Judul novel yang ingin penulis kritik ialah "TUHAN IZINKAN AKU JADI PELACUR". Masya' seorang wanita taat ikut pengajian, bisa menjadi pelacur, padahal dia berjilbab dan mahasiswa lagi. Tapi akhirnya penulis sadar, mungkin faktor kemiskinan yang tak tertaahankan, bisa mengaarah ke sana, atau faktor patah hati yang sakitnya melampaui batas.
Coba simak, isi novel itu aslinya. "Dia seorang muslimah yang taat."
Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan
untuk sholat, baca al-qur’an dan berdzikir. Dia memilih hidup yang sufistik
yang demi ghirah kezuhudannya kerap dia hanya mengkonsumsi roti ala kadarnya di
sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu : untuk menjadi muslimah
yang beragama secara kaffah.
Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia yang di idealkannya bisa mengantarkannya berislam secara kaffah ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup. Berkali-kali di gugatnya kondisi itu tapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini dia agung-agungkan seperti “lari dari tanggung jawab” dan “emoh” menjawab keluhannya.
Dalam keadaan kosong itulah dia terjerembab dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan free sex dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. “Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal. Dari petualangan seksnya itu tersingkap topeng-topeng kemunafikan dari para aktivis yang meniduri dan ditidurinya – baik aktivis sayap kiri maupun sayap kanan (islam) – yang selama ini lantang meneriakkan tegaknya moralitas. Bahkan terkuak pula sisi gelap seorang dosen kampus Matahari terbit Yogyakarta yang bersedia menjadi germonya dalam dunia remang pelacuran yang ternyata anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat islam di Indonesia.
No comments:
Post a Comment