KATA PENGANTAR
Tulisan
ini dibuat ketika LPMP Riau mendapatkan pemimpin baru. Ada beberapa pegawai
honorer, Satpam yang melawan kebijakan sang kepala. Pada bulan Maret 2013
penulis melihat banyak wartawan datang. Ada apa kiranya, ternyata maslah
tuntutan pegawai honorer yang tidak setuju out shorsing . Kemudian widyaiswara menjadi penengah antara yang menuntut
dan yang duntut.Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Riau adalah Unit Pelaksana
teknis Depdiknas yang dipimpin oleh seorang Kepala dan bertanggung jawab kepada
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)
LPMP Riau memiliki
fungsi :
- Pemetaan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat
- Pengembangan dan pengelolaan sistem informjasi mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat
- Supervisi satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat dalam pencapaian standar mutu pendidikan nasional
- Fasilitasi sumberdaya pendidikan terhadap satuan pendidikan dasar dan menengah termasuk TK, RA atau bentuk lain yang sederajat dalam penjaminan mutu pendidikan
- Pelaksanaan urusan administrasi LPMP
Tugas Dari LPMP Riau adalah sebagai berikut
:
Melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan
pendidikan menengah termasuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA) atau
bentuk lain yang sederajat di provinsi berdasarkan Kebijakan Mendiknas
Penulis peribadi sebagai widyaiswara, mencoba melihat sisi lain dari
mutu pendidikan, yang dikemas dalam sebuah pantun:
KALAU TUAN
MENCARI KUTU
JANGAN DISURUH, ORANG BUTA
KALAU
INGIN, PENDIDIKAN BERMUTU
TANAMKAN PRINSIP, BERWIRASWASTA
WALAUPUN LANCANGKUNING, BERLAYAR
MALAM
TALINYA TETAP, BERPILIN TIGA
WALAUPUN PENATARAN, BERMACAM-MACAM
MENGAJARNYA GURU, BEGITU0BEGITU
JUGA
BAGAIMANA MAKAN, PAKAI KEJU
ADA VIRUS,
DI DALAM ROTI
BAGAIMANA PENDIDIKAN, BISA
MAJU
KURIKULUMNYA TERUS,
BERGANTI-GANTI
JARUM
LAMA, DI ATAS PETI
JARUM
BARU, DI ATAS PEMATANG
KURIKULUM
LAMA, BELUM DIKUASAI,
KURUKULUM
BARU, SUDAH DATANG
PENDAHULUAN
Memang Setiap orang hakikatnya
merupakan pemimpin, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw: Kullukum ro’in wa
kullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan
dimintai pertanggung jawaban dari kepemimpinannya itu.Namun untuk menjadi
pemimpin yang baik diperlukan kiat-kiat tertentu, sehingga akhirnya dapat
menjadi pemimpin yang matang dan bijak dalam mengemban tugasnya.
Adapun kiat-kiat menjadi pemimpin yang bijak antara lain:
Adapun kiat-kiat menjadi pemimpin yang bijak antara lain:
Tidak Emosional Hal ini berarti orang yang temperamental, mudah marah, meledak-ledak, gampang tersinggung, sulit menjadi pemimpin bijak, jadi orang yang bijak adalah orang yang terampil mengendalikan diri. Berhati-hatilah jika kita termasuk orang yang mudah marah maka jika bertindak biasanya cenderung tergesa-gesa. Orang-orang yang emosional tersinggung sedikit oleh bawahannya akan sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena yang dicari adalah kemenangan pribadi bukan kebenaran itu sendiri.
Tidak Egois
Orang yang egois jelas tidak akan dapat menjadi pemimpin bijak, karena bijak itu pada dasarnya ingin kemaslahatan bersama, orang yang egois biasanya hanya menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Orang yang bijak adalah orang yang mau berkorban untuk orang lain bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri.
Suka, Cinta dan Rindu pada Nasihat Akan sangat bodoh jika kita masuk hutan tanpa bertanya kepada orang yang tahu mengenai hutan. Jika kita di beri nasihat seharusnya kita berterima kasih. Jika kita tersinggung karena di sebut bodoh maka seharusnya kita tersinggung jika disebut pintar karena itu tidak benar. Jika kita alergi terhadap kritik, saran, nasehat atau koreksi maka kita tidak akan bisa menjadi pemimpin yang bijak. Jika seorang pemimpin alergi terhadap saran atau nasehat, bahkan memusuhi orang atau bawahannya yang mengkritik, maka dia tidak akan pernah bisa menjadi pemimpin yang baik dan bijak.
