BAGIAN PERTAMA
BIDADARI DI TEPIAN SUNGAI KAMPAR .2.
Cahyani al-Kampari, kemarilah sebentar.
Ada apa Bang, wajahnya senyum, agak malu.
“Kamu sudah lama mengenal diriku, aku juga sudah lama mengenal dirimu.
Sekarang pertanyaanku, “Sudikah engkau menjadi pendamping dalam hidupku?”
Cahyani : Aku pikirkanlah dahulu.
Aku : Tidak ada lagi waktu
untuk berfikir. Kalau kalum ya, katakan
iya, kalau tidak, katakan tidak.
Kok dodak, kotokan dodak,
Jan deyen, tatompi-tompi,
Kok indak, kotokan indak,
Ijan deyen, tananti-nanti.
Kalau tidak, tiada mengapa, hanya mungkin aku tidak akan kemari lagi.
Biarlah aku pergi membawa luka hati.
Cahyani : Ya, aku sudi menerima
cintaku, aku bersedia menjadi pendamping dalam hidupku.
Mendengar jawaban itu, hatiku berbunga-bunga. Serasa seluruh dunia ini,
akulah yang punya, sedangkan yang hanya mengontrak di duniaku. Yang bahagia
hanya aku.
Waktu itu belum ada listrik masuk Desa.
Belum ada toilet di rumah penduduk., tahun 1970-an.
Semua aktivitas cuci mencuci, dilakukan di tepain sungai Kampar.
Waktu itulah aku menemukan kerikil kecil yang sangat indah, berkilau bak
mutiara.
Akupun jatuh cinta pada kerikil itu.
Akupun membuat cerita tentang kerikil yang merindu
Cahyani al-Kampari, nama bidadari di tepian itu.
Aku ingat kau sebuah melalui sebuah cerita
tentang
kerikil yang hempas
oleh derap
langkah kaki yang tegas
pada
bata-bata yang tersusun regas
tahukah
kau, kerikil itu
ialah aku
dari kikis batu
di alir
sungai yang menggerutu
tahukah kau, kerikil itu
merindu
pantai berpasir ungu
yang di
bibirnya, rebah sebatang kayu
tahukah
kau,
apa yang
kerikil rindu?
suara
burung camar putih yang berkisah
tentang
pelukis kuning, hijau dan merah
setelah
langit resah oleh basah
juga
semilir angin yang berdesir
tentang
sepasang penyair
menulis
cinta pada hamparan pasir
membisik
rasa pada gemericik air
tapi bukan
itu,
yang
kerikil paling rindu
kau ingin
tahu?
“bersisian
denganmu adalah candu”
ujar
kerikil kepada kayu
ingatkah
kau cerita itu,
batang
kayu-ku?
BAHAGIAN KEDUA
ARJUNA DAN BIDADARI SAMA-SAMA TERPESONA
Cahyani al-Kampari, sang bidadari.
Engkau sungguh mempesona. Tentulah aku dapat saingan dari banyak pemuda,
terutama Jecky, teman karibku.
Diriku menggigil memandang remang di tepian mandi.
Yang dulu, tiap hari kau kunjungi.
Dia tahu, aku pemuda asing yang
datang ke tempat itu.
Karena itu wajahnya ganjil, dalam
tatapan mataku.
Dan sikapku, perjuangan dan
kemandirianku, mengagumkan pula, dalam pandangan mataanya.
Pokoknya aku dan dia, sama-sama
terpesona.
Di mana
kemutlakan masygul di hadapan kesangsian
terhadap bidadariku.
Ruhku memperoleh nilainya dalam keriuhan
manusia yang istirahat di balai-balai,
pinggir sungai itu.
Marilah bersama
kita mengembalikan keriuhan ini. Keriuhan
yang dahulu, ketika buah jeruk dan durian melimpah ruah.
