Thursday, April 25, 2013

TUHAN BERSELA DI ATAS ARASY, WAJAHNYA KEKAL (Analisis Mntuq dan Mafhum)



 
BAB     I

MANTUQ DAN MAFHUM TUHAN BERSELA DAN WAJAH TUHAN YANG KEKAL (Analisis  kaedah keagamaan)

TUHAN BERSELA, DI ATAS ARASS,
BUKAN BERARTI, ALLAH  DI ATAS
KATA-KATA MAJAZ, DALAM LAFAZ
TANDA KETINGGIAN, DAN MAHA LUAS


WAJAH ALLAH ITU KEKAL SENANTIASA,
BUKAN BERARTI, TUHAN  PUNYA MUKA
KALIMAT MAJAZI, BERNILAI SASTRA
BAHASA ARAB KAYA, MENGOLAH RASA.


Wajah Allah itu kekal. Allah bersela di atas ‘Arass. Bagaimana lafaznya, bagaimana pula inti pesan mafhum di dalamnya. Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam, yaitu dilalah mantuq dan dilalah mafhum. Dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.. Secara garis besar, dilalah mantuq terbagi menjadi dua yaitu mantuq sharih dan mantuq gairu sharih. Sedangkan dilalah mafhum juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Pada pembahasan dari segi kehujjahan mafhum mukhalafah ini terdapat perbedaan pendapat antara beberapa madzhab. Khususnya perbedaan pendapat menurut perspektif madzhab Syafi’i. Menurut madzhab ini, mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari penjelasan singkat di atas, penulis akan memaparkan mengenai pengertian mantuq dan pembagian-pembagiannya, pengertian mafhum dan pembagian-pembagiannya, dan kehujjahan mafhum mukhalafah serta syarat-syaratnya menurut perspektif madzhab Syafi’i.


BAB      II
                                            
ANALISIS  DAN PEMBAHASAN


Pengertian Dilalah Mantuq dan Dilalah Mafhum


Dalam pandangan ulama Syafi’iyah, dilalah terbagi menjadi dua macam, yaitu dilalah mantuq dan dilalah mafhum. Berikut penjelasannya:

Yang dimaksud dengan Mantuq dan mafhum yaitu: Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu sendiri.[1]
Jadi mantuq, ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat pembicaraan dan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.[2]
Adapun yang dimaksud dengan dilalah mantuq oleh Asy Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
دَلاَ لَةُ الْمَنْطُوْقِ وَهِيَ دَلاَلَةُ الَّلفْظِ فِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى الْحُكْمِ الْمَذْ كُوْرِ.
Artinya: “Petunjuk lafal yang dituturkan kepada hukum yang diterangkan.”[3]
Sedangkan dilalah mafhum adalah:


دَلاَلَةُالَّفْظِ لاَفِى مَحَلِّ النُّطْقِ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمٍ مَاذُكِرَلِمَاسُكِتَ عَنْهُ اَوْعَلَى نَفْيِ الْحُكْمِ عَنْهُ
Penunjukkan lafadz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan.[4]
Dari penjelasan di atas maka dapat penulis simpulkan, bahwa dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Pengertian ini akan lebih jelas dipahami dengan bantuan contoh seperti firman Allah sebagai berikut:
        …
Artinya:
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah"…[5]
Jika dilihat dari firman Allah di atas, maka dapat dipahami bahwa dilalah mantuq dari ayat tersebut adalah hukum tidak diperbolehkannya mengatakan kepada kedua orang tua dengan perkataan “ah”, sedangkan dilalah mafhum yang terdapat di dalamnya yang tidak disebutkan pada lafal tersebut ialah memukul, menendang hingga menyiksanya yang juga dilarang dan tidak diperbolehkan hukumnya.

Pembagian Dilalah Mantuq

Secara garis besar, mantuq menurut ulama Syafi’iyah terbagi menjadi dua, yaitu :
1.        Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.[6] Seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka kafaratnya adalah puasa selama tiga hari”.[7]
 
2.        Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan mengehendaki kepada pentakwilan.[8] Seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
Kekal wajah Tuhan engkau[9]

Pada ayat di atas, perlu adanya pentakwilan dalam memahami lafal tersebut. Wajah yang diartikan pada ayat di atas adalah zat. Dan bukan merupakan wajah yang layaknya seperti wajah manusia.
Dari penjelasan singkat di atas, penulis menyimpulkan bahwa mantuq itu terbagi menjadi dua, yaitu nash (yang berarti perkataan yang jelas dan tidak menghendaki kepada pentakwilan), dan zhahir (yang berarti perkataan yang mengandung makna, tapi bukan yang dimaksud dan menghendaki pentakwilan).
Sedangkan dilalah mantuq terbagi dalam dua kategori, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih.
  1. Mantuq sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khin, ialah: makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa sebagiannya.
Misalnya, firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 3 yang mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat ‘adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja.[10]
  1. Mantuq ghairu sharih, ialah petunjuk lafadh sesuai dengan kelaziman yang berlaku.[11] Misalnya dalam firman Allah SWT.