Memiliki Kasih Sayang Terhadap Sesama
Rasa sayang yang ada diharapkan tetap berpijak pada rambu-rambu yang ada seperti ketegasan. Diriwayatkan bahwa orang yang dinasehati oleh Rasulullah secara bijak berbalik menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang yang bijak akan sayang terhadap sesama. Berbeda dengan orang-orang yang hidup penuh dengan kebencian, dimana kepuasan batinnya adalah menghancurkan orang lain. Pemimpin sebaiknya memiliki kasih sayang yang berlimpah tidak hanya pada waktu di tempat tugas saja. Tetapi kasih sayangnya juga tidak hanya untuk satu pihak atau kelompok melainkan merata untuk semua golongan.
Selalu Berupaya Membangun
Orang yang bijak tidak hanyut oleh masa lalu yang membuat lumpuh tetapi selalu menatap ke depan untuk memperbaiki segalanya. Pemimpin yang bijak akan membangkitkan semangat bawahannya yang lemah, menerangi sesuatu yang gelap. Jika melihat orang yang berdosa, maka ia akan bersemangat untuk mengajak orang tersebut untuk bertaubat. Pemimpin yang bijak ingin membuat orang maju dan sangat tidak menyukai kehancuran dan kelumpuhan kecuali bagi kebatilan. Semangat pemimpin yang bijak adalah semangat untuk maju tidak hanya untuk dirinya tetapi juga bagi bawahannya dan orang lain disekitarnya.
Jadi yang dibutuhkan seorang pemimpin bijak adalah pribadi yang tidak emosional, tidak egois, penuh kasih sayang, cinta akan nasihat dan memiliki semangat terus menerus untuk membangun dirinya, bawahannya atau yang dipimpinnya, ummat serta bangsa ini, dia tidak akan peduli walaupun dibalik kebangkitan yang ada dia mungkin akan tenggelam. Pemimpin yang bijak tidak peduli akan popularitas dan tidak peduli dengan adanya pujian manusia karena kuncinya adalah ketulusan hati, adalah tidak akan bisa bijak jika kita selalu mengharapkan sesuatu dari apa yang kita lakukan. Kita hanya akan menikmati sikap bijak jika kita bisa memberikan sesuatu dari rizki kita, bukannya mengharapkan sesuatu dari yang kita kerjakan.
BAB I
MELAWAN DENGAN KAEDAH KEPEMIMPINAN
A.Kaedah kepemimpinan
Di
bawah ini beberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yang dianggap penting
untuk diketahui:
1.تَصَرُّفُ الاِمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوطٌ
بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”
Kaidah ini memberikan pengertian,
bahwa setiap tindakan atau suatu
kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat
dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan
suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanah penderitaan rakyat
(umat) dan untuk itulah ia ditunjuk sebagai pemimpin serta harus pula
memperhatikan kemaslahatan rakyat.[i][3]
Selain itu berdasarkan kaidah ini pula,
seorang pemimpin dalam mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap sesuatu
yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip
syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang yang fasiq untuk
menjadi imam shalat pun, menurut hukum tidak dibenarkan.[ii][4]
Banyak
contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang mashlahah
dan bermanfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,
diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang
mendatangkan mafsadah dan memudaratkan terhadap rakyat, itulah yang
harus disingkirkan dan dijauhi.[iii][5]
Secara umum sesungguhnya kaidah ini
sudah termasuk dalam kandungan hadis Nabi: “Masing-masing dari kamu adalah
pengembala (pemimpin), dan tiap-tiap pengembala (pemimpin) dimintai
pertanggung jawaban atas pengembalaanya(kepemimpinannya)”[iv][6]
Contohnya:
Seorang RT apabila membuat peraturan di wilayah kerjanya, haruslah yang membawa
kemaslahatan bagi warganya bukan sebaliknya. Misalnya; pembuatan pos keamanan.
