KATA PENGANTAR
Setiap semester penulis memberikan kuliah perbandingan agama di
Perguruan Tinggi Persada Bunda Pekanbaru Riau, bahasan utamanya adalah
syarat-syarat untuk menjadi Tuhan. Penulis sambil senyaum-senyum menanyakan
kepada mahasisaw, “Siapa di antara anda di lokal ini yang dapat memenuhi
persyaratan untuk menjadi Tuhan?”. Semuanya diam. Memangnya syaratnya apa Pak? Jawab
salah seorang mahasiswi yang beragama Budha. Maaf ya, di kelas ini, campuran
orangnya, ada Kristen, Budha, Islam, Katolik.
Nah inilah persyaratan untuk menjadi Tuhan, menurut hasil bacaan lebih
dari seribu buku, dan beribu kali perenungan secara adat, filsafat dan kitab
suci, yaitu:
1.Sudah ada, sebelum alam tercipta
2.Tidak bisa mati walaupun disalib, dan
hidup selama-lamanya.(Actus purus)
3.Tidak menjelma sebagai manusia, atau
hewan.
4.Tidak dilahirkan dan tidak melahirkan.
5.Tidak ada yang sebanding, setara dengan
Dia.(Distinct)
6.Kekuasaan-Nya tanpa batas, kuasa mutlak
dan absolut
7.Dialah penyebab pertama, dari hukum
kausalitas, sebab akibat yang ujung-ujungnya jika dikaji, berasal dari Dia.(Prima
Causa)
8. Dia haruslah tunggal, yang dibuktikan
dengan sistem perputaran atom, sistem syaraf makhluk hidup dan sistem perjalan
semua benda ruang angkasa, adalah satu sistem saja, tidak ada sistem yang lain,
menjadi bukti bahwa pencitnya satu yang tunggal, wahdaniyah dan unique.
BAB
I
TERBANG DI SISI LANGIT MENCARI TUHAN
1.Upaya
mencari Tuhan
.
Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaan-NYA itu,(wihdatul
wujud) oleh Al-Hallaj dan Ibnu Arabi, ajarannya sampai ke tanah Jawa, maka
orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka
menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk
memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula,
digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh
tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit
jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa
“sesuatu” yang dicari itu adalah susuh
angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung),
Pernahkah tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang),
gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan
sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam
bahasa Jawa ” tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya”
dalam ajaran Hindu.
.
Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu
yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah
sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi
tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah
“kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula
“tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah
“kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang
menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus
transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan.
Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi
sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya
menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.
.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak
lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga
“kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka
“energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”.
Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses
“penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan
adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus
“kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha
kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri”
dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai
nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar
tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus
ditempuh adalah melaksanakan “samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab
pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena
itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala
aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur“, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni“. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk
menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga”
secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama”
yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama
pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja
Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang
Hyang Widhi“. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri”
dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan
demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya.
Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda
khusus.
Konon, ketika puncak ke “hening”
an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya“,
tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang
dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”.
Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa diga
mbarkan secara indah dengan kata-kata
“tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa
jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita
seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah
“kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan
dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana
demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”.
Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.
.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan
tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta
membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri
setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun”
atau “Tuhan yang ada dalam diriku“. Karena itulah ketika kita mengawali
proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM
Atma Tattvatma“, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata
“Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita
jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin
bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis
digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun
ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila
dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya.
Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk
memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat
4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat
suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan
simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di
dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna
“pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon
peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan
dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu
yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran
Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya
disebut namanya agar ikut membantu.
.
Pada dasarnya proses penyatuan (semedi) itu dimaksudkan sebagai usaha
memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau
antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing
Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini
jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian
orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha
Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda.
Kepada mereka, yang tidak
mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu
pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku,
tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal
ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah
membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa
dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari
bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama
yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api,
sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia
bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman
sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene
padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang
menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.
Srir Astu Swasti Prhajabyah….Rahayu
Tuhan adalah “Sangkan
Paraning Dumadi“. IA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu
juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam
bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari .
Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida
Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan
“kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya
“tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”.
Sedang
wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata
tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata
hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan
kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak
dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan
perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti
Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu
nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan
lain-lain.Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama
seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu
satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.
.
Hubungan
Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan
bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya
itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga“,
seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi”
(dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA.
Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing
geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora
teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun
tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan
pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu.
Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai
bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski
bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera
putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau
“teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan
dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng,
kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti
katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus
transenden dalam filsafat modern, yang dalamBhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.
.
Dengan
pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak
terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan,
cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah
Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman
Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku
tunggal“. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga
disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga
kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau
“Engkau adalah Aku“, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu
Brahman”.
Pemahaman
yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena
menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang
demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono“, yang
artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah
yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa
penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang
menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan
siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian
tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau
keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman
cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering
digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube“
Intisari
perenungan ini adalah Qul Huwallahu Ahad. Allahus Shomad. Lam
Yalid Walam Yulad. Walam Yakun Lahu Kuffuwan Ahad.
“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.” (ayat 1).
Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa yang
dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak ada
Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang lain
dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau
Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah
yang dinamai TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas
bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam
pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula
ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu. Karena kalau
Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama
kurang berkuasa.
“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala sesuatu ini
adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah
bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala
sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang
Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan
apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang
memerlukan anak hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan
melanjutkan hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia
tidak mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya
akan bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya
hingga itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi
dengan cucu, besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada
yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil memerlukan anak.
Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan
dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus dan kekal terus, sehingga
tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya
sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak
pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa,
teranglah bahwa si anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah
itu pun mati. Si anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang
mengatakan bahwa Allah itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang
menurut susunan kepercayaan mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir
yang tidak berkesudahan di antara sang bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah
wujud di antara si ayah dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama
bapa dan ada pula yang bernama anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir,
nyatalah anak itu suatu kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui
bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4).
Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu
tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan,
tandanya Allah itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau
diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama,
fikiran sihat yang mana jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama
kurang kekuasaannya. Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi
pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan
dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau
keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni
masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan
keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak
Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada
bandingan dan ada tiada tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur,
belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah yang dirasakan
oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia dan tidak
bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya
sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir
bahwa asal mula Surat ini turun: “Shif lanaa rabaka” ialah karena pernah
orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba jelaskan kepada kami apa macamnya
Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab, memang ada
orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab (keturunan atau
sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata dalam
tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan
kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala
makhluk, supaya jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu
bukanlah Tuhan. Di ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan
bersih-Nya Allah dari berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia
tempat bergantung, tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan
kepada yang lain, Dia tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah
berkurang. Dengan penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah
manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah.
Tegasnya dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak
ada sesuatu pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman
hidupnya”, yang dari pergaulan berdua timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan
Al-Qur’an itu ialah untuk ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari
akhirat dan ma’rifat terhadap Ash-Shirathal Mustaqim. Ketiga
ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain adalah
pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung
satu daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan
memberishkan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya
daripada jenis dan macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa
yang menghendaki anak, laksana pohon. Dan bukan diperanakkan, laksana dahan
yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan, bandingan dan
gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis dalam
Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan
sembahyang Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat
itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid
I’tiqad dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan
apa yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa,
Tunggal. Naf’i yang mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana
pun.
Dia adalah Pergantungan yang
tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan, tidak pernah
berkekurangan dari segi mana pun. Naf’i daripada beranak dan diperanakkan,
karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi dan Keesaan-Nya
tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya kufu’, tandingan, bandingan dan
gandingan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan ataupun pandangan lain.
Sebab itu makna Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi Allah dan
menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid menurut ilmiah dan
menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya daripada
kesesatan dan mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab
Al-Qur’an berisi Berita (Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa mengandung salah satu
tiga pokok: (1) perintah, (2) larangan, (3) boleh atau diizinkan. Dan Khabar
dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai Pencipta (Khaliq) dengan
nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari makhluk-Nya, maka
diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung Sepertiga Al-Qur’an.
Dan dibersihkannya pula barangsiapa yang membacanya dengan Iman, daripada mempersekutukan
Allah secara ilmiah. Sebagaimana Surat Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari
syirik secara amali, yang timbul dari kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul
Qayyim.
Ibnul Qayyim menyambung lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan ilmu. Persediaan
ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan
hakim yang memberikan keputusan di mana
tempatnya dan telah sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu Ahad” adalah puncak
ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur’an.
Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat
mutawatir. Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat
Al-Qur’an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas
dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama nilainya dengan separuh Al-Qur’an.
“Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga Al-Qur’an dan “Qul Yaa Ayyuhal
Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an.
Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam
Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini shahih.
***
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang
dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah, – moga-moga Allah meridhainya – bahwa Nabi
SAW pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin
patroli itu tiap-tiap sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca “Qul
Huwallaahu Ahad.” Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan
pimpinan mereka itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata: “Tanyakan kepadanya
apa sebab dia lakukan demikian.” Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa
selalu ditutup dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad”).
Dia menjawab: “Itu adalah sifat dari
Tuhan Yang Bersifat Ar-Rahman, dan saya amat senang membacanya.”
Mendengar keterangan itu bersabdalah
Nabi SAW: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya.”
Dan terdapatlah juga beberapa sabda
Rasul yang lain tentang kelebihan Surat Al-Ikhlas ini. Banyak pula Hadis-hadis
menerangkan pahala membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang diterima dari Ubay
dan Anas bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
“Diasaskan tujuh petala langit dan tujuh
petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad.”
Betapa pun derajat Hadis ini, namun
maknanya memang tepat. Al-Imam Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti
Hadis ini: “Yaitu tidaklah semuanya itu dijadikan melainkan untuk menjadi bukti
atas mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam
Surat ini.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu Hurairah, berkata
dia: “Aku datang bersama Nabi SAW tiba-tiba beliau dengar seseorang membaca
“Qul Huwallaahu Ahad”. Maka berkatalah beliau SAW: “Wajabat” (Wajiblah). Lalu
aku bertanya: “Wajib apa ya Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Wajib orang itu
masuk syurga.” Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan shahih.
DEDICATED TO
ISLAM
No comments:
Post a Comment