PENDAHULUAN
JIWA KORSA Guru-guru sedunia, bisa saja
muncul tiba-tiba, ketika ada oknum guru yang masuk penjara atau dianiaya, lain
halnya jika terlibat narkoba. Jakarta - BP
(40), guru di SMA swasta di Bandar Lampung ditangkap polisi. BP ditangkap
karena menjadi bandar sabu.
Polisi menangkapnya saat hendak bertransaksi narkoba jenis sabu di salah satu
warnet di Jalan Haji Agus Salim, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung.Kasat
Narkoba Polresta Bandar Lampung, Kompol Sunaryoto mengatakan, tersangka
berhasil ditangkap setelah polisi mendapat laporan dari masyarakat mengenai
transaksi narkoba di warnet.
"Polisi menangkap tersangka pada Jumat (1/3/2013). Dari tangan tersangka
ada lima paket sabu," kata Sunaryoto usai ekspose perkara, Rabu
(6/3/2013).
Selain paket sabu, polisi juga mengamankan timbangan digital warna hitam untuk
menakar sabu yang akan dijual, termasuk alat isap bong.
Tersangka diduga mendapatkan sabu
dari temannya berinisial HR yang kini masuk dalam daftar pencarian orang.
"Polisi akan memburu rekan BP yang menjadi pemasok sabu," kata dia. Dalam
pemeriksaan, BP mengelak dirinya menjadi pengedar. Dia mengaku hanya sebagai
pemakai. Dari hasil tes urine, tersangka memang diketahui positif menggunakan
sabu. Tersangka akan dijerat pasal berlapis sebagai pengedar sekaligus pemakai
dengan pidana pada pasal 114 ayat 1 sub pasal 112 UU No 35 tahun 2009 tentang
narkotika. BP terancam hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling
lama 20 tahun.
BAB I
KISAH GURU-GURU YANG TERSIKSA DI DUNIA
Kebijakanjernih.net. Wu Shihai
adalah seorang guru di Sekolah
Menengah Etnis Zhaojue di Provinsi Sichuan. Dengan mengikuti ajaran Falun Dafa,
ia mendisiplinkan diri untuk menjadi orang yang lebih baik dan sangat
bertanggung jawab atas pekerjaannya. Namun, Partai Komunis China (PKC)
mengirimnya ke Penjara Deyang, di mana ia secara brutal disiksa. Dia ditahan di
sana dari 2005 sampai 2009. Kedua mata Wu sekarang hampir buta dan tidak mampu
mengurus dirinya sendiri. Semua kuku kakinya dicabut selama penyiksaan di
penjara. Telinganya menjadi berubah bentuk dan berdarah karena pemukulan.
Darahnya mengeras dan mengakibatkan pembengkakan merah menghitam. Dia juga
kehilangan dua gigi depan karena penyiksaan, dan memar di bibir dan kepalanya.
Foto
Wu Shihai sekarang
Pemukulan di Penjara Deyang
Karena Wu mengatakan kepada murid-muridnya fakta tentang Falun Gong, agen-agen kantor 610 daerah Zhaojue menangkap dan menjarah rumahnya. Dia kemudian segera dibawa ke UGD sebuah rumah sakit setelah dianiaya selama proses penangkapan. Pejabat pengadilan Zhaojue setelah itu segera menjatuhkan hukuman dan mengirimnya ke Penjara Deyang.
Wu dipukuli di Divisi Kedua penjara. Mengakibatkan luka parah, dan pemukulan itu membuatnya kesulitan jalan dan juga tidak mampu berbicara. Para penjaga menyeretnya keluar masuk dari sel. Mereka kadang-kadang mengangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian menjatuhkannya ke lantai. Selain itu, para penjaga juga memerintahkan para tahanan untuk memukulinya, dan sering tidak diperbolehkan tidur dan makan. Dia diborgol, dibelenggu, dan ditahan di sel isolasi, dengan sedikit pakaian atau tempat tidur. Dia harus tidur di lantai, bahkan selama musim dingin yang membeku. Tanpa memperdulikan musim, dia diseret keluar setiap pukul 2 malam dan disiram dengan air dingin. Para preman terkadang menyeretnya ke ruang cuci dan memasukkan kepalanya ke dalam tanki air. Ia juga dipaksa berdiri untuk waktu yang lama tanpa tidur. Setiap kali menutup matanya, preman akan memukulinya dengan tongkat bambu, seringkali menyebabkan kepalanya berdarah. Selain itu, para preman sering menusukkan jari-jari mereka ke dalam matanya, yang menyebabkan matanya rusak dan membuatnya menjadi hampir buta. Penyiksaan ini mengakibatkan mental Wu menjadi tidak stabil.