2.اَلْخِيَانَةُ لاَتَتَجَزَّأُ
“Khiyanah itu tidak dapat
dibagi-bagi”[v][7]
Apabila
seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap satu amanah yang dibebankan
kepadanya, maka ia harus dipecat dari
keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.[vi][8] Contohnya: Seorang pejabat memiliki
banyak amanah yang dibebankan kepadanya. Apabila ia melakukan kesalahan
misalnya korupsi, maka ia dipecat dari jabatannya dan semua amanah yang
dibebankan kepadanya lepas. Sebab melanggar salah satu dari amanat yang
dibebankan yang berarti melanggar keseluruhan amanah.
3.اِنَّ الاِمَامَ
أَنْ يَخْطَئَ فِي العَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَخْطَئَ فِي العُقُوبَةُ
“Seorang pemimpin itu, salah memberi maaf lebih baik dari
pada salah dalam menghukum”
Maksud
dari kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil
keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin
mengakibatkan kemudharatan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang
pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf
atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi maaf. Tetapi apabila
sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin harus berani
dan tegas mengambil keputusan.[vii][9] Contohnya: Seorang hakim
membebaskan seorang terdakwa yang belum ada bukti bahwa dia bersalah. Dari pada
menjatuhkan hukuman dengan keraguan.
4.الوِلاَيَةُ
الخَاصَّةُ أَقْوَى مِنَ الوِلاَيَةِ العَامَّةِ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada
kekuasaan yang umum”
Dalam
fikih siyasah, ada pembagian kekuasaan sejak zaman ke khalifahan. Pembagian
kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam
suatu Negara. Maksud kaidah di atas adalah bahwa kekuasaan lembaga-lembaga yang
khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga umum.[viii][10]
Contohnya: Ketua RT lebih kuat
kekuasaannya dalam wilayahnya dari pada kepala desa, wali kelas lebih kuat
kekuasaannya dalam kelasnya dari pada kepala sekolah atau
wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada wali hakim (dalam
masalah pernikahan).
5.لاَيُقْبَلُ
فِي دَارِ الإِسْلَامِ العُذْرُ بِجَهْلِ الأَحْكَامِ
“Tidak diterima di negeri muslim, pernyataan tidak tahu
hukum”
Sudah
barang tentu yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang bersifat
umum karena masyarakat semestinya mengetahui, seperti hukum mentaati ulil
amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.[ix][11] Contohnya: Tidak ada alasan bagi para pengendara sepeda motor tidak
mempunyai SIM dengan alasan tidak mengetahui kewajiban memilikinya, karena
kewajiban memiliki SIM adalah hal yang pasti diketahui secara umum.
6.الأَصْلُ
فِي العَلاَقَةِ السِّلْمُ
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”
Ajaran
Islam baik dalam hubungan antar manusia, maupun antar negara adalah perdamaian.
Perang hanya dilakukan untuk mempertahankan diri dari aggressor. Perang
bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaiannya adalah
perang. Perang itu dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, harus memenuhi
persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan untuk
kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian,
atau dengan melalui lembaga arbitrase.[x][12]
Contohnya:
Apabila terjadi perselisihan antara pemimpin, maka alangkah baiknya ambil jalan
damai dengan dibicarakan baik-baik.
7.كُلُّ
مُبِيْعٍ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِالإِسْلَامِ لَمْ يَصِحُّ فِي دَارِ الحَرْبِ
“Setiap barang yang tidak sah dijualbelikan
di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”
Negeri
harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam. Kaidah ini
dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi’i. Kaidah ini berkaitan dengan teori
Nasionalitas. Artinya, di mana pun berada, barang-barang haram tetap haram
hukumnya.
Contonya:
Dimana pun seorang muslim berada, yang namanya berjualan babi haram hukumnya
untuk diperjualbelikan.
8.العَقْدُ
يُرْعَى مَعَ الكَافِرِ كَمَا يُرْعَى مَعَ المُسْلِمِ
“Setiap perjanjian dengan orang
nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”
Kaidah
ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu muslim dan
nonmuslim dan antara negeri muslim dan negeri nonmuslim secara bilateral atau
unilateral.[xi][13]
Contohnya:
Apabiala seorang muslim berjanji kepada yang nonmuslim, maka ia wajib menepati
janjinya, meskipun dia nonmuslim. Karena janji adalah hutang.
