NIAT BAIK, CARANYA JAHAT,
CARA BERFIKIRNYA, TIDAK SEHAT
PAKSAKAN KEHENDAK, DENGAN KUAT
HOBI KELAHI, SUKA MENCELAT
DULU TERKENAL, KHAWARIJ SEJATI
KINI MUNCUL, YANG LAIN LAGI
DIADU DOMBA, OLEH YAHUDI
SESAMA MUSLIM, SALING DENGKI
YA ALLAH, BERILAH PETUNJUK
JURU DAKWAH, BERHATI SEJUK
TINGGALKAN PERANGAI BURUK
AGAR MUSLIM, TIDAK TERPURUK
CARA BERFIKIRNYA, TIDAK SEHAT
PAKSAKAN KEHENDAK, DENGAN KUAT
HOBI KELAHI, SUKA MENCELAT
DULU TERKENAL, KHAWARIJ SEJATI
KINI MUNCUL, YANG LAIN LAGI
DIADU DOMBA, OLEH YAHUDI
SESAMA MUSLIM, SALING DENGKI
YA ALLAH, BERILAH PETUNJUK
JURU DAKWAH, BERHATI SEJUK
TINGGALKAN PERANGAI BURUK
AGAR MUSLIM, TIDAK TERPURUK
PENDAHULUAN
Penulis sebenarnya ingin menjadi pengikut Wahabi Salafi, tapi, cara dakwah mereka yang keras, bahkan kadang-kadang mencaci maki, padahal mereka sudah berada di jalan yang benar. Bagi pengikut aliran Salafi Wahabi mungkin mereka merasa aliran tersebut
sangat baik karena memurnikan Tauhid, membersihkan bid’ah, dan menganut Islam
sesuai ajaran Al Qur’an dan Hadits.
Namun kenapa banyak tentangan dari ummat Islam lainnya? Menghadapi hal itu,
para Syekh Wahabi menuding itu adalah ulah Syi’ah, Ahlul Bid’ah, Sufi, dan para
pelaku TBC (Tawassul, Bid’ah, dan Churafat). Para pengikutnya biasanya langsung
taqlid buta dan percaya. Benarkah?
Memakai Dalil Orang Kafir dalam Memvonis Bid’ah
Wahabi memakai dalil orang kafir dalam memvonis bid’ah. Satu dalil terkenal
yang sering mereka pakai adalah:
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Jika kita teliti, Nabi tidak pernah mengatakan itu. Di Al Qur’an pun
setelah diperiksa, ternyata itu adalah ucapan orang-orang kafir yang
dilontarkan terhadap orang yang beriman:
“Dan orang-orang kafir berkata kepada
orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al Quran) adalah suatu yang baik,
tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka
tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta
yang lama.” [Al Ahqaaf 11]
Jadi bagaimana mungkin kaum Wahabi bertasyabbuh/menyerupai orang-orang
kafir dengan mengutip ucapan orang-orang kafir sebagai dalil utama untuk
memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah atau sesat? Bukankah itu keliru?
Wahabi pun keliru menafsirkan ayat Al Qur’an di bawah:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” [Al Hasyr
7]
Kaum Wahabi memahami apa yang “Tidak diperintahkan” Nabi sebagai“Larangan.” Padahal di
ayat di atas yang “Dilarang” yang harus kita tinggalkan. Ada pun yang tidak
diperintahkan atau tidak dilarang, itu sebetulnya bukan larangan. Dari
kesalah-pahaman pengambilan dalil inilah akhirnya kaum Wahabi jadi ekstrim dan
sering memvonis ummat Islam sebagai Ahlul Bid’ah, Sesat, bahkan kafir yang
akhirnya merusak ukhuwah Islamiyyah. Memecah-belah dan melemahkan ummat Islam.
Secara tak sadar mereka justru melanggar larangan Allah dan terjebak dalam
dosa.
Contoh hal yang tidak diperintahkan atau pun dilarang Nabi misalnya
penyusunan kitab Al Qur’an dan juga Kitab-kitab Fiqih oleh para Imam Madzhab.
Meski tak ada perintah dan tidak ada larangan, itu bukan berarti haram/bid’ah.
Justru bermanfaat memudahkan ummat Islam dalam belajar Islam.
Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim (Takfir) dan Buruk Sangka
Paham kaum Wahabi ini adalah paham yang baik dan benar, tetapi terpengaruh oleh paham pengkafiran"Takfir". Yaitu menganggap ummat Islam itu
Ahlul Bid’ah, sesat, syirik, kafir, dsb. Akhirnya mereka mencaci-maki ummat
Islam dengan sebutan yang mereka sendiri tidak suka:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat 11]
Sebetulnya firman Allah di atas jelas agar kita tidak mengejek sesama
Muslim dengan sebutan yang tidak disukai seperti Ahlul Bid’ah, Sesat, apalagi
kafir. Namun kenapa kaum Wahabi yang katanya “Menegakkan Sunnah” melakukannya? Tak jarang juga kaum Wahabi berburuk sangka/curiga sehingga orang yang
berziarah kubur kemudian berdoa kepada Allah mendoakan mayat tersebut, mereka
duga sebagai berdoa kepada kuburan dan menyebutnya sebagai penyembah kuburan.