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.[12]
Lafadh pada ayat di atas menunjukkan arti sesuai dengan kelaziman yang berlaku bahwa nasab anak dihubungkan kepada bapak.[13]
Hemat penulis, mantuq sharih adalah petunjuk yang secara tegas disebutkan oleh lafal itu sendiri. Sedangkan mantuq ghairu sharih adalah petunjuk hukum yang sesuai dengan kelaziman yang berlaku yang disebutkan pada lafal itu sendiri. Pada dasarnya mantuq sarih dan nash maupun mantuq ghairu sharih dan zhahir itu sama saja dari segi pengertiannya, hanya terletak perbedaan istilah saja antara keduanya.

Pembagian Dilalah Mafhum

Dari definisi dilalah mafhum di atas, terlihat ada dua macam mafhum, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.        Mafhum muwafaqah; yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafaz yang disebutkan.[14] Berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini disebut مفهوم الموافقة (mafhum kesamaan).[15] Mafhum muwafaqah dapat dibagi kepada:
  1. Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya: Jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orang ibu bapakmu. Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.[16]
  2. Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan,[17] seperti firman ...
Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka.[18]

    Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta dilarang (haram).[19]

Hemat penulis, yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuai dengan ucapan (lahir) lafadznya. Bagian dari mafhum muwafaqah adalah fahwal khitab (yang berarti hukum yang tidak disebutkan pada lafadz lebih utama daripada hukum yang disebutkan pada lafadz), dan lahnal khitab (yang berarti persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dan yang disebutkan pada lafdznya).
2.        Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari pada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (menidakkan).[20] Tidak berlakunya hukum yang disebutkan pada apa yang tidak disebutkan. Mafhum dalam bentuk ini disebut  مفهوم المخالفة (mafhum kebalikan).[21]

Hemat penulis, mafhum mukhalafah adalah petunjuk hukum yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam menetapkan maupun menidakkan. Adapun mafhum mukhalafah terbagi menjadi 6 macam, antara lain:
a.    Mafhûm al-washf (mafhûm al-shifat). Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai sesuatu sifat.[22] Seperti dalam firman Allah:
ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&
... (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantumu)…[23]
Mafhûm al-washf-nya, ialah isteri-isteri bukan dari anak kandung adalah halal untuk dinikahi.[24]
b.    Mafhûm al-syarth. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai sesuatu syarat.[25] Seperti dalam firman Allah:

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagian makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[26]
Mafhûm al-syarth-nya, ialah mas kawin itu tidak boleh di makan oleh suami apabila si isteri tidak menyerahkannya kembali dengan senang hati kepada suaminya.[27]

c.    Mafhûm al-ghâyat. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai sesuatu batasan (ghâyat). Apabila batasan itu telah melewati batas yang telah ditetapkan, maka berlaku hukum sebaliknya.[28] Hingga lafal ghayag ini adakalanya dengan “illa” dan dengan “hatta”.[29] Seperti dalam firman Allah:

Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain …[30]
Mafhûm al-ghâyat-nya, ialah bagi suami boleh hukumnya menikahi kembali dengan bekas isterinya yang nikahi dengan laki-laki lain kemudian ditalaknya pula, sesudah dikumpulkannya, serta telah habis pula masa ‘iddat-nya.[31]
d.   Mafhûm al-‘adad. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai bilangan tertentu.[32] Seperti dalam firman Allah
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali …[33]
Mafhûm al-‘adad-nya ialah hukuman dera bagi pelaku zina itu, tidak boleh kurang atau lebih dari seratus kali.[34]
e.    Mafhûm al-hasyr. Yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai pengkhususan secara terbatas.[35] Seperti dalam firman Allah
«!$atakanlah: tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah …[36]
Mafhûm al-hasyr-nya, ialah bahwa makanan selain keempat macam tersebut di atas adalah halal kecuali ada nash lain yang mengharamkannya.[37]
f.     Mafhûm al-laqab, yaitu menetapkan lawan hukum bagi yang tidak disebutkan (maskût ‘anhu) dari hukum yang disebutkan (manthûq bih) dengan memakai ism al-‘alam, ism al-washf dan ism al-jins.[38] Sebagai contoh ism ‘alam adalah seperti dalam firman Allah:
øŒÎ) tA$s% ß#ßqムÏm‹Î/L{ ÏMt/r'¯»tƒ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku …[39]
Mafhûm al-laqab-nya, ialah selain Yusuf tidak dapat disebutkan sebagai orang yang melaporkan kepada ayah Yusuf tentang peristiwa mimpinya.[40]
Hemat penulis, dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwa mafhum mukhalafah terbagi menjadi 6 macam, yaitu mafhûm al-washf (mafhûm al-shifat), mafhûm al-syarth, mafhûm al-ghâyat, mafhûm al-‘adad, dan mafhûm al-hasyr, serta mafhûm al-laqab. Jika digambarkan mengenai kesimpulan dari penjelasan di atas, sebagai berikut:












Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
Dari keenam macam mafhum mukhalafah di atas, terdapat kehujjahan yang berbeda-beda. Banyak yang menyebutkan bahwa mafhûm al-laqab tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth, bisa dijadikan hujjah pada masalah-masalah selain nash. Dan mafhûm al-hasyr bisa dijadikan hujjah oleh para ulama.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mafhûm al-laqab tidak dapat dijadikan hujjah karena pada ism al-‘alam, ism al-washf dan ism al-jins hanya sekedar penyebutan hukumnya saja, bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum yang ada padanya. Sedangkan alasan ulama Syafi’iyah mengenai mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth yang bisa dijadikan hujjah karena terdapat hikmah tersendiri dalam hukum-hukum yang telah dibatasi oleh syara’, dan para sahabat dan tabi’in juga menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Namun, terdapat ketentuan terhadap keempat mafhum di atas untuk dijadikan hujjah, di antaranya adalah tidak bertentangan dengan nash yang lain dan tidak adanya ketentuan bahwa nash itu tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah. Sebagaimana telah disebutkan oleh Miftahul Arifin dan A. Faishal Hag dalam bukunya “Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam”, sebagai berikut:
Kemudian terhadap mafhum mukhalafah yang lain, yaitu: Mafhum Sifat, Mafhum Syarat, Mafhum Ghayah, dan Mafhum ‘Adad; Ulama Syafi’iyah dan Ulama Malikiyah menggunakan sebagai hujjah, namun dengan ketentuan:
1.      Tidak bertentangan dengan nash yang lain.
2.      Tidak adanya ketentuan bahwa nash itu tidak boleh diberlakukan mafhum mukhalafah.[41]
Alasan mereka menjadikan empat macam mafhum mukhalafah sebagai hujjah, adalah:
1.      Bahwasanya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai hikmah tersendiri.
2.      Para Shahabat dan Tabi’in menggunakan juga mafhum mukhalafah sebagai hujjah.[42]

Sedangkan pada mafhûm al-hasyr para ulama sepakat bahwa mafhum ini dapat dijadikan hujjah. Menurut pemahaman penulis, hal ini karena mafhum ini dimaksudkan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum yang ada padanya.
Syarat Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Mafhûm al-mukhâlafat itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq bih maupun mafhûm al-muwâfaqat.
2.    Petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
3.    Petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan suatu hal yang biasa terjadi.
4.    Petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
5.    Petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk kejadan atau peristiwa khusus.
6.    Petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan sifat tertentu.[43]
Dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa terdapat 6 syarat mafhûm al-mukhâlafat yang bisa dijadikan hujjah syara’, antara lain mafhûm al-mukhâlafat itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq bih maupun mafhûm al-muwâfaqat, petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan, bukan suatu hal yang biasa terjadi, harus berdiri sendiri, dan bukan dimaksudkan untuk kejadan atau peristiwa khusus, serta bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan sifat tertentu.


Perbedaan Istilah antara Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah
Pada bagian ini, penulis mencoba untuk memaparkan perbedaan istilah antara Ulama Syafi’iyah dan Ulama Hanafiyah, sebagai berikut:
Ulama Syafi’iyah
Ulama Hanafiyah
Dilalah Mantuq
Ibaratun Nash, Isyaratun Nash, dan Iqtidatun Nash
Mantuq Muwafaqah
Dalalatun Nash
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah
Tidak berhujjah dengan mafhum mukhalafah

