1.
BUTET
HAMIDAH
Karya:
Muhammad Rakib Janib Jamari
Butet
Hamidah, kekasihku jangan pergi dariku
Walaupun aku, terpaksa pergi darimu.
Bahagianya aku bila mengingatmu.
Aku harus melanjutkan, studi, di
negeri yang belum menjelma dalam mimpiku.
Dirimu
sudah tahu, mengapa terjadi perpisahan ini?
Di saat sang cinta melebarkan sayapnya, di muara sungai Kampar.
Beratnya hati ini, apalagi aku telah terlanjur cinta
Sejujurnya aku malu pada teman dan semua orang
Umurku waktu itu tiga belas tahun.
Di saat sang cinta melebarkan sayapnya, di muara sungai Kampar.
Beratnya hati ini, apalagi aku telah terlanjur cinta
Sejujurnya aku malu pada teman dan semua orang
Umurku waktu itu tiga belas tahun.
Dan umurmu
Butet, selas tahun.
Umur puber
pertama, tidak kepalang indah.
Lalu, kau katakan, kekasihku sayang, jangan pergi
dari hidup dan jiwaku yang sepi
Seandainya, kalau memang tiada jodoh kita
aku tetap tak memilih tuk sendiri
Aduh, mungkin apa yang kurasakan sekarang
Usiaku tiga belas tahun, tak pernah terlintas di pikiran mu
Walau di pulau ini, nyamuk berjuta ekor, tak kupeduli,
Lalu, kau katakan, kekasihku sayang, jangan pergi
dari hidup dan jiwaku yang sepi
Seandainya, kalau memang tiada jodoh kita
aku tetap tak memilih tuk sendiri
Aduh, mungkin apa yang kurasakan sekarang
Usiaku tiga belas tahun, tak pernah terlintas di pikiran mu
Walau di pulau ini, nyamuk berjuta ekor, tak kupeduli,
Terus
terang, serasa ku tak bernyawa di sisimu
Selamat tinggal, aku harus berangkat ke Bangkinang.
Selamat tinggal, aku harus berangkat ke Bangkinang.
Ucapan
terakhirku, semoga kau kan bahagia selamanya
Karya: Muhammad Rakib
Janib Jamari
Ingin kubisikkan padamu, tadi
kulihat pelangi di langit
Yang menggantung di awan Kuala Kampar.
Yang menggantung di awan Kuala Kampar.
Bukan hanya berpendar tak ceria lagi
Engkau kulihat di atas pelangi, tersenyum pada mentari berharap
khan ada waktu lebih lama lagi
untuk tunjukkan keindahannya
pada semua orang didunia ini
Engkau Cuma punya, satu pelangi jangan kau sirna pergi,
Engkau kulihat di atas pelangi, tersenyum pada mentari berharap
khan ada waktu lebih lama lagi
untuk tunjukkan keindahannya
pada semua orang didunia ini
Engkau Cuma punya, satu pelangi jangan kau sirna pergi,
Karena ibumu sudah lama tiada.
Engkau anak piatu.
Pony, engaku bagai bunga, aku masih butuh indah warnamu
Demi tuk beri sebuah khayalan indah
Kita berkhayal tentang hidup damai di dunia
Aku melukis di buku baru, seperti kilaumu yang sejuk itu
ajarkan kami tuk menjadi indah
Pony, engaku bagai bunga, aku masih butuh indah warnamu
Demi tuk beri sebuah khayalan indah
Kita berkhayal tentang hidup damai di dunia
Aku melukis di buku baru, seperti kilaumu yang sejuk itu
ajarkan kami tuk menjadi indah
Umurku waktu itu, sudah lima belas
tahu,
Umurmu tiga belas tahun.
Putih kulitmu, memukau dan menjerat
mataku.
Tak rela rasanya, jika dirimu sempat
jatuh ke orang lain.
Dirimu hanya untukku, tidak
terkhayalkan yang lain.
Dari Kota Pekanbaru, tempat aku
kuliah, sengaja aku pulang.
Untuk menjengukmu, dan kita bertwemu
di dalam kapal.
Tanjung Mayat Selatpanjang, di mana
engkau ditemani polisi muda.
Aku mengira, polisi itu suamimu,
ternyata bukan,
Tapi aku sudah terlanjur merajuk
hati, menjauh pergi.