Begitu pula ada yang menulis saat dia tengah berteduh di bawah pohon karena
kepanasan di padang pasir kemudian berdoa kepada Allah, tiba-tiba seorang
Wahabi menghardiknya: “Mengapa engkau menyembah pohon?”. Main tuduh orang
sebagai penyembah pohon padahal tidak mendengar apa isi doa orang tersebut.
Padahal buruk sangka itu dosa:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” [Al Hujuraat 12]
Jadi bagaimana mungkin orang yang berziarah kubur dicaci sebagai penyembah
Kuburan padahal mereka itu sering mengucapkan tahlil: “Tidak Ada Tuhan Selain
Allah”? Mereka sekedar mengikuti perintah Nabi dan juga sunnah Nabi yang sering
melakukan Ziarah Kubur:
Dari Buraidah r.a., katanya: “Rasulullah
s.a.w. bersabda: “Saya telah pernah -dahulu- melarang engkau semua perihal
ziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah ke kubur itu!” (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur,
maka baiklah berziarah, sebab ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada
akhirat.”
Dari Aisyah ra, katanya: “Rasulullah
s.a.w. itu setiap malam gilirannya di tempat Aisyah, beliau s.a.w. lalu keluar
pada akhir malam ke makam Baqi’, kemudian mengucapkan -yang artinya-:
“Keselamatan atasmu semua hai perkampungan kaum mu’minin, akan datang padamu
semua apa-apa yang engkau semua dijanjikan besok yakni masih ditangguhkan
waktunya. Sesungguhnya kita semua ini Insya Allah menyusul engkau semua pula.
Ya Allah, ampunilah para penghuni makam Baqi’ Algharqad ini.”[54] (Riwayat
Muslim)
Dari Buraidah r.a., katanya: “Nabi
s.a.w. mengajarkan kepada mereka -para sahabat- jikalau mereka keluar berziarah
ke kubur supaya seseorang dari mereka mengucapkan -yang artinya-: “Keselamatan
atasmu semua hai para penghuni perkampungan-perkampungan -yakni kubur-kubur-
dari kaum mu’minin dan Muslimin. Sesungguhnya kita semua Insya Allah menyusul
engkau semua. Saya memohonkan kepada Allah untuk kita dan untukmu semua akan
keselamatan.” (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Rasulullah
s.a.w. berjalan melalui kubur-kubur Madinah lalu beliau menghadap kepada mereka
-penghuni-penghuni kubur-kubur- itu dengan wajahnya, kemudian mengucapkan -yang
artinya-: “Keselamatan atasmu semua hai para ahli kubur, semoga Allah
memberikan pengampunan kepada kita dan kepadamu semua. Engkau semua mendahului
kita dan kita akan mengikuti jejakmu.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia
mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
Saat kita ziarah ke makam Nabi di Madinah pun ulama Wahabi sering curiga
kalau orang-orang yang menziarahi kubur Nabi dan mendoakan Nabi sebagai
menyembah Nabi sehingga sering mengusirnya. Padahal itu tidak benar.
Terkadang juga Muhammad bin Abdul Wahab terlalu ekstrim dalam menuduh ummat
Islam itu syirik seperti di bawah:
Masalah tauhid, yang merupakan pondasi
agama Islam mendapat perhatian yang begitu besar oleh Syekh Muhammad Abdul
Wahhab. Perjuangan tauhid beliau terkristalisasi dalam ungkapan la
ilaha illa Allah. Menurut beliau, aqidah atau tauhid umat telah dicemari
oleh berbagai hal seperti takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC) yang bisa
menjatuhkan pelakunya kepada syirik. Aktivitas-aktivitas seperti mengunjungi
para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan
keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka, mengusap-usap kuburan
tersebut dan memohon keberkahan kepada kuburan tersebut. Seakan-akan Allah SWT
sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan
orang-orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka
percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci makam
dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat memperoleh keuntungan.
Mungkin ada beberapa ummat Islam yang syirik. Tapi apa iya mayoritas ummat
Islam itu seperti di Jazirah Arab bahkan di Mekkah dan Madinah jadi syirik
menyembah kuburan, pohon, dan sebagainya sehingga dia sampai memerangi mereka?
Ada satu video yang mempertanyakan: “Jika ummat Islam di Mekkah dan Madinah itu
Musyrik dan Kuffar sehingga dibunuh, lalu ummat Islam yang asli itu ada di
mana?”:
Dijelaskan juga pada situs Arrahman.com yang mendukung Wahabi:
Pada awalnya, idenya tidak begitu
mendapat tanggapan bahkan banyak mendapatkan tantangan, kebanyakan dari
saudaranya sendiri, termasuk kakaknya Sulaiman dan sepupunya Abdullah bin
Husain.
Muhammad bin Abdul Wahab mendapat tentangan bahkan dari kakaknya Sulaiman
yang juga ulama. Bahkan ayahnya, Abdul Wahab, yang merupakan guru dari Muhammad
bin Abdul Wahab (MAW) juga menentang MAW karena pemikirannya yang ekstrim. Ini
tak disebut di situ, tapi di literatur lain ada sehingga sebagian ulama Aswaja
menuding MAW tidak bersanad karena gurunya sendiri menentang pemikirannya.
Banyak ulama yang tidak setuju sehingga MAW harus meninggalkan negerinya. Kalau
Nabi Muhammad meninggalkan kota Mekkah karena kaum kafir menolak Islam kita
mengerti. Tapi jika seorang “ulama” harus meninggalkan negerinya yang mayoritas
Muslim beserta banyak ulama juga di situ, harusnya kita bertanya-tanya mengenai
pahamnya.
Padahal menurut Nabi, Ummat Islam itu tidak akan berkumpul/sepakat dalam
kesesatan. Jadi kalau ada firqoh yang menganggap mayoritas ummat Islam sesat, justru
firqoh itulah yang sesat atau Khawarij:
Dari ‘Umar
bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ
“Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah
terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua
orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka
hendaklah bersama jamaah”
[Shahîh,
diriwayatkan Ibnu Abu 'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam
Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5)]
كُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم عَلَى ضَلاَلَةٍ
Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun
umat Muhammad di atas kesesatan.”
Sanadnya
jayyid, diriwayatkan Imam Ibnu ‘Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini
diriwayatkan Imam ath-Thabrani dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para
perawinya terpercaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Majma Zawa`id
(5/219
dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ .
“Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan. “
Shahîh,
diriwayatkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam
Misykatul- Mashabih (174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam
Sunan-nya (2167), al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih (174), dan
al-Hakim dalam Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395, 396 dan 397) dari Ibnu
‘Umar dengan lafazh: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun umatku atau umat
Muhammad di atas kesesatan”. Hadits ini dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam
al-Miskât (no. 173) dan terdapat shahid dari hadits Ibnu ‘Abbas yang
dikeluarkan at-Tirmidzi dan al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang
shahîh. Lihat Shahîhul Jami’, al-Albâni (1/378, no. 1848)
Di situ juga disebut bagaimana MAW bekerjasama dengan Raja Arab guna
memerangi musuhnya:
Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab berkerjasama secara sistematis dan saling menguntungkan dengan keluarga
Saud untuk menegakkan Islam.
Padahal Nabi dan juga para ulama Tabi’in memerintahkan agar menjauhi para
penguasa/raja:
Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ”Barang
siapa tinggal di padang pasir, ia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan ia
lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena
fitnah.” (Riwayat Ahmad).
Abu Hazim (Ulama Tabi’in 140 H) mengatakan, ”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk
ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”
Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in
juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu
para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan
memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat musibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).
Ada juga tulisan:
Gerakan al-Muwahhidun atau
yang kini sering disebut sebagai gerakan “wahabi” ini menjadi ancaman bagi
kekuasaan Inggris di daerah perbatasan dan Punjab sampai 1871. Ketika itu
pemerintah Inggris bersekongkol untuk mengeluarkan ‘fatwa’ guna memfitnah kaum
Wahhabi sebagai orang-orang kafir.
Yang jadi pertanyaan, apa benar Wahabi jadi “ancaman” bagi Inggris?
Bukannya justru Wahabi itu yang bekerjasama dengan Inggris membantu Ibnu Saud
untuk berontak terhadap Kekhalifahan Islam Turki Usmani?
Apa ada buku sejarah yang menceritakan Ibnu Saud dan Wahabi memerangi
Inggris? Tidak ada! Yang mereka perangi adalah para penguasa Turki Usmani dan
juga ummat Islam yang mereka tuding sebagai Musyrik dan Kafir. Silahkan baca:
Sanjungan bahwa berkat MAW negara-negara Islam jadi berontak terhadap
penjajah seperti Inggris dan merdeka pun sangat tidak beralasan. Hingga
wafatnya MAW tahun 1787 M tidak ada negara Islam yang merdeka dan bebas dari
penjajahan Inggris cs. Sebagai contoh, Indonesia baru merdeka tahun 1945 atau
158 tahun setelah wafatnya MAW. Itu pun maaf bukan karena Wahabi karena Wahabi
itu sangat-sangat minoritas di Indonesia.
Sebaliknya akibat Kekhalifahan Turki Usmani melemah akibat pemberontakan
Ibnu Saud-MAW yang didukung senjata dan dana dari Inggris, Palestina jatuh ke
tangan Inggris untuk kemudian diserahkan kepada Yahudi di tahun 1948:
Dokumen Ekspos Pendiri Saudi Yakinkan Inggris untuk Dirikan Negara Yahudi
Ini beda dengan Nabi Muhammad yang saat hidup pun sudah membebaskan kota
Madinah, Mekkah dan juga jazirah Arab dari kungkungan kaum kafir dan juga
Yahudi.