9.الجِبَايَةُ
بِالحِمَايَةِ
“Pungutan harus disertai dengan
perlindungan”
Kaidah
ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa
zakat, fee, rikaz, ma’dun, kharaj (pajak tanah bagi
nonmuslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga
yang sudah mengeluarkan apa yang dipungut tadi. Pemerintah tidak punya hak
untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan dari
pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apa pun
dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah rakyat harus dilindungi
hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk didalamnya menciptakan kondisi
keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang
halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.[xii][14]
Contonya: Di suatu komplek perumahan
membayar seorang penjaga keamanan untuk menjaga komplek tersebut, maka penjaga
keamanan itu wajib menjalankan tugasnya untuk menjaga komplek tersebut, karena
itu sebuah amanah dari warga komplek.
10.الخُرُوجُ
مِنَ الخِلَافِ مُسْتَحَبٌ
“Keluar dari perbedaan pendapat
adalah disenangi”
Dalam
kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini
penting dalam memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, berupaya untuk
mencari jalan agar dapat diperoleh kesepakatan adalah disenangi yang awalnya
terjadi perbedaan pendapat. Hal ini tidak lain adalah agar kehidupan masyarakat
menjadi tenang kembali.[xiii][15]
Kaidah
ini berdasarkan Sabda Nabi saw:[xiv][16]“Maka
barang siapa menjaga diri dari syubhat (seperti perbedaan pendapat misalnya),
maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya” (Muttafaq
alaih)
Contohnya:
Dalam suatu permusyawarahan terdapat perbedaan pendapat, maka alangkah bagusnya
berupaya untuk menemukan kesamaan sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat.
11.مَا
لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ كُلُّهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan
ditinggalkan seluruhnya”
Kaidah
ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil, tetapi dalam
pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus meninggalkan
seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan
sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada.[xv][17]
Contohnya:
Pemberantasan tindak pidana pencurian
oleh aparat kepolisian, tentu saja kepolisian, tidak bisa memberantas pencurian
semuanya, namun kepolisian harus tetap menjalankan tugasnya semaksimal mungkin.
12.لَهُمْ
مَالَنَا وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَيْنَا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak
yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban
kewajiban terhadap kita”
Kaidah di atas menegaskan adanya
persamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga Negara yang dilandasi oleh
moral ukhuwah wathaniyah (cinta tanah air), meskipun mereka berbeda
warna kulit, bahasa, dan budaya serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di
atas dalam konteks hubungan antar warga Negara muslim dan dzimmi (kafir dzimmi). Mereka
berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum.[xvi][18]
Contohnya: Mau dia kaya, miskin, atau pun pejabat yang
bertempat tinggal di Indonesia apabila dia melakukan pencurian atau pembunuhan
maka dia dikenai hukuman yang berlaku.
Penutup
Dari
pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan warganya, dan membuat
peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat warganya sehingga menjadi
lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu, maka jaganlah
ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan rakyat secara
semaksimal mungkin.
Daftar
Pustaka
Buku
Djazuli
.A, Kaidah-Kaidah Fikih Islam
(kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan maslah-masalah yang praktis), Jakarta:
Kencana, 2007;
Musbikin
Imam, Qawa’id Al-Fikihiyah, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2001
Suyuthi Pulungan (Fiqh Siyasah) Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994
Usman
Muchlis. MA, Kaidah-Kaidah Istinbath
Hukum Islam (kaidah-kaidah ushuliyah dan fikihiyah), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,2002
Internet
http://loncubapeugetblog.blogspot.com/2011/06/kaidah-kaidah-hukum-islam-tentang.html
(diunduh pada tanggal 27 mei 2012 jam 16.30)
http://diyaasaviella.blogspot.com/2012/02/pengertian-siyasah-hukum-islam.html
(diunduh
pada tanggal 27 mei 2012 mei 2012 jam 20.35)
[xvii][1]Suyuthi Pulungan (Fiqh Siyasah)
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 22-23. Lihat juga dalam http://diyaasaviella.blogspot.com/2012/02/pengertian-siyasah-hukum-islam.html
[xviii][2]A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih Islam (kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
praktis), Jakarta: Kencana, 2007,hal.147
nice post...
ReplyDeletesalam kunjungan...