Engkau rupanya, mencari tempat
pesembunyianku, dan bertemu.
Engkau hanya mengatakan, engkau
kini, telah berubah.
3.
NURCAHYANI
Karya: Muhammad Rakib
Janib Jamari
Namamu
memang, Nurcahyani, gadis alim, suka berbakti
Aku tak mungkin, mendekatimu, aku hanya ingin menjalani
hidupku,
Aku numpang sekolah di negerimu, dan memanfaatkan waktuku yang berharga,
Dalam mimpi itu, semua yang kusukai hilang, tanpa penyesalan.
Tanpa banyak pikiran lagi di otak. Hanya melakukannya. Lebih banyak tersenyum.
Tak lagi tertunduk lesu. Bila kubertannya bisakah aku? Bagian lain diriku menjawab:
"itu semua terserah kamu"
Lalu otakku kembali memproses,
ah jawaban seperti ini sulit.
aku harus mengalahkan diriku sendiri?
Aku numpang sekolah di negerimu, dan memanfaatkan waktuku yang berharga,
Dalam mimpi itu, semua yang kusukai hilang, tanpa penyesalan.
Tanpa banyak pikiran lagi di otak. Hanya melakukannya. Lebih banyak tersenyum.
Tak lagi tertunduk lesu. Bila kubertannya bisakah aku? Bagian lain diriku menjawab:
"itu semua terserah kamu"
Lalu otakku kembali memproses,
ah jawaban seperti ini sulit.
aku harus mengalahkan diriku sendiri?
4.
IDEIAWATI
Karya: Muhammad Rakib
Janib Jamari
Gadis
pulau, bernama Ideawati, panggilannya Ide
Kulitnya
memang hitam, tapi lebih hitam kulitku.
Ketika
seseorang bergurau, pura-pura kau jadi jodhku.
Saat
itulah engkau emosi, mengeluarkan caci maki.
Betapa
hinanya aku, dalam pandanganmu.
Waktu itu
umurku tujuh belas tahun, umurmu lima belas tahun.
Ide, dalam
pandanganku, engkaulah gadis terjelek di pulau itu.
Yang
paling jelek itu. Tapi si jelek itupun tersinggung,
Ketika
pura-pura dijodohkan padaku.
Kesimpulannya,
akulah paling jelek dari semua yang jelak.
Begitulah
hinanya diriku dahulu…..
Tapi
itukan dulu, di saat aku masih jadi
tukang cangkul.
Belum
mengenal kantor dam mobil ber-AC, seperti saat ini.
Kini Ide
malu-malu padaku, teringat lidahnya terlanjur dahulu.
Kini,
Ide…, zaman telah berbalik.
Ide, roda
pedati itu, telah berputar.
Sang
waktu, telah diriku, yang dulu terbenam di sawah demi sesuap nasi, tentulah kau
tidak sudi memandang wajahku.
Sementara
Nenek Dukun itu, menjadikan aku hamba sahayanya.
Waktu itu,
aku tidak punya jalan lain.
Menjadi
budak suruhan adalah jalan satu-satunya bagiku.
Ide masih
tetap engkau tinggal di pulau itu.
Sebuah
pulau tanpa toilet sama sekali.
Pinggiran
pulaunya menjadi WC terpanjang di dunia.
Pulau itu
dikelilingi sungai kampar yang teramat jernih.
Tapi di
situ mandi, di situ pula buang kotoran .
Di situ
jua tempat mengambil air minum.
Aku masih
mengingat, engkau memberikan cibiran padaku.
Engkau
menyangka, waktu itu, diriku ini, orang yang sangat terbuang….
5.
PAUSYA
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Pausa,
wanita kampung yang seksi
Lima tahun
aku menumpang tinggal di rumahnya.
Dialah
satu satunya wanita, yang meramalkan nasibku pasti hitam kelam.
Itulah alasannya,
mengapa engakau tidak segan-segannya mencaci dan mencercaku.
Karena
engkau tidak melihat bayangan pada diriku, secelah daunpun.
Hinaan itu
kutelan bersama ludahku dalam-dalam.
Kusimpan,
hinaan itu di tubuhku yang paling tersembunyi.