Lagi pula banyak yang mewaspadai gerakan Wahabi itu adalah Ulama Aswaja
yang tidak ada hubungannya dengan Inggris seperti Habib Rizieq Syihab dari FPI
dan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah. Silahkan baca:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya
juga menjadi TIGA GOLONGAN ; Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan
semua muslim yang tidak sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama
muslim:
Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:
beda dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya
cuma menukil dan memerangi orang muslim.
mereka memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan
akidah sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.
Yang jelas sikap Wahabi yang sangat keras terhadap sesama Muslim dari
memaki Muslim sebagai Ahlul Bid’ah, Penyembah Kuburan, Musyrik, Kafir, dsb itu
justru tidak sesuai dengan perintah Allah dan Sunnah Nabi yang justru
lemah-lembut terhadap sesama Muslim:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” [Ali 'Imran 159]
Ummat Islam itu berkasih sayang terhadap sesama, namun keras terhadap
orang-orang kafir:
“Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Al Fath 29]
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
[Al Maa-idah 54]
Jadi bagaimana mungkin mereka “MenghidupkanSunnah” jika Al Qur’an yang
jelas saja sudah dilanggar?
Terlalu
Ekstrim dalam Memvonis Bid’ah
Dalam hal memvonis Bid’ah pun kaum Wahabi terlalu ekstrim. Contohnya para
Imam Mazhab itu boleh dikata saling berhubungan seperti Imam Malik adalah guru
dari Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, sementara Imam Syafi’i adalah guru dari Imam
Hambali. Toh meski Imam Syafi’i mengajarkan pengucapan niat sholat dan juga
Qunut Subuh, tidak pernah Imam Malik atau pun Imam Hambali menghina Imam
Syafi’i sebagai Ahlul Bid’ah yang harus dihina dan dimusuhi. Bahkan Imam
Hambali malah berguru kepada Imam Syafi’i.
Banyak hal yang menurut Ulama Salafi Wahabi bid’ah, namun menurut Jumhur
Ulama justru tidak bid’ah. Contohnya seperti Zikir berjama’ah, Pengajaran Sifat
20, Qunut Subuh, dsb. Nanti seusai mencap pelaku “bid’ah” sebagai Ahlul Bid’ah,
lalu mereka musuhi. Ini merusak Ukhuwah Islamiyah.
Jangan
terlalu gampang memvonis sesuatu hal yang baru sebagai Bid’ah. Sebaiknya
pelajari sejarah dan hadits dulu sebelum begitu.
1. Zaman Nabi shalat Tarawih sendiri2. Zaman Umar jadi Khalifah,
Umar mengumpulkan para sahabat untuk tarawih bersama di masjid. Itu adalah
bid’ah hasanah kata Umar ra yg diaminkan para sahabat. Dan kualitas
KeIslaman Umar ra beserta sahabat jauh di atas para syaikh yang ada
sekarang.
2. Zaman Nabi Al Qur’an tidak berbentuk 1 kitab seperti sekarang. Namun
pada zaman Khalifah Abu Bakar, Umar mengusulkan agar Al Qur’an dibukukan sehingga tidak
tercerai-berai dan akhirnya dilupakan mengingat banyak Hafidz Qur’an
yang terbunuh saat perang. Khalifah Abu Bakar ragu takut itu bid’ah. Namun
desakan Umar dan juga persetujuan sahabat lainnya, akhirnya Al Qur’an
dibukukan. Apakah ini bid’ah? Apakah ini sesat dan masuk neraka? Tidak
bukan?
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
Banyak orang tidak paham bid’ah sehingga hal2 yg sebetulnya tidak bid’ah, dimasukkan sebagai bid’ah dan masuk neraka. Padahal mengkafirkan orang itu dosa.
3. Kitab Hadits zaman Nabi tidak ada. Bahkan Nabi melarang sahabat untuk
menulis Hadits karena dikhawatirkan tercampur dengan Al Qur’an. Namun para
ulama dan ahli Hadits akhirnya membukukan Hadits dari Imam Malik dgn Al
Muwaththo, hingga Imam Bukhari, Imam Muslim, dsb. Ini juga bukan bid’ah
yang masuk neraka.
4. Bilal juga pernah menambah ash sholatu khoirun minan nawm pada adzan
Subuh. Nabi tidak menganggap itu bid’ah.
5. Nabi Muhammad tidak pernah bersyair di Masjid, namun penyair Hasan bin
Tsabit melakukannya. Nabi membolehkannya.
6. Nabi Muhammad tidak pernah bermain tombak di masjid. Namun orang-orang
Habsyi melakukannya. Saat Umar ingin menimpuk orang-orang Habsyi, Nabi
melarangnya. Justru Nabi menontonnya.