Reka
ulang penyiksaan: Pemukulan brutal
Wu dipukuli lagi pada pukul 1 siang 12 Juli
2006. Narapidana Zhang Tao memukul kepalanya dengan bangku kayu, merontokkan
dua giginya. Mulut dan rahang bawahnya juga terluka, dan ia membutuhkan dua
puluh jahitan. Kepala Divisi 2 Zeng Guifu dan wakil kepala Ma Chengde
bertanggung jawab atas pemukulan tersebut. Wu dipindahkan ke Divisi 10 pada
November 2006, dan dipukuli lagi setelah dipindahkan. Para preman di daerah itu
termasuk tahanan hukuman mati Song Wenchao, Meng Zhaofu, dan lainnya. Ketika Wu kembali ke rumah pada 2009, dia
sangat pusing dan tidur selama lebih dari sepuluh hari sebelum ia mampu bangun
dari tempat tidur dan makan. Ayahnya menangis setelah melihatnya dalam keadaan
seperti itu.
Penganiayaan Diderita Guru Selama Juli 1999 dan Agustus 2004
Selama bulan Juli 1999 hingga Agustus 2004, beberapa pejabat memerintahkan Zhang Lifei, kepala Partai PKC, majikan Wu, untuk menganiayanya. Para pejabat termasuk Wu Jinping (wakil Partai kepala Daerah Zhaojue, deputi kepala Partai Wu Jinping, kepala Biro Yudisial Yang Tongcai, dan pejabat Divisi Keamanan Domestik Tian Maoqi. Gaji Wu ditahan, dan ia tidak menerima pembayaran apapun. Sebaliknya, semua biaya penganiayaannya diambil dari gajinya.
Tian Maoqi dan pejabat lainnya menginterogasi Wu pada tanggal 20 Juli 1999. Mereka mengawasinya sepanjang waktu dan tidak mengizinkan dia untuk mengajar. Ketika ia pergi ke Beijing untuk mengajukan permohonan pada Oktober 1999, ia ditangkap dan dikirim kembali ke Divisi Keamanan Domestik daerah, di mana dia disiksa dan ditahan selama 49 hari. Ia juga dipaksa untuk membayar 5.000 yuan. Setelah dibebaskan pada 7 Desember, para pejabat sekolah menunjuk seseorang untuk mengawasinya dan membayar pengawas itu sepuluh yuan per hari, dengan uang dari gaji Wu.
Wu tidak mengikuti permintaan tidak masuk akal dari Kantor 610 Zhaojue - bahwa dia tidak dapat meminta dan tidak bisa berbicara dengan praktisi lain. Karena itu, agen Kantor 610 Zhaojue menahannya selama sebulan, dan kemudian menahannya selama satu bulan setelah dibebaskan satu minggu. Satu minggu setelah pembebasan terakhir, mereka menahannya untuk yang ketiga kalinya. Para agen Kantor 610 Zhaojue menghukum Wu kerja paksa satu setengah tahun pada 14 Agustus 2000, dan mengirimnya ke Kamp Kerja Paksa Xinhua di Provinsi Sichuan. Dia diperintahkan berdiri diam dari pagi sampai jam 2 siang setiap hari, dan kadang-kadang sepanjang malam. Selain itu, para penjaga mengikatnya dengan tali, menyetrumnya dengan tongkat listrik, dan memaksa memberinya makan. Penahanannya diperpanjang empat bulan. Dia dibebaskan pada 16 Desember 2001.
Wu dikirim ke Kamp Kerja Paksa Xinhua lagi pada 15 Januari 2003 dengan hukuman dua tahun. Dia dipaksa berdiri dan jongkok, dan juga berdiri diam, untuk jangka waktu yang lama. Setelah berbagai siksaan, para petugas kamp kerja paksa mengirimnya ke Rumah Sakit Ketiga Kota Mianyang – sebuah rumah sakit jiwa – dan secara paksa menyuntiknya dengan obat-obatan perusak saraf. Obat-obatan tidak diketahui lainnya juga diberikan secara paksa. Akibatnya ia menjadi sulit bergerak, wajahnya sedikit lumpuh dan ototnya mati rasa. Ia juga meneteskan air liur. Dia dibebaskan pada Agustus 2004.
Inilah Makna Jiwa Korsa Itu
"Tapi
jika dilihat dari sisi lain, tindakan itu menunjukan adanya rasa kebersamaan
yang tinggi diantara pasukan itu,"
Skalanews - Mantan
Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), Letjen (Purn)
Sutiyoso mengakui jiwa korsa memang dimiliki oleh setiap anggota militer. Jiwa
korsa adalah semangat kebersamaan dan rasa senasib-sepenanggungan.
Jiwa korsa tersebut, kata Sutiyoso, memang sengaja dikembangkan dan ditanamkan dalam diri pribadi masing-masing anggota militer. Dengan tujuan, supaya setiap anggota militer tidak mudah meninggalkan teman-temannya.
"Misalnya pada saat terjadi luka tembak di lapangan. Kebersamaan tersebut terus dipupuk. Makin kecil satuannya, maka rasa jiwa korsa dan kebersamaan tersebut makin tebal," kata Sutiyoso dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4).
Oleh sebab itu, Sutiyoso menilai wajar jika pengaruh jiwa korsa-lah yang melatarbelakangi peristiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) II B Cebongan, Sleman, Jawa Tengah pada beberapa waktu lalu.
Jiwa korsa tersebut, kata Sutiyoso, memang sengaja dikembangkan dan ditanamkan dalam diri pribadi masing-masing anggota militer. Dengan tujuan, supaya setiap anggota militer tidak mudah meninggalkan teman-temannya.
"Misalnya pada saat terjadi luka tembak di lapangan. Kebersamaan tersebut terus dipupuk. Makin kecil satuannya, maka rasa jiwa korsa dan kebersamaan tersebut makin tebal," kata Sutiyoso dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4).
Oleh sebab itu, Sutiyoso menilai wajar jika pengaruh jiwa korsa-lah yang melatarbelakangi peristiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) II B Cebongan, Sleman, Jawa Tengah pada beberapa waktu lalu.
"Ini aksi-reaksi. Saya kira terbunuhnya Sertu Heru Santosa tentu tersebar. Bagaimana cara dia dibunuh, kelompok mana yang membunuh. Setelah tahu Santosa dibunuh, pastilah muncul rasa (dari teman-temannya) untuk membalas," kata Sutiyoso.
Namun demikian, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) ini menyatakan, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh oknum anggota Kopassus dari Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura tersebut memang salah.
"Tapi jika dilihat dari sisi lain, tindakan itu menunjukan adanya rasa kebersamaan yang tinggi diantara pasukan itu," kata Sutiyoso menegaskan. (Risman Afrianda/kgi)
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA
- Bekas Wakil Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Wadanjen Kopassus),
Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso, menegaskan jiwa korsa yang dibina agar para
prajurit merasa senasib sepenanggungan. "Tujuannya agar di dalam
pertempuran dia tidak mudah meninggalkan teman," kata Bang Yos, sapaan
akrabnya, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4/2013).
Jiwa korsa tersebut memang sengaja
dikembangkan mengingat Kopassus adalah satuan kecil. Mereka
direkrut dengan sangat ketat dan dilatih secara berat. Mereka pun dikirim
bertugas berdasarkan tugas dari panglima TNI yang pertimbangannya tidak mungkin
dilakukan prajurit biasa. "Oleh karena itu kebersamaan kita bangun. Makin
kecil satuannya jiwa korsa makin tebal," ujar Bang Yos. Sehingga jika ada
teman mereka yang meninggal karena dibunuh, maka perasaan untuk balas dendam
itu ada.
Bang Yos pun
menilai penyerangan anggota Kopassus ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Sleman, Yogyakarta, beberapa waktu lalu karena adanya hubungan sebab akibat.
Bekas
anggota Kopassus Sertu Santoso meninggal akibat dibunuh
di Hugos Cafe.
Pensiunan
jenderal bintang tiga itu pun lebih menekankan pada pengembangan pengendalian
diri prajurit mengingat kemampuan mereka yang sangat tinggi.
"Sekali
lagi, ini adalah prajurit-prajurit yang punya kemampuan luar biasa.
Pengendalian diri yang harus dibina. Itu tugas perwira," katanya.
BAB II
GURU MEMUKUL
MURID BISA MASUK PENJARA
UU Perlindungan anak, khususnya pasal
13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.
diskriminasi;
b.
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.
penelantaran;
d.
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.
ketidakadilan; dan
f. perlakuan
salah lainnya.
Apa yang diungkapkan dalam
pasal 13 ayat (1) di atas kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2)
yang berbunyi:
(1) Setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk
memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU Perlindungan
Anak, guru di sekolah tidak lagi berani memberikan hukuman kepada anak. Guru
takut karena sanksi hukumannya tidak main-main. Mengenai sanksi hukuman
terhadap tindakan penganiayaan anak tertuang dalam pasal 80. Di sana
dinyatakan:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Ternyata bukan cuma UU
Perlindungan Anak saja yang menjadi instrumen perlindungan anak, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur soal penganiayaan. Hal itu
terdapat dalam pasal Pasal 351 jo. 352 KUHP.
“Penganiayaan” Masih Ada
Sekalipun UU Perlindungan
Anak sudah diundangkan, ternyata tindakan memberi hukuman, yang masuk kategori
penganiayaan, masih kerap terjadi. Kasus terakhir adalah kasus penamparan oleh
oknum guru terhadap siswi SD Harmoni di Batam. Dikatakan bahwa bekas tamparan
itu meninggalkan luka lebam di pipi anak kecil itu sehingga dia jadi trauma ke sekolah.
Orang tua sudah melaporkan kasus itu ke polisi.
Satu contoh kasus lain saya kutip dari http://www.solopos.com/2011/02/09/aniaya-murid-guru-smk-gm-1-terancam-hukuman-35-tahun-85302:
“Sebagaimana diberitakan, M
dilaporkan ke Polsek Wuryantoro, Senin (7/2) malam lalu karena dugaan
penganiayaan terhadap salah satu muridnya. Murid tersebut, Dias Ganang Fardian
mengaku ditampar satu kali oleh gurunya itu sehingga mengalami luka lebam di
bawah mata kirinya.
Alasan pemukulan itu,
sebagaimana tertulis dalam laporan resmi orangtua korban ke Mapolsek
Wuryantoro, karena korban melanggar disiplin saat upacara bendera, Senin pagi.
Guru tersebut, belum bisa ditemui maupun dihubungi untuk konfirmasi.
Sedangkan Kepala SMK Gajah
Mungkur 1 Wuryantoro, Saryanto membantah perlakuan guru terhadap muridnya itu
sebagai tindakan penganiayaan. “Itu cuma pembinaan karena murid ini ramai
bercanda dengan temannya saat upacara berlangsung,” jelasnya. Saryanto mengakui
pembinaan dan penegakan disiplin siswa di sekolahnya memang cukup ketat.”
Kalau kita perhatikan
baik-baik, apa yang dilakukan para guru dengan menghukum muridnya tidaklah
salah 100 %. Apa yang dilakukan mereka masih dalam taraf wajar, sekalipun
menimbulkan luka memar. Yang dilakukan guru adalah juga demi kebaikan murid
itu. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tak mungkinlah guru
menghukum murid yang baik dan benar. Yang salahlah yang dihukum. Dengan hukuman
anak disadarkan akan kesalahannya.
UU Perlindungan Anak dapat
membuat anak tidak menemukan kesalahan dirinya. Dia merasa dirinya benar.
Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Karena itu, konsep benar-salah
menjadi hilang dengan adanya UU Perlindungan Anak.
Derita Guru: Sebuah Dilema
Pendidikan
Keberadaan UU Perlindungan
Anak ini, bagi saya, menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan pada
sebuah masalah yang dilematis dalam proses pendidikan dan pembinaan anak
muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan UU Perlindungan Anak sama seperti
“maju kena mundur pun kena”.
Kita bisa perhatikan contoh
kasus di SMK Gajah Mungkur di atas. Demi pembinaan dan penegakan disiplin
kepada siswa, guru terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan
pada jerat hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Bukankah guru
itu ingin menyadarkan murid itu. Ada banyak cara penyadaran. Tempeleng
merupakan salah satu cara.
Mungkin orang akan berpikir,
kan bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak
membolehkan cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling
efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan
menasehati. Tempeleng (dan itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock
therapy.
Oleh karena itu, saya katakan
bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka
tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU
Perlindungan Anak. Bayangkan saja, kena pasal 80 ayat (1) saja sudah merupakan
penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Mau masuk
penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus sih tak akan jadi masalah.
Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan
keluarganya.
Saya punya satu contoh kasus.
Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi. Datang seorang
guru melerai. Eh, malah dia dicaci maki oleh seorang siswa yang berkelahi tadi,
karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Karena emosi, maklum sang guru
juga masih muda dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain,
dan demi harga diri, guru itu menampar siswa itu. Cuma sekali saja. Ujung
ceritanya sang guru dilaporkan ke polisi dan sempat beberapa hari ditahan di
penjara sebelum akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah
peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan
para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak
berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru mau bertindak
tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah
mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa
karena takut dengan UU Perlindungan Anak.
Saya pernah berdiskusi dengan
seorang mantan kepala sekolah di dua sekolah ternama di tempat saya, yang
sekarang sudah menjadi sepuh. Dia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak merusak
dunia pendidikan. Dia sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena
UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin
dengan nasib para guru.
Hukuman Bukan Penganiayaan
Saya melihat ada sedikit
kekeliruan dalam masalah UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan
kata “penganiayaan”. Bagi saya yang masuk kategori penganiayaan adalah
kekerasan yang bertubi-tubi. Ia mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau
menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma
sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau
kasus seperti IPDN saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang
kejam, karena kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu
ditendang berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai
tewas.
Saya tidak setuju jika
menempeleng yang hanya sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1)
atau hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus
penganiayaan yang terjadi di sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi
saya masih masuk kategori kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi
hukuman yang tidak manusiawi.
Yang menjadi persoalan,
haruskan kekerasan itu dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu
menyadarkan orang akan kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu
memang sering menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock therapy bagi
pasien.
Selain itu harus juga
diperhatikan soal kewajiban sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya
bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal
berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja
(pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19 UU Perlindungan
Anak ini:
Setiap anak berkewajiban
untuk :
1. menghormati orang tua, wali,
dan guru;
2. mencintai keluarga,
masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa,
dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak
yang mulia.
Muncul pertanyaan, jika anak tidak melaksanakan kewajibannya,
adakah sanksi yang dapat diberikan kepada anak? Selama ini tidak ada yang
melihat hal ini. Orang hanya disibukkan untuk melihat hak anak, sehingga
pelanggaran terhadap hak anak yang selalu ditindak. Apakah berkaitan dengan
nominal uang yang cukup banyak sehingga menjadi daya tarik bagi polisi dan
pengacara? Namun, bagaimana dengan kewajiban anak? Apakah anak yang tidak
melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam UU Perlindungan Anak, juga
dapat ditindak?
Seperti contoh kasus di atas.
Anak SD Harmoni itu diberitakan mengganggu temannya yang sedang latihan menari.
Artinya, ia tidak melakukan kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan
Anak. Atau dalam kasus SMK Gajah Mungkur, siswa tersebut tidak melaksanakan
kewajiban no. 3 dan 5. Apakah guru punya wewenang melaporkan siswa yang tidak
melaksanakan kewajibannya ke polisi? Dan apa sanksi buat anak tersebut?
Harus diingat bahwa dalam hukum itu, hak dan kewajiban
itu mesti seimbang. Orang tidak bisa hanya menuntut haknya saja tanpa
melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, berkaitan dengan UU Perlindungan
Anak, perlu juga ditinjau soal keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi anak
itu sendiri. Jangan hanya membebani kesalahan pada guru.
cuma gara2 cubit guru dipenjara, kelewatan sekali. klik untuk saran menyelesaikan masalah kriminalisasi guru ini
ReplyDelete