BAB I
MANTUQ
DAN MAFHUM TUHAN BERSELA DAN WAJAH TUHAN YANG KEKAL (Analisis kaedah keagamaan)
TUHAN
BERSELA, DI ATAS ARASS,
BUKAN
BERARTI, ALLAH DI ATAS
KATA-KATA
MAJAZ, DALAM LAFAZ
TANDA
KETINGGIAN, DAN MAHA LUAS
WAJAH
ALLAH ITU KEKAL SENANTIASA,
BUKAN
BERARTI, TUHAN PUNYA MUKA
KALIMAT
MAJAZI, BERNILAI SASTRA
BAHASA
ARAB KAYA, MENGOLAH RASA.
Wajah Allah itu kekal. Allah bersela
di atas ‘Arass. Bagaimana lafaznya, bagaimana pula inti pesan mafhum di
dalamnya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam,
yaitu dilalah mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah mantuq adalah petunjuk hukum
yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan
lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.. Secara garis
besar, dilalah mantuq terbagi menjadi dua yaitu mantuq sharih dan mantuq gairu
sharih. Sedangkan dilalah mafhum juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Pada pembahasan dari segi kehujjahan
mafhum mukhalafah ini terdapat perbedaan pendapat antara beberapa madzhab.
Khususnya perbedaan pendapat menurut perspektif madzhab Syafi’i. Menurut madzhab
ini, mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah akan tetapi harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Dari penjelasan singkat di atas,
penulis akan memaparkan mengenai pengertian mantuq dan pembagian-pembagiannya,
pengertian mafhum dan pembagian-pembagiannya, dan kehujjahan mafhum mukhalafah
serta syarat-syaratnya menurut perspektif madzhab Syafi’i.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pengertian Dilalah Mantuq dan Dilalah Mafhum
Dalam pandangan ulama Syafi’iyah,
dilalah terbagi menjadi dua macam, yaitu dilalah mantuq dan dilalah mafhum.
Berikut penjelasannya:
Yang dimaksud dengan Mantuq dan
mafhum yaitu: Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu
sendiri. Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan
lafal itu sendiri.[1]
Jadi mantuq, ialah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafal di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang
ditunjukkan oleh lafal tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat
ucapan tersebut.[2]
Adapun yang dimaksud dengan dilalah
mantuq oleh Asy Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
دَلاَ لَةُ الْمَنْطُوْقِ وَهِيَ
دَلاَلَةُ الَّلفْظِ فِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى الْحُكْمِ الْمَذْ كُوْرِ.
Artinya: “Petunjuk lafal yang
dituturkan kepada hukum yang diterangkan.”[3]
Sedangkan dilalah mafhum adalah:
دَلاَلَةُالَّفْظِ لاَفِى مَحَلِّ
النُّطْقِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمٍ مَاذُكِرَلِمَاسُكِتَ عَنْهُ اَوْعَلَى نَفْيِ
الْحُكْمِ عَنْهُ
Penunjukkan lafadz yang tidak
dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum
yang disebutkan.[4]
Dari penjelasan di atas maka dapat
penulis simpulkan, bahwa dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat
dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah
mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak
disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Pengertian ini akan lebih jelas
dipahami dengan bantuan contoh seperti firman Allah sebagai berikut:
… …
Artinya:
“…Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"…”[5]
Jika dilihat dari firman Allah di
atas, maka dapat dipahami bahwa dilalah mantuq dari ayat tersebut adalah hukum
tidak diperbolehkannya mengatakan kepada kedua orang tua dengan perkataan “ah”,
sedangkan dilalah mafhum yang terdapat di dalamnya yang tidak disebutkan pada
lafal tersebut ialah memukul, menendang hingga menyiksanya yang juga dilarang
dan tidak diperbolehkan hukumnya.
Pembagian Dilalah Mantuq
Secara garis besar, mantuq menurut
ulama Syafi’iyah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Nash, yaitu suatu perkataan yang
jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.[6] Seperti dalam firman Allah SWT
sebagai berikut:
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang
demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari”.[7]
2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu
makna, bukan yang dimaksud dan mengehendaki kepada pentakwilan.[8]
Seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
Kekal wajah Tuhan engkau[9]
Pada ayat di atas, perlu adanya
pentakwilan dalam memahami lafal tersebut. Wajah yang diartikan pada ayat di
atas adalah zat. Dan bukan merupakan wajah yang layaknya seperti wajah manusia.
Dari penjelasan singkat di atas,
penulis menyimpulkan bahwa mantuq itu terbagi menjadi dua, yaitu nash (yang
berarti perkataan yang jelas dan tidak menghendaki kepada pentakwilan), dan
zhahir (yang berarti perkataan yang mengandung makna, tapi bukan yang dimaksud
dan menghendaki pentakwilan).