7. Usman mengadakan tambahan Azan ke 2 dan ke3 pada Sholat Jum’at:
Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah
apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan
Umar. Pada masa Utsman dan orang-orang (dalam satu riwayat: penduduk Madinah)
sudah banyak, ia menambahkan (dalam satu riwayat memerintahkan 1/220) azan yang
ketiga[20] (dalam satu riwayat: kedua) lalu dilakukanlah azan itu di Zaura’.
(Maka, menjadi ketetapanlah hal itu 1/220). Nabi tidak mempunyai muadzin
kecuali satu orang. Azan Jumat itu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar.”
[HR Bukhari]
Dsb.
Tidak Bisa Menerima Perbedaan Pendapat
Salafi Wahabi tidak bisa menerima perbedaan pendapat/khilafiyah. Menurut
mereka kebenaran hanya satu. Sedang yang lain adalah sesat.
Keyakinan
salafi ini diperkuat oleh kaidah yang mereka gunakan “Kebenaran hanya satu
sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman
salafi terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah
SAW bersabda: ˜Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa
garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan
(yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat
syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah
jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad,
Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).
Padahal jika
kita membaca ayat Al Qur’an yang lain seperti Surat Al Fatihah jelas bahwa
Jalan yang Lurus (Shirothol Mustaqim) adalah jalan orang Islam. Bukan jalan
kaum Yahudi (yang Dimurkai Allah) dan bukan jalan kaum Nasrani (yang Sesat).
Jadi insya Allah jika dia Islam dan berpegang pada Al Qur’an dan Hadits dia
akan selamat.
Salafi
meyakini bahwa merekalah yang disebut-sebut dalam hadits Nabi sebagai golongan
yang selamat dan masuk syurga, sedangkan 72 golongan lainnya kelompok sesat dan
bid’ah dan akan masuk neraka. Hadits tersebut berbunyi :
“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan
kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab,
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Dengan
mengutip dua hadits tentang; satu golongan yang selamat dari 73 golongan dan
hanya satu jalan yang lurus, maka salafi meyakini bahwa merekalah yang
disebut-sebut kedua hadits tersebut. Salafi-lah satu-satunya golongan yang
selamat dan masuk syurga, serta golongan yang menempuh jalan yang lurus itu.
Simaklah pernyataan salafi :
“Dan orang-orang yang tetap di atas
manhaj Nabi SAW, mereka dinisbahkan kepada salaf as-shalih. Kepada mereka
dikatakan as-salaf, as-salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan
salafi.”(Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan
Al-Haritsi, Menepis
Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 33, catatan kaki).
“Kami di atas manhaj yang selamat, di
atas akidah yang selamat. Kita mempunyai segala kebaikan “alhamdulillah-” (Lihat Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, hal. 76-77).
Padahal jika kita benar-benar mempelajari Sejarah dan juga Hadits-hadits
Nabi yang bercerita tentang Nabi dan para Sahabat, kita tahu bahwa mereka bisa
menerima adanya perbedaan dan saling menghormati selama masih dalam jalan
Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri,
Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie,
dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun
seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’
ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya
perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika
tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah
pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i,
Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan
dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih
al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan
bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat
Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada
Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan
bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi.
Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an
memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah
daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“
“
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati
waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak
shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini
juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan
kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat
itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak
mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di
tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal
waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di
perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu.
Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata,
“Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang
sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab,
‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih
mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan
melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah
SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan
Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah
medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang
memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad
tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang
berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad
tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit,
yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi?
Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata
buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh
Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling
cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang
bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa
Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa.
Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan
yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat
Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti
Salafi Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat
dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan
sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan
“Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari Al-Qasim bin
Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi
Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan
wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian
juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari
kitab Ad-Durar
Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim
bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda
pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79
dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam
memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman,
di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu
dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak
tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada
Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan
kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi
Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada
yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing
diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila
tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing
itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah
keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an
dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya
pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah
persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi
pencela (QS Al-Humazah: 1)
Jadi itulah beberapa kekeliruan dari Salafi Wahabi. Beberapa ulama seperti
Habib Rizieq Syihab dari FPI dan Habib Munzir Al Musawa sudah meminta kita
mewaspadai hal ini:
FPI membagi WAHABI dengan semua sektenya juga menjadi TIGA GOLONGAN ;
Pertama, WAHABI TAKFIRI yaitu Wahabi yang mengkafirkan semua muslim yang tidak
sepaham dengan mereka, juga menghalalkan darah sesama muslim…
Merasa Paling Benar Sendiri
Jika kita teliti Salafush Shalih yang asli seperti para Imam Madzhab yang
lahir pada abad 1-3 Hijriyah, mereka tidak ada yang merasa paling benar dan
tidak memaksa orang untuk memeluk Madzhab mereka.
Ini berbeda sekali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab ulama Salaf gadungan
yang lahir di tahun 1.115 Hijriyah dan para pengikutnya yang menganggap hanya
Muwahhidun atau Manhaj Salafi saja yang benar sementara yang lain salah dan
memaksa agar ummat Islam lainnya menerima “kebenaran” versi mereka.
Gemar Berdebat Masalah Furu’iyah dan Khilafiyah
Islam sebenarnya tidak menganjurkan perdebatan karena bisa merusak
persaudaraan. Namun kaum Salafi Wahabi gemar sekali berdebat sehingga akhirnya
kata-kata Ahlul Bid’ah, Sesat, Musyrik, Kafir terlepas dari mulut mereka yang
sayangnya ditujukan kepada sesama Muslim.
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya:
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
“Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
Muhammad ibn Idris as-Syafi’I
rahimahullah
Imam as-Syafi’I rahimahullah berkata:
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.” [Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
Referensi:
Pandangan Habib Munzir Al Musawa dari Majelis Rasulullah tentang Wahabi:
beda dengan orang orang wahabi, mereka tak punya sanad guru, namun bisanya
cuma menukil dan memerangi orang muslim.
mereka memerangi kebenaran dan memerangi ahlussunnah waljamaah, memaksakan
akidah sesatnya kepada muslimin dan memusyrikkan orang orang yg shalat.
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya
di antara ummatku ada orang-orang yang membaca Alquran tapi tidak melampaui
tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah
berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya.
Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh mereka seperti
terbunuhnya kaum Aad. (Shahih Muslim No.1762)
Muhammad bin Abdul Wahab Penegak Panji Tauhid
usamah
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Bersama Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia)
Hidayatullah.com–Pada abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat
jauh menyimpang dari ajaran Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sana-sini
banyak praktik syirik dan bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka
hanya sebatas di lingkungan saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang
ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang.
Jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping pengaruh kuat
dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik tersebut demi
kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di
belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat
Islam sekarang ini.
Dari segi aspek politik, di jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang
terpecah-pecah. Terlebih khusus di daerah Nejd. Perebutan kekuasaan selalu
terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif
untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.
Para penguasa makmur dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Mereka
sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan
mereka. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut
mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan
agama dengan benar. Dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang
mencoba memberi pengertian kepada umat tentang akidah atau agama yang benar.
Pada saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid, Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh
kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik,
bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum
muslimin, sehingga praktik-praktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta
ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan
sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.
Di Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat kuburan
sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan
melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta
berkah dan meminta berbagai hajat. Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat
sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk
para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup.
Penyimpangan bahkan juga terjadi di Hijaz (Mekkah dan Madinah), walaupun
penyebaran ilmu agama berada di dua kota suci ini. Di sini tersebar kebiasaan
bersumpah dengan selain Allah. Juga kebiasaan menembok serta membangun
kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan
atau untuk menolak mara bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah
begitu menyebar, apalagi di kota-kota sekitarnya, ditambah lagi dengan
kurangnya ulama. Pasti lebih memprihatinkan.
Hal tersebut kemudian disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’,
“Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang
lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada
waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya.
Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat
aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah,
“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke
daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)
Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa ketika mereka berada dalam ancaman
tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan
berhala atau sesembahan mereka. Namun saat mereka telah selamat sampai di
daratan, mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang
melakukan syirik setiap saat dalam kondisi apa pun.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab lahir tahun 1115 H di ‘Uyainah, salah satu
perkampungan daerah Riyadh. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal
dengan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf). Ali Musyarraf ini cabang atau
bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf, kakek beliau ke-9
menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin
Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad
bin Buraid bin Musyarraf.
Muhammad bin Abdul Wahab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi sejak
usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak
sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia.
Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur’anul Karim, sehingga tidak
aneh kalau sudah hafal ketika umur 10 tahun.
Yang demikian itu terjadi karena banyak faktor mendukungnya. Di antaranya
semangat yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, serta keadaan
lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk
terus-menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahab-lah guru dan sekaligus
orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.
Dalam satu suratnya kepada temannya, Syaikh Abdul Wahab berkata,
“Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus.
Kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan
serta, menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam
(baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas menjadi
imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah karena ma’rifah dan
ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia.
Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi
permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut.
Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun
Islam.”
Berguru pada Ulama Haramain
Setelah berhaji beliau belajar pada para ulama Haramain (Makkah dan
Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke
daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau
belajar dari ayah yang sekaligus guru pelajaran Fiqih Hambali, tafsir, hadits,
dan tauhid.
Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan
ibadah haji kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu pada para ulama Madinah
Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dengan serius, dan Madinah saat itu
adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Di antara guru beliau yang paling
beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi
dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu
dari para ulama Madinah al-Munawwarah, maka beliau kembali lagi ke kampung
halaman, Uyainah.
Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi. Negeri yang
dicita-citakan untuk menuntut ilmu adalah Syam. Kota Damaskus saat itu sebuah
kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Di sana terdapat sebuah madrasah yang
memberikan keilmuan tentang madzhab Hambali, dan kegiatan-kegiatan yang
menunjang keilmuan tersebut. Namun karena perjalanan dari Najd menuju Damaskus
secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi menuju
Bashrah (Irak). Pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah
menuju Damaskus sangatlah mudah.
Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara itu tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus
yang semula dianggap mudah, ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab tinggal di Bashrah. Beliau belajar fiqih dan hadits pada
sejumlah ulama, di antaranya bernama Syaikh Muhammad al-Majmu’i. Di samping
ilmu fiqih dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah, sehingga
beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat
mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah.
Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau,
khususnya para ulama suu’. Karena ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab itulah, akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan
negeri Bashrah.
Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat bernama az-Zubair. Setelah
perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutkan perjalanan menuju
al-Ahsaa’. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu
agama pada para ulama al-Ahsaa’. Di antara guru-guru beliau yang ada di
al-Ahsaa’ tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul
Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang Ahsaa’ saat itu merupakan
gudangnya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah
Arab berdatangan ke Ahsaa’ untuk menuntut ilmu.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab melanjutkan kelana thalabul-ilmi
ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H. Kebetulan ayah beliau
yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah ke daerah tersebut. Maka
berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.
Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua, Syaikh Abdul
Wahab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H. Sepeninggal
ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menggantikan ayahnya dalam
melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang
cukup singkat nama beliau mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun berdatangan
ke Haryamala menuntut ilmu pada beliau. Bahkan para pemimpin negeri di sekitar
Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hanya dua tahun tinggal di Haryamala
(sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah,
Utsman bin Ma’mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.
Amir Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Ma’mar sangat gembira dengan
kedatangan beliau. Bahkan dia berkata kepada Syaikh, “Tegakkanlah dakwah di
jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu.” Maka mulailah Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab sibuk dengan urusan dakwah, ta’lim, serta mengajak manusia
kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga
dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah.
Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk thallabul ilmi,
bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah untuk belajar kepada
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemui Amir Uyainah.
Beliau berkata, “Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma’mar), izinkanlah saya
untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut
dibangun dalam rangka menentang syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah
Ta’ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai
masjid. Kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan mengubah aqidah
mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita menghancurkannya.”
Kemudian Amir Uyainah menjawab, “Silakan kalau engkau memang menghendaki
yang demikian itu.” Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memohon kepada Amir
Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya
perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin
Khathab.
Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama 600 tentara Uyainah,
dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma’mar. Setelah
penduduk Jabaliyah mendengar kabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan
dihancurkan, maka serempak mereka berniat mempertahankan kubah tersebut. Tapi
kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan sembah,
berhasil dihancurkan. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau selalu
memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada
kesyirikan.
Beliau pun menegakkan hukuman had (hukuman cambuk, rajam, atau potong
tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke
telinga Amir Al-Ahsaa’, yakni Sulaiman bin Urai’ir al-Khalidi, dan para
pengikutnya dari bani Khalid. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka
merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab dibunuh. Kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan
pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang
negeri Uyainah.
Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Akhirnya dia menemui Syaikh
Muhamad bin Abdul Wahab seraya berkata, “Wahai Syaikh sesungguhnya Amir
Al-Ahsaa’ telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar
kami membunuhmu. Kami tidak ingin membunuhmu! Dan kami pun tidak berani dengan
dia. Tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami
berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini.”
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Wahai Amir, sesungguhnya
apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha
illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan
agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai
penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkau bersabar dan beristiqamah serta
mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongmu,
menjagamu dari Amir Al-Ahsaa’, dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah
Ta’ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya.”
Kemudian Amir Uyainah berkata lagi, “Wahai Syaikh, sesungguhnya kami tiada
daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk
menentangnya.” Maka tiada pilihan lain bagi Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab,
kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau
sendiri.
Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah beliau
selanjutnya adalah negeri Dir’iyyah. Hal ini karena negeri Dir’iyyah semakin
hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Terbukti dengan direbutnya kembali
kekuasaan yang selalu dirongrong oleh Sa’d bin Muhammad, pemimpin Bani Khalid.
Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir’iyyah dengan pemimpin Bani
Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan
Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di saat itu
pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ingin bergabung dengan para pemimpin
Dir’iyyah.
Tapi sebab yang terpenting kepergian beliau menuju negeri Dir’iyyah adalah
karena dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat
dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin,
kedua saudara Amir Dir’iyyah (Tsinyan dan Musyairi), dan juga anaknya yang
bernama Abdul Aziz.
Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berada di rumah keluarga Suwailin,
datanglah Amir Dir’iyyah Muhammad bin Sa’ud atas anjuran istrinya untuk
menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama
untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal
mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagai asas dan pondasi bagi
berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia).
Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu
pula tercetuslah suatu pernyataan, urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad
bin Sa’ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan
dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta keturunannya. Namun
nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan
keturunan Muhammad bin Sa’ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan
pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat
mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah
diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja.
Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan Amir Dir’iyyah berada di
atas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke
Rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di
kemudian hari. [berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
k3nj1:
Untuk melengkapi latar belakang dan sejarah Wahabi :
1701 : Muhammad Bin Abdul Wahab dilahirkan di Uyainah Nejd.
1713an keatas : Pergi ke Basrah untuk menuntut ilmu, disana Muh. Bin Abdul
Wahab bertemu Mr. HEMPHER mata mata Inggris yang mengaku sbg Muslim dari Turki
yang punya misi mencari kelemahan untuk menghancurkan Khilafah Turki Otoman
dari dalam.
Hempher menggunakan Muh Bin Abdul Wahab sebagai boneka penyebaran mazhab
baru yang “bebas” dengan dalih kebebasan IJTIHAD “mengkaji langsung dari Qur’an
dan Hadis” walaupun menyelisihi pemahaman para sahabat, para imam mazhab yg 4
dan para ulama muktabar.
Hempher menjanjikan dukungan dana dan senjata dari Inggris bagi Imam
Mujtahid yang baru muncul ini.
Tujuan utama Hempher adalah agar Muh.Bin Abdul Wahab mencetuskan revolusi
pemberontakan melepaskan diri terhadap Khilafah Islam Turki Ottoman.
Dengan agenda tersembunyi akan melakukan pemberontakan, dibangunlah
doktrin2 baru untuk melegeslasi tindakan kekerasan dan pembunuhan terhadap
pejabat pemerintah Turki Ottoman dan semua orang yang tidak mendukung revolusi
wahabi, yaitu :
Membuat ajaran baru yang mudah meng KAFIR kan kaum Muslimin, sebagai alasan
untuk menghalalkan darahnya apabila tidak mau bergabung dengan gerakan Wahabi.
Di Basrah itulah dimulai ajaran-ajaran TAKFIR nya disebar luaskan. Tentu
saja PERKARA BARU nya itu ditentang oleh ulama-ulama setempat.
1726 : Dakwah di Huraymilah dan menyebarkan Perkara Baru ajaran takfir nya,
diusir oleh masyarakat setempat.
1728 : Dakwah di Uyainah, mendapat dukungan dari Amir Utsman penguasa
Uyainah, mulai melakukan perusakan dan pembongkaran kubah makam orang orang
soleh. Tindakan dan ajaran
[
o
DULKADIR BIN ABDURRAHMAN ASSEGAF Adalah ayahanda Habib Syech. Beliau juga
imam besar masjid Assegaf-Solo yang terkenal Ahlaqnya dalam menerima tamu.
Beliau berpulang kerahmad Allah Ta'ala pada hari Jum'at, ketika dalam sujud
terakhir sebagai imam. Masa hidupnya di isi dengan menjaga kemakmuran masjid
Assegaf, tiada waktu tersisa kecuali ibadah dan masjid yang selalu menjadi pemikirannya.
Beliau adalah figur seorang ayah yang menjaga keluarganya tetap dalam ridho
Allah Ta'ala.
o
o
ik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah Ar-Ribathah, yang juga
berada di samping rumahnya. Pada usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa
binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah Habib Ali. Tepat pada tahun itu juga,
beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang meninggal di Palembang.
Habib Abdullah bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu
seperti “anak muda yang berpakaian tua”. Habib Anis merintis kemaqamannya
sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain
kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan haul Habib Ali
Al-Habsyi, juga ada khataman Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan
pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada
tengah hari. Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki
kios di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Abdullah dan Habib Ali
yang semuanya adik beliau. Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin
banyak, usaha perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai
ulama. Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai
enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib
Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas
agama. Dan beliau netral dalam dunia politik. Dalam sehari-hari Habib Anis
sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa halus kepada orang jawa,
berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa indonesia baik
dengan orang luar jawa dan sunda, serta berbahasa arab Hadrami kepada sesama
Habib. Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang
murah senyum dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan
menyebutnya The smilling Habib. Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu
tersebut merupakan doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan
apahkah tamu tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak.
Semua diperlakukan dengan hormat. Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan
daging korban secara merata melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak
membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke
daerah lainnya. Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau
sakit, Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau
bersilautrahmi. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering
memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun non
muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk islam. Insya
Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.” Demikian salah satu
ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah seorang puteranya. Tokoh
ulama yang khumul lagi wara`, pemuka dan sesepuh habaib yang dihormati, Habib
Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi berpulang kembali
menemui Allah s.w.t. pada tanggal 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6 November 2006
dalam usia 78 tahun. Beliau dimakamkan dikomplek Masjid Riyadh Solo, Jawa
Tengah.
o
SYEH MUHAMMAD HISYAM KABANI Tokoh sufi internasional
No comments:
Post a Comment