergaulan kita, setidaknya secara
teori seharusnya demikian.
Menjadi teman dekat seseorang tidaklah
mudah, apalagi jika sudah mengetahui sisi luar dan dalamnya. Dimana yang paling
susah adalah ketika suatu saat terjadi perbedaan visi dan tidak adanya suatu
diskusi untuk menemukan win win solution. Ketika satu pihak memaksakan
kehendaknya kepada pihak yang lain, disitulah mulai timbul sebuah hubungan yang
tidak sehat.
Kita tidak bisa mengharapkan orang lain
berlaku seperti yang kita inginkan, apalagi memaksakan agar mereka berlaku
seperti keinginan kita, menurut saya itu tidak etis. Walaupun seseorang itu
lebih muda atau kita merasa lebih pintar dari orang tersebut, dalam hubungan
pertemanan orang dewasa sudah sewajarnya berlaku saling menghormati.
Ketika muncul sebuah ‘gesekan’, maka
alternatif yang terbaik adalah mendiskusikan sebuah win win solution. Termasuk
tidak tepat juga jika memaksa menerapkan standar kita agar diaplikasikan orang
lain. Tidak masalah jika orang yang bersangkutan dengan senang hati
mengadopsinya. Tetapi jika orang yang merasa terpaksa, akan terjadi situasi
yang tidak menyenangkan. Misalnya saja seorang karyawan perusahaan memiliki
beberapa anak buah. Karyawan tersebut haruslah memahami kemampuan anak buahnya
sebelum membuat KPI untuk mereka capai. Jika kemampuannya masih rendah,
seharusnya si bos membuat program untuk mengasah kemampuan para anak buah,
sehingga pada periode berikutnya KPI bisa dinaikkan. Jika tidak memahami anak
buah, alih-alih memenuhi target, yang terjadi bisa-bisa mereka semakin
membandel. Contoh yang lain ketika melakukan perjalanan dengan teman. Tentunya
kemampuan teman kita berbeda dengan kita. Bisa jadi kita mampu berjalan
seharian tanpa istirahat makan, tetapi belum tentu teman kita mampu. Disini
perlu adanya saling pengertian terhadap yang lain. Jangan sampai teman kita
malah jatuh sakit gara-gara menuruti kemauan kita. Dan harus bisa membedakan
posisi teman dan anak buah. Jangan sampai tertukar ^_^.
Setiap kita pastilah punya standar,
pandangan atau prinsip dalam pencapaian atau melakukan sesuatu. Menerapkan
standar kita kepada orang lain tidak bisa secara langsung. Minimal ada tahapan
atau pembicaraan. Memaksakan kehendak hanya akan berujung pada hilangnya sebuah
pertemanan atau hubungan baik yang telah terbentuk. Minimal teman akan menjauh,
dan sampai reaksi yang paling ekstrim dengan perkataan atau perbuatan. Belum
tentu jika seseorang meng-iya-kan apa saja yang kita katakan, maka ia setuju.
Bisa jadi dia tidak peduli dengan semua yang kita katakan atau lakukan, entah
yang kita lakukan itu benar atau salah, karena kita susah untuk diberi masukan
(karena kita adalah tipe pemaksa kehendak). Bisa jadi juga seseorang
cepat-cepat menuruti apa yang kita inginkan karena mereka tidak suka, bukan
karena mereka menyukai kita. Cepat-cepat menuruti agar segera selesai urusan
mereka dengan kita, karena mereka tidak betah dengan kita. Naudzubillah.
Mencari teman yang baik itu susah, dan jika
sudah mendapatkannya jangan sampai ia menjauh karena sikap kita. Karena sudah
merasakan bagaimana tidaknya selalu mengalah, maka akan berusaha sekuat tenaga
untuk tidak ’menindas’ orang lain. Be wise. Lihat segalanya lebih dekat, dan
kau akan mengerti.
