Berdzikir
sesudah shalat, boleh jahar,
Jangan memekik-mekik,
berkelakar.
Jaharnya sopan, dan
sekedar,
Kecuali orang gila, yang belum sadar
Zikir
jahar,
menguatkan suaara sekedarnya, merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan
dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Hendaknya kita
mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.
Tahukah
anda? Istighfar sama juga dengan sedekah. Pahala dan efek yang ditimbulkan dari
amalan ini berhubungan erat dengan janji Allah. Allah telah menjanjikan hadiah
bagi siapa saja yang membaca ISTIGHFAR. Janji Allah…adalah janji yang PASTI
DITEPATI.
Janji Allah pada orang
yang senantiasa membaca ISTIGHFAR yang berhubungan dengan rejeki, anak, dan kebahagiaan
dunia:
Allah berfirman,”Maka aku katakan kepada
mereka:”Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan
memperbanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS.Nuh: 10-12).
Tahukah anda? Istighfar membuat Allah senang lho,
sungguh rugi jika kita tidak mengucapkannya secara rutin setiap hari. Berikut
ini sabda Rosulullah tentang hal itu:
Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah lebih
gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kalian
yang menemukan ontanya yang hilang di padang pasir.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sebagian saudara kita ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat
harus lirih, bid’ah, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang
di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang
menyelesaikan shalatnya. Sehingga ketika ada ikhwan yang mengeraskan suara
dzikir diingkari dan dianggap bid’ah.
Bagaimana tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan
mengeraskannya atau melirihkannya?
Dzikir setelah shalat,
merupakan ibadah,
Hukumnya,
adalah sunnah,
Diamalkan selalu, oleh Rasulullah,
Jangan dituduh, perbuatan bid’ah.
Zikir
menguatkan suara, disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Beliau juga melakukannya dengan suara keras. Dalam sahih
Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, beliau berkata
لذِّكْرِ
حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا
انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika
orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku
pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan,
‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”
Masih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,
ia berkata:
كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ
“Aku megetahui selesainya shalat Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)
Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang
sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini
menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.
Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di atas daam
kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi
al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah (Bab: meninggikan
(mengeraskan) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini
menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir
sesudah shalat.
Ibnu Daqiq al-‘Id, juga
menyatakan hal yang sama, “Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya
mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam
kategori dzikir." (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)
Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim
mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf
bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan
di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.
Muhammad
SAW, mengeraskan suara zikir,
Ketika
shalat, sudah berakhir,
Supaya
ummat, semakin mahir,
Memuji
Allah, tiada khawatir.
Sedangkan Imam
al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan,
bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah
shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat
dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan
makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam
ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia
melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya. Dan beliau
memaknai hadits tersebut dengan ini. (Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi).
Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama tentang dzikir sesudah
shalat:
1. Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah
ditanya tentang hukum menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan
bagaimana cara pelaksanaannya?
Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan
dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu
menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang
selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu 'anhu berkata,
كُنْتُ
أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Dan aku tahu apabila mereka telah selesai
dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini
juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari
hadits-hadits dalam al-‘Umdah).
Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallahu 'anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu
'alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:
لَا
إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
“Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar
dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.
Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf
memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah
radhiyallahu 'anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat
disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid
berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas. Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya. Bahkan di
dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dengan takbir. Dengan ini terbantahkan pendapat orang
bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.
Ibnu
Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat
berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu 'anhum.
Dan
mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil,
tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan
bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana
sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam disebut bid’ah?!
Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah
berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
dari perbuatan dan taqrirnya. Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka. Beliau
menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran
Rasul shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka. Mereka melaksanakan
dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya,
beliau tidak mencela mereka.”
Adapun alasan mengingkari dzikir
jahar dengan firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).
Maka kami jawab: Sesungguhnya Dzat yang
memerintahkan menyebut nama Rabbnya (dzikir) dalam hati dengan merendahkan diri
dan rasa takut adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan dzikir sesudah
shalat wajib. Apakah orang yang tersebut lebih mengetahui maksud Allah Ta’ala
daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya. Kemudian ayat
yang menyebutkan dzikir pada pagi hari dan sore hari bukan dzikir sesudah
shalat lima waktu. Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya
memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras (berteriak-teriak).
