A.Ruang lingkup Fiqih Tarbiyah Anak
Indonesia
Hal yang menyangkut, hukuman fisik
bagi anak-anak, menurut hasil penelitian
ini yang meliputi dilema hukuman fisik terhadap anak-anak,[1]
yang sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun 2002. Sedangkan hukum Islam
membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, sejak 15 abad yang lalu. Kemudian
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor. 23 tahun 2002 Bab 54 secara tegas
menyatakan bahwa, “guru dan siapapun lainnya di sekolah, dilarang memberikan
hukuman fisik, kepada anak-anak.” Lebih-lebih lagi Indonesia merupakan salah
satu negara anggota penandatanganan dari
konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan
negara menjamin bahwa: ”Tidak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau
kekejaman lainnya,[2]
tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman
sebagai berikut:
1. Tuntutan penghapusan hukuman fisik.[3]
Russel menambahkan, "Hukuman fisik yang ringan memang tidak
begitu berbahaya, tapi tetap saja tidak ada gunanya,[4] dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru
efektif kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu
biasanya tidak bisa membuat jera.
2.Hukuman fisik bermasalah.
Hukuman fisik itu membuat si anak merasa
terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri."Jawabannya bahwa anak-anak
akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih
mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin
diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan
keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang
diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun
masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.
Argumen lain yang disodorkan
oleh kelompok penentang adalah bahwa pendidikan yang dijalankan dengan
menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus
mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan
perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang bermental
budak yang harus tunduk terhadap segala perintah. Tentunya hukuman itu harus
ringan dan mengena kepada sasaran.[5]
3.Batasan
perlindungan terhadap hukuman fisik
Ruang
lingkup dan batasan, kewenangan negara dalam memberikan perlindungan terhadap
anak-anak ialah:
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
1. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi , bidang hukum publik dan juga bidang hukum perdata.
2. Perlindungan yang brsifat non yuridis, terdiri dari bidang sosial, dan juga bidang kesehatan dan bidang pendidikan.
Adapun tentang pengertian perlindungan anak menurut para sarjana :
1. Arif Gosita, perlindungan anak suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban.
2. Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak me-rupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja pendekatan yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas , ekonomi, sosial dan budaya.
Perlindungan Anak dapat dirumuskan :
1. Suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, merupakan dasar utama perlindungan anak.
2. Suatu usaha bersama untuk melindungi anak untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusiawi dan positif
3. Secara dimensional perlindungan anak beraspek mental.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perlindungan anak:
1. Ruang lingkup perlindungan meliputi, perlindungan pokok antara lain, sandang, pangan , pemukinan, pendidikan kesehatan dan hukum, jasmaniah dan rohaniah, keperluan primer dan sekunder.[6]
2. Jaminan pelaksanaan
perlindungan, hendaknya dituangkan dalam suatu peraturan yang tertulis baik
dalam bentuk undang-undang atau perda, yang perumusannya sederhana teapi dapat
dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.
Kemudian pengaturannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di
Indonesia
Adapun hak dan kewajiban orang tua, menurut UU No 1 Tahun 1974.
1.Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
2.Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka
3.Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya manakla sudah tua.
4.Anak yang belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tua kecuali sudah melangsungkan perkawinan
5. orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbutaan hukum.
6, orang tua tidak boleh memindahkan hak /mengadaikan benda yang dimiliki anknya yang belum berumur 18 tahun. Perlu juga diperhatikah hak perdata bagi anak.
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
1. Hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap Anak; 2. Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
3. Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai.[7]
4.Pengasuhan dan pengangkatan
anak serta perwalian.
5.Perlindungan Anak dalam
beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
Perlindungan anak dalam perkara pidana,[8] dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan masalah perlindungan anak adopsi:
1. Adopsi adalah suatu perbuatan pegambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dengan anak yang diangkat timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
2 . Menurut UU No 23 Tahun 2002 ( UU Perlindungan Anak ) Pasal 1 ayat 9 anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekeuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan .
Anak-anak menjadi korban yang kekerasan dalam rumah tangga, berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, maka orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan di nsekolah atau dalam rumah tangga, wajib melindungi si anak. Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan di sekolah, [9] dan dalam Rumah Tangga dan :
a. Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
e. Pelayanan bimbingan rohani
B.
Urgensi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
UU Nomor 23 Tahun 2002 ini dapat
dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari UU ini. Pasal 3 dari undang-undang ini
menyatakan: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujud-nya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya UU ini mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, UU ini mengatur hak tesebut dalam BAB III pasal 4 (Hak dan Kewajiban Anak). Selanjutnya UU ini juga mengatur hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam pasal 13. Khusus dalam partisipasi mereka dalam proses pembangunan, undang-undang ini secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan pendapatnya, seperti termuat dalam Pasal 10 yang berbunyi “Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”[10] Dan pada pasal 24 yang menyataakan: “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, [11] baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi,selaras dan seimbang.
Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini. Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1).
Simaklah angka yang disodorkan oleh
Komisi Nasional Perlindungan Anak. Kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada
500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus.
Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian
yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup
lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak.
Dalam undang-undang terakhir,
anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk
eksplotasi dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang
menelantarkan anak orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di
penjara lima tahun. Hanya prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang
melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan
atau kekerasan seksual biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke
polisi. Akibatnya banyak kasus yang baru terungkap setelah anak tewas.
Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari
dalam keluarga dan berasal dari luar lingkungan keluarga.
1. Dalam keluarga, berupa :
1. Dalam keluarga, berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.[12]
b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada melalaikan anak, mengisolasinya dari lingkungan, atau menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain.
2. Di luar keluarga, berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak. Dalam catatan penulis, dari berbagai sumber, hanya di madarasah dan di pesantern , dan disekolah mlainnya, paling banyak terjadi dilemma hukuman fisik,karena lebih banyak manfaat dari pada mafsadat,[13] karena itu, kehadiran undang-undang ini, sangat berarti. Adapun penyebab terjadinya dilemma[14] ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak, ialah dalam satu kelompok anak-anak.
C. Signifikansi UU
Perlindungan Anak.
UU Perlindungan Anak pada Pasal 81
ayat 2 UU NO 23 tahun 2002 Bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (
delapan belas ) tahun dikategorikan masih kanak-anak, juga termasuk anak yang
masih di dalam kandungan. Apabila seseorang belum berumur 18 tahun, tiba-tiba
melangsungkan pernikahan, tegas di katakan pernikahan anak di bawah Umur.
Hal itu merupakan pemangkasan kebebasan
hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk
tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris
bawahi agama. Jika anak tersebut,
dipukul, bisa dikatakan melakukan kekerasan dan dikriminasi terhadap anak-anak
seperti yang dinyatakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002. Bagi orang
tua, ada berkewajiban ntuk mencegah adanya Perkawinan pada usia muda.
Di tinjau dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dan anak di bawah umur, yang telah dijatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi syarat yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban.
Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh Syekh Puji kepada anak di bawah umur. Penolakakan juga datang dari berbagai aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim dan dalam pelaksanaan putusan sering ditemukan di mana pelaku perkawinan dini itu masih bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda Rp.60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara.
Korban dari perkawinan di usia muda
ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang
tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak
wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun
belum cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan
kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam
pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara
agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau
masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh Syekh Puji. Timbul
pertanyaaan , antara lain :
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan di saat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syekh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada Syekh Puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.
Kekerasan yang
dilakukan oleh orang tua dan guru kepada ,menunjukkan hukuman yang
kejam.Fenomena kekerasan dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah
saatnya ditiadakan, karena hukumankadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi
justru sebaliknya menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu
membuktikan kepada kita bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di
kelas, tapi guru bagi anak-anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari
mall, ‘play station’, televisi, dan
lingkungan sekitar,” ujarnya. Karena
itu, seharusnya bentuk-bentuk hukuman di sekolah sudah tidak relevan lagi,
karena hanya akan memunculkan kebencian dan kekerasan baru, sementara di luar
bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian nyata dilihat siswa. Pendidikan yang
paling berpengaruh adalah pendidikan emosi, di mana guru harus bisa
mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas. Emosi itu sebetulnya tidak ada yang negatif dan positif,
tapi yang harus diingat bahwa emosi itu harus dikendalikan,” katanya. Melalui
pengendalian emosi itulah, katanya, akan tercipta emosi positif, dan akan
menghasilkan hati yang senang dan situasi otak cemerlang.
Belajar itu memang perlu kerja
keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang
menyenangkan, maka hasilnya juga akan menyenangkan, dan menjadi pendidik yang
menyenangkan pula. Menurut dari data – data yang saya lihat yakni bangkitnya
minat siswa terhadap pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa,
terciptanya makna, munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan
munculnya atau didapatkannya nilai kebahagiaan.[15]Tindak
kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa. Sebuah rekaman
video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di salah satu SMK
Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan guru terhadap
siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak dapat
mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa
sepengetahuan guru yang bersangkutan.
Pada dasarnya orang tua dan guru
menginginkan anak-anak berperilaku baik dan sopan bukan karena takut akan
hukuman. Guru yang melakukan hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai
tujuan semata-mata untuk mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang
dilakukan guru dan penerapan tersebut
perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam
menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat untuk
mendisiplinkan siswa. Akan tetapi, anak-anak penting untuk dilindungi.[16]
Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah. Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh parasiswa.[17]
Disiplin di sini diartikan
ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya bermula, sebelum disiplin
diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang benar-benar realistik
menuju suatu titik, yaitu kualitas . Lalu mengapa banyak sekolah yang mutunya
rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal sekolah.
Jawabanya mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan sehingga tidak
mudah diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan peraturan itu. Dalam
hal ini kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang gurupun tidak tahu apa
yang harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya mengajar apa adanya
terkesan menghabiskan waktu mengajar saja.
Banyak hal yang harus ditangani
dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi jika itu terlalu berat mungkin bisa
saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar dan mengajar saja. Selama ini
yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya kelas kosong saat jam
belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa ada tugas yang harus
dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena kepentingan dinas
atau yang lain. Ketidaktepatan dalam hal guru masuk kelas sehingga jeda waktu
pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk melakukan tindakan indisipliner.
Komitmen guru dalam hal ini kadang sering menjadi penyebabnya. Dalam manajemen
sekolah, biasanya pengawasan banyak yang tidak bisa berjalan dengan baik,
lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa rendah maka sekolah-pun akhirnya sulit
majunya.[18] Tapi ternyata
peraturan sekolah itu ada gunanya juga… di antaranya ialah :
1.Agar sekolah menjadi tertib
2.Agar dapat mengikuti proses KBM (kegiatan belajar
mengajar) dengan nyaman dan tenang.
3.Melatih murid untuk tepat waktu
4.Melatih murid disiplin
5.Melatih murid untuk mandiri
6.Melatih murid
menaati peraturan di masyarakat kelak, dan melatih respon mereka dalam
menyikapi sebuah peraturan.[19]
Menurut Clemes ,2001:47, ada
beberapa pertanda yang menunjukkan bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin
tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin
sekolah disebabkan:
1.Anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk, dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri, pasti membutuhkan penghargaan.
2.Anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan, mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan.
3.Anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian, perlu diberikan penghargaan, jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang lain.
4.Anak yang merasa kecewa, karena selalu dibandingkan dengan saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil.
5.Anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif, atau perasaan takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,” dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.[20]
6.Anak yang mengalami gangguan fisik, motorik, atau organik, dan karena kesulitan semacam itu, sering mengalami kegagalan dibandingkan anak lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan tugas yang sesuai dengan kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan penghargaan, atas keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya.
Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk peraturan sekolah, yakni “peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan demokratis.”
1.
Peraturan otoritarian
Dalam peraturan otoritarian,
peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungan
disiplin sekolah ini, diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun
dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang
berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil
memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap
sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin
sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan
dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang.
2.
Peraturan permisif
Dalam peraturan ini seseorang
dibiarkan bertindak menurut keinginannya. Kemudian dibebaskan untuk mengambil
keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu.
Seseorang yang berbuat seseuatu, dan ternyata membawa akibat melanggar norma
atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Dampak teknik
permisif ini berupa kebingunan dn kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana
yang tidak dilarang dan mena yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas,
dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa kendali.
3.
Pendekatan yang demokratis
Pendekatan
peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi dan penalaran
untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan menaati peraturan
yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan aspek hukuman. Sanksi atau
hukuman dapat diberikan kepada yanng menolak atau melanggar tata tertib. Akan
tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya menyadarkan, mengoreksi dan mendidik.
Dalam disiplin sekolah yang demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat
berkembang. Siswa patuh dan taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti
peraturan yang ada bukan karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal
itu baik dan ada manfaat.
Sanksi adalah hukuman yang
diberikan kepada siswa atau warga sekolah lainnya yang melanggar tata tertib
atau kedisiplinan yang telah diatur oleh sekolah, yang secara eksplisit berbentuk
larangan-larangan. Hal ini menurut Depdiknas 2001:10, “Sanksi yang diterapkan
agar bersifat mendidik, tidak bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan
trauma psikologis.” Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang paling
ringan sampai yang seberat-beratnya. Sanksi tersebut dapat berupa:
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan.
2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman buku tertentu, menerjemahkan tulisan berbahasa Inggris, matematika dan lain-lain.
3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang di-lakukan putera-puterinya.
4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.
5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.
6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.
Pemberian hukuman tidak ada bedanya
dengan pemberian penghargaan. Antara pemberian hukuman dan penghargaan
merupakan respons seseorang kepada orang lain karena perbuatannya. Bedanya,
pemberian penghargaan termasuk respons positif, sedangkan pemberian hukuman,[21] termasuk respons
negatif. Akan tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah
tingkah laku seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang
sudah baik akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di
masa mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang
memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan
mengurangi frekuensi negatifnya.
Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas tingkah laku siswa.[22]
Apa
kegunaan peraturan yang dicanangkan oleh banyak sekolah ? Banyak anak –
anak yang tidak setuju dengan masalah tersebut. Dan hanya segelintir orang yang
merasa menyukai tata tertib. Tentu peraturan dibuat bukan untuk dilanggar.
Tetapi, sebagian siswa merasa harus mengubah aturan yang dianggap kurang bermutu itu. Tak semua siswa
berambut gondrong itu, nakal, karena
rambut tak mempengaruhi akal pikiran. Meskipun ia botak kalau memang nakal tetap
nakal, meskipun rambutnya panjang tapi kalau asalnya pintar akan pintar juga.[23]
Mereka yang kurang percaya diri, akan rambutnya akan malas turun ke sekolah
karena malu dengan rambutnya yang tidak cocok apabila dicukur pendek, atau mereka akan belajar bolos. Bolos itu tak
hanya disebabkan oleh faktor malas tetapi juga malu. Itu semua akibat aturan. Begitupun dengan seragam yang hanya
menjadi logo/formalitas belaka. Siswa yang ingin sekolah diharuskan memakai seragam
lengkap dengan atributnya.
Mengapa orang barat dan jepang yang tak memakai seragam dan berambut gondrong,tapi bisa menguasai dunia dengan kepintarannya. Banyak orang yang rapi,disiplin,pandai menjadi musuh masyarakat/koruptor. Itu semua hanya topeng belaka, jangan mendidik siswa dengan topeng. Seakan-akan niat tulus itu tak berarti apa-apa dibandingkan BP3 dan seragam sekolah. Itu sebabnya banyak siswa nakal menjadi pembangkang, karena mereka sekolah tidak didasari niat itu tadi.Banyak salah persepsi dari orangtua terhadap hukuman yang didapat sang anak dari guru mereka.
Bahkan sebagian menganggap ini
merupakan bentuk kekerasan fisik ataupun mental dan sangat berpengaruh bagi
perkembangan anak-anak mereka. Tanggapan dan reaksi dari orangtua seperti ini
sebenarnya wajar saja, sebab setiap orangtua pasti tidak mau menerima anak-anak
mereka yang dianggap nakal atau tidak
disiplin. Sebenarnya hukuman bukan berarti kekerasan, terlebih jika diberikan
secara tepat dan edukatif. Namun semua itu dikembalikan kepada guru yang memberlakukan
hukuman tersebut. Hukuman bisa saja berubah menjadi suatu kekerasan baik
kekerasan fisik maupun psikologis jika guru yang membuat hukuman tersebut tidak
mengetahui tujuan dan fungsi diberikannya hukuman kepada murid atau tidak bisa
menggunakan hukuman tersebut secara tepat. Bahkan bisa saja pemberian hukuman
tersebut dapat menimbulkan rasa dendam ataupun trauma dari murid akibat tidak
bisa menerima hukuman yang diberikan oleh gurunya, selain itu dapat juga
menurunkan rasa percaya diri murid bahkan dapat melemahkan hubungan guru dengan
murid.
Orangtua sebaiknya memang diberi
tahu bahwa anaknya dihukum di sekolah, namun tentunya guru harus bisa
menjelaskan penyebab murid tersebut mendapat hukuman agar orangtua juga bisa
menerima konsekuensi atau resiko yang diterima oleh anaknya, dengan demikian
tidak akan terjadi salah paham antara orangtua dengan guru. Akan lebih baik
jika sebelumnya ada kesepakatan yang sudah dibuat secara tertulis antara guru
dengan murid.Bahkan juga dengan orangtua tentang bentuk konsekuensi positif dan
negatif yang akan diberikan kepada murid dalam rangka penerapan disiplin di
kelas maupun di sekolah, sehingga jika terjadi suatu pelanggaran yang membuat
seorang murid harus menerima konsekuensi berupa hukuman di sekolah / kelas maka
orangtua mengetahuinya dan bisa menerima konsekuensi yang diterima anaknya
sebagai suatu pembelajaran.
Idealnya jika hukuman tersebut
diberikan secara tepat. Artinya tepat dalam porsinya, tepat dalam waktu
pemberiannya, tepat dalam penggunaannya, dan tepat dalam bentuk hukumannya
serta ada follow up atau pembahasan
dari hukuman yang diberikan, maka akan memberikan efek sadar dan jera bagi
murid yang mengalaminya, dengan harapan tidak akan mengulangi kesalahan atau
pelanggaran yang sama dan lebih bertanggung jawab atas perilakunya. Maka
hukuman tersebut menjadi efektif. Namun sebaliknya, jika hukuman diberikan
dalam porsi yang tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan, waktu
pemberiannya tidak segera serta bentuk hukumannya tidak ada nilai edukasinya
dan tidak ada tindak lanjutnya, maka hukuman tersebut tidak akan efektif dan
tentunya tidak bisa memberikan efek jera dan tidak membuat murid menyadari
kesalahannya, bahkan hukuman tersebut justru akan menjadi penguat bagi perilaku
buruk murid, terlebih jika guru mengabaikan perilaku positif yang coba
ditunjukkan oleh murid.
Hukuman dalam konteks “mengajari
siswa” seharusnya diperbaiki lagi. Dalam hal edukasi yang tepat dan tindak
lanjutnya kepada siswa setelah hukuman itu diberikan kepada siswa tersebut.
Tetapi kalau hukuman dalam konteksnya “membunuh siswa” sebaiknya itu
dihilangkan saja. Para orang tua juga sebaiknya memberikan andil yang besar
untuk perkembangan anaknya pula. Dengan pengawasan dan perhatian dari para orang
tua, para siswa pun / anak – anak akan terhindar pula dari “hukuman. Ditulis dalam PIKA | Bertanda: hukuman siswa seharusnya, kedisiplinan siswa sekarang, peraturan disiplin hukuman, peraturan sekolah sekarang, seharusnya pelanggaran siswa, tindak lanjut hukuman.
Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di
lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan
edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua sekolah/madrasah
belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan terhadap anak.
Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang
Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan
Deklarasi PBB tentang hak-hak anak
Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan
hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru
biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di
sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru
tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia.
Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa
guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik
kepada anak-anak.
Kritik penulis terhadap UU ini ialah,[24] mengapa tidak dibuat pengualian di dunia pendidikan, karena di dunia
pendidikan ada hukuman pemukulan murid ,tapi tidak mengandung kekerasan.
Walaupun Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB
untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara
menjamin bahwa:
”Tak seorang anakpun boleh
mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun
perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski demikian, tampaknya
undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal
ini sebagaimana laporan penelitian Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap
8 Madrasah Ibtida’iyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah
terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%,
anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru
mereka secara rutin.[25] Ibarat gunung es, kasus
kekerasan, sering muncul di permukaan. Masih banyak tindak kekerasan dalam
pendidikan yang tidak tampak.[26]
Demikian rapuhnya kenyamanan anak-anak
di dunia pendidikan, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap para pelajar, para remaja, bahkan
Balita, terus meningkat. Karena itu perlu diperhatikan dan dianalisis kembali tentang:
1.Hak Anak dalam Pendidikan
Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) Pasal
1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan
hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya pada tingkat
dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib; pendidikan
keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh peminatnya;
dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi semua orang atas
dasar kelayakan.
Dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan hendaknya
diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia dan memperkokoh
penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan hendaknya mendorong saling
pengertian, toleransi, dan persahabatan antar berbagai bangsa tanpa memandang
perbedaan ras dan agama, dan hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk
memelihara perdamaian.
Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama
untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak
mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk
memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya
menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para pendidik
damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang melawan proses
dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka diskriminasi,
perkosaan, kekerasan, dan perang.
Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran nilai,
standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana Pemusnahan Semua
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of all
Form of Discrimination Against Women,
CEDAW),[27]]Descrimination
Based on Religion or Belief).[28] Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child, CRC), dan
Deklarasi Sedunia tentang Pendidikan untuk semua (Education for all).
Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam
menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-discrimination (non
diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan terbaik bagi
anak), the right to life, survival and
development (hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of the child
(penghargaan terhadap pendapat anak). Pertama, Non-discrimination.Yang
dimaksud non diskriminasi adalah penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas
dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis
kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan anak dalam
status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki
kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang layak,[29]antara
lain:
1.
Prinsip
kepentingan terbaik bagi anak.
The Best Interests of The Child. Yang
dimaksud dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, adalah dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan,
kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif,
dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama.
2.
Prinsip
hak hidup .
The Right to Life, Survival and Development.Yang
dimaksud dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah
hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.[30]Karena
itulah KHA memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi
kelangsungan hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat
1, bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang
melekat atas kehidupan (inherent
right to life)”, serta ayat 2 “ negara-negara peserta secara
maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of child)”.
3.
Penghargaan
terhadap pendapat anak.
Respect for The Views of The Child. Yang
dimaksud dengan penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas
hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Kemudian pembelajaran
berbasis pemenuhan hak anak ialah:
a. Menciptakan suasana kondusif
Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar
anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses
pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi
nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera
diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian
menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu utama
psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru akan
mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala amcam
ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang humanistik. Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar
dapat membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses
belajar:
Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai
kemampuan dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses
belajar-mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat
tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang
bersemangat, maka mentalitas guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan
dan berpengaruh bagi keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga
dapat membantu percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh
dari dalam diri sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat
diperlukan, agar tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.
Kedua, menjalin rasa
simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian sosial, sikap
toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada beberapa langkah yang bisa
ditempuh, seperti memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat,[31]
mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka
mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka. Membayangkan apa yang
siswa lakukan, antara lain:
Pertama, mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal
yang benar-benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang
diinginkan siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa.
Kedua, hindari sejauh mungkin sikap sok tahu. Berbicara dengan jujur
kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka mendengarkan dengan jelas dan
halus. Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.
Ketiga, menciptakan
suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih mudah untuk belajar dan bahkan
dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam iklim menyenangkan, tanpa ada
paksaan dan tekanan, akan menimbulkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban
atas persoalan yang dihadapi. Sebaliknya suasana tegang dan tertekan
mengakibatkan siswa belajar dengan terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat
dilakukan dengan membiasakan membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan,
berteriakan ‘hore’ menghentikkan jari, menulis poter, membuat catatan pribadi,
membuat kejutan, pengakuan atas prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal
terpenting dar langkah ini adalah menjaga suasana riang agar tidak berubah
menjadi senda gurau.
Keempat, mengambil
risiko. Sebagai gambaran, misalnya belajar naik sepeda di masa kecil? Pada
mulanya susah,…namun terus dicoba. Kadang kala jatuh, tapi masih tetap mau
bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati. Memang berisiko, tetapi
tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang menantang itulah terletak
keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya diwujudkan dalam suasana
belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus berpikir untuk memecahkan
masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi kejenuhan dan rasa bosan.
Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling
memiliki membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam
belajar. Rasa saling memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan
kepemilikan. Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan
rasa saling memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan, kesatuan
dan kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan menyelesaikan
konflik tanpa keerasa.
Keenam,
menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih berarti daripada
seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi cermin bagi para
murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa sikap, sikap damai,
kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum mengajarkan dengan
kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan seterusnya.
Langkah-langkah
antisipasi hukuman fisik, terhadap remaja. Hal ini bisa dilakukan dengan
beberapa cara berikut.: 1.Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas
2.Mengakui setiap usaha siswa 3.Murah
senyum 4. Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi 5. Menjadi
pendengar yang baik 6. Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda
sendiri. 7.Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang
positif di dalamnya.
b. Meningkatkan kualitas emosi positif
Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi,
saling menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan
sebagainya. Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari
interaksi sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah
masyarakat. Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau
remaja di sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi
secara sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari
keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan
kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.
Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.
Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan berfungsi menanamkan
kualitas emosi positif kepada peserta didiknya. Proses internalisasi nilai
positif bukanlah pengetahuan tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur,
bagaimana konsep toleransi, atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan
pengetahuan tentangnya. Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan
suasana, teladan, penerapan strategi belajar dan interaksi sosial dalam
komunitas pendidikan. Penanaman kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan
watak (character building)
Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang
pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.
Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang
perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat
membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang memberikan
pengalaman belajar mereka. Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh
melalui cara dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo
Freire, untuk menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang
digunakan harus diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif.
Pendidikan dengan nilai transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja
yang mandiri, tidak perlu dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam
mengawali dan mengakhiri pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan
pekerjaan, dan dalam menyelesaikan pekerjaan).
Berikut ini akan diuraikan beberapa
kualitas emosi positif dan imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi
positif tersebut maka yang berkembang kemudian adalah karakter negatif. Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia
seorang anak mau mengakui secara jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya
ia diperlakukan secara arif, bukan dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi,
seorang siswi kelas IV SD, tidak mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya
mengapa ia tidak mengerjakan PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia
lupa, maka sang guru hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi
kealpaannya, misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada
kesempatan dan tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum
secara fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya
seseorang mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian,
tugas adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk
mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan.
Jika cara kekerasan ditempuh,
misalnya menghukum santi karena tidak mengerjakan PR, maka suatu saat apabila
santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia bisa berbohong, mencari alasan lain
sehingga sang guru tidak memberi hukuman. Jika alasan berbuat sesuatu
disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia harus mendapatkan kecaman dan
hukuman, maka anak tersebut akan mencari jalan untuk menutupi kesalahannya agar
tidak dikecam atau dihukum. Bila santi pamit kepada orang tuanya bahwa ia
keluar rumah untuk bermain kerumah temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi
berbohong dengan mengatakan keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya.
Akibatnya, watak bohong akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah
tidak menghormati terhadap kejujurannya. [32]
Perlakuan hukum-menghukum ini
akan dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan
bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya
melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan menempuh
cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman bagaimanapun
berpotensi menimbulkan kekerasan.
Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu
tidak demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling
akhir, setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan
tertulis, dan skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang
dilakukan tergolong berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang
lain. Jika demikian halnya, maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara
hukuman untuk menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam
karakter negatif. Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan
semata-mata bersifat fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian.
Lagi pula tidak semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.(Corporate punishmen.)[33]
Kedua, bersikap
toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya bentrokan. Sikap toleran amat mudah
diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Toleransi berarti mendiamkan, atau
membiarkan suatu perbuatan, sikap atau pendapat orang lain yang berbeda dengan
perbuatan, sikap atau pendapat diri sendiri, meski ada perbedaan secara
diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa toleransi disebut sebagai tepa selira, yakni menjaga perasaan
orang lain agar ia tidak tersinggung.
Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan
kesadaran bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat orang
lain sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang
tersebut. Dengan kesadaran toleransi atau tepa selira tadi, bila suatu saat nanti terjadi suatu konflik
antar sesama, maka win-win solution akan lebih mudah dicapai, karena
masing-masing pihak dapat memahami perbuatan, sikap atau pendapat orang lain.
Inti dari toleransi adalah menghargai perbedaan, dan membiarkan kondisi berbeda
tersebut seperti apa adanya. Jadi, toleransi adalah agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap
saling mengerti dan toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi
menyadari arti perbedaan, maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu
menjadi bentuk-bentuk kekerasan.
Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang lain
di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live together.
Sekedar contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para
siswa yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa,
budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International Islamic University Malaysia yang berdiri
sejak 1983 setelah gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan diaplikasikan oleh
beberapa negara Islam. Universitas ini menerima perwakilan dari 32 negara dan
30% di antaranya berasal dari luar negeri.
Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan
melalui berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah
mengajarnya, memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya
jawab untuk bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak
pendapatnya mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan
menghargai perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak
Fuad telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya.[34]
Lebih dari sekedar pengetahuan
tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana cara bertoleransi,
memberi teladan melalui metode mengajarnya tadi, memberi contoh konkrit
bersikap toleransi. Bila setiap kali guru atau dosen melakukan demikian, bila
semua guru dan sekolah bersikap
demikian, toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture
of peace) akan mudah
dicapai. Hasil pengujian terhadap lebih dari 7000 orang di Amerika Serikat dan
18 negara lain menunjukkan bahwa manfaat empati antara lain adalah orang
menjadi lebih stabil secara emosional, lebih populer, lebih ramah dan lebih
berhasil dalam percintaan.[35] Menurut Thomas Hatch dan
Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk pesona, sukses sosial bahkan
kharisma.
Empati mewujud pada perasaan maupun pemahaman pemikiran seseorang
dengan cara menempatkan diri atau ikut merasakan perasaan orang lain tanpa
merasakan yang sebenarnya. Seorang yang berempati cenderung merasakan
sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia berada dalam situasi yang
dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang menggunakan perasaannya
secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong oleh emosinya seolah-olah
ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang dilakukan orang lain, feeling
into a person or thing. Seseorang
dapat merasakan sakit orang lain tanpa mengorbankan diri atau harus
mengendalikan situasi. Anda memperoleh kekuatan inid ari sumber-sumber daya
fisik, emosional, dan mental yang sama dengan yang Anda kerahkan dalam
kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang sengit sekalipun, misalnya, Anda
tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan harus menyerah karena Anda sangat
menyadari perasaan Anda dan perasaan orang lain tentang hal yang
dipertengkarkan.[36]Empati berbeda dengan simpati.
