Wednesday, April 17, 2013

SAJAK DAN PUISI KUMPULAN MISTER RAKIB




1.                                                                                                            BUTET HAMIDAH
                                    Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari

Butet Hamidah, kekasihku jangan pergi dariku
Walaupun aku, terpaksa pergi darimu.
Bahagianya aku bila mengingatmu.
Aku harus melanjutkan, studi, di negeri yang belum menjelma dalam mimpiku.
Dirimu sudah tahu, mengapa terjadi perpisahan ini?
Di saat sang cinta melebarkan sayapnya, di muara sungai Kampar.
Beratnya hati ini, apalagi aku telah terlanjur cinta
Sejujurnya aku malu pada teman dan semua orang
Umurku waktu itu tiga belas tahun.
Dan umurmu Butet, selas tahun.
Umur puber pertama, tidak kepalang indah.
Lalu, kau katakan, kekasihku sayang, jangan pergi
dari hidup dan jiwaku yang sepi
Seandainya, kalau memang tiada jodoh kita
aku tetap tak memilih tuk sendiri
Aduh, mungkin apa yang kurasakan sekarang
Usiaku tiga belas tahun, tak pernah terlintas di pikiran mu
Walau di pulau ini, nyamuk berjuta ekor, tak kupeduli,
Terus terang, serasa ku tak bernyawa di sisimu
Selamat tinggal, aku harus berangkat ke Bangkinang.
Ucapan terakhirku, semoga kau kan bahagia selamanya
2.   PONY CANTIKA
Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Pony aku melihat  indahmu adalah indah pelangi
Ingin kubisikkan padamu, tadi kulihat pelangi di langit
Yang menggantung di awan Kuala  Kampar.
Bukan hanya berpendar tak ceria lagi
Engkau kulihat di atas pelangi, tersenyum pada mentari berharap
khan ada waktu lebih lama lagi
untuk tunjukkan keindahannya
pada semua orang didunia ini

Engkau Cuma punya, satu pelangi jangan kau sirna pergi,
Karena ibumu sudah lama tiada.
Engkau anak piatu.
Pony, engaku bagai bunga, aku masih butuh indah warnamu
Demi tuk beri sebuah khayalan indah
Kita  berkhayal tentang hidup damai di dunia
Aku melukis di buku baru, seperti kilaumu yang sejuk itu
ajarkan kami tuk menjadi indah
Umurku waktu itu, sudah lima belas tahu,
Umurmu tiga belas tahun.
Putih kulitmu, memukau dan menjerat mataku.
Tak rela rasanya, jika dirimu sempat jatuh ke orang lain.
Dirimu hanya untukku, tidak terkhayalkan yang lain.
Dari Kota Pekanbaru, tempat aku kuliah, sengaja aku pulang.
Untuk menjengukmu, dan kita bertwemu di dalam kapal.
Tanjung Mayat Selatpanjang, di mana engkau ditemani polisi muda.
Aku mengira, polisi itu suamimu, ternyata bukan,
Tapi aku sudah terlanjur merajuk hati, menjauh pergi.
Engkau rupanya, mencari tempat pesembunyianku, dan bertemu.
Engkau hanya mengatakan, engkau kini, telah berubah.

3.   NURCAHYANI
Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari


Namamu memang, Nurcahyani, gadis alim, suka berbakti
Terkejut aku melihat engaku dalam mimpi yang terkurung
Aku tak mungkin, mendekatimu, aku hanya ingin menjalani hidupku,
Aku numpang sekolah di negerimu, dan memanfaatkan waktuku yang berharga,
Dalam mimpi itu, semua yang kusukai hilang, tanpa penyesalan.

Tanpa banyak pikiran lagi di otak. Hanya melakukannya. Lebih banyak tersenyum.

Tak lagi tertunduk lesu. Bila kubertannya bisakah aku? Bagian lain diriku menjawab:

"itu semua terserah kamu"

Lalu otakku kembali memproses,
ah jawaban seperti ini sulit.
aku harus mengalahkan diriku sendiri?