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapat penulis simpulkan, bahwa dilalah mantuq adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya dan dalam ucapan (lahir) lafadznya. Sedangkan dilalah mafhum adalah petunjuk hukum yang terdapat dalam susunan lafadznya tetapi tidak disebutkan dalam ucapan (lahir) lafadznya.
Pada dasarnya mantuq terbagi menjadi dua, yaitu nash dan zhahir, sedangkan dilalah mantuq terbagi menjadi dua macam, yaitu mantuq sharih (yang berarti petunjuk yang secara tegas disebutkan oleh lafal itu sendiri), dan mantuq ghairu sharih (yang berarti petunjuk hukum yang sesuai dengan kelaziman yang berlaku yang disebutkan pada lafal itu sendiri). Pada dasarnya mantuq sarih dan nash maupun mantuq ghairu sharih dan zhahir itu sama saja dari segi pengertiannya, hanya terletak perbedaan istilah saja antara keduanya.
Pada dasarnya dilalah mafhum terbagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuai dengan ucapan (lahir) lafadznya. Bagian dari mafhum muwafaqah adalah fahwal khitab (yang berarti hukum yang tidak disebutkan pada lafadz lebih utama daripada hukum yang disebutkan pada lafadz), dan lahnal khitab (yang berarti persamaan hukum antara yang tidak disebutkan dan yang disebutkan pada lafdznya). Mafhum mukhalafah adalah petunjuk hukum yang dipahami bertolak belakang dari pada ucapan, baik dalam menetapkan maupun menidakkan. Adapun mafhum mukhalafah terbagi menjadi 6 macam, antara lain: mafhûm al-washf (mafhûm al-shifat), mafhûm al-syarth, mafhûm al-ghâyat, mafhûm al-‘adad, dan mafhûm al-hasyr, serta mafhûm al-laqab.
Dari keenam macam mafhum mukhalafah di atas, terdapat kehujjahan yang berbeda-beda. Banyak yang menyebutkan bahwa mafhûm al-laqab tidak bisa dijadikan hujjah. Sedangkan mafhûm al-‘adad, mafhûm al-washf, mafhûm al-ghâyat, dan mafhûm al-syarth, bisa dijadikan hujjah pada masalah-masalah selain nash. Dan mafhûm al-hasyr bisa dijadikan hujjah oleh para ulama.
Terdapat 6 syarat mafhûm al-mukhâlafat yang bisa dijadikan hujjah syara’, antara lain mafhûm al-mukhâlafat itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthûq bih maupun mafhûm al-muwâfaqat, petunjuk lafzh yang disebutkan (dalâlat al-manthûq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan, bukan suatu hal yang biasa terjadi, harus berdiri sendiri, dan bukan dimaksudkan untuk kejadan atau peristiwa khusus, serta bukan dimaksudkan untuk membatasi dengan sifat tertentu.
Dilalah mantuq menurut ulama Syafi’iyah sama dengan ibaratun nash, isyaratun nash, dan iqtidatun nash menurut ulama Hanafiyah, dan mafhum muwafaqah menurut ulama Syafi’iyah sama dengan dalalatun nash menurut ulama Hanafiyah. Serta ulama Syafi’iyah berhujjah kepada mafhum mukhalafah sedangkan ulama Hanafiyah tidak berhujjah kepada mafhum mukhalafah.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Miftahul dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997.
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008.
Jazuli, A., dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Karim, Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009.
Umam, Khairul, dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001.




[1]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet. II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, h. 177.
[2]Ibid.
[3]Khairul Umam dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet. II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, h. 46.
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, cet. V, Jakarta: Kencana, 2009, h. 156.
[5]QS. Al-Isra: 23.
[6]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. IV, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, h. 180.
[7]QS. Al-Maidah: 89.
[8]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, h. 180.
[9]QS. Ar-Rahman: 27.
[10]Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet. II, Jakarta: Kencana, 2008, h. 211.
[11]Miftahul Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997, h. 182.
[12]QS. Al Baqarah (2): 233.
[13]Miftahul Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh..., h. 182.
[14]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 180.
[15]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 156.
[16]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 180-181.
[17]Ibid., h. 181.
[18]QS. An-Nisa’: 10.
[19]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul…, h. 181.
[20]Ibid., h. 181.
[21]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 156.
[22]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, h. 319.
[23]QS. An Nisa (4): 23.
[24]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 320.
[25]Ibid.
[26]QS. An Nisa (4): 4.
[27]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 321.
[28]Ibid., h. 321-322.
[29]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul…, h. 184.
[30]QS. Al-Baqarah (2): 230.
[31]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 322.
[32]Ibid., h. 323.
[33]QS. Al-Nur (24): 2.
[34]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 323.
[35]Ibid., h. 324.
[36]QS. Al-An’am (6): 145.
[37]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 324.
[38]Ibid., h. 325.
[39]QS. Yusuf (12): 4.
[40]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h. 325.
[41]Miftahul Arifin dan A. Faishal Hag, Ushul Fiqh..., h. 189.
[42]Ibid., h. 190.
[43]A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh…, h.  314-319.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook