Wednesday, April 10, 2013

KISAH PRIA DIJAJAH WANITA ( DUNIA DEKAT KIAMAT)


SUDAH DEKAT

HARI KIAMAT
Drs.M.Rakib Janib Jamari,S.H.,M.Ag




KISAH LAKI-LAKI DIJAJAH WANITA
Soal:

1. Isteri telah mengaku telah melakukan zina dan meminta ampun kepada suaminya kerana telah melakukan zina di luar pengetahuan suaminya. Apakah yang patut dibuat isterinya itu?


2. Adakah dihukumkan dayus suami memaafkan kesalahan isterinya itu jika tidak diceraikan?

3. Jika dihukum dayus apakah fatwa supaya suami itu dapat bersama-sama semula?

Jawaban:

1. Dimaafkan dan ditutup hal ini.

2. Jika rela suaminya perbuatan haram isterinya adalah dayus, tetapi sedia maklum suami itu tidak redha dengan perbuatan haram isterinya adalah dayus, tetapi sedia maklum suami itu tidak rela dengan perbuatan haram isterinya hanya sekadar ia memaafkan, wajib bagi perempuan itu bertobat kepada Allah dengan tobat Nasuha dan merahsiakan perbuatannya itu jangan menceritakan kepada orang-orang maka suaminya pada ketika itu tidak dayus.

3. Tidak ada apa-apa seperti yang disebutkan dalam perenggan 2 di atas.
Isteri Berzina, Haruskah Dipertahankan?


KISAH PRIA DIJAJAH WANITA

        Kemaren temen-temen di pabrik mbahas soal ini sambil ketawa-tawa ndak jelas. Yang membuat ketawa ndak berhenti-berhenti adalah karena mereka membahas ini secara terbalik. Betul sodara-sodara, yang dibahas adalah para pria yang dijajah wanita.
Misalnya ada salah seorang yang bilang, “kemaren si Suto itu ditelepon istrinya gara-gara jam 7 blom sampe rumah, pas diomel-omelin gitu hapenya mati karena baterenya ngedrop, mampuslah dia. Hahaha. Mosok jadi suami dipantau terus.”
Ada yang lain lagi bilang, “kasian bener si Noyo, udah di pabrik mandornya galak, di rumah istrinya lebih galak lagi, kerjaan macem ngepel sama nyuci piring dia yang ngerjain. Waktu main keluar pun masih harus bawa anaknya. Lama-lama bisa depresi tuh!”
Yang ini lain lagi, “kemaren aku di mal ketemu Dadap, jalan-jalan sambil nggendong anaknya make gendongan yang di depan itu, istrinya lagi sibuk nyari-nyari sepatu sama tas. Aku bilang sama istriku, aku ndak akan pernah mau seperti itu!”
“Wanita dijajah pria sejak dulu, sudah ada lagunya itu, jangan sampe syairnya dibalik.” Timpal teman yang lain.
Saya agak bingung, sebenarnya bagaimana kehidupan rumah tangga yang diimpikan oleh laki-laki?
Apakah istri yang harus tunduk patuh sama suami, surga nunut neraka katut, nurut saja apapun keinginan suami? Suami kerja nyari duit, berapa duit yang didapet, apapun aktifitas suami di luar, istri ndak boleh tau, yang penting duit belanja cukup, kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Di rumah istri harus melayani suami sepenuhnya, kopi dibikinin, makan minum diambilin, pendek kata setelah masuk rumah suami adalah raja sedangkan istri adalah pelayan.
Apakah seperti itu?
Kata orang jawa istri adalah garwa, singkatan dari sigaraning nyawa, belahan jiwa. Pantaskah sampeyan membuat perbedaan kasta dengan belahan jiwa?
Kadang saya diledek di kantor karena selalu bawa duit ngepas dan ndak bawa atm. Ada yang bilang hidup saya teraniaya. Benarkah? Yo ndak tho, wong saya bawa duit ngepas dam ndak bawa atm karena keinginan saya sendiri biar segala macem pengeluaran lebih terkontrol karena lewat satu pintu.
Yang namanya belahan jiwa harusnya setara. Kenapa kerjaan rumah tangga saja harus diplot ini bagian suami ini bagian istri? Bukankah lebih enak kalo disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi.
Jatuhkah harga diri sampeyan sebagai laki-laki kalo misalnya karena suatu keadaan harus bikin kopi sendiri, nyuci sendiri, masak sendiri? Apakah sampeyan merasa kejantanan sampeyan berkurang kalo harus jalan-jalan di mal sambil momong anak?
Suami kadang butuh waktu laki-laki, saat-saat nongkrong bareng temen pabrik, ngopi, ndobos ndak jelas. Biarkan saja selama tidak lupa statusnya sebagai suami dan ayah. Istri juga kadang butuh waktu ke salon, spa, hang out sama temen-temennya. Biarkan juga selama tidak melupakan kodratnya.
Bukankah suami itu pemimpin? Benar sodara-sodara, suami adalah pemimpin, dalam kondisi tertentu yang memerlukan keputusan segera seorang suami harus bisa menentukan arah, dan seluruh keluarga wajib mengikutinya. Ingat sodara-sodara, hanya dalam kondisi tertentu seorang suami boleh menggunakan hak prerogatifnya.
Saya pikir suami yang berusaha meraih wibawa dan meninggikan derajadnya dengan jalan merendahkan derajad istri adalah tipe suami masa lalu yang akan semakin berkurang terkikis oleh jaman.
Selamat hari jumat sodara-sodara, maukah sampeyan membuatkan wedang untuk istri sampeyan sore nanti?


Pertanyaan :

Jika seorang suami yang melakukan li’an maka status pernikahannya boleh dinyatakan batal. Lalu bagaimana dengan status isteri yang mengaku telah berzina, apakah dengan sendirinya pernikahannya juga batal?



Jawaban:

Mengenai status pernikahan pasangan suami isteri yang melakukan li’an, yaitu ketika suami menuduh isterinya berzina dengan lelaki lain, sementara tidak ada saksi lain, selain dirinya, maka dia harus menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim. Lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat. Setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat diri saya, jika saya berdusta.” Seketika jatuhlah li’an tersebut.


1. Konsekuensi dari li’an ini, bagi pihak suami, dia tidak akan terkena had qadzaf (sanksi tuduhan berzina), yaitu disebat 80 kali, karena tidak dapat menghadirkan 4 saksi. Pada saat yang sama, pernikahannya pun dinyatakan batal (fasakh) untuk selama-lamanya sehingga dia tidak akan pernah boleh rujuk kembali kepada isterinya. Sementara itu, bagi pihak isteri, jika dia tidak mahu melakukan proses yang sama, sebagaimana yang telah dilakukan suaminya, yaitu menyatakan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali di hadapan hakim, lalu hakim mengingatkannya untuk bertakwa kepada-Nya dan mengingatkan bahwa sanksi dunia lebih ringan dibandingkan dengan adzab-Nya di akhirat, setelah itu baru menyatakan, “Semoga Allah melaknat dirinya, jika dia berdusta,” sehingga li’an tersebut jatuh.

        Jika isteri tersebut tidak mau melakukan proses di atas, dia dianggap telah melakukan zina, dan berhak dikenai sanksi zina muhshan, yaitu direjam hingga mati. Sebaliknya, jika pihak isteri tersebut melakukan proses yang sama, maka dia boleh terbebas dari had zina. Setelah itu, status pernikahan mereka dinyatakan batal, dan harus dipisahkan oleh hakim dengan status fasakh, dengan konsekuensi tidak boleh kembali selama-lamanya. Inilah status pernikahan suami-isteri yang melakukan li’an.

2. Lalu bagaimana jika mereka tidak melakukan li’an, tetapi isterinya mengaku sendiri bahwa dia telah berzina, apakah pernikahan mereka juga batal? Keadaan ini berbeda dengan keadaan yang pertama. Dalam konteks ini, ada dua pendapat. Pertama: pendapat Mujahid, ‘Atha’, an-Nakha’i, at-Tsauri, asy-Syafi’i, Ishaq dan para fuqaha’ Ahlu ar-Ra’yi dan kebanyak Ahli Ilmu, bahwa kalau isteri berzina, atau suaminya berzina, maka nikahnya tidak otomatis menjadi batal, baik sebelum maupun setelah mereka berhubungan badan.


3. Kedua: pendapat Jabir bin Abdillah bahwa kalau isteri tersebut telah berzina, maka suami-isteri ini harus dipisahkan, dan si isteri tidak berhak mendapatkan apapun. Juga pendapat dari al-Hasan dan Ali bin Abi Thalib, bahwa suami-isteri tersebut harus dipisahkan jika suaminya berzina sebelum berhubungan dengannya. Mereka beragumen, bahwa kalau suami tersebut menuduh isterinya berzina, dan me-li’an-nya saja, maka statusnya menjadi tertalak bai’n dari suaminya, karena status zina yang dinyatakan kepada isterinya, dengan begitu zina tersebut jelas boleh menyebabkan isterinya tertalak ba’in.


4. Namun, argumentasi ini disanggah oleh Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali, bahwa tuduhan zina kepada isteri tersebut tidak secara otomatis membuatnya tertalak ba’in. Andai dengan tuduhan zina tersebut pernikahannya secara otomatis batal, maka pernikahan tersebut juga secara otomatis batal, semata-mata karena adanya klaim, seperti saudara sepersusuan. Di samping itu, zina ini merupakan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam. Sebab, kalau salah satu dari suami-isteri tersebut murtad, maka pernikahan mereka otomatis batal. Demikian juga berbeda dengan li’an, karena li’an menyebabkan batalnya pernikahan dengan status fasakh, meski tidak benar-benar berzina. Buktinya, jika isteri tersebut juga melakukan proses li’an, maka proses tersebut boleh diterima, dan dia tidak ditetapkan berbuat zina. Nabi saw. juga tetap mewajibkan dijatuhkannya had qadzaf kepada orang yang menuduh perempuan tersebut berzina, termasuk suaminya, jika tidak bersedia melakukan proses li’an, sementara status fasakh-nya tetap jatuh.


5. Meski demikian, menurut Ibn Qudamah, Imam Ahmad lebih suka agar suami menceraikan isterinya, jika isterinya telah berzina. Saya tidak berpendapat, bahwa dia harus mempertahankan kondisi seperti ini. Sebab, ranjangnya tidak boleh dijamin dari kotoran, sementara getahnya akan ditimpakan kepadanya, sementara anak yang lahir dari isterinya itu bukan anaknya.


6. Dengan demikian, meski Imam Ahmad berpendapat, bahwa status suami-isteri tersebut tidak secara otomatis akan tertalak atau ter-fasakh, sebagaimana dalam kes li’an, tetapi jika isteri telah mengaku berzina dengan lelaki lain, maka sebaiknya suaminya menceraikannya agar dia terhindar dari penisbatan anak yang notabene bukan anaknya. Ibn Mundzir berkomentar, “Barangkali orang yang tidak menyukai wanita seperti ini—maksudnya yang telah berzina—tak lebih dari makruh, tidak sampai haram, sebagaimana pendapat Imam Ahmad ini.”


7. Memang ada hadis yang menjelaskan:[/SIZE][/B]


Tidak  Mukmin yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir  menumpahkan air (mani)-nya kepada tanaman (buah hasil hubungan) orang lain (
HR Ibn Qudamah dalam Al-Mughni).


        Menyetubuhi isteri yang hamil dari hasil hubungan dengan lelaki lain. Namun, hadis ini tidak boleh dijadikan dalil, bahwa status pernikahan suami-isteri tersebut secara otomatis menjadi batal, karena isterinya telah berzina. Sebab, hadis ini hanya menjelaskan ketidakhalalan menyetubuhi isteri dalam keadaan hamil dari hasil hubungan dengan lelaki lain. Dengan kata lain, hadis ini hanya memerintahkan istibra’ (pembersihan kandungan) sehingga status nasabnya tidak bercampur aduk antara suami wanita ini dengan lelaki lain. Karena itu, suami wanita ini boleh menceraikannya hingga bayi dari kandungan isterinya tersebut lahir, kalau dia hamil, atau kalau tidak hamil, boleh diceraikan hingga haid sekali atau tiga kali, kemudian boleh dirujuk kembali.


Namun, untuk rujuk kembali, para fukaha juga mensyaratkan, agar perempuan yang sebelumnya telah berzina ini bertobat terlebih dulu, baru boleh dinikahi kembali. Jika tidak, maka dia tidak layak dinikahi.
Wallahu a’lam.



No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook