PENDAHULUAN
Kewajiban
kepala, dibuat belas kasihan
Hak bawahan, direka, bagaikan hadiah.
Para penjilat, dimanjakan.
Pengkritik yang ikhlas, dijadikan musuh.
Mafia proyek di banyak kantor,
dahulunya menjadi model, tapi sekarang, sudah tidak ada lagi. Koperasi juga
bisa menjadi lahan penipuan para mafia. Sudah menjadi rahasia umum
apabila penegakan hokum di Indonesia berjalan terseok seok
sangat jauh dari harapan semua elemen masayarakat bangsa ini kasus –kasus dan
permasalahan hokum hilir mudik silih berganti muncul ke permukaan dan menjadi
bahan pembicaraan dan tontonan yang sayang untuk di lewatkan oleh masayarakat
kita,belum selesai masalah yang satu tiba- tiba muncul permasalahan lagi yang
tidak kalah serunya.
.Hukum di negri ini seolah olah tak
berdaya menghadapi berbagai rentetan peristiwa hokum yang terjadi ,sudah jelas
yang lemahlah yang akan menjadi korbanya ,bagi mereka keadilan menjadi sesuatu
yang sangat mahal harganya dan sulit untuk di dapatkan .Bila
kita cermati gejala peristiwa di atas tidak mengherankan apabila banyak
kalangan memberikan saran kritik harapan bahkan hujatan kepada pihak pihak yang
di anggap sebagai pembuat ketimpangan hokum baik pemerintah maupun badan
penegak hokum di replublik ini.
Memang tidak bisa di pungkiri penegakan hokum di
Indonesia tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan .Secara konseptual
dalam kajian penegakan hokum di nyatakan bahwa efektivitasa penegakan hokum
baru akan tercipta apabila lima pilar hokum telah terpenuhi dan dapat di
tegakkan ,yakni pertama instrument hokum yang baik ,aparat penegak hokum yang
professional ,sarana dan prasana yang mendukung ,kesadaran hukum masyarakat
yang tinggi ,dan pemerintahan yang baik .sedangakan di negara kita iniProfesionalisme
para penegak hukum masih banyak dipertanyakan pelbagai kalangan. Isu mafia
peradilan mewarnai kehidupan hukum di Indonesia. Independensi penegak hukum
mulai dipertanyakan, bahkan seluruh pelaksana-pelaksana yang berkaitan dengan
penegakan hukum dan pemberi keadilan diragukan. Persamaan hak dihadapan
hukum hanya sekedar pemanis
dalam pelaksanaan hukum.
Untuk itu sebagai mahasiswa yang menjadi bagian dari
masayarakat sudah selayaknya kita ikut berpartisipasi dalam penegakan hokum
jangan hanya bisa mengumpat di belakang ,dan menghina para penegak hokum seenak
jidadnya sendiri tanpa memiliki andil yang nyata dalam ranah penegakan hokum di
negri tercinta kita ini.
Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurana untuk itu saran dan kritik dari semuanya sangatlah penyusun harapkan
untuk membenahinya.akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat baik dunia
maupun akherat serta dapat di gunakan sebagaiman mestinya .
BAB I
POKOK PEMBAHASAN
A.Mafia, dalam intaian Hukum di Indonesia.
Hingga
kini proses penegakan hukum masih buram. Menurut Munarman hal ini terjadi
akibat proses panjang sistem politik masa lalu yang menempatkan hukum sebagai
subordinasi politik. Sistem peradilan yang tidak independen dan memihak dengan
dalih dan banyaknya kepentingan. Reformasi hukum yang dilakukan hingga kini
belum menghasilkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan masih dibayangi
oleh kepentingan dan unsur kolusi para aparat penegak keadilan dinegeri yang
ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia ini.
Intervensi terhadap hukum masih belum dapat dihindari. Hal ini mempengaruhi mentalitas penegak hukum. Padahal mentalitas yang bermoral adalah kekuatan penegak hukum sebagai dasar dari profesionalismenya. Moral dan keberanian dalam menegakan supremasi hukum masih minim dimiliki oleh penegak hukum di Indonesia. Sehingga banyak kasus-kasus hukum diselesaikan tetapi tidak memuaskan pelbagai pihak atau pun merugikan dilain pihak. Timbul pertanyaan apakah keadilan hanya milik ‘penguasa’ ?
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Soejono Soekamto, 1983). Kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih meraih keuntungan sepihak. Yang dikatakan ”demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak tertentu.
Akhirnya, proses hukum di luar dan di dalam
pengadilan menjadi eksklusif milik orang tertentu yang berkecimpung dalam
profesi hukum. Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa
yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam
berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan
dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa
melalui pengadilan. (Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Kompas).
Penegakan Hukum & Carut Marutnya Di Indonesia.
Penegakan Hukum & Carut Marutnya Di Indonesia.
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi
persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena
persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya
diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan.
Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam
sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini
menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim
yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di
Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan
hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang
sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai
contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan
dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan
kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan
pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya
kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses
pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini
sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara.
Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses
penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari
sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat
miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam
pelaksanaannya.
Kebenaran
formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang
ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya
tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat
bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan
perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud
dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat
apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang
sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan
diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi,
advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela
dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang
dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para
aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji
yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut
tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena
praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan
pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah
fakultas hukum.
MAFIA
antar suku, sekampung, mafianya bersahabat baik, sma kuliah dahulunya.Persoalannya
adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan
sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan
kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan
penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang
tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi
hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat,
dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
Berbicara
masalah reformasi hukum, tentu tidak terlepas dari peran berbagai pihak termasuk
aparatur dan institusi yang bergerak di bidang hukum. Peran yang jelas tidak
akan berarti apa-apa tanpa dukungan dan keterlibatan pihak lain terutama
aparatur pemerintah yang bergerak diluar bidang hukum dan masyarakat secara
umum. Peran ini tentu saja tidak hanya terletak pada bagaimana sistem hukum
yang ada bisa dibenahi, tapi juga bagaimana sistem hukum yang diformulasikan
dalam bentuk aturan-aturan hukum baik materiil maupun formal itu ditegakkan
secara konsekuen. Dalam situasi dimana institusi formal yang bertanggung jawab
melakukan reformasi di bidang hukum belum memberikan perubahan yang berarti,
kehadiran state auxiliary agencies seperti KPK, Komnas HAM, KON dan KHN tentu
diharapkan mampu memainkan peran yang signifikan dalam upaya pembaharuan hukum.
(Sudi Prayitno, S.H., LL.M, dalam artikelnya Peran Beberapa State Auxiliary
Agencies Dalam Mendukung Reformasi Hukum Di Indonesia).
Sistem hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada adagium yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu kalau berurusan dengan hukum, ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Karena baik polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah tantangan besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen, dan bebas dari kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu agenda yang teramat penting dan seharusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum. (Munarman, Hukum Dimainkan Politik, dalam kumpulan wawancara perspektif baru 2003 – 2005).
Sistem hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Ada adagium yang melekat dalam proses hukum kita, yaitu kalau berurusan dengan hukum, ketika kehilangan kambing maka akan kehilangan sapi. Karena baik polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Itulah tantangan besar bagi masyarakat untuk memperjuangkan hukum yang bersih, independen, dan bebas dari kepentingan politik ataupun kepentingan lainnya. Itu agenda yang teramat penting dan seharusnya dipelopori oleh institusi penegak hukum. (Munarman, Hukum Dimainkan Politik, dalam kumpulan wawancara perspektif baru 2003 – 2005).
Penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan harus selaras dengan mentalitas yang bermoral bagi aparat penegak hukum. Hukum sebagai panglima mewujudkan keadilan menjadi barometer dalam kemajuan bidang lainnya. Sehingga kemajuan sektor lainnya dapat berjalan dalam koridor hukum yang baik. Penegakan hukum dalam masyarakat yang pluralis harus memperkuat tatanan kehidupan sesuai Pancasila, UUD 1945, semangat bhinneka tunggal ika, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam memperkuat keutuhan NKRI.
Proses ini harus dikontrol oleh rakyat secara aktif dalam bentuk partisipasi politik mereka. Martabat manusia tidak boleh dilanggar oleh siapapun termasuk oleh negara, kepastian ini harus diatur dalam perundang-undangan yang pembuatannya melibatkan partisipasi rakyat. Kemerdekaan pengadilan dan hakim dari intervensi siapa pun atau apapun merupakan syarat mutlak suatu negara yang berdasarkan hukum. Dan partisipasi rakyat dalam pembuatan perundangan-undangan yang akan dijalankan oleh pengadilan adalah mutlak sebagai pengejawantahan dari hak menentukan nasib sendiri.
No comments:
Post a Comment