Adapun
yang mengingkari dzikir jahar ini dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, “Wahai manusia kasihanilah diri kalian, karena kalian
tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”. Maka bisa
dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia
juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah shalat wajib ini. Itu berarti,
tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya
sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan menempatkan
semua nash yang ada pada tempatnya masing-masing.
Kemudian
ungkapan dalam sabdanya, “Kasihanilah diri kalian,” menunjukkan bahwa para
sahabat terlalu meninggikan suaranya sehingga menyukitkan dan memberatkan
mereka. Karena sebab inilah beliau bersabda, “Kasihanilah diri kalian.”
Maksudnya, berlemahlembutlah terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani
diri kalian. Sedangkan menjaharkan dzikir sesudah shalat bukan termasuk
kesulitan dan membebani.
Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu
bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya: Jika
maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang
mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal
(gangguan) itu akan hilang (dengan sendirinya). Jika maksudmu akan
mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang
masbuq (terlambat) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka
sebagaimana fakta lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya. Jika
ada yang masbuq dan sedang menyelasikan shalatnya, jika ia dekat denganmu
sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara dzikir dengan tingkatan
suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya. Sedang
jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras dzikirmu yang
keras.
Berdasarkan
keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan dzikir setelah
shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang
shahih maupun dengan penalaran yang jelas. Saya memohon kepada
Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada
kita semua. sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Fatawa
wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13)
Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah
shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa
dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut
bid’ah?! (Syaikh Utsaimin)
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Al-‘Allamah Ibnu Bazz pernah ditanya tentang
sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau
melirihkannya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharkan
dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu
didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa
mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib
sudah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas
berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku
mendengarnya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh
Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah
disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib,
itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam“. Ibnu
Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku
mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna
lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu
'anhuma dan lainnya, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan
dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar
oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga
mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu.
(Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang
menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar
tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal
itu. Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini,
ada banyak manfaat, diantaranya: 1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala
yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung
ini. 2. Dan (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan
mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini
akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan
sesudah shalat Jum’at ba’da salam. (Syaikh Ibnu
Bazz)
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir
secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan
keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara
menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah
diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55) Dan Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi. Engkau boleh berdoa dengan
keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang
disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim,
maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan
sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini
lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini
bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian
orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa
dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah
adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa
para sahabat menjaharkan dzikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah
salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ
السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari dzikir-dzikir yang dicontohkan,
maka membacanya dengan keras. Tapi dengan sendiri-sendiri, bukan dengan
berjamaah (bersama-sama) sebagaimana yang kami sebutkan di awal. Dzikir
berjama’ah ini termasuk perkara bid’ah (yang diada-adakan). Setiap orang
berdzikir sendiri-sendiri dan mengeraskannya sesudah shalat.” (al-Muntaqa’ min
Fatawa al-Fauzan: Juz 3).
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah
menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih . . . (Syaikh Shalih Fauzan)
Fatwa Lajnah Daimah
Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah
shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari
shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu,
saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap
disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik
mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan
berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua
shalat wajib yang lima waktu.
Adapun mengeraskan doa dan membaca Al-Qur’an
secara jama’i (bersama-sama), maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya
dari Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, maupun dari para sahabat
beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bid’ah.
Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau
membaca Quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal
tidak mengganggu orang lain.”
Penutup
Dari hadits dan penjelasan ulama di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat wajib adalah
sunnah. Ini merupakan petunjuk yang dzahir dan sharih dari teks hadits dalam
Shahihain. Walaupun ada pendapat sebagian ulama –seperti imam Syafi’i, Imam
Nawawi dan Syaikh Al-Albani- yang melarang menjaharkannya dan membawa makna
hadits di atas sebagai pengajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada para
sahabatnya, jadi dilaksanakan hanya temporar dan tidak terus menerus. Jika
tidak ada tujuan seperti itu maka dianjurkan untuk melirihkannya.
Pendapat yang menganjurkan untuk mengeraskan
dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits. Maka, sebagaimana kaidah
Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahulukan dan diamalkan sehingga
ada dalil kuat lainnya yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya
atau men-takwil-nya. Dan tidak didapatkan adanya
dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah shalat wajib
itu hanya untuk sementara waktu saja. Wallahu Ta’ala a’lam.
No comments:
Post a Comment