Dalam suka mulutku tidak berani tertawa
Dalam duka mata berani berkaca
Dalam kaku sudah benar, mersa salah pikir terpaku
Dalam waktu langkah satu-satu
Dalam duka mata berani berkaca
Dalam kaku sudah benar, mersa salah pikir terpaku
Dalam waktu langkah satu-satu
Ada batu semangat tak mati kutu
Ada lubang jati diri tak hilang
Terseok-seok menyusur jalan berkelok-kelok
Jatuh bangun namun tetap tekun
Ada lubang jati diri tak hilang
Terseok-seok menyusur jalan berkelok-kelok
Jatuh bangun namun tetap tekun
Demi masa depan
demi kesejahteraan
demi kebahagiaan
demi Tuhan, teruslah berjuang
tiba-tiba bahagia itu ada
menyelinap dalam puing-puing
yg berserak
di antara gelimpangan mayat-mayat
korban tsunami
haru biru kalbu ini
menyelinap dalam puing-puing
yg berserak
di antara gelimpangan mayat-mayat
korban tsunami
haru biru kalbu ini
6.
NENEK RANAI
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Nenek
Ranai, mengatakan padaku, engkau bagai anakku.
Bekerjalah
di sawahku, ketika sekolahmu libur.
Ayahmu
tidak lagi, mengirimkan uang belanja.
Aku
menerima tawaran Nenek Ranai.
Tapi
gubuknya kurasakan sangat asing.
Aku
berada kembali. Banyak yang asing:
Aku mimpi masuk ke air mengalir tukar warna,kapal kapal,
Ribuan ekor elang melayang layang.
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
Aku mimpi masuk ke air mengalir tukar warna,kapal kapal,
Ribuan ekor elang melayang layang.
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
7.MAK CIK
MAIMUN
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Mak Cik Maimun
tahu, waktu itu, aku guru mengaji di surau.
Aku menumpang
tinggal di rumahnya.
Lagi-lagi aku
ke sawah, ke kebun ubi dan ke kebun jeruk.
Tugasku tak
lain, mencabut rumput, menebas semak.
Demi sekolah,
aku rela bekerja apa saja.
Caci maki
mengalir lagi, ke arah diri yang malang ini.
Susah derita,
silih berganti.
Oh tuhan,
bilakah akan berakhir derita ini?
Tiap malam aku memandang rembulan.
Tiap malam aku memandang rembulan.
7.
Perahu
melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Duh Mak Cik,,, Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
8. LINTAH KERBAU DI SAWAH
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Duh Mak Cik,,, Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
8. LINTAH KERBAU DI SAWAH
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Aku adalah
orang asing, di sawah itu.
Sawah yang
terbentang, di lembah Bukit Ranah Singkuang.
Tiada seorang
laki-lakipun yang turun ke sawah, selain aku.
Aku lahir di
daerah lautan Laut Cina selatan
Sedangkan bukit
Ranah singkuang, anak Bukit barisan, melewati Ranah Minangkabau.
Sebagai orang
asing, aku diberi kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau rakit hitam Sungai Kampar.
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu.
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau rakit hitam Sungai Kampar.
'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu.
Lintah di sawah
ladang bencah, berlumpur , padinya subur.
Lima tahun aku mengabdi di tempat ini.
Lima tahun aku mengabdi di tempat ini.
Kadang-kadang menangkap ikan gabus
liar.
Terkena ujung cangkul, tanpa
sengaja.
Ikan itu dibakar, lalu ditumbuk
dengan parutan kelapa.
Santapan anak desa, yang lezat tiada
tara.
9. MAKWO
FATIMAH
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Makwo,
yang buta huruf, berkulit putih bersih.
Ketika
mudanya, banyak yang jatuh hati.
Dalam
kemiskinannya, ia bahagia.
Aku
sudah seperti anak kandungnya.
Bagiku,
Makwo Fatimah adalah cemara menderai sampai jauh
Baginya sudah terasa hari akan jadi malam
Sudah ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Tanggal daunnya, dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menjemput pengorbanan, menunda kekalahan
Aku pendatang, tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Aku tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Baginya sudah terasa hari akan jadi malam
Sudah ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Tanggal daunnya, dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menjemput pengorbanan, menunda kekalahan
Aku pendatang, tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Aku tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Di
masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
10. BUNDA RAUNA
Karya: Muhammad Rakib
Janib Jamari
Engkau wahai Bunda Rauna, rajin ke surau, tapi suamimu risau.
Aku
berteman dengan anakmu di madrasah.
Engkau
telah menjadi istri pendurhaka.
Sepi
di luar, sepi menekan mendesak-desak suamimu yang malang.
Suamimu, lurus kaku mirip pohonan, cenderung dayus. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Suamimu, lurus kaku mirip pohonan, cenderung dayus. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Ini
barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Aku
berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
Dialah,
Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati
11. KAKANDA SUHADI
Karya: Muhammad Rakib Janib Jamari
Engkau membawa aku, tinggal
di rumahmu.
Tapi ibumu, tidak setuju.
Aku tidak tahu itu.
Ayah dan ibuku, jauh di
rantau orang.
Belau tidak tahu nasib
anaknya, yang terlunta-lunta, tanpa biaya.
Inilah yang kuingin katakan, aku begitu takut
merengkuhmu dalam hari-hariku.
Seperti kulihat hijab itu
begitu tebal. tak bisa kusibak seperti bibirku yang bisu. seperti hatiku yang
beku
tapi, percayalah , aku selalu mengingatmu dalam tiap detik hariku. merindukanmu. mengenangmu.
meski, aku pun tahu, aku takut pula melakukan itu. ada yang kutakut marah dan cemburu karena nya aku begitu takut. dalam gigil ruh ku takut ditinggalkan Nya. seperti selalu aku mengkhianati Dia
akhirnya, hanya satu pinta dari palung hatiku. berbahagialah dengan cinta. tak ada sakit disana. semestinya. kuingin katakan, aku menyayangimu. berharap yang terbaik selalu bagi dirimu.
insyaAllah, Allah menjagamu
tapi, percayalah , aku selalu mengingatmu dalam tiap detik hariku. merindukanmu. mengenangmu.
meski, aku pun tahu, aku takut pula melakukan itu. ada yang kutakut marah dan cemburu karena nya aku begitu takut. dalam gigil ruh ku takut ditinggalkan Nya. seperti selalu aku mengkhianati Dia
akhirnya, hanya satu pinta dari palung hatiku. berbahagialah dengan cinta. tak ada sakit disana. semestinya. kuingin katakan, aku menyayangimu. berharap yang terbaik selalu bagi dirimu.
insyaAllah, Allah menjagamu
jika cinta hadir bagi
hati, biarlah dia mengalir seperti air
tak usah lagi siksa itu mendera. tak usah!
tak ada sakit, demi kau yang pantas bahagia!
seperti doa pintaku padaNya
tak usah lagi siksa itu mendera. tak usah!
tak ada sakit, demi kau yang pantas bahagia!
seperti doa pintaku padaNya
Adakah
kau rasa derak langkah Nya
Di antara keheningan masa tak berjeda
Adakah kau dengar Senandung nina bobo Nya
Istirahkan lelahnya jiwa
Adakah, adakah Kakanda?
Kau nyanyikan kidung seirama kidung Nya
Bergulat dengan cahaya Nya, bermesra surga
Adakah pelaminan hening memapahmu tuk kembali
meniti puisi diri, sendiri menanti
Di antara keheningan masa tak berjeda
Adakah kau dengar Senandung nina bobo Nya
Istirahkan lelahnya jiwa
Adakah, adakah Kakanda?
Kau nyanyikan kidung seirama kidung Nya
Bergulat dengan cahaya Nya, bermesra surga
Adakah pelaminan hening memapahmu tuk kembali
meniti puisi diri, sendiri menanti
Kulihat, seorang
laki-laki membaca puisi.
Ketika awan begitu
hitam membayangi sepi
Dari jauh aku mengintai ia bersuara, bergetar.
Satu satu air mata langit jatuh kebumi, lelaki terus berpuisi
Berpuisi merajuk mata hati
Ingin berlari, sembunyi
Tak kuasa
Inikah cinta? bibir pun tak lagi berkata
Karena berdiam di sisinya, telah terkata:
Dari jauh aku mengintai ia bersuara, bergetar.
Satu satu air mata langit jatuh kebumi, lelaki terus berpuisi
Berpuisi merajuk mata hati
Ingin berlari, sembunyi
Tak kuasa
Inikah cinta? bibir pun tak lagi berkata
Karena berdiam di sisinya, telah terkata:
No comments:
Post a Comment