Simpati merupakan kecenderungan untuk ikut merasakan segala sesuatu yang
dirasakan orang lain karena kesamaan cita-cita, penderitaan, daerah atau
lainnya. Simpati adalah feeling with another person, sedangkan empati lebih dalam dari itu. Empati tidak harus terjadi
akibat persamaan kondisi antara satu dengan yang lain, atau didahului dengan saling
kenal. Lawan dari simpati adalah antipati, yakni perasaan ketidaksenangan
terhadap orang lain yang dapat berujud kebencian. Padahal kebencian memicu
permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan. Untuk mencegah kekerasan, yang perlu
dibangun adalah sikap empati, dan bukan antipati.
Pada dasarnya tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk mencapai
keberhasilan. Orang yang over-pessimistic bila berhasil meraih sesuatu,
besar kemungkinan ia akan berlebihan dalam merayakan keberhasilannya.
Sebaliknya orang yang over-optimistic,
bila berhasil terhadap sesuatu, akan bersikap biasa-biasa saja. Tatkala orang
yang sama-sama berhasil, berkumpul di satu tempat untuk merayakan
kesuksesannya, maka luapan emosi kegembiraannya sulit dibendung. Peristiwa
kelulusan adalah hal lumrah dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila orang yang overjoy
tersebut berkumpul dan menimbulkan gerakan massal, dan ada faktor pemicu,
maka perilaku ini dapat berpotensi menggerakkan massa tersebut mengarah kepada
perilaku kekerasan kolektif.
Pendidikan damai dapat
menanamkan rasa saling kasih dan cinta antar sesama, tidak peduli apakah ia
berkulit hitam atau putih, kaya atau miskin, penduduk atau pendatang, warga
negara lokal atau asing. Dengan sentuhan bahasa cinta antar sesama, semuanya
bisa duduk bersebelahan dalam satu ruang kelas. Dalam hal ini, guru tidak
sekedar mengajar namun juga sebagai orang tua kedua ketika anak-anak berada di
sekolah. Begitu pula orang tua di rumah, menjadi guru yang kedua bagi
putra-putrinya. Yang berlangsung kemudian adalah sentuhan cinta dibarengi
dengan semangat mendidik, atau mendidik dilakukan dengan penuh kasih sayang,
mengurangi tindakan dilenkuensi.[37]
Pendidikan damai menumbuhkan cinta pada sesama, cinta lingkungan, dan
cinta alam semesta. Cinta pada sesama menghindarkan konflik dan permusuhan,
mencegah kekerasan dan perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap melestarikan
dan merawat lingkungan agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam semesta
menjadikan anak tidak merusak alam bahkan menjaganya dari kepunahan. Itulah
sebabnya pendidikan damai memberikan materi kesadaran pribadi, toleransi,
kepedulian dengan sesama dan cinta ini untuk memupuk budaya damai, anti
kekerasan dalam berperilaku.[38]
Keenam, bersikap adil.
Ketidakadilan merupakan bentuk kekerasan institusional (intitutional violence), seperti halnya kemiskinan,
rasialis, pelecehan seksual, serta bentuk repressive lainnya. Kekerasan institusional muncul sebagai
akibat kebijakan pihak-pihak tertentu (biasanya lembaga yang berwenang) dalam
memutuskan perkara. Kebijakan tidak adil yang dirasakan oleh seorang korban
dapat diluapkan dengan kekesalan, kekecewaan atau ketidakpuasan.
Bila ketidakadilan dirasakan
oleh banyak orang, hal ini akan memicu gerakan massa untuk menuntut keadilan,
seperti unjuk rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk rasa buruh pabrik
menuntut kenaikan gaju atau tunjangan, protes mahasiswa menolak kenaikan biaya
kuliah, atau akasi demonstrasi para aktivis penentang perang, bermula dari
kebijakan yang kurang transparan dan kurang adil ini. Aksi massal menuntut
keadilan atas kebijakan tertentu sewaktu-waktu bisa berubah menjadi overt
violence atau kekerasan terbuka bila ada faktor pemicu yang mendorong massa
menjadi bringas dan anarki. Misalnya suara tembakan atau pukulan yang mengenai
salah satu peserta aksi. Hal ini dapat memanaskan situasi dan menggiring massa
pada kekerasan kolektif.
Mencegah kekerasan kolektif bukanlah hal mudah mengingat pihak yang
bertikai belum tentu sepakat dengan tuntutan yang diajukan. Pengusaha yang
memiliki pabrik tidak serta merta menerima tuntutan pegawainya untuk kenaikan
gaji karena alasan yang masuk akal. Demikian pula pihak rektorat bisa bertahan
tetap menaikkan biaya kuliah mahasiswa dengan alasan yang profesionalitas.
Begitu pula dengan kebijakan pemerintah untuk perang melawan para teroris atau
separatis, dilakukan demi rust
andorder atau mencegah kerusuhan dan menjaga ketertiban. Dalm hal ini,
yang perlu dilakukan adalah barganing
position antara kedua belah pihak, sehingga keputusan yang diambil
merupakan kompromi kedua belah pihak yang dapat mencegah aksi-aksi kekerasan.[39]
Ketidakadilan sebagai kekerasan institusional dapat mengakibatkan
munculnya kekerasan tandingan (counter-violence),
seperti aksi teror, sabotase, mogok massal, bahkan tindakan anarkis lainnya.
Kebijakan yang tidak adil berpotensi menimbulkan kekerasan (violenceas potensial).
Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan
demi kekerasan. Di sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian
mensyaratkan kebijakan yang adil.
c.
Demokratisasi hukuman disiplin
Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan
musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term politik.
Perlawanan terhadap kolonialisme, misalnya merupakan perjuangan mewujudkan
demokrasi. Demos artinya
rakyat, sedang kratos berarti
kekuasaan. Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, kedaulatan rakyat atau,
dalam term politik berarti pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Bentuk pemerintahan demokratis tercermin dari proses pemerintahannya
yang dilakukan melalui pemilihan umum dengan karakter demokrasi, yaitu
kebebasan, persamaan hak, keadilan, musyawarah, dan tanggungjawab.
Konstruksi fiqih tarbiyah, bisa tersusun dan
tergali setidaknya dari tiga
hal. Pertama, melalui arkeologi semantik
kependidikan dalam Islam. Kedua,
dengan analisa konsep pendidikan
yang disodorkan oleh para sarjana dan praktisi
pendidikan Islam. Ketiga, dengan memilah hasil dari arkeologi
semantik dan
analisis konsep untuk dipadukan
dengan epistemology burha>ni, baya>ni dan irfa>ni,
yang digagas oleh Abid al-Jabiri.
Semantik (bahasa Yunani: semantikos,
memberikan tanda, penting, dari
kata “sema”, tanda) adalah cabang linguistik
yang mempelajari makna yang
terkandung pada suatu bahasa, kode,
atau jenis representasi lain. Semantik
biasanya dikontraskan dengan dua
aspek lain dari ekspresi makna: sintaksis,
pembentukan simbol kompleks dari
simbol yang lebih sederhana, serta
pragmatika, penggunaan praktis
simbol oleh agen atau komunitas pada suatu
kondisi atau konteks tertentu.
Secara umum dalam melakukan
arkeologi semantik, banyak intelektual
muslim memulainya dengan pembahasan
kata yang menyangkut hubungan
derivasi dan makna aslinya. Untuk
itu maka dilakukan penelusuran terhadap
teks-teks yang dipandang memiliki
keterkaitan dan otoritas dengan istilah-istilah
tersebut. Bahasa Arab memiliki
otoritas kebahasaan. Sedang, al-Qur’a>n, hadith
dan aqwal sahabat, memiliki otoritas
legalitas. Dengan menggali teks-teks yang
memiliki otoritas legalitas ini,
diharapkan dapat melacak istilah dan konsep,
juga memperoleh legalitas term terkait fiqih tarbiyah.
Dari hasil arkeologi semantik
ditemukan sekurang-kurangnya terdapat lima
istilah yang merujuk langsung pada
pengertian pendidikan dan pengajaran, yaitu:
48
Antologi Kajian Islam 15
tarbiyah, ta’di>b, ta‘li>m, tabyi>n, dan tadri>s. Pertama, istilah umum yang dipakai dalam
pendidikan Islam adalah tarbiyah. Secara arkeologis istilah tarbiyah setidaknya
bisa dikelompokan dalam tiga
pengertian berikut: (A), tarbiyah yang berarti
berkembang (rabba>-yarbu>). (B), tarbiyah dengan arti tumbuh (rabiya-yarba>, bimakna
nasha’a tara’ra’a). (C), tarbiyah yang mengandung arti; memperbaiki,
bertanggungjawab, memelihara dan
mendidik (rabba>-yarubbu).
Kedua, pendidikan dalam nomenklatur Islam
bisa pula dilacak dari istilah
ta’li>m. Istilah ta‘li>m memberi makna sebagai proses
transfer pengetahuan,
pemahaman, pengertian, tanggung
jawab dan penanaman amanah sehingga
terjadi pembersihan diri (tazkiyah), dari segala kotoran dan
menjadikan dirinya
siap untuk menerima al-h}ikmah serta mempelajari segala sesuatu
yang belum
diketahui dan berguna bagi dirinya.
Istilah ta‘li>m dengan pengertian ini secara
praksis merupakan proses pendidikan
yang berlangsung dari masa kanak-kanak
hingga akhir hayat. Bagi Syed
Muhammad Naquib al-Attas, ta‘li>m lebih dekat
kepada pengajaran, bahkan lebih jauh
dikatakan bahwa aspek kognitif yang
dijangkaunya tidak memberikan porsi
pengenalan secara mendasar.
Ketiga, terkait pendidikan Islam,
intelektual Malaysia ini menawarkan istilah
ta’di>b. Istilah ini menurutnya lebih bisa
merepresentasikan esensi dan fundamen
pendidikan Islam. Ta’di>b masih menurut al-Attas, mengandung
makna ‘ilm
(pengetahuan), pengasuhan (tarbiyah), dan pengajaran (ta‘li>m). Ta’di>b juga
mengandung serangkaian makna
berikut: ‘adl (keadilan), h}ikmah (kebijakan),
‘amal (kebajikan), h}aqq (kebenaran), nut}q (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), ‘aql
(pikiran), a>yah (simbol) dan adab (tata krama). Keempat, istilah berikutnya yang
juga berlaku dalam ranah pendidikan
Islam adalah tabyi>n. Istilah ini diusung
oleh Ismail Razi al-Faruqi.
Menurutnya istilah tabyi>n digunakan al-Qur’a>n untuk
mencerahkan manusia dengan kebenaran
Ilahi.
Penelitian kedua untuk menyusun
formasi fiqih tarbiyah adalah dengan
melakukan analisa terhadap
konsep-konsep pendidikan yang dilansir oleh para
sarjana dan para praktisi pendidikan
Islam. Berikut merupakan galeri pendapat
para sarjana dan praktisi pendidikan
Islam terkait term pendidikan Islam. Bagi
al-Raghib al-Asfahani, tarbiyah dikonsep dengan, membangun sesuatu tahap demi
Konstruksi Fiqih
Tarbiyah dalam Perspektif Epistemologi Baya>ni, Burha>ni dan ‘Irfa>ni
49
Antologi Kajian Islam 15
tahap hingga sempurna”. Sementara bagi Naquib al-Attas,
pendidikan Islam adalah
proses untuk membentuk kepribadian
muslim. Omar Mohammad al-Toumy al-
Shaibany mendefinisikan pendidikan
Islam dengan proses pertumbuhan
membentuk pengalaman dan perubahan
yang dikehendaki dalam individu dan
kelompok melalui interaksi dengan
alam dan lingkungan kehidupan. Sedang
menurut Yusuf Qarda>wi pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia
seutuhnya, akal dan hatinya, ruhani
dan jasmaninya, serta akhlak dan
keterampilannya. Terakhir, pendidkan
Islam bagi Zakiyah Darajat adalah proses
untuk mengembangkan fitrah manusia,
sesuai dengan ajarannya.
Pada gilirannya sejumlah konsep
pendidikan yang disampaikan oleh para
sarjana dan praktisi pendidikan
Islam tersebut, diiringi dengan munculnya
sejumlah teori tentang guru dan
murid, kurikulum, tujuan, metode, sarana, serta
materi dan silabi pendidikan.
Terkait guru dan murid, banyak teori yang diusung
oleh para sarjana klasik seperti Ibn
Mishkawaih dalam tahdhi>b al-akhla>q, al-
Ghaza>li> adab al-ulama>’ wa al-muta’alimi>n, juga al-Mawardi dalam adab al-dunya>
wa
al-di>n. Sedang terkait kurikulum, para
sarjana klasik meski tidak secara langsung
menyebutnya, tetapi dalam setiap
paparan menyangkut relasi guru, murid dan
materi belajar, mereka membahas
secara tuntas dengan sebutan yang beragam.
Dalam adab al-dunya>
wa al-di>n, term yang senafas dengan kurikulum disebut dengan
serangkaian istilah berikut; ada>b al-‘ilm, ada>b al-muta’alim, ada>b al-ta’alum dan
ada>b al-‘ulama>. Penyebutan yang parallel juga bisa
kita jumpai pada ada>b al-
‘ulama>
wa almuta’alimi>n, yang menyebutnya dengan: ada>b al-‘a>lim fi>
darsihi,
ada>b
al-muta’alim ma’a shaikhih,
ada>b al-muta’alim fi> darsihi, serta, ada>b al-‘a>lim ma’a
t}ula>bih. Sementara dalam tahdhi>b al-akhla>q kajian soal jiwa berikut
potensipotensinya
yang menjadi urat nadi bagi
kurikulum, diuraikan dengan jernih dan
brillian.
Sejatinya, secara etimologi
kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curir yang artinya pelari dan curere yang artinya jarak yang harus
ditempuh oleh
pelari. Istilah ini pada mulanya
digunakan dalam dunia olehraga. Berdasarkan
pengertian ini, dalam konteksnya
dengan dunia pendidikan menjadi circle of
instruction yaitu suatu lingkaran pengajaran di
mana guru dan murid terlibat di
Moh. Sholeh
50
Antologi Kajian Islam 15
dalamnya. Dalam kosa kata Arab,
istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj
yang berarti jalan yang terang yang
dilalui oleh manusia pada berbagai bidang
kehidupannya. Apabila pengertian ini
dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj
atau kurikulum berarti jalan terang
yang dilalui pendidik atau guru dengan orangorang
yang dididik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap
mereka.
Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kurikulum itu adalah merupakan
landasan yang digunakan pendidik untuk
membimbing peserta didiknya ke arah
tujuan pendidikan yang diinginkan melalui
akumulasi sejumlah pengetahuan
ketrampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa
proses kependidikan Islam bukanlah
suatu proses yang dapat dilakukan secara
serampangan, akan tetapi hendaknya
mengacu pada konseptualisasi manusia
paripurna, melalui transformasi
sejumlah pengetahuan ketrampilan dan sikap
mental yang harus tersusun dalam
kurikulum pendidikan Islam. Di sinilah konsep
pendidikan Islam dalam memberikan
pandangan filosofis tentang hakikat
pengetahuan, keterampilan dan sikap
mental yang dapat dijadikan pedoman
dalam pembentukan manusia paripurna.
Sedang terkait pengertian metode,
secara literal metode berasal dari bahasa
Greek yang terdiri dari dua kosa
kata, yaitu meta yang berarti melalui dan hodos
yang berarti jalan. Metode berarti
jalan yang dilalui. Secara teknis menerangkan
bahwa metode adalah: suatu prosedur
yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
Juga, suatu teknik mengetahui yang
dipakai dalam proses mencari ilmu
pengetahuan dari suatu materi
tertentu.
Bahasan yang tak kalah pentingnya
untuk menuju konstruksi formasi fiqih
tarbiyah adalah hal terkait tujuan
pendidikan. Setelah relasi guru-murid,
kurikulum, dan metode, kajian
tentang tujuan pendidikan merupakan kunci
bagi tersusunnya formasi fiqih
tarbiyah dalam perspektif epistemology burha>ni,
baya>ni dan irfa>ni khas Jabirian. Secara umum the ultimate goal semua pendidikan
Islam adalah penghambaan dan
pentauhidan Tuhan. Tetapi, ada sejumlah tujuan
khusus yang akan dibidik secara
tepat, pendekatan dan pilihan epistemanya.
Tentu, kita tidak bisa menerapkan
episteme burha>ni untuk meng-optic metode
Konstruksi Fiqih
Tarbiyah dalam Perspektif Epistemologi Baya>ni, Burha>ni dan ‘Irfa>ni
51
Antologi Kajian Islam 15
kashf-nya al-Ghazali misalnya. Juga kita
akan gagal memotret paripatetik-nya
(mashaiyah) Ibn Rushd dari sudut pandang epistemologi irfa>ni, dan seterusnya.
Secara etimologis, epistemologi
berasal dari bahasa Yunani episteme yang
berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti the study atau theory of. Secara
harfiah epistemologi adalah studi
atau teori tentang pengetahuan. Sedang, dalam
diskursus filsafat, epistemologi
merupakan cabang dari filsafat yang membahas
asal-usul, struktur, metode dan
kebenaran pengetahuan. Bisa pula dikatakan,
epistemologi adalah cabang filsafat
yang secara khusus membahas teori tentang
pengetahuan. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa epistemologi (theory of knowledge)
lebih luas dari filsafat ilmu (philosophy of science).
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi
lebih terfokus pada asalusul
pengetahuan (the origin of knowledge), serta teori tentang kebenaran (the theory
of truth) pengetahuan. Sebagai the origin of knowledge, epistemologi mengkaji
apakah suatu pengetahuan bersumber
dari akal pikiran semata (rasionalisme),
indrawi (empirisme), atau intuisi?
Selanjutnya, epistemologi berkembang ke arah
proses dan metode memperoleh
pengetahuan, cara membuktikan kebenaran
pengetahuan dan tingkat-tingkat
kebenaran pengetahuan.
II
Untuk menjawab tantangan modernitas,
Jabiri menyerukan untuk
membangun epistemologi nalar Arab
yang tangguh. Sistem yang menurut skema
Jabiri hingga saat ini masih
beroperasi, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi
serta eksplikasi (‘ulu>m al-baya>n) merupakan sistem epistemologi yang
paling awal
muncul dalam pemikiran Arab. Ia
menjadi dominan dalam bidang keilmuan
pokok (indiginous), seperti filologi, yurisprudensi,
ilmu hukum (fiqh),‘ulu>m al-
Qur’a>n, teologi dialektis (kala>m) dan teori sastra. Sistem ini
muncul sebagai
kombinasi dari pelbagai aturan dan
prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana
(interpreting of discourse). Sistem ini didasarkan pada metode
epistemologi yang
menggunakan pemikiran analogis, dan
memproduksi pengetahuan secara
epistemologis pula dengan
menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang
Moh. Sholeh
52
Antologi Kajian Islam 15
telah diketahui, apa yang belum
tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulu>m al-’irfa>n) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan
dalam” sebagai metode
epistemologinya, dengan memasukkan sufisme,
pemikiran Shi’i, penafsiran esoterik
terhadap Al-Qur’a>n, dan orientasi
filsafat
illuminasi. Ketiga, disiplin bukti enferensial (’ulu>m al-burha>n) yang didasarkan atas
pada metode epistemologi melalui
observasi empiris dan inferensiasi intelektual.
Jika disingkat, metode baya>ni adalah rasional, metode ‘irfa>ni adalah intuitif, dan
metode burha>ni adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya.
Al-Jabiri tidak melihat ketiga
sistem epistemologis ini, hadir dalam setiap
figur pemikir. Masing-masing sistem
selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang
telah mengalami kontaminasi. Sistem
epistemologi tersebut berasimilasi antara
satu sistem dengan sistem yang lain,
yang kemudian mencapai stagnasi dan
menjadi kekuatan tunggal yang
dominan pada masa al-Ghaza>li> pada abad ke-5
H. Relasi aktif yang berlangsung
antara pasangan-pasangan tersebut dapat
disebut dengan processed structure (al-bunyah al-muh}as}s}alah). Dalam hal ini terdapat
tiga bentuk konstituen processed structure yang mempengaruhi sruktur Akal Arab
sejak masa kodifikafikasi pada abad
ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan
asal derivasi, dan kekuatan
metafora. Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama
untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah
kerjasama
yang membuahkan Akal Arab yang tidak
realistis. Artinya tidak memperhatikan
hukum sebab-akibat dan tidak
berangkat dari realitas faktual.
Formulasi episteme baya>ni, burha>ni dan ‘irfa>ni dalam sejarah kebudayaan
Arab-Islam muncul berdasarkan
tuntutan kognitif maupun sosio-politik. Baya>ni
merupakan produk murni Arab yang
muncul didorong oleh faktor kognitif guna
menginterpretasikan teks-teks
keagamaan. ‘Irfa>ni masuk dalam peta epistemologi
pemikiran Arab-Islam sebagai
alternatif episteme baya>ni yang dianggap gagal
memberikan kesimpulan meyakinkan, di
satu sisi, dan sebagai basis epistemologi
gerakan oposisi melawan Dinasti
Abasiyyah yang berbasis baya>ni, di sisi lain.
Burha>ni mula-mula dihadirkan oleh para
penguasa di tengah-tengah kebudayaan
Arab-Islam melawan Hermetisme dan
Gnostisisme kaum oposan.
Dalam sejarah kebudayaan Arab, tiga
episteme tersebut saling
Konstruksi Fiqih
Tarbiyah dalam Perspektif Epistemologi Baya>ni, Burha>ni dan ‘Irfa>ni
53
Antologi Kajian Islam 15
berbenturan satu sama lain.
Benturan-benturan itu dianggap sebagai ekspresi
krisis basis epistemologi pada abad
ke-5 H. Untuk meredam benturan epistema
tersebut, upaya harmonisasi eklektik
(mus}a>lah}ah talfi>qiyyah) merupakan solusi
niscaya yang biasa ditempuh oleh
para sarjana Islam. Benturan-benturan
epistema dapat dilihat dari
perdebatan antagonistik, misalnya, antara fuqaha vis
a vis ahli tasawuf (baya>ni vis a vis ‘irfa>ni), fuqaha vis a vis filosof (baya>ni vis a vis
burha>ni), dan filosof vis a vis para sufi (burha>ni vis a vis ‘irfa>ni). Untuk menjembatani
krisis basis epistemologis,
misalnya, al-Harith al-Muhasibi berusaha
mengharmonisasikan secara eklektik
antara baya>ni dengan ‘irfa>ni yang kemudian
disebut tasawuf Sunni. Al-Kindi
mengharmonisasikan baya>ni dengan burha>ni.
Ikhwa>n S{afa> dan filosof-filosof Ismailiyyah
mengharmonisasikan burha>ni dengan
‘irfa>ni.
Harmonisasi eklektik antara tiga
episteme sekaligus (baya>ni, burha>ni, dan
‘irfa>ni) untuk pertama kalinya terjadi di
tangan al-Ghazali. Eklektisisme ini
muncul sebagai solusi atas krisis
basis epistemologis yang menjerembabkan al-
Ghaza>li> dalam jurang skeptisisme di satu sisi, dan atas tuntutan profesi
sebagai
ulama suruhan Dinasti Saljuqiyyah
yang secara ideologis menganut Shafi’i>yah,
Ash’ariyyah serta tasawuf Sunni, di
sisi lain. Tiga episteme dicampur aduk bukan
untuk tujuan ilmiah murni, melainkan
guna mempertahankan madhhab fiqih
Shafi’i, madhhab teologi Ash’ari,
dan tasawuf Sunni, di satu pihak, serta untuk
menghantam filsafat Ismailiyyah
musuh Dinasti Saljuqiyyah, di pihak lain. Taha>fut
al-Fala>sifah, Fadha>ih al-Ba>t}iniyyah dan H{ujjah al-H{aq sejatinya diproyeksikan guna
menghantam lawan politik penganut
filsafat Bat}iniyyah
Ismailiyyah yang kontra
Ash’ariyyah. Mihak al-Nad}r, Mi’ya>r al-‘Ilm, Qist}a>s al-Mustaqi>m dan Mada>rik al-
’Uqu>l ditulis guna mempromosikan logika
Yunani yang diadopsi untuk
mengukuhkan ilmu kalam Ash’ari dan
us}ul fiqh Shafi’i. Dalam al-Mus}tas}fa, al-
Ghazali mengatakan; “Seseorang yang tak paham
logika Aristoteles maka ilmunya
tidak bisa dipercaya”. Al-Ghaza>li> pun mengadopsi Hermetisme guna membangun
fiqih sufi seperti tercermin dalam Ihya>’ ‘Ulu>m al-Di>n.
Harmonisasi eklektik disebut oleh
al-Jabiri dengan istilah bunyah almuh}
as}s}alah. Bunyah al-muh}as}s}alah tanpa bisa dibendung kemudian
menjadi struktur
Moh. Sholeh
54
Antologi Kajian Islam 15
tunggal yang dominan dan hegemonik
dalam kebudayaan Arab-Islam hingga
kini. Bunyah muh}as}s}alah secara asasi terbangun dari tiga
otoritas: yaitu: otoritas
teks, sebab nalar Arab dinilai
terlalu sibuk berkutat pada aksara dan huruf agama,
otoritas asal yang termanifestasikan
dalam sistem transmisi, konsensus, otoritas
imam-imam penerawang makna esoteris
dan otoritas analogi, serta otoritas
fatalistik anti kausalitas (sult}ah al-tajwi>z).
Akumulasi otoritas yang mencerminkan
watak nalar Arab di atas
merupakan faktor determinan yang
menyebabkan nalar Arab kewalahan
mengejar modernitas Eropa. Nalar baya>ni yang berkutat pada aksara dan
analogi
terkesan mengabaikan realitas
empirik dan spirit shari’at. Di lain sisi, epistema
‘irfa>ni menyebabkan nalar Arab hanyut di
alam fantasi. Epistema ‘irfa>ni harus
disingkirkan karena dinilai telah
mengakibatkan kebudayaan Islam terbelakang.
Seperti statemen al-Jabiri, bahwa
epistema ‘irfa>ni yang menyebar luas di Yunani
pasca era Aristoteles juga telah
menjadi biang keladi porak-porandanya
rasionalitas Yunani. Kedua nalar ini
tidak memiliki watak yang mampu
menyongsong modernitas. Modernitas
dan kebangkitan kebudayaan Arab, dan
tentu saja Islam, bagi al-Jabiri
hanya bisa diwujudkan dengan membumikan
kontribusi pemikiran
rasional-empirik Andalusia-Maghribi yang
direpresentasikan oleh Ibn Hazm di
bidang fiqih berbasis silogisme Aristotelian,
al-Shathibi dengan epistemologi
juridiksi yang menghiraukan spirit utilitarianistik
maqa>s}id shari>’ah, Ibn Bajah serta Ibn Rushd di
bidang filsafat Aristotelian murni,
Ibn Khaldun di bidang sosiologi,
serta al-Qurt}ubi di bidang
pembaharuan
gramatika Arab. Bagi al-Jabiri, rasionalisme
empirik Andalusia-Maghribi adalah
satu-satunya epistema yang mampu
membangkitkan modernitas kebudayaan
Arab, sebagaimana ia telah mampu
menjadi inspirasi modernitas dan rasionalitas
Eropa. Pemikiran Andalusia memiliki “integralitas”
yang termanifestasikan dalam
sejumlah prinsip dan konsep yang
khas; berbasis pada observasi empirik dan
inferensi rasional Aristotelian
sebagai alternatif konsep analogi alam gaib dengan
alam fisik (qiya>s al-gha>ib ‘ala al-sha>hid), berbasis maqa>s}id al-shar’iyyah sebagai
alternatif dari fiqih yang
terkungkung pada aksara, dan berbasis konsep kausalitas
sebagai alternatif dari konsep
fatalistik.
Konstruksi Fiqih
Tarbiyah dalam Perspektif Epistemologi Baya>ni, Burha>ni dan ‘Irfa>ni
55
Antologi Kajian Islam 15
Epistemologi rasional Andalusia juga
dicirikan dengan upaya
memposisikan filsafat dan shari’at
secara proporsional sesuai jalan masing-masing
dalam mencari kebenaran.
Epistemologi rasional Andalusia tidak
mengharmonisasikan filsafat dan
shari’at secara eklektik. Rasionalitas
epistemologi Andalusia dinilai murni
Aristotelian, terhindar dari pengaruh neo-
Platonisme dan Hermetisme, karena
para filosof Andalusia langsung merujuk
pada karya primer Aristoteles.
III
Nomenklatur yang jamak digunakan
untuk menyebut suatu pemahaman
adalah, fiqih. Maka, tidak
berlebihan jika pemahaman terkait pendidikan disebut
dengan fiqih tarbiyah.
Langkah-langkah yang dipaparkan pada bahasan di atas,
baik yang menyangkut arkeologi
istilah dan konsep pendidikan dalam Islam,
serta bagaimana proses suatu ilmu
(pendidikan) dihasilkan, dalam perspektif
al-Jabiri, sejatinya, penelitian
tentang “Konstruksi Fiqih Tarbiyah”, telah
tergambar dan bisa terformulasikan.
Lebih dari itu, kontruksi Fiqih Tarbiyah
dalam penelitian ini, akan sangat kaya
perspektif, sebab kajian melibatkan
sejumlah disiplin keilmuan utama
dalam Islam seperti: tafsir, hadith, tasawuf,
kalam, dan tentu saja fiqih.
Konstruksi fiqih tarbiyah dalam penelitian ini akan
memotret metode, kurikulum, materi,
dan tentu saja guru serta murid dalam
perspektif epistemologi baya>ni, burha>ni dan irfa>ni. Epistemologi ala al-Jabiri ini
pula yang akan dipakai sebagai alat
ukur atas sejumlah materi pendidikan Islam,
terakait dengan keberhasilan suatu
pembelajaran. Bukankah hal ini parallel
dengan penyebutan fiqih dakwah untuk
menyebut istilah dan konsep dakwah,
fiqh al-lughah untuk menunjuk pemahaman terkait
kebahasaan, fiqh siaya>sah sebagai
istilah dan konsep tentang politik
dan pengelolaan kekuasaan, juga, yang sangat
dikenal fiqh al-‘iba>dah, yang berisi serangkaian kaidah dan
aturan baku dalam
peribadatan.
[3] Joan Durant yang merupakan kepala peneliti dan
rekannya Ron Ensom dari Children's Hospital of Eastern Ontario di Ottawa,
mengatakan bahwa hukuman fisik akan membuat anak menjadi agresif dan anti
sosial, selain itu juga menyebabkan gangguan kognitif dan gangguan pertumbuhan.
Penelitian terbaru juga memperlihatkan bahwa hukuman fisik akan mengurangi
materi abu-abu pada otak, yang berkaitan dengan intelijen atau IQ.
"Hukuman fisik pada anak tidak hanya akan mengakibatkan sikap agresif pada
anak, hal ini juga bisa membuat anak mengalami banyak kesulitan, misalnya saja
depresi dan penggunaan narkoba," ujar Durant. "Tidak ada penelitian
yang menunjukkan hasil positif jangka panjang dari hukuman fisik,"
tambahnya. Hukuman fisik sudah tidak boleh diterapkan di 32 negara, tetapi
masih banyak orang tua yang mempertahankan hukuman ini. Harapan Joan Durant
dari penelitian ini, para orang tua tidak hanya melihat hukuman fisik sebagai
hal mereka, tetapi melihat efek buruk dari perspektif medis yang akan diderita
anak dalam waktu yang sangat lama. http://www .vemale.com
/relationship/keluarga/12225-bahaya-hukuman-fisik-untuk-anak.html.
[6] Para Ahli yang pro dengan hukuman
fisk dalam pendidikan, sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen
sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut
mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan
nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi
memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal
atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. Dalam kaitan ini, Russel
menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman dalam
proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai
alternatif kedua."John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik
kadang-kadang diperlukan. Lihat juga TM.Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Islam Dan Hak Asasi Manusia, ,
(Semarang, Pustaka Rizki Putra : 1997), 12
[7] Tidak seorangpun menginginkan terjadinya tindak
kekerasan, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah
secara damai dan edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua
sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan kekerasan
terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak. Hukuman secara fisik dan
emosional dari guru terhadap murid merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru biasa mencubit, memukul anak-anak
bahkan menghina mereka, baik di sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang
berbasis keagamaan. Kadang guru tidak menyadari bahwa hal ini sebetulnya
terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54
secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang
untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia
merupakan salah satu penanda tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak,
disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: ”Tak
seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan
tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman”. Meski
demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan
pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Nur Hidayati, dari penelitian lapangan
terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani
lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%,
anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal ini dari guru-guru
mereka secara rutin.
[9]
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan rasa prihatin masih
banyaknya kasus-kasus kekerasan di sekolah, termasuk kekerasan Mauro Billy
Fiesandy (9), siswa SDN Kepatihan, Banyuwangi. Kekerasan di sekolah selama ini
menduduki peringkat kedua setelah kekerasan di rumah yakni sekitar 25% dari
semua kasus kekerasan yg dilaporkan ke
KPAI selama tahun 2008 dan 2009. "Kekerasan terhadap anak di sekolah terjadi
karena beberapa sebab. Selain minimnya pengetahuan guru tentang hak-hak anak,
juga karena guru kurang profesional,
miskin metode kreatif sehingga selalu mengambil metode hukuman kekrasan untuk
mendisiplinkan murid," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno dalam rilis yang
diterima detikcom, Senin (2/8/2010)..Padahal, kata dia, banyak metode untuk
mendisiplinkan anak. Pihaknya selama ini sering menerima keluhan guru
yang merasa terhambat tugasnya gara-gara UU Perlindungan Anak. Ini fenomena
aneh karena menginginkan guru dikecualikan dalam UU PA. "Pendidikan
tak hanya mensosialisasikan UU Sisdiknas, tetapi juga UU Perlindungan Anak,
agar para guru dan birokrasi pendidikan tahu akan hak-hak anak,"
tambahnya. Padahal, pasal 54 UU PA menyebutkan sekolah wajib melindungi anak
dari segala bentuk kekerasan yg dilakukan oleh guru, siswa, maupun
penyelenggara pendidikan. Bagi yg melanggar, bisa dikenai pasal 80 UU PA dengan
ancaman hukuman 3,6 tahun penjara dan atau denda uang Rp 7,2 juta untuk
kekerasan ringan dan 5 tahun penjara dan atau denda 100 juta untuk kekerasan
berat. Lihat UU.RI Nomor 23 Tahun 2002, ( Jakarta, , Sinar Grafika : 2008) ,28
[10]
Ada 10
Kesalahan Orang Tua Yang TIdak Disadari 1. Menyatakan
“Saya tidak salah, orang lain yang salah” .Setiap ia mengalami
suatu peristiwa dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah
adalah orang lain, benda lain & situasi tertentu, dan dirinya selalu
benar. Yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang
lain yang . Akibatnya ketika dewasa.Sulit
mengakui kesalahan diri sendiri ( sulit untuk intropeksi diri ) Selalu
menyalahkan pihak lain atau situasi tertentu. Susah diberi masukan 2. “Mengajari Anak untuk Membalas Ketika anak memukul atau dipukul, sebagian
orang tua biasanya tidak sabar melihat anaknya disakiti dan memprovokasi anak
kita unutuk membalasnya. Secara tidak langsung mengajari anak balas dendam. Akibatnya ketika dewasa.Sering
membalas, melawan balik atau membalikkan apa yang orang lain sampaikan
kepadanya. 3.
Televisi sebagai agen Pendidikan Anak..Banyak orang tua yang tidak mau pusing dan tidak mau repot untuk mendidik
karakter anak sejak dini dan suk-kontrakan tanggung jawab mendidik ini kepada
televisi, pembantu di rumah atau guru di sekolah. Anak dibiarkan berjam-jam
menonton TV supaya orang tua bisa melakukan aktivitas lain. Akibatnya ketika
dewasa: Banyak pola pikir salah yang menetapkan dalam pikirannya ,
Kekerasan , Materialisme, Balas dendam,Sifat kurang kreatif dan produktif .
Romantisme
yang salah 4. Mudah terpancing
emosi ketika keinginan anak tidak terpenuhi, si anak sering kali rewel
atau merengek, menangis, berguling dsb, dengan tujuan memancing emosi orang tua
yang pada akhirnya ortu marah atau malah mengalah. Jika terpancing, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Akibatnya ketika
dewasa: Mudah manipulasi orang lain dengan pura2 sakit, minta dikasihani
Suka menuntut keinginannya dipenuhi à bila tidak : malas – marah - balas
dendam 5. “Berbohong Kecil – Tidak tepati janji Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat
yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si
kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi?Akibatnya ketika
dewasa: Mudah janji pada orang lain, tetapi tidak menepati ( integritas )
Suka berbohong 6. “Banyak Mengancam”“Adik,
jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau menolong!””Ini
salah.....itu tidak benar...., nanti dihukum Bu Guru loh” “….nanti
Mama/Papa marah!”Akibatnya ketika dewasa: Tidak percaya diri – takut
salah Kurang kreatif 7. Memberi julukan yang buruk Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah diri,
tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Akibatnya
ketika dewasa: Minder 8. Mengejek
/ Menggoda ( yang tidak disukai anak ) Orang tua yang biasa
menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah membuat anak menjadi
kesal. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan yang sering
terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Akibatnya ketika dewasa: Kurang hargai orang tua Minder 9.
Menghukum Anak Saat Kita Marah
Jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi
kita sedang memuncak, karena seringkali yang keluar dari mulut kita, akan
cenderung menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Akibatnya ketika dewasa:
Kepahitan / terluka Tidak mudah mengampuni orang lain Emosional ( pemarah , mudah tersinggung )
Sulit bekerja sama dalam team 10.
Menekankan pada sesuat yang Salah Banyak orang tua yang sering bicara /
berkomentar ketika anak2nya tidak akur, suka bertengkar, malas, nakal, ulangan
jelek, dsb. Namun pada saat mereka bermain dengan akur, nilai bagus, rajin
belajar, kita seringkali menganggapnya tidak perlu memberi komentar.
[11]
Apabila sanksi
hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa
akan lebih semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman
saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan.
Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik
itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan
bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar
tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang
bolong, banyak yang menyepelekan.
[12]
Beberapa
definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya: Pertama,
hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja
sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi
sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak
mengulanginya. (Amin Danien Indrakusuma,1973:14. Kedua ,menghukum adalah
memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang
menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya
untuk menuju kearah perbaikan, ,Suwarno, 1981:115.
[13]Al Qawa’id al-Fiqhiyyah Syaikh ‘Abdurrahman Ibn Nashir
As Sa’diy rahimahullah .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat berbenturan maka
diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid
(kerusakan) : bisa haram atau makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua
pilihan yang jelek, maka diambil yang paling ringan kerusakannya. Apabila salah
satunya haram dan yang lainnya makruh, maka dikerjakan yang makruh. Maka
memakan sesuatu yang masih diragukan keharamannya lebih didahulukan daripada memakan
sesuatu yang pasti haramnya. Apabila keduanya haram atau keduanya makruh, maka
yang dikerjakan adalah yang paling ringan keharamannya atau kemakruhannya.
Kondisi di atas semuanya hanya dalam kondisi darurat !!
[14]English to English,dictionarynoun:1.
state of uncertainty or perplexity especially as requiring a choice between
equally unfavorable options 2.
An argument which presents an antagonist with two or more alternatives, but is
equally conclusive against him, whichever alternative he chooses.
[16]
Kritik terhadap UU No.23 Th 2002, secara umum, bagaimanapun baik suatu peraturan perundang-undangan, namun kalau
substansinya tidak dapat diterapkan, maka undang-undang itu merupakan
huruf-huruf mati. Oleh karena itu, hendaknya kalau membuat peraturan hendaknya
memperhatikan 4 (empat) hal penting yaitu: (1) Undang-undang yang dibuat harus
jauh berlaku ke depan (predictability), (tidak mudah merubah karena
alasan-alasan tertentu); (2) Dapat diimplementasikan (applicable); (3)
Mengandung netralitas/keadilan (fairners); dan (4) tercermin di dalamnya
kepastian hukum (certainty). Kemudian
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan adat yang positif yang
hidup dalam masyarakat.
[20] Ada beberapa pertanda yang menunjukkan bila
hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga
anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh: 1.Seorang anak yang
mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat dipengaruhi oleh kegagalannya
sendiri pasti membutuhkan penghargaan. 2.Seorang anak yang takut mencoba
hal-hal yang baru, takut menerima tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang
melelahkan mungkin akan lebih bersemangat bila diberikan penghargaan. 3.Seorang
anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian perlu diberikan
penghargaan jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa bantuan orang
lain. 4.Seorang anak yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan
saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu
diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil. 5.Seorang anak yang
sering meperlihatkan citra diri yang negatif atau perasaan takut yang
berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti “Saya tidak dapat melakukannya,”
dan “Saya selalu gagal,” “Saya tidak akan mampu melakukannya lagi,” adalah anak
yang mungkin membutuhkan penghargaan. Clemes 2001:47
[21] Dalam peraturan otoritarian, peraturan
dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang berada dalam lingkungn disiplin
sekolah ini diminta mematuhi dan menaati peraturan yang telah disusun dan
berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan mematuhi peraturan yang
berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat. Sebaliknya, bila berhasil
memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan atau hal itu sudah dianggap
sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat penghargaan lagi. Disiplin
sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasrkan
dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Peraturan Permisif.
Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya.
Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai
dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat seseuatu, dan
ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi
sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan dn
kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena
yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif
serta liar tanpa kendali.
[23] Tindak Kekerasan Guru terhadap
Siswa.Akhir-akhir ini tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di
media massa. Sebuah rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang
terjadi di salah satu SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak
kekerasan guru terhadap siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika
masing-masing pihak dapat mengendalikan diri. Video
ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa sepengetahuan guru yang
bersangkutan.
[24]
Kritik penulis, sejalan dengan kritik Ion Fuller ada 8 (delapan) asas yang harus diper-hatikan dan
menjadi pedoman dalam membentuk sistem hukum, yaitu: a. Harus mengandung per-aturan;
b. Peraturan yang telah diatur harus diumumkan; c. Peraturan tidak boleh ada
yang berlaku surut; d. Peraturan harus dirumuskan sebagai susunan kalimat yang
mudah dimengerti; e. Suatu susu-nan tidak boleh mengandung peraturan yang
bertentangan satu sama lainnya; f. Peraturan tidak boleh mengandung norma yang
tidak dapat diterapkan; g. Tidak boleh terlalu cepat merubah peraturan, karena
akan berakibat subjek hukum kehilangan orientasinya; h. Harus ada kecocokan
peraturan yang diundangkan dengan peraturan pelaksanaanya.
[25] Hidayati, 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah.
Jakarta: Departemen Agama. 24. Lihat juga Undang-undang Perlindungan Anak No.
23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah
dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak.
[26] Kelemahan dalam berbagai substansi
peraturan perundang-undangan yang normanya kurang jelas sehingga sulit untuk
diimplementasikan, over-lapping substansi antara satu undang-undang
dengan undang-undangan lainnya, saling rebutan kewenangan antara satu lembaga
dengan lembaga lainnya. Pada hal semuanya phenomena tersebut tidak
selayaknya/perlu terjadi, karena sesama pejabat publik atau civil servant tidak
perlu rebutan kewenangan, karena tujuan keberadaan civil servant adalah
melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat demi tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan oleh negara.
[27]Lihat Office of the High Commisioner for Human Rights,
Convention on the Eliminationof all
Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR, 1979),1-12. Hasil
konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum PBB No.
34 /180 tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak 3 September 1981.
Hasil konvensi ini memuat 30 pasal yang sebagian besar berisikan perlindungan
bagi hak-hak kaum perempuan.
[28]Lihat Office of The High Commissioner for Human
Rights. Declaration on the Elimination
or All Form of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief,
(Geneva: OHCHR)
[31] Kekerasan
dalam pendidikan telah diharamkan dan dianggap pelanggaran HAM. Jaman dahulu
jika seorang guru memukul murid dengan tangan atau tongkat rotan dianggap hal
yang wajar dan biasa. Apalagi jika ayah atau ibu memukul anaknya. Itu dianggap
bagian dari proses pendisiplinan, bahkan ungkapan cinta kasih dan rasa sayang
kepada murid atau anak. Namun jaman sudah berubah. Penghukuman fisik apalagi
menggunakan tongkat atau alat lain tidak lagi dianggap sesuatu yang lazim,
wajar, normal apalagi baik dan benar. Penghukuman fisik (bahkan kata-kata kasar
atau menghina) bahkan oleh orangtua sendiri telah dianggap kekerasan. Apa yang
jaman dahulu dianggap sangat baik pada jaman sekarang malah dianggap tidak
baik. Orang tua dan guru harus, menerima perubahan konsepsi dan sikap
pendidikan itu dengan syukur dan sukacita. Perubahan itu kita anggap membuat
kita semakin manusiawi dan dekat dengan status kita sebagai manusia terhormat
dan mulia yang diciptakan Allah menurut citraNya. Pada masa kini tanpa
menggunakan tongkat, sapu lidi, ikat pinggang, atau gagang kayu kita tetap bisa
mengasihi anak-anak kita dan murid-murid yang dipercayakan kepada kita. Kita
bisa mendidik tanpa harus menghajar, memukul atau melibas. Ada banyak sekali
cara tanpa kekerasan untuk mendorong seorang anak pintar, berdisiplin dan
menghargai norma. Itu artinya sebagai orangtua, guru, atasan, kakak atau abang,
kita pun harus belajar banyak lagi.Lihat Bunadi Hidayat, op.cit.,109.
[32]
Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan,
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan: 1. pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
"fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab". 2. pasal 4 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demikratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas) 3. Tentang kekerasan
fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman,
kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).(2) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya.
[33]Corporate
punishment terbagi atas tiga buah tipe utama: - Parental Corporate
punishment, merupakan kekerasan dalam lingkup keluarga - School
Corporate punishment, misalnya perilaku kekerasan dari guru terhadap murid
di sekolah - Judicial Corporate punishment, misalnya pemukulan atau
pencambukan baik orang muda maupun dewasa dalam koridor hokum. Sekretaris
Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Arist Merdeka Sirait memyatakan
kekerasan di dunia pendidikan cukup banyak terjadi. Dari 1926 kasus yang
dilaporkan sepanjang 2008, 28 persennya terjadi di lingkungan sekolah, sisanya
terjadi di lingkungan keluarga, sosial, dan pekerjaan.
[34]Sudah
seharusnya guru mempunyai payung hukum yang sama. Undang-Undang Perlindungan
Guru yang kemudian melahirkan Komisi Perlindungan Guru adalah wajib untuk
segera direalisasikan. Selama ini situasi dunia pendidikan yang menyangkut
payung hukum perlindungan guru masih belum kondusif. Karena banyak guru yang
akhirnya berurusan dengan penegak hukum karena ketidaktahuan mereka. ”Mereka
banyak yang belum terlindungi oleh hukum dan kadang karena kepolosan atau
minimnya pengetahuan, justru menghadapkan mereka pada hukum itu sendiri,”
(Kutipan dari Ahmad Zaenal Afani dari www.kapanlagi.com). Banyak guru yang
terseret ke meja hijau, karena kasus-kasus yang terjadi di sekolah padahal
boleh jadi perbuatan guru adalah murni untuk memberikan penyadaran dan efek jera
kepada siswa. Ada beberepa alasan mengapa guru harus segera mempunyai
Undang-Undang Perlindungan Guru dan kemudian melahirkan Komnas Perlindungan
Guru: 1. Untuk memberikan payung hukum kepada Guru 2. Untuk memberikanadvokasi kepada guru, yang
notabene tidak mengetahui permasalahan hukum. 3. Memberikan kenyamanan dalam
melaksanakan tugasnya. 4. Menjadi penyeimbang terhadap UU perlindungan anak dan
Komnas perlindungan anak, dan yang tidak kalah penting adalah 5. Memberikan
perlindungan dan dukungan terhadap guru.
[37] Penelitian
yang dilakukan oleh Shaw dan McKay (1969) selama tiga puluh tahun di Chicago
berkenaan dengan delikuensi yang menyimpulkan bahwa di daerah pemukiman
golongan masyarakat kelas bawah, dimana kemapanan dan keseragaman nilai sosial
masyarakat stabil, delikuensi cenderung dinilai sebagai alternatif yang
disetujui oleh para pelakunya sebagai alternatif perilaku walaupun merupakan
pelanggaran hukum. Dan pada kenyataannya rata-rata anggota geng motor yang
dianggap meresahkan ini adalah orang-orang yang tidak cukup memiliki kemapanan
sosial, baik dalam ekonomi, intelektual, maupun strata sosial lainnya. Aksi
geng motor saat ini tidak lebih dari sikap kegamangan, frustasi atau
keputusasaan atas kondisi sosial yang mereka hadapi (Agustin Satyawati,
2007).Alternatif SolusiMenurut Hirchi (dalam Junger, 1990), ada motto yang
berkembang di kalangan anak delikuen yaitu bahwa, “Kami akan melakukannya jika
kami bisa melakukannya”, sehingga dalam keadaan demikian, Cohen dan Felson
(dalam Junger, 1990) mengemukakan dalam opportunity theory bahwa, “Jika anda
memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan pelanggaran sebagian besar
dari mereka pasti akan melakukannya”. Remaja memang belum mempunyai
identifikasi diri yang kuat dengan masyarakatnya dan hanya memiliki sedikit
rasa tanggung jawab.
Maka
disini perlu satu proses pendampingan atau keterikatan (attachment) remaja oleh
seseorang yang sangat berarti baginya seperti orang tua, teman, keluarga
ataupun guru. Keterikatan emosional ini meliputi tiga sub konsep, yaitu : kasih
sayang antara remaja dengan orang-orang yang memiliki ikatan emosional
dengannya, komunikasi diantara mereka dan pengawasan. Sehingga Rutter dan
Giller (dalam Junger, 1990) melihat ketiga konsep tersebut sebagai
faktor-faktor yang penting peranannya dalam melindungi remaja mengekspresikan
perilaku delikuennya.Konsep pedampingan ini tentunya perlu disosialisasikan dan
diimplementasikan secara intensif oleh pemerintah dan dibantu oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM) atau pun organisasi-organisasi sosial lainnya dalam
rangka tindakan preventif ataupun pengentasan delikuensi yang diarahkan kepada
masyarakat strata bawah dan secara khusus kepada anggota keluarga geng motor
sebagai ikatan sosial terdekatnya.
[38] Delinkuensi dan Strata Sosial. Dalam konteks
delinkuensi, Cohen (1955)memaparkan hasil penelitiannya yang memperlihatkan
anak-anak kelas pekerja yang mengalami anomi di sekolah yang mayoritas dari
berisi siswa dari strata kelas menengah, sehingga mereka membentuk sub-budaya
yang anti nilai-nilai menengah yang berisikan norma-norma yang negatif dalam
pandangan masyarakat. Remaja dari kelas bawah tersebut cenderung tidak memiliki
materi dan keuntungan simbolis sehingga selama mereka berlomba dengan remaja
kelas menengah mereka banyak mengalami kekecewaan dan kemudian membentuk
‘geng’.
[39]
Pada tahun 2003, diungkapkan pentingnya perangkat hukum yang mengatur
perlindungan guru, pasalnya posisi guru sulit untuk menjadi independen akibat
tekanan dari berbagai pihak. Dalam memberikan nilai kepada siswa, guru sering
kali mendapatkan intimidasi dari orang tua jika siswa diberi nilai omak3 oma
somak3 om
Izinkan Saya Mbah Agus Darma Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Agus Darma memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei,Dll maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Agus Darma Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 500.000 Paket 3D Sebesar Rp. 700.000 Paket 4D Sebesar Rp. 1.000.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0823-8738-4409 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0823-8738-4409
ReplyDelete