Kepada cahaya
kemurnian atau kecemerlangan matahari
Lalu catatlah
olehmu segala yang berlangsung di dunia
Kemudian lekas
kembali ke arah perjalanan semula
Kenapa mesti
merusak keseimbangan hari dengan kata-kata
Sedang di luar
terik mereda keteduhan menjelma
Mungkin akan
lebih baik bila kita berhenti bicara
Membiarkan
dunia berlangsung sebagaimana adanya
Sambil menunggu
pembunuhan dalam diri kita sempurna
Sebab manusia
memuat maut dalam tubuhnya
Sebuah Ruang Rumah Ditinggal Pemiliknya Dikunci Keheningan
Pada pepohonan
merunduk
terhimpun kisah
tentang angin
hujan panas dan
unggas
patah sayap di
sisi hari
Awan mendadak
tersibak
matahari
Kalau ada yang
berharga dari kehidupan
Maka itu adalah
dedaunan
Menjulur setia
pada cahaya
Menyerahkan
diri tanpa kata-kata
Sebab musim tak
bisa berbuat lain
Selagi udara
menggenang cuaca mengambang
Mengembalikan
pepohonan kepada tidur
Pada mata
kampak dan maut segenap penjuru
Maka seluruh
pepohonan bergetar
Melabuhkan
butir demi butir airmata
Kisah-kisah
yang menebalkan duka
Sebelum jarak
menyimpan rahasia kematian
Di sebuah ruang
bernama keheningan
Di Bawah Langit Bukit Ranah Singkuang
Tempatku mencari kayu api, buat
anenek Maimun.
Di hutan itu, dulunya burung kuaran akan selalu ada
Burung-burung
terlambat, pulang dalam senja.
Hidup yang
berat, adakah hidup manusia.
Dalam jumlah rausan ribu, ditangkap
pemburu yang cerdik.
Cukup seekor burung pemikat,
suaranya langsung menjerat.
Di bawah langit
beku
Sungai
mengalir, dari hulu ke hilir.
Seakan desir
angin, ricik air
Begitu-begitu
saja, selamanya.
Malam, mengguris alam.
Bulan tergantung. Pepohonan mematung.
Menunggu hari. Abadi.
Sampai semuanya
habis
Hutan tak
sempat menangis
Burung-burung
tak terbang lagi
Hidup kepalang
mati
Bulan hancur
mencair
Sungai berhenti
mengalir
Desir angin dan
pusaran cahaya
Membeku alam
benda
Tuhan
Siapa manusia?
Menulis sajak
Membuka cakrawala
Membaca sejarah
Mataku penat
sepanjang jalan
- sesuatu
tenggelam dalam kelam -
Pada latar
kelabu
kabut turun
Kurenungi kabut
dengan kebimbangan yang aneh
Langit redup
semata
Begitu pun
dunia
Dan pada
catatan yang dengan terbata kubaca:
“Kenyataan
bukan impian
Hidup hanya
bosan”
- di
tembok-tembok dunia yang mengisyaratkan kepedihan
kulihat
sajak-sajak ditulis
cakrawala
terbentang
dan sejarah
berulang -
Dari mata sunyi
seorang lelaki
Terbaca sebuah
dunia yang karam dalam kepedihan
Tepekur di
keteduhan pesisir hutan bakau
Di mana
burung-burung sudah tak lagi berkicau
Seberapa
beratkah beban hatimu, lelaki sunyi?
Deru
kehidupankah yang memadamkan cahaya matamu
Atau gelombang
impiankah menghempaskanmu?
Di sampan kecil
lelaki sunyi hidup sendiri
Dengan mata
hampa memandang ombak di malam hari
Menyusur arus
melawan arus dan diam di arus
O, lelaki tua
bermata sunyi
Dukamu yang
tertambat di sungai adalah duka dunia
Membuka mata
siapa saja atas kesementaraan segala
Sungai apakah
yang membilas tubuhmu sepanjang usia?
Sungai hibuk di
tengah kota kita sungai tua bernama
sungai Kampar, di sumatera tengah. Riau daratan.
Klotok dan speed-boat
menabuh serbuk udara dengan suara abad
Mendesak jukung dan lanting-lanting tertambat
Masihkah
tertambat cintamu pada gelombangnya
yang menepikah
cita-cita masa lalu kita?
Adakah masih
kuning kulit perawan pesisir
menawarkan
angan dan menggelorakan nafsumu?
Sungai Kampar sungai keruh di muaranya saja, membelah pinggiran pulau sumatera. tercinta
Limbah pabrik
dan coklat airnya masihkan menyisakan harapan?
Masihkah kau
mengenang perahu-perahu kecil
yang telah
bertolak ke bandar-bandar pengasingan
dan diburu
gemuruh ombak Bono ke teluk-teluk keabadian?