Korban pemaksaan kehendak penguasa
Dalam dunia Islam, salah satu hal yang
menyedihkan adalah pemaksaan kehendak penguasa kerajaan dinasti Saudi yang
merupakan sekutu Zionis Amerika kepada para ulama untuk mengikuti ajaran ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab. Padahal beliau bukanlah seorang Imam Mujtahid Mutlak
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak
mau mempelajari ilmu fiqih sebagaimana informasi yang disampaikan oleh ulama
madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata
dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis
biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ
الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ
النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ
الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ
بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا
لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ
وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ
عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ
عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ
غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ
لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ
يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ
مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ
مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ
اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن
حميد النجدي، السحب الوابلة على
ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi,
adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di
berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal
Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah
meninggalnya sang ayah.
Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan
kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau
sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti
para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak
baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada
masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai
akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub
al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab meneladani ulama
Ibnu Taimiyyah yang mendalami ilmu agama tidak dengan bertemu atau
bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu
dari Imam Mazhab yang empat. Mereka mendalami ilmu agama lebih bersandarkan
dengan muthola’ah (menelaah) kitab dengan akal pikiran mereka sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan
merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa
Al-Hadithiyyah menisbahkan kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits
itu menyesatkan kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)“
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut
lalu mensyarahkan perkataan itu:
“Sesungguhnya hadits-hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya
mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya, bahkan ada
juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya.
Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafaz yang dzahirnya membawa kepada
tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya
melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar
mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-hadits (khususnya mutasyabihat)
sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-hadits mutasyabihat dengan makna
dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu
dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.” (Al-Fatawa
Al-Hadithiyyah halaman 202)
Apa yang disampaikan oleh Imam Ibn Hajar
Al-Haitami telah disepakati oleh para jumhur ulama bahwa jika memahami Al
Qur’an dan Hadits dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara
muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri yang
umumnya dengan makna dzahir, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah
yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
Ulama Ibnu Taimiyyah terjerumus kekufuran dalam
i’tiqod yang mengakibatkan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli
fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu
Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya sehingga beliau wafat di
penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia
Ilmu agama berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan
yang dapat dipelajari secara otodidak (belajar sendiri) dengan muthola’ah
(menelaah) kitab di balik perpustakaan.
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah : Aku
bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki kitab-kitab
mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah Shallallahu alaihi
wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia tidak meliliki ilmu untuk
bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk dan tidak pula bisa membedakan
hadits yang kuat dari yang lemah, maka bolehkah mengamalkan sesuai dengan apa
yang dia inginkan dan memilih sekehendaknya lantas ia berfatwa dan
mengamalkannya?” Beliau menjawab : “Tidaklah boleh mengamalkannya sehingga ia
bertanya dari apa yang ia ambil, maka hendaknya ia beramal di atas perkara yang
shahih dan hendaknya ia bertanya tentang yang demikian itu kepada ahli ilmu”
(lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab
hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya
kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah
mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang
semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil
dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab
tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari
kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah
untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Masalah otodidak ini sudah ada sejak lama dalam
ilmu hadis. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentari seseorang yang otodidak berikut
ini: “Abu Said bin Yunus adalah orang otodidak yang tidak mengerti apa itu
hadis” (Tahdzib al-Tahdzib VI/347)
Habib Munzir Al Musawa berkata “Orang yang berguru
tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya
karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau
jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya
terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh
sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja
boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita
mendapatkan masalah”
Keadaan para penguasa memaksakan kehendak sudah
disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya.
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
ثُمَّ سَكَتَ (أحمد)
“Kalian akan mengalami babak Kenabian selama masa
yang Allah kehendaki, kemudian babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian
selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak Raja-raja yang
menggigit,selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak para penguasa yang
memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan
mengalami babak kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.”
(HR Ahmad)
Sebagaimana kita ketahui Ummat Islam dewasa ini
sedang menjalani babak keempat dari lima babak perjalanan sejarahnya di Akhir
Zaman.
Tiga babak sebelumnya telah dilalui:
Babak pertama, babak An-Nubuwwah (Kenabian) yakni
masa ketika manhaj kenabian berlangsung
Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Sistem / Metode Kenabian),
Babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.
Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah (Kekhalifahan yang mengikuti Sistem / Metode Kenabian),
Babak ketiga, babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.
Sesudah berlalunya babak ketiga yang ditandai
dengan tigabelas abad masa kepemimpinan Kerajaan Daulat Bani Umayyah, kemudian
Kerajaan Daulat Bani Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki, maka
selanjutnya ummat Islam memasuki babak keempat, babak Mulkan Jabbriyyan
(Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak seraya mengabaikan kehendak Allah
dan RasulNya).
Babak keempat diawali semenjak runtuhnya Kekhalifahan
Utsmani Turki yang sekaligus merupakan kekhalifahan Islam terakhir pada tahun
1924.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu
ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama
kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)
Saat ikatan islam yang pertama kali lepas adalah
pada saat keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani
Sebuah episode sejarah keemasan Turki saat
dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II di awal abad ke-20.
Saat itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis
Internasional, mendatangi Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau
membagi sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel. Permintaan Hertzl
ini disertai dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki
dan juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan
Zionis Internasional.
Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid mengusir
Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun menyerahkan Tanah
Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah Palestina bukanlah milik
Turki, melainkan milik seluruh umat Islam dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak
Tanah Palestina selama saya masih hidup!”
Sebab itu, Hertzl dan para tokoh Zionis lainnya
merancang suatu konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani
sehingga kekhalifahan ini benar-benar ambruk pada tahun 1924 dan Turki pun
diubah menjadi negeri Sekuler.
Keberakhiran kekhalifahan pada dasarnya karena
terpengaruh paham individualisme dalam skala negara (nasionalisme) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi. Paham nasionalisme untuk memecah belah
umat Islam atau upaya meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah. Kita telah terpecah belah
ke dalam beberapa wilayah atau negara atau kesatuan dalam negara (nation state)
yang dikenal dengan propaganda nasionalisme. Salah satu hasutan kaum Zionis
Yahudi adalah menumbuhkan nasionalisme Arab.
Secara perlahan namun pasti, lembaga-lembaga
kajian Islam yang didirikan para orientalis Barat (kaum Zionis Yahudi) ini
meracuni pemikiran umat Islam Turki. Para orientalis menjelek-jelekkan sistem
Islam dan membangga-banggakan sistem nasionalisme. Dari sinilah lahir gerakan
nasionalisme Arab.
Jenderal Allenby mengirim seorang perwira Yahudi
Inggris bernama Edward Terrence Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin
di sana. TE. Lawrence ini diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di
makan mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini
kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh pesisir Barat
Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Pada awal Perang Dunia I tahun 1914, Zionis
Yahudi Inggris pada saat itu berupaya menjamin kekuasaannya di negara-negara
Syam dan Irak dengan cara memfungsikan tiga pendekatan yang kontradiktif,
pertama; negosiasi dengan Syarif Husain bin Ali dengan mendorongnya
mendeklarasikan revolusi Arab, kedua; negosiasi dengan Prancis membahas masa
depan Palestina dan negara- negara Syam, akhirnya mereka setuju pada satu
kesepakatan yang dikenal dengan kesepakatan Sykes Picot
Agreement pada bulan Mei 1916 dengan memberikan
sebagian besar wilayah-wilayah Irak Timur Jordan dan daerah Haifah di Palestina
kepada Inggris, Prancis mendapatkan Lebanon dan Suriah dan Palestina menjadi
wilayah dibawah kawasan internasional karena pertimbangan banyak pihak yang
menghendaki pendudukan atas wilayah Palestina
Kata-kata Deklarasi ini kemudian digabungkan ke
dalam perjanjian damai Sèvres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina.
Deklarasi yang ditandatangani oleh Balfour ialah sebagai berikut
Deklarasi Balfour
Foreign Office
November 2nd, 1917
Dear Lord Rothschild,
I have much pleasure in conveying to you, on
behalf of His Majesty’s Government, the following declaration of sympathy with
Jewish Zionist aspirations which has been submitted to, and approved by, the
Cabinet.
“His Majesty’s Government view with favour the
establishment in Palestine of a national home for the Jewish pePLOe, and will
use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it
being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the
civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or
the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.”
I should be grateful if you would bring this
declaration to the knowledge of the Zionist Federation.
Yours sincerely,
Arthur James Balfour
Catatan tentang diskusi-diskusi yang menghasilkan
teks akhir deklarasi Balfour ini menjelaskan beberapa rincian susunan
kata-katanya. Frase “tanah air” secara disengaja digunakan sebagai pengganti
“negara”, dan Inggris mencurahkan beberapa usaha pada dekade-dekade berikutnya
untuk menyangkal bahwa mereka memaksudkan pembentukan suatu negara, termasuk
Buku Putih Churchill, 1922. Namun demikian, secara pribadi, banyak pejabat
Inggris setuju dengan interpretasi kaum Zionis bahwa hasil akhir yang
diharapkan memang adalah sebuah negara.
Dalam sebuah wawancara dalam majalah New
Statesman, pada November 2002 menteri luar negeri Inggris, Jack Straw tidak
menyetujui penjajahan Inggris masa lalu atas banyak masalah politik modern,
termasuk konflik Arab-Israel. Jack Straw mengungkapkan “Deklarasi Balfour,
merupakan sejarah yang menarik buat kami, namun bukan sesuatu yang terhormat,
karena disatu sisi Inggris memberikan janji kepada Palestina Untuk memberikan
kemerdekan dan disisi lain Inggris memberikan jaminan kepada Israel untuk
mendirikan negara di tanah Palestina“
Deklarasi Balfour adalah sebuah perjanjian yang
paling aneh dan kontradiktif dengan kesepakatan kesepakatan lain, dimana dalam
deklarasi ini Inggris berjanji untuk memberikan wilayah yang bukan miliknya
bahkan wilayah tersebut belum dijajah Inggris, hal ini terjadi di saat Inggris
mencapai puncak kejayaannya dengan mengklaim dirinya sebagai pembela
nilai-nilai prinsip kemanusiaan.
Syarif Husain bin Ali sebagai Amir Mekah menolak
untuk mengakui negara Israel. Sebagai Khadim Al Haramain atau ‘Penjaga Dua Kota
Suci’, beliau tidak sanggup mengkhianati amanah yang diberikan oleh umat Islam
dengan mengakui negara haram Israel yang didirikan di atas tanah kaum muslimin.
Beliau terpaksa membayar penolakan tersebut
dengan harga yang sangat mahal yaitu kehilangan kedudukan sebagai Amir Mekah
dan Raja Hijaz.
Hal sama dapat kita ketahui dari tulisan pada http://votreesprit.wordpress.com/2012/04/15/peran-lawrence-of-arabia-di-balik-berdirinya-kerajaan-saudi/
Berikut kutipannya
Menurut logika yang sehat, seharusnyalah Kerajaan Saudi Arabia menjadi pemimpin bagi Dunia Islam dalam segala hal yang menyangkut keIslaman. Pemimpin dalam menyebarkan dakwah Islam, sekaligus pemimpin Dunia Islam dalam menghadapi serangan kaum kuffar yang terus-menerus melakukan serangan terhadap agama Allah SWT ini dalam berbagai bentuk, baik dalam hal Al-Ghawz Al-Fikri (serangan pemikiran dan kebudayaan) maupun serangan Qital.
Seharusnyalah Saudi Arabia menjadi pelindung bagi
Muslim Palestina, Muslim Afghanistan, Muslim Irak, Muslim Pattani, Muslim
Rohingya, Muslim Bosnia, Muslim Azebaijan, dan kaum Muslimin di seluruh dunia.
Tapi yang terjadi dalam realitas sesungguhnya, mungkin masih jadi pertanyaan
banyak pihak. Karena harapan itu masih jauh dari kenyataan.
Craig Unger, mantan deputi director New York
Observer di dalam karyanya yang sangat berani berjudul “Dinasti Bush Dinasti Saud”
(2004) memaparkan kelakuan beberapa oknum di dalam tubuh kerajaan negeri itu,
bahkan di antaranya termasuk para pangeran dari keluarga kerajaan.
“Pangeran Bandar yang dikenal sebagai ‘Saudi
Gatsby’ dengan ciri khas janggut dan jas rapih, adalah anggoa kerajaan Dinasti
Saudi yang bergaya hidup Barat, berada di kalangan jetset, dan belajar di
Barat. Bandar selalu mengadakan jamuan makan mewah di rumahnya yang megah di
seluruh dunia. Kapan pun ia bisa pergi dengan aman dari Arab Saudi dan dengan
entengnya melabrak batas-batas aturan seorang Muslim. Ia biasa minum Brandy dan
menghisap cerutu Cohiba, ” tulis Unger.
Bandar, tambah Unger, merupakan contoh perilaku
dan gaya hidup sejumlah syaikh yang berada di lingkungan kerajaan Arab Saudi.
“Dalam hal gaya hidup Baratnya, ia bisa mengalahkan orang Barat paling
fundamentalis sekali pun. ”
Bandar adalah putera dari Pangeran Sultan,
Menteri Pertahanan Saudi. Dia juga kemenakan dari Raja Fahd dan orang kedua
yang berhak mewarisi mahkota kerajaan, sekaligus cucu dari (alm) King Abdul
Aziz, pendiri Kerajaan Saudi modern.
Bukan hanya Pangeran Bandar yang begitu, beberapa
kebijakan dan sikap kerajaan terakdang juga agak membingungkan. Siapa pun tak
kan bisa menyangkal bahwa Kerajaan Saudi amat dekat—jika tidak bisa dikatakan
sekutu terdekat—Amerika Serikat. Di mulut, para syaikh-syaikh itu biasa mencaci
maki Zionis-Israel dan Amerika, tetapi mata dunia melihat banyak di antara
mereka yang berkawan akrab dan bersekutu dengannya.
Barangkali kenyataan inilah yang bisa menjawab
mengapa Kerajaan Saudi menyerahkan penjagaan keamanan bagi negerinya—termasuk
Makkah dan Madinah—kepada tentara Zionis Amerika.
Bahkan dikabarkan bahwa Saudi pula yang mengontak
Vinnel Corporation di tahun 1970-an untuk melatih tentaranya, Saudi Arabian
National Guard (SANG) dan mengadakan logistik tempur bagi tentaranya. Vinnel
merupakan salah satu Privat Military Company (PMC) terbesar di Amerika Serikat
yang bisa disamakan dengan perusahaan penyedia tentara bayaran.
Ketika umat Islam dunia melihat pasukan Amerika
Serikat yang hendak mendirikan pangkalan militer utama AS dalam menghadapi
invasi Irak atas Kuwait beberapa tahun lalu, maka hal itu tidak lepas dari
kebijakan orang-orang yang berada dalam kerajaan tersebut.
Langkah-langkah mengejutkan yang diambil pihak
Kerajaan Saudi tersebut sesungguhnya tidak mengejutkan bagi yang tahu latar
belakang berdirinya Kerajaan Saudi Arabia itu sendiri. Tidak perlu susah-sudah
mencari tahu tentang hal ini dan tidak perlu membaca buku-buku yang tebal atau
bertanya kepada profesor yang sangat pakar.
Pergilah ke tempat penyewaan VCD atau DVD, cari
sebuah film yang dirilis tahun 1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia’ dan
tontonlah. Di dalam film yang banyak mendapatkan penghargaan internasional
tersebut, dikisahkan tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris
bernama lengkap Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby
(jenderal ini ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam
Salahuddin Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, “Hai Saladin, hari ini telah
kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan kemenangan
kami!”).
Film ini memang agak kontroversial, ada yang
membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produser mengaku bahwa film
ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur dengan jujur tentang siapa yang
berada di balik berdirinya Kerajaan Saudi Arabia.
Konon kala itu Jazirah Arab merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah kekhalifahan umat Islam
dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh. Lalu dengan bantuan Lawrence dan
jaringannya, suatu suku atau klan melakukan pemberontakan (bughot) terhadap
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas,
dari wilayah kekhalifahan Islam itu.
Bahkan di film itu digambarkan bahwa klanSaud
dengan bantuan Lawrence mendirikan kerajaan sendiri yang terpisah dari khilfah
Turki Utsmani. Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam tulisannya
“Lawrence of Arabia was a Zionist” seperti yang dimuat di Jerusalem Post edisi
22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme.
Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan
Turki Utsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi Zonisme
setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk menyerahkan
wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi penghancuran Kekhalifahan
Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan waktunya dengan mendukung pembrontakan
Klan Saud terhadap Kekalifahan Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.
Entah apa yang terjadi, namunhingga detik ini,
Kerajaan Saudi Arabia, walau Makkah al-Mukaramah dan Madinah ada di dalam
wilayahnya, tetap menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat. Mereka tetap menjadi
sahabat yang manis bagi Amerika.
Selain film ‘Lawrence of Arabia’, ada beberapa
buku yang bisa menggambarkan hal ini yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Antara lain:
Wa’du Kissinger (Belitan Amerika di Tanah Suci,
Membongkar Strategi AS Menguasai Timur Tengah, karya DR. Safar Al-Hawali—mantan
Dekan Fakultas Akidah Universitas Ummul Quro Makkah, yang dipecat dan ditahan
setelah menulis buku ini, yang edisi Indonesianya diterbitkan Jazera, 2005)
Dinasti Bush Dinasti Saud, Hubungan Rahasia
Antara Dua Dinasti Terkuat Dunia (Craig Unger, 2004, edisi Indonesianya
diterbitkan oleh Diwan, 2006)
Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (George
Lenczowski, 1992)
History oh the Arabs (Philip K. Hitti, 2006)
Sebab itu, banyak kalangan yang berasumsi bawah
berdirinya Kerajaan Saudi Arabia adalah akibat “pemberontakan” terhadap
Kekhalifahan Islam Turki Utsmani dan diback-up oleh Lawrence, seorang agen
Zionis dan bawahan Jenderal Allenby yang sangat Islamofobia. Mungkin realitas
ini juga yang sering dijadikan alasan, mengapa Arab Saudi sampai sekarang
kurang perannya sebagai pelindung utama bagi kekuatan Dunia Islam, wallahu
a’lam. (Rz)
Dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad
Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka Semesta, cetakan I Juli
2009 halaman 167 dapat kita ketahui bahwa gerakan Zionisme dalam gerakan
politiknya ada dua langkah kerjasama yakni
***** awal kutipan *****
1. Di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kesultanan Turki
1. Di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kesultanan Turki
2. Di Arabia, bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud ,
sekte Wahhabi.
Kerajaan Protestan Anglikan, Inggris berhasil
menumbangkan kerajaan Arabia dari kekuasaan Raja Husein ataupun putra Raja Ali,
Ahlus sunnah wal Jama’ah yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina
dan Syiria bekas wilayah kekuasaan kesultanan Turki. Klaim atas kedua wilayah
tersebut menjadikan Raja Husein dan putranya Raja Ali, dimakzulkan. Kemudian,
kedua raja tersebut minta suaka di Cyprus dan Irak.
Kelanjutan dari kerjasama tersebut, Kerajaan
Protestan Anglikan Inggris mengakui Abdul Aziz bin Saudi (sekte Wahabi) sebagai
raja Kerajaan Saudi Arabia yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria
sebagai wilayah Saudi Arabia.
Keberhasilan kedua kerjasama ini, memungkinkan
berdirinya negara Israel, sesudah perang dunia II, 1939-1945M, tepatnya 15 Mei
1948
Kaum Wahabi adalah kaum yang mengikuti pemahaman
ulama Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari Kabilah Banu Tamim dari Najdi,
lahir 1115 H., wafat tahun 1206 H.
***** akhir kutipan *****
***** akhir kutipan *****
Penguasa kerajaan dinasti Saudi tidak mengklaim
wilayah Palestina adalah bahasa halus dari penyerahan Palestina kepada kaum
yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla demi kepentingan politik atau kekuasaan.
Begitupula adanya fatwa seorang ulama agar kaum
muslim di Palestina meninggalkan tanah (negeri) mereka dan menetapkan Palestina
sebagai negeri kaum kuffar.
Dalam tulisannya di New York Daily News, Bakal
Calon Presiden Amerika Serikat (AS) Rick Santorum menegaskan, “Yerusalem adalah
Ibu Kota Israel“.
“Sungguh pengalaman yang menyentuh berada di
Yerusalem, ibukota Israel”, kata Mitt Romney capres Republik pada awal
pidatonya di Yerusalem
Paham nasionalisme adalah paham individualisme
dalam skala besar yakni skala negara. Dengan terhasut paham nasionalisme
(individualisme skala besar) mengakibatkan “keadaan perang” di negara atau
wilayah saudara muslim lainnya seperti di Palestina, Afghanistan, dll, tidak
dianggap atau dirasakan sebagai keadaan perang di negara kaum muslim lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah
(sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan
kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang
dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari 3509)
Mereka tetap mengikat perjanjian kerjasama dengan
Amerika dan sekutunya yang merupakan representatif kaum Zionis Yahudi atau
secara tidak langsung “menyerahkan” sumber daya alam.
Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika
dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong emas. Emas
itu adalah emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari
pertambangan mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah
hasil dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,
“Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan yang akan menguasainya
adalah orang-orang jahat“. (HR. Baihaqi)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah
[60] : 8 )
Negeri kaum muslim tidak hanya sebatas batas
negara. Jika kaum muslim di Palestina telah diusir dari tanah (negeri) mereka
oleh kaum Zionis Israel dan didukung oleh sekutunya seperti Amerika maka semua
penguasa negeri yang mengaku muslim wajib merasakan sebagai keadaan perang juga
dan menghentikan segala bentuk kerjasama yang dapat memberikan kekuatan
finansial bagi mereka yang akan dipergunakan untuk membeli peluru guna membunuh
kaum muslim diberbagai belahan negara kaum muslim.
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk
surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian
saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai,
dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang
sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan
sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
yang artinya “Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan,
hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan
membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka” (At Thabraniy
dalam Al Ausath dan dishahihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al
Baihaqiy ada tambahan “orang yang diketahui akan membuatnya menjadi khamr”
Berdasarkan hadits ini, As Syaukani menyatakan
haramnya menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr
( Nailul Authar V hal 234). Kesimpulan tersebut dapat diterima, karena memang
dalam hadits tersebut terdapat ancaman neraka sebagai sanksi bagi orang yang mengerjakan.
As Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai
khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang membantu terjadinya
kemaksiatan yang dikiaskan pada hadits tersebut
Telah jelas keharaman jual-beli yang membantu terjadinya
kemaksiatan.
Firman Allah ta’ala yang artinya “….dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al Ma’idah [5]:2)
Seharusnyalah kerajaan dinasti Saudi memberikan
teladan kepada para penguasa-penguasa negara lain yang mengaku muslim untuk
mempertimbangkan kembali terhadap hasil kekayaan alam yang dikaruniakan Allah
Azza wa Jalla kepada kaum muslim namun diserahkan kepada mereka yang memang
diciptakan mempunyai rasa permusuhan kepada kaum muslim
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang dengan
kaum Zionis Yahudi , Allah ta’ala menyampaikan dalam firmanNya yang arti “yaitu
orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera
dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60)
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin Uyainah
dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu Dzar,
dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya
bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin
Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada RasulullahShallallahu alaihi wasallam
ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum
Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’.
“Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Janganlah menjadikan orang-orang yang dimurkai
oleh Allah Azza wa Jalla sebagai teman kepercayaan, penasehat, pelindung
Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan
dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah
untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah
[58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran,
118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal
mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya.
Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila
mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci
terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu
itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119).
No comments:
Post a Comment