Sedangkan dilalah mantuq terbagi
dalam dua kategori, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih.
- Mantuq sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khin, ialah: makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa sebagiannya.
Misalnya, firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 3 yang
mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat ‘adil. Jika
tidak, wajib membatasi seorang saja.[10]
- Mantuq ghairu sharih, ialah petunjuk lafadh sesuai dengan kelaziman yang berlaku.[11] Misalnya dalam firman Allah SWT.
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.[12]
Lafadh pada ayat di atas menunjukkan arti sesuai dengan
kelaziman yang berlaku bahwa nasab anak dihubungkan kepada bapak.[13]
Hemat penulis, mantuq sharih adalah
petunjuk yang secara tegas disebutkan oleh lafal itu sendiri. Sedangkan mantuq
ghairu sharih adalah petunjuk hukum yang sesuai dengan kelaziman yang berlaku
yang disebutkan pada lafal itu sendiri. Pada dasarnya mantuq sarih dan nash maupun mantuq ghairu
sharih dan zhahir itu sama saja dari segi pengertiannya, hanya terletak
perbedaan istilah saja antara keduanya.
Pembagian Dilalah Mafhum
Dari definisi dilalah mafhum di
atas, terlihat ada dua macam mafhum, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
1.
Mafhum muwafaqah; yaitu pengertian
yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafaz yang disebutkan.[14] Berlakunya hukum yang
disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini
disebut مفهوم
الموافقة (mafhum kesamaan).[15] Mafhum muwafaqah dapat dibagi
kepada:
- Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya: Jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orang ibu bapakmu. Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.[16]
- Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan,[17] seperti firman ...
Mereka yang
memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam
perut mereka.[18]
Membakar atau setiap cara yang
menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta dilarang
(haram).[19]
Hemat penulis,
yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuai
dengan ucapan (lahir) lafadznya. Bagian dari mafhum muwafaqah adalah fahwal
khitab (yang berarti hukum yang tidak disebutkan pada lafadz lebih utama
daripada hukum yang disebutkan pada lafadz), dan lahnal khitab (yang berarti
persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dan yang disebutkan pada
lafdznya).
2.
Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari pada ucapan, baik dalam
istinbat (menetapkan) maupun Nafi (menidakkan).[20] Tidak berlakunya hukum yang
disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini
disebut مفهوم المخالفة
(mafhum kebalikan).[21]
Hemat penulis,
mafhum mukhalafah adalah petunjuk hukum yang dipahami berbeda dari ucapan, baik
dalam menetapkan maupun menidakkan. Adapun mafhum mukhalafah terbagi menjadi 6
macam, antara lain:
a.
Mafhûm al-washf (mafhûm al-shifat). Yaitu menetapkan lawan hukum bagi
yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq
bih) dengan memakai sesuatu sifat.[22] Seperti dalam firman
Allah:
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&
... (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantumu)…[23]
Mafhûm al-washf-nya,
ialah isteri-isteri bukan dari anak kandung adalah halal untuk dinikahi.[24]
b.
Mafhûm al-syarth. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût
‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai
sesuatu syarat.[25] Seperti dalam firman Allah:
… Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu
(sebagian makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[26]
Mafhûm al-syarth-nya,
ialah mas kawin itu tidak boleh di makan oleh suami apabila si isteri tidak
menyerahkannya kembali dengan senang hati kepada suaminya.[27]
c.
Mafhûm al-ghâyat. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût
‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai
sesuatu batasan (ghâyat). Apabila batasan itu telah melewati batas yang
telah ditetapkan, maka berlaku hukum sebaliknya.[28] Hingga lafal ghayag ini
adakalanya dengan “illa” dan dengan “hatta”.[29] Seperti dalam
firman Allah:
Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain …[30]
Mafhûm al-ghâyat-nya,
ialah bagi suami boleh hukumnya menikahi kembali dengan bekas isterinya yang
nikahi dengan laki-laki lain kemudian ditalaknya pula, sesudah dikumpulkannya,
serta telah habis pula masa ‘iddat-nya.[31]
d.
Mafhûm al-‘adad. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût
‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai
bilangan tertentu.[32] Seperti dalam firman Allah
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka
deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali …[33]
Mafhûm al-‘adad-nya
ialah hukuman dera bagi pelaku zina itu, tidak boleh kurang atau lebih dari
seratus kali.[34]
e.
Mafhûm al-hasyr. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût
‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai
pengkhususan secara terbatas.[35] Seperti dalam firman Allah
«!$atakanlah: tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah …[36]
Mafhûm al-hasyr-nya,
ialah bahwa makanan selain keempat macam tersebut di atas adalah halal kecuali
ada nash lain yang mengharamkannya.[37]
f.
Mafhûm al-laqab, yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût
‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai ism
al-‘alam, ism al-washf dan ism al-jins.[38] Sebagai contoh ism
‘alam adalah seperti dalam firman Allah:
øÎ) tA$s% ß#ßqã ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»t
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai
ayahku …[39]
Mafhûm al-laqab-nya,
ialah selain Yusuf tidak dapat disebutkan sebagai orang yang melaporkan
kepada ayah Yusuf tentang peristiwa mimpinya.[40]
Hemat penulis, dari penjelasan di
atas dapat di pahami bahwa mafhum mukhalafah
terbagi menjadi 6 macam, yaitu mafhûm al-washf (mafhûm al-shifat), mafhûm
al-syarth, mafhûm al-ghâyat, mafhûm al-‘adad, dan mafhûm
al-hasyr, serta mafhûm al-laqab. Jika
digambarkan mengenai kesimpulan dari penjelasan di atas, sebagai berikut:
Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Dari keenam macam mafhum mukhalafah
di atas, terdapat kehujjahan yang berbeda-beda. Banyak yang menyebutkan bahwa mafhûm al-laqab
tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth,
bisa dijadikan hujjah pada
masalah-masalah selain nash. Dan mafhûm al-hasyr bisa
dijadikan hujjah oleh para ulama.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mafhûm al-laqab
tidak dapat dijadikan hujjah karena
pada ism al-‘alam, ism al-washf dan ism al-jins hanya
sekedar penyebutan hukumnya saja, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan
berlakunya hukum yang ada padanya. Sedangkan alasan ulama Syafi’iyah mengenai mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth yang
bisa dijadikan hujjah karena terdapat hikmah tersendiri dalam hukum-hukum yang
telah dibatasi oleh syara’, dan para sahabat dan tabi’in juga menggunakan
mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Namun, terdapat ketentuan terhadap keempat
mafhum di atas untuk dijadikan hujjah, di antaranya adalah tidak bertentangan
dengan nash yang lain dan tidak adanya ketentuan bahwa nash itu tidak boleh
diberlakukan mafhum mukhalafah. Sebagaimana telah disebutkan oleh Miftahul Arifin
dan A. Faishal Hag dalam bukunya “Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam”, sebagai berikut:
Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain, yaitu: Mafhum
Sifat, Mafhum Syarat, Mafhum Ghayah, dan Mafhum ‘Adad; Ulama Syafi’iyah dan
Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan:
1.
Tidak bertentangan dengan nash yang
lain.
Alasan mereka menjadikan empat macam mafhum mukhalafah sebagai
hujjah, adalah:
1.
Bahwasanya syara’ membatasi
hukum-hukum tersebut mempunyai hikmah tersendiri.
Sedangkan pada mafhûm al-hasyr para ulama sepakat bahwa mafhum ini dapat dijadikan hujjah.
Menurut pemahaman penulis, hal ini karena mafhum ini dimaksudkan untuk
membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum yang ada padanya.
Syarat Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah dapat
dijadikan hujjah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mafhûm al-mukhâlafat itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik
dalil manthûq bih maupun mafhûm al-muwâfaqat.
2.
Petunjuk lafzh yang
disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan
sesuatu keadaan.
3.
Petunjuk lafzh yang
disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.
4.
Petunjuk lafzh yang
disebutkan (dalâlat al-manthûq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti
kepada yang lain.
5.
Petunjuk lafzh yang
disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk kejadan atau
peristiwa khusus.
6.
Petunjuk lafzh yang
disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan
sifat tertentu.[43]
Dari penjelasan di atas, maka dapat
dipahami bahwa terdapat 6 syarat mafhûm al-mukhâlafat yang bisa
dijadikan hujjah syara’, antara lain mafhûm al-mukhâlafat itu tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq bih maupun
mafhûm al-muwâfaqat, petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat
al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan, bukan suatu
hal yang biasa terjadi, harus berdiri sendiri, dan bukan dimaksudkan untuk
kejadan atau peristiwa khusus, serta bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan
sifat tertentu.
Perbedaan Istilah antara Ulama Syafi’iyah dan Ulama
Hanafiyah
Pada bagian ini, penulis mencoba
untuk memaparkan perbedaan istilah antara Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah,
sebagai berikut:
Ulama Syafi’iyah
|
Ulama Hanafiyah
|
Dilalah Mantuq
|
Ibaratun Nash, Isyaratun Nash, dan Iqtidatun Nash
|
Mantuq Muwafaqah
|
Dalalatun Nash
|
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah
|
Tidak berhujjah dengan mafhum mukhalafah
|
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapat
penulis simpulkan, bahwa dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat
dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah
mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak
disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Pada dasarnya mantuq terbagi menjadi
dua, yaitu nash dan zhahir, sedangkan dilalah mantuq terbagi menjadi dua macam,
yaitu mantuq sharih (yang berarti petunjuk yang secara tegas disebutkan oleh
lafal itu sendiri), dan mantuq ghairu sharih (yang berarti petunjuk hukum yang
sesuai dengan kelaziman yang berlaku yang disebutkan pada lafal itu sendiri). Pada dasarnya
mantuq sarih dan nash maupun mantuq ghairu sharih dan zhahir itu sama saja dari
segi pengertiannya, hanya terletak perbedaan istilah saja antara keduanya.
Pada dasarnya dilalah mafhum terbagi
menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah
adalah pengertian yang dipahami sesuai dengan ucapan (lahir) lafadznya. Bagian
dari mafhum muwafaqah adalah fahwal khitab (yang berarti hukum yang tidak
disebutkan pada lafadz lebih utama daripada hukum yang disebutkan pada lafadz),
dan lahnal khitab (yang berarti persamaan hukum antara yang tidak disebutkan
dan yang disebutkan pada lafdznya). Mafhum mukhalafah adalah petunjuk hukum
yang dipahami bertolak belakang dari pada ucapan, baik dalam menetapkan maupun
menidakkan. Adapun mafhum mukhalafah terbagi menjadi 6 macam, antara lain: mafhûm
al-washf (mafhûm al-shifat), mafhûm al-syarth, mafhûm
al-ghâyat, mafhûm al-‘adad, dan mafhûm al-hasyr, serta mafhûm
al-laqab.
Dari keenam macam mafhum mukhalafah
di atas, terdapat kehujjahan yang berbeda-beda. Banyak yang menyebutkan bahwa mafhûm al-laqab
tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth,
bisa dijadikan hujjah pada
masalah-masalah selain nash. Dan mafhûm al-hasyr bisa
dijadikan hujjah oleh para ulama.
Terdapat 6
syarat mafhûm al-mukhâlafat yang bisa dijadikan hujjah syara’, antara
lain mafhûm al-mukhâlafat itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat, baik dalil manthûq bih maupun mafhûm al-muwâfaqat, petunjuk
lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan
untuk menguatkan sesuatu keadaan, bukan suatu hal yang biasa terjadi, harus
berdiri sendiri, dan bukan dimaksudkan untuk kejadan atau peristiwa khusus,
serta bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan sifat tertentu.
Dilalah mantuq menurut ulama
Syafi’iyah sama dengan ibaratun nash, isyaratun nash, dan iqtidatun nash
menurut ulama Hanafiyah, dan mafhum muwafaqah menurut ulama Syafi’iyah sama
dengan dalalatun nash menurut ulama Hanafiyah. Serta ulama Syafi’iyah berhujjah
kepada mafhum mukhalafah sedangkan ulama Hanafiyah tidak berhujjah kepada
mafhum mukhalafah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Miftahul dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum
Islam, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Nazar, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003.
Effendi, Satria, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.
Jazuli, A., dan I. Nurol Aen,
Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2000.
Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul
Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2,
Jakarta: Kencana, 2009.
Umam, Khairul, dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001.
[1]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul
Fiqih, cet. II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, h. 177.
[2]Ibid.
[3]Khairul Umam dan A.
Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. II, Bandung: CV Pustaka Setia,
2001, h. 46.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid 2, cet. V, Jakarta: Kencana, 2009, h. 156.
[5]QS.
Al-Isra: 23.
[6]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003, h. 180.
[7]QS.
Al-Maidah: 89.
[8]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, h. 180.
[9]QS. Ar-Rahman: 27.
[10]Satria Effendi, Ushul
Fiqh, cet. II, Jakarta: Kencana, 2008, h. 211.
[11]Miftahul Arifin dan
A. Faishal Hag, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I,
Surabaya: Citra Media, 1997, h. 182.
[12]QS. Al Baqarah (2): 233.
[13]Miftahul
Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh..., h. 182.
[14]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 180.
[15]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 156.
[16]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 180-181.
[17]Ibid.,
h. 181.
[19]Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 181.
[21]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 156.
[22]A. Djazuli dan I.
Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), cet. I, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2000, h. 319.
[23]QS.
An Nisa (4): 23.
[24]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 320.
[25]Ibid.
[26]QS.
An Nisa (4): 4.
[27]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 321.
[28]Ibid., h.
321-322.
[29]Syafi’i
Karim, Fiqih-Ushul…, h. 184.
[30]QS.
Al-Baqarah (2): 230.
[31]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 322.
[32]Ibid.,
h. 323.
[33]QS.
Al-Nur (24): 2.
[34]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 323.
[35]Ibid.,
h. 324.
[36]QS.
Al-An’am (6): 145.
[37]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 324.
[38]Ibid.,
h. 325.
[39]QS.
Yusuf (12): 4.
[40]A.
Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 325.
[41]Miftahul
Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh..., h. 189.
[42]Ibid.,
h. 190.
[43]A. Djazuli dan I.
Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 314-319.
No comments:
Post a Comment