Di seberang
bayang keabadian
Musim menipis
Udara mengering
Ombak Bono, menderu
Menyingkirkan
perahu-perahu
Di keluasan
laut yang kita jelang
Tersimpan
rahasia buih dan karang
Misteri
kehidupan mengambang
Ombak memukul
Kilau terpantul
Semua sederhana
saja sebenarnya
Perahu-perahu
berlayar
Laut berdebur
Angin dingin
Tapi senantiasa
ada yang tak terpahami
Pada desah
sunyi abadi
Di redup cahaya
bulan mati
Di balik kaki
langit jauh
Burung-burung
bakal berlabuh
Tempat di mana
kehidupan dan airmata
Tiada
Sebelum
burung-burung pulang
Sebelum langit
menghilang
Pepohonan tegak
Bumi basah
Angin menerbangkan dedaunan
Seakan tak
berubah senantiasa
Kebahagiaan dan
bencana
Tapi
burung-burung akan menangis
Awan akan
menipis
musim menghembuskan kesedihan
di sepanjang pepohonan
Burung-burung
pergi
pulang sendiri-sendiri
Terhapus jejak
tersisa
untuk selamanya
Di ketinggian antena itu bulan pecah
pohon-pohon berdarah
Manusia membusuk oleh cuaca buruk
yang meninggalkan jejak
di tanah. Seperti dalam
dongeng-dongeng cahaya berhamburan
Langit terbakar menyeret kekeruhan
dunia di matamu
Daun-daun angsana lelah mendengar
jerit karang dan batu
Dan sejarah berulang dengan
perbedaan pada jarak pandang
Pohon-pohon ditanam lagi sepanjang
tepian jalan raya
Menyejukkan anak-anak dari terik
matahari dunia
Tapi siapa menyanyikan perih bumi
dan kemurnian yang tiada
Ketika desa dan kota-kota bersaing
menawarkan harga?
Dan dari menara-menara
Dan dari rumah-rumah peribadatan
yang percuma
Suaramu berlumuran doa atas
kemanusiaan yang jauh
Atas cahaya kebenaran yang menyusut
dalam tubuh
Tapi waktu: menanam pepohonan bisu
di kedalaman mataku
Di kediaman hatikah pesonamu yang
paling jelita, Tuhanku?
BAB II
Janji
enm bulan, tapi tiga bulan aku sudah datang.
Karena desakan rindu yang tiada
tertahan.
Lagi pula cicin tanda pengikat,
sudah dapat kubeli.
Beberapa potong pakaian belum jadi
kusiapkan pula.
Tapi di jalan, mejelang ke pasar
kamis, orang mengatakan
“Baru tadi maalam, Cahyani
al=Kampari, menerima, lamaran orang lain.
“Ah mustahil rasanya.”. Kalau itu
benar, berati aku harus gigit jari, dan bersiap-siap untuk mati.”.
Yang menyampaikan berita padaku, seorang
pedagang asongan.
Dia paling aku percaya, aku lama
bersamanya, lima tahun sebelumnya.
Merekalah
yang hidup dari jalanan
Adalah
kami pedagang asongan
Yang hidup
dari ladang
Adalah
kami petani upahan
Kami yang
tak nyenyak tidur
Adalah
kami yang rumahnya digusur
Yang
nasibnya tak mujur
Adalah
kami para penganggur
Yang punya
mulut tapi tak bisa bicara
Adalah
kami mahasiswa Indonesia
Yang punya
hak tapi tak bisa menuntut apa-apa
Adalah
kami rakyat jelata
Kami semua
Berbangsa
satu
Bangsa
Indonesia
Tapi di
mana tempat kami
Kalau kami
digusur dari jalanan
Dianggap
merusak pemandangan
Dan
disidangkan
Tapi di
mana tanah kami
Kalau kami
tak lagi menggarap ladang sendiri
Mengolah
sawah yang bukan milik kami
Membajak
bumi tak lagi dengan cinta
Sebab
ladang bukan kami punya
Tapi di
mana kami tidur
Kalau
rumah kami digusur
Demi
tegaknya gedung-gedung konglomerat
Real
estate dan lapangan golf
Villa dan
toserba
Tapi
sebagai mahasiswa
Bagaimana
kami bicara
Kalau
senjata terkokang
Di
mana-mana
Tapi
bagaimana para penganggur makan
Bila tak
punya pekerjaan
Di mana
kami mencari keadilan
Bila
keadilan diperdagangkan
Sebagai
rakyat jelata
Di mana
tempat kami sebenarnya
Kami cinta
Indonesia
Butir-butir
pasir pantai pesisir
Riak danau
ombak sungai gelombang samudera
Gunung
menjulang dan gumpalan mega
Embusan
angin hangat cuaca tropika
Hikayat
raja-raja
Senang
susah kami bersamanya
Bahagia
sengsara kami bersamanya
Kami semua
berbangsa satu
Bangsa
Indonesia
Tapi
airmata kami mengucur
Sepanjang
desa dan kota
Di mana
tempat kami sebenarnya
O, tanah
air tercinta!
No comments:
Post a Comment