4.     IDEIAWATI
Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Gadis pulau, bernama Ideawati, panggilannya Ide
Kulitnya memang hitam, tapi lebih hitam kulitku.
Ketika seseorang bergurau, pura-pura kau jadi jodhku.
Saat itulah engkau emosi, mengeluarkan caci maki.
Betapa hinanya aku, dalam pandanganmu.
Waktu itu umurku tujuh belas tahun, umurmu lima belas tahun.
Ide, dalam pandanganku, engkaulah gadis terjelek di pulau itu.
Yang paling jelek itu. Tapi si jelek itupun tersinggung,
Ketika pura-pura dijodohkan padaku.
Kesimpulannya, akulah paling jelek dari semua yang jelak.
Begitulah hinanya diriku dahulu…..
Tapi itukan dulu, di  saat aku masih jadi tukang cangkul.
Belum mengenal kantor dam mobil ber-AC, seperti saat ini.
Kini Ide malu-malu padaku, teringat lidahnya terlanjur dahulu.
Kini, Ide…, zaman telah berbalik.
Ide, roda pedati itu, telah berputar.
Sang waktu, telah diriku, yang dulu terbenam di sawah demi sesuap nasi, tentulah kau tidak sudi memandang wajahku.
Sementara Nenek Dukun itu, menjadikan aku hamba sahayanya.
Waktu itu, aku tidak punya jalan lain.
Menjadi budak suruhan adalah jalan satu-satunya bagiku.
Ide masih tetap engkau tinggal di pulau itu.
Sebuah pulau tanpa toilet sama sekali.
Pinggiran pulaunya menjadi WC terpanjang di dunia.
Pulau itu dikelilingi sungai kampar yang teramat jernih.
Tapi di situ mandi, di situ pula buang kotoran .
Di situ jua tempat mengambil air minum.
Aku masih mengingat, engkau memberikan cibiran padaku.
Engkau menyangka, waktu itu, diriku ini, orang yang sangat terbuang….


5.     PAUSYA

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Pausa, wanita kampung yang seksi
Lima tahun aku menumpang tinggal di rumahnya.
Dialah satu satunya wanita, yang meramalkan nasibku pasti hitam kelam.
Itulah alasannya, mengapa engakau tidak segan-segannya mencaci dan mencercaku.
Karena engkau tidak melihat bayangan pada diriku, secelah daunpun.
Hinaan itu kutelan  bersama ludahku dalam-dalam.
Kusimpan, hinaan itu di tubuhku yang paling tersembunyi.
Dalam suka mulutku  tidak berani  tertawa
Dalam duka mata berani  berkaca
Dalam kaku    sudah benar, mersa salah  pikir terpaku
Dalam waktu langkah satu-satu
Ada batu semangat tak mati kutu
Ada lubang jati diri tak hilang
Terseok-seok menyusur jalan berkelok-kelok
Jatuh bangun namun tetap tekun

Demi masa depan
demi kesejahteraan
demi kebahagiaan
demi Tuhan, teruslah berjuang
tiba-tiba bahagia itu ada
menyelinap dalam puing-puing
yg berserak
di antara gelimpangan mayat-mayat
korban tsunami
haru biru kalbu ini



6.     NENEK RANAI

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Nenek Ranai, mengatakan padaku, engkau bagai anakku.
Bekerjalah di sawahku, ketika sekolahmu libur.
Ayahmu tidak lagi, mengirimkan uang belanja.
Aku menerima tawaran Nenek Ranai.
Tapi gubuknya kurasakan sangat asing.
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
Aku mimpi masuk ke air mengalir tukar warna,kapal kapal,
Ribuan ekor elang melayang layang.
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh


7.MAK CIK MAIMUN

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari

Mak Cik Maimun tahu, waktu itu, aku guru mengaji di surau.
Aku menumpang tinggal di rumahnya.
Lagi-lagi aku ke sawah, ke kebun ubi dan ke kebun jeruk.
Tugasku tak lain, mencabut rumput, menebas semak.
Demi sekolah, aku rela bekerja apa saja.
Caci maki mengalir lagi, ke arah diri yang malang ini.
Susah derita, silih berganti.
Oh tuhan, bilakah akan berakhir derita ini?
Tiap malam aku memandang rembulan.
7.     Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Duh Mak Cik,,, Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

8. LINTAH KERBAU DI SAWAH

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Aku adalah orang asing, di sawah itu.
Sawah yang terbentang, di lembah Bukit Ranah Singkuang.
Tiada seorang laki-lakipun yang turun ke sawah, selain aku.
Aku lahir di daerah lautan Laut Cina selatan
Sedangkan bukit Ranah singkuang, anak Bukit barisan, melewati Ranah Minangkabau.
Sebagai orang asing, aku diberi kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau rakit hitam Sungai Kampar.
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu.
Lintah di sawah ladang bencah, berlumpur , padinya subur.
Lima tahun aku mengabdi di tempat ini.
Kadang-kadang menangkap ikan gabus liar.
Terkena ujung cangkul, tanpa sengaja.
Ikan itu dibakar, lalu ditumbuk dengan parutan kelapa.
Santapan anak desa, yang lezat tiada tara.



9. MAKWO  FATIMAH

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Makwo, yang buta huruf, berkulit putih bersih.
Ketika mudanya, banyak yang jatuh hati.
Dalam kemiskinannya, ia bahagia.
Aku sudah seperti anak kandungnya.
Bagiku, Makwo Fatimah adalah cemara menderai sampai jauh
Baginya sudah terasa hari akan jadi malam
Sudah ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Tanggal daunnya, dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menjemput pengorbanan, menunda kekalahan
Aku pendatang, tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Aku  tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah


Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.


kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


10. BUNDA RAUNA

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari

Engkau wahai Bunda Rauna, rajin ke surau, tapi suamimu risau.
Aku berteman dengan anakmu di madrasah.
Engkau telah menjadi istri pendurhaka.
Sepi di luar, sepi menekan mendesak-desak suamimu yang malang.
Suamimu, lurus kaku mirip pohonan, cenderung dayus. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.
Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati





11. KAKANDA  SUHADI

Karya:  Muhammad Rakib Janib Jamari
Engkau membawa aku, tinggal di rumahmu.
Tapi ibumu, tidak setuju. Aku tidak tahu itu.
Ayah dan ibuku, jauh di rantau orang.
Belau tidak tahu nasib anaknya, yang terlunta-lunta, tanpa biaya.
Inilah  yang kuingin katakan, aku begitu takut merengkuhmu dalam hari-hariku.
Seperti kulihat hijab itu begitu tebal. tak bisa kusibak seperti bibirku yang bisu. seperti hatiku yang beku 

tapi, percayalah , aku selalu mengingatmu dalam tiap detik hariku. merindukanmu. mengenangmu. 


meski, aku pun tahu, aku takut pula melakukan itu. ada yang kutakut marah dan cemburu karena nya aku begitu takut. dalam gigil ruh ku takut ditinggalkan Nya. seperti selalu aku mengkhianati Dia 


akhirnya, hanya satu pinta dari palung hatiku. berbahagialah dengan cinta. tak ada sakit disana. semestinya. kuingin katakan, aku menyayangimu. berharap yang terbaik selalu bagi dirimu. 


insyaAllah, Allah menjagamu 




jika cinta hadir bagi hati, biarlah dia mengalir seperti air
tak usah lagi siksa itu mendera. tak usah!

tak ada sakit, demi kau yang pantas bahagia!
seperti doa pintaku padaNya


Adakah kau rasa derak langkah Nya 
Di antara keheningan masa tak berjeda 
Adakah kau dengar Senandung nina bobo Nya 
Istirahkan lelahnya jiwa 

Adakah, adakah Kakanda? 

Kau nyanyikan kidung seirama kidung Nya 
Bergulat dengan cahaya Nya, bermesra surga 
Adakah pelaminan hening memapahmu tuk kembali 
meniti puisi diri, sendiri menanti 


Kulihat, seorang laki-laki membaca puisi.
Ketika awan begitu hitam membayangi sepi
Dari jauh aku mengintai ia bersuara, bergetar.
Satu satu air mata langit jatuh kebumi, lelaki terus berpuisi
Berpuisi merajuk mata hati
Ingin berlari, sembunyi
Tak kuasa

Inikah cinta? bibir pun tak lagi berkata
Karena berdiam di sisinya, telah terkata:



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook