ABSTRAK
Orang tua dan guru, diancam dengan
hukuman penjara, jika memukul anak didiknya, atau memberikan hukuman fisik lainnya.
Karena itu, disertasi ini berupaya mengungkap permasalahan yang ditimbulkan
oleh hukuman fisik, serta sebab-sebab
diperlukannya hukuman fisik yang
tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mendesak untuk ditelti, karena
sudah banyak korban, baik dari pihak anak didik,
maupun dari pihak orang tua dan guru. Kesenjangan ini, terjadi di sekolah umum,
maupun di sekolah agama. Masalah pokok disertasi ini adalah hukuman fisik, yang dilarang oleh
Undang-undang secara tegas, bahwa guru dan siapapun, di sekolah dilarang untuk
memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Kemudian diperkuat oleh konvensi PBB
untuk hak-hak Anak, bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan hukuman, yang
merendahkan martabat kemanusiaan. Tetapi hukum Islam mempunyai ketentuan lain
yang lebih detil(Lex specialis).
Penulis menggunakan metode analisis,
yang merupakan pengembangan dari metode
deskriptif. Fokus untuk mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal
dan material terhadap Undang-Undang RI, Nomor 23 tahun 2002, secara induktif. Temuan
baru yang penulis dapatkan adalah paradigma psikologi hukum, berkaitan dengan
teori Gannoe, yang menyatakan bahwa anak umur 6 tahun boleh dipukul ringan. Walaupun
dalam Hukum Islam anak tidak shalat, boleh dipukul setelah berumur sepuluh
tahun, namun teori Ganneo in, secara tidak lansung, ada kaitannya dengan maqashid al-syari’,tentang mafsadat dan
maslahat memukul anak. Kemudian sebagai
acuan penelitian ini, juga memakai doctrinal research (sosiologis) melalui library research yang bersifat
komparatif antara Undang-Undang perlidungan anak Indonesia yang berdasarkan HAM
dan Hukum Islam yang berdasarkan Al-qur’an dan hadits.
Kata kunci:
Hukuman fisik tanpa kekerasan
ABSTRACT
Parents and teachers, is punishable by imprisonment, if it hit their students, or other physical punishment. Therefore, this dissertation attempt to uncover the problems posed by physical punishment, as well as the causes of the need for physical punishment does not violate human rights (Human Rights). It is urgent to research, because so many victims, both from the students, as well as from the parents and teachers. This gap, took place in public schools, as well as in religious schools. The subject matter of this dissertation is a physical punishment, which is prohibited by the Act expressly, that teachers and anyone else at school is prohibited to give corporal punishment to children. Then amplified by the UN convention for the rights of children, that: "No child should be punished, that undermine human dignity.But Islamic law has other more detailed provisions (lex specialis).
The author uses the method of analysis, which is the development of descriptive methods. Focus to describe, discuss, criticize from the formal and material to the Indonesian Republic Act, No. 23 of 2002, is inductive. The new finding is that the authors get psychological paradigms of law, linked with Gunnoe theory, which states that children age 6 years may be beaten lightly. Although Islamic law children do not pray, be struck after the age of ten years, but Gunneo in theory, if only indirectly, anything to do with the maqasid al-shari'ah ', about mafsadat and beneficiaries are hitting the child. Then as the reference study, also using doctrinal research (sociological) through library research that is comparative between the child Protection Act of Indonesia based on human rights and Islamic law is based on the Qur'an and hadith.
KATA
PENGANTAR
Murid mengencingi guru maksudnya, murid zaman sekarang sudah
kurang ajar kepada gurunya, antara lain, karena dilindungi UU Nomor 23 tahun
2002 tentang perlindungan anak. Ta di sisi lain masih ada pula, guru dan orang
tua yang menghukum anaknya dengan pukulan berlebihan. Terus terang
saja, pada waktu penulis menyusun karya ini, penulis
masih meneteskan air mata, mengingat kekersan yang masih berlangsung terhadap anak-anak di sekolah dan di rumah
tangga, misalnya seperti yang tersiar di surat kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November
2009 . Gara-gara Tidak Bisa Membaca ,seorang
murid SD di Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum air liur di depan kelas. -Tindakan JS, guru
SD Negeri 04 Desa Seluan, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna tidak
pantas dilakukan seorang pendidik. Hanya gara-gara tidak bisa membaca, dia tega
memaksa salah seorang muridnya, Ai (9 tahun), meminum air ludah 13 teman
sekelasnya.
Air mata penulis, lebih deras lagi berjatuhan, ketika
mendapatkan berita tentang dipotongnya tangan Dita, gadis kecil yang berumur
tiga tahun.Ketika kata pengantar ini diketik, air mata penulis masih
berlelehan. Berita itu
berjudul, ” Ayah kenbalikan tangan Dita.” Laporan
Admin 13 Februari 2009 di intrnet. Cobalah dibaca dengan sabar, pembacanya
pasti akan menangis. Ada sepasang suami istri (seperti
pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah tangga sewaktu
bekerja). Anak tunggal
pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sendirian di
rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun
memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu
hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil
ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan
tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya…karena mobil itu
berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak ini pun membuat
coretan sesuai dengan kreativitasnya. Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke
tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah
penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan
ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti
imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang,
terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli
dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi
masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini!!!…” Pembantu rumah
yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga terkejut. Mukanya
merah padam ketakutan lebih-lebih lagi melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi
diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, “Saya tidak
tahu..tuan.” “Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?” hardik
si istri.
Si anak yang mendengar
suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia
berkata “Dita yang membuat gambar itu ayahhh..cantik kan..!” katanya sambil
memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah kehilangan
kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus
dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti
apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak
tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. Sedangkan si ibu cuma
mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah
terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul
tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke
rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu,
membawanya ke kamar. Dia terperanjat
melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak
kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu
juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah
menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama
pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu
rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia
tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu.
Si ayah mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak
pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari
bertanya pada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab si pembantu ringkas. Kasih
minum Panadol saja,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur, ia menjenguk
kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia
menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah
memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita
bawa ke klinik..Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si
anak yang sudah lemah dibawa ke klinik.
Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan…” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut… “Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi…
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air
mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan
pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis,
si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut
kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah.
Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan
sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah..ibu..Dita tidak akan
melakukannya lagi… Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat
lagi…Dita sayang ayah…sayang ibu.”, katanya berulang kali membuat si ibu gagal
menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris. “Ayah…kembalikan
tangan Dita. Untuk apa diambil? Dita janji tidak akan mengulanginya lagi!
Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?.. Bagaimana caranya Dita mau bermain
nanti?.. Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi.” katanya
berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya.
Meraung-raung dia sekuat hati namun apa yang sudah terjadi tiada manusia dapat
menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu
meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya
tetap harus dipotong meski ia sudah meminta maaf. Tindakan bullying yang berlebihan sepeti ini, layak dibaca oleh semua
orang.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Maman Suryaman,M.Pd
dar Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Jakarta, serta Bapak Sulaiman Budiman, Store
Manager PT. Gramedia, yang telah datang ke Pekanbaru Riau pada 20-24 Juni 2011,
dan telah memotivasi penulis dan teman-teman menyekesaikan karya tulis seperti
ini.
Pekanabaru 1 Juni 2012.
Penulis
Drs.Muhammad Rakib,
S.H.,M.Ag.
Widyaiswara LPMP Riau di Pekanbaru
HP 0823 9038
1888
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................3
DAFTAR
ISI......................................................................................................................8
A.Pendahuluan…………………………………………………………………9
B.Kerangka
teori……………………………. ................................................
C.Metodologi
Penelitian…………………………………………………………….35
D.Hasil
Penelitian……………………………………………………………………40
E.Simpulan……………………………………………………………...…………...48
F.Pustaka……………………………………………………………………………...
Lampiran
ARTIKEL DARI PENELITIAN
JUDUL
MURID MENGENCINGI GURU
(SANKSI HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK- ANAK SEBAGAI PENANAMAN NILAI-NILAI
KARAKTER BANGSA)
OLEH Drs.Mhd.Rakib,S.H.,
M.Ag. HP.0813 713 581 22
Widyaiswara LPMP Riau
A.Pendahuluan
1.Latarbelakang
Seluruh dunia menganggap bullying sebagai tindakan yang tidak
beradab, akan tetapi di suatu tempat di
pinggiran kota , terjadi keajaiban.
Bullying justeru menjadi alat pembentukan kepribadian. Kelihatannya agak
bertentangan dengan apa yang terjadi belakangan ini kasus bullying, dan hazing kekerasan di sekolah makin sering
ditemui. Selain tawuran sebenarnya ada dua bentuk perilaku agresif atau
kekerasan yang mungkin sudah lama
terjadi di sekolah-sekolah namun tidak mendapatkan perhatian. Bahkan ada pihak-pihak yang tidak mengganggapnya
sebagai suatu hal yang serius.
Kekerasan yang
dimaksud adalah bullying atau
sering disebut disebut peer victimization dan hazing. Bullying
adalah bentuk-bentuk perilaku berupa pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik
maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ‘lemah’ oleh seseorang atau sekelompok orang
yang mempersepsikan dirinya lebih
‘kuat’. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti
ini terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnya
disebut sebagai peer victimization.
Sedangkan hazing
adalah kegiatan yang biasanya dilakukan
oleh anggota kelompok yang lebih senior
berupa keharusan bagi yunior untuk melakukan
tugas-tugas memalukan, melecehkan, bahkan juga menyiksa atau
setidaknya menimbulkan ketidaknyamanan
fisik maupun psikis sebagai syarat penerimaan
anggota baru sebuah kelompok. Kegiatan semacam ini dikenal dengan MOS
(Masa Orientasi Studi) yang biasanya
sudah merupakan tradisi dari tahun ke tahun
terutama di SMP dan SMU di Indonesia. Walaupun tujuan hazing
adalah sebagai inisiasi penerimaan
seseorang dalam sebuah kelompok, dan biasanya hanya berlangsung beberapa hari, namun belakangan ini ada
kecenderungan untuk memperpanjang masa inisiasi
secara informal. Misalnya saja setelah MOS sekolah, maka ada lagi inisiasi dari
kelompok ekskulnya, yang biasanya berbulan-bulan.
Di sebagian negara Barat, baik hazing maupun bullying dianggap sebagai hal
yang serius, karena banyak penelitian yang menunjukkan dampak negatif dari perilaku ini bagi perkembangan anak. Beberapa dampak yang paling menonjol bagi siswa adalah keengganan/ketakutan untuk datang ke sekolah, depresi dari ringan sampai berat, prestasi belajar yang menurun. Bentuk bullying di Indonesia, sejak 5 tahun terakhir, gejala bullying di sekolah mulai diperhatikan media massa, walau dengan istilah yang beragam. Dalam bahasa pergaulan kita sering mendengar istilah gencet-gencetan atau juga senioritas. Masih banyak bentuk bullying yang tidak terlihat langsung, padahal dampaknya sangat serius. Misalnya, ketika ada siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak, dan masih banyak lagi kekerasan lain yang termasuk dalam perilaku bullying ini.
yang serius, karena banyak penelitian yang menunjukkan dampak negatif dari perilaku ini bagi perkembangan anak. Beberapa dampak yang paling menonjol bagi siswa adalah keengganan/ketakutan untuk datang ke sekolah, depresi dari ringan sampai berat, prestasi belajar yang menurun. Bentuk bullying di Indonesia, sejak 5 tahun terakhir, gejala bullying di sekolah mulai diperhatikan media massa, walau dengan istilah yang beragam. Dalam bahasa pergaulan kita sering mendengar istilah gencet-gencetan atau juga senioritas. Masih banyak bentuk bullying yang tidak terlihat langsung, padahal dampaknya sangat serius. Misalnya, ketika ada siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak, dan masih banyak lagi kekerasan lain yang termasuk dalam perilaku bullying ini.
2.Perumusan
Masalah
Penulis akan mengungkapkan inti permasalahannya sebagai berikut :
1.Apa
yang dimaksud dengan sanksi hukuman fisik bagi anak-anak?
2.-Apakah
terdapat pertentangan antara hukum Islam dan hukum perlindungan anak, tentang
sanksi hukuman fisik terhadap anak-anak ..?
3.-Bagaimana pelarangan hukuman fisik
terhadap anak-anak menurut hukum Islam dan
Undang-Undang perlindungan anak (UU RI No. 23 Tahun 2002).
Di samping
pelacakan terhadap masalah ini, penulis juga ingin melacak nilai-nilai
filosofis yang berada di balik bullying dan hazing setiap masalah yang
diungkapkan, supaya hal-hal yang tersebunyi di balik fakta hukum, dapat
diketahui maqashid al-syari'ah yang terkandung di dalamnya seoptimal
mungkin, dengan memakai kaedah-kaedah ilmiah dan teori-teori serta analisis
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
3.Tujuan dan manfaat tulisan
3.1. Tujuan
Untuk melacak informasi tentang kekersan
terhadap anak-anak, agar dapat dikaji akar permasalahannya.
3.2.Manfaat penulisan.
Sebagai masukan bagi pemerintah dan
lembaga pendidikan yang peduli terhadap nasib anak-anak yang terzalimi di
sekolahnya, atau di rumah tangga.
Tidak semua korban akan menjadi
pendukung bullying, namun yang paling memprihatinkan adalah
korban-korban yang kesulitan untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini. Mereka
mempersepsikan dirinya selalu sebagai pihak yang lemah, yang tidak berdaya,
padahal mereka juga asset bangsa yang pasti memiliki kelebihan-kelebihan lain.
Upaya untuk
menghentikan kekerasan bullying di sekolah ini memerlukan
kerjasama dari semua pihak. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, menyenangkan, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosinal. Bagaimana tanda-tanda anak korban bullying? Bisa akibat kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga sering bolos, ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, kesehatan mentan dan fisik (jangka pendek/jangkan panjang) akan terpengaruh.
kerjasama dari semua pihak. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, menyenangkan, merangsang keinginan untuk belajar, bersosialisasi dan mengembangkan semua potensi siswa baik akademik, sosial ataupun emosinal. Bagaimana tanda-tanda anak korban bullying? Bisa akibat kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga sering bolos, ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, kesehatan mentan dan fisik (jangka pendek/jangkan panjang) akan terpengaruh.
Les memang banyak manfaatnya, sampai-sampai orangtua ingin mengikutkan
semua les agar anaknya mampu bersaing dengan teman sebayanya. Namun benarkah
demikian?
semua les agar anaknya mampu bersaing dengan teman sebayanya. Namun benarkah
demikian?
Lain
lagi bullying yang terjadi pada diri Nofi. Nofi terlihat sibuk sekali, bocah
berusia 6 tahun ini sudah memiliki kegiatan yang sedemikian padatnya. Sepulang
sekolah, Nofi harus mengikuti beragam les. Lihat saja jadwal Nofi. Hari Senin Nofi
les bahasa Inggris, Selasa les piano, Rabu ikut Taekwondo, Kamis les matematika,
Jum’at les melukis, dan di hari Sabtu
Nofi mengikuti les renang. Untuk usianya yang masih kecil, Nofi menghabiskan sebagian besar waktunya di
sekolah dan di tempat les. Waktu bebas
sepenuhnya bagi Nofi adalah hari Minggu, di hari inilah dia bebas bermain tanpa
ada agenda les.
sepenuhnya bagi Nofi adalah hari Minggu, di hari inilah dia bebas bermain tanpa
ada agenda les.
Keinginan
orang tua untuk menjadikan anaknya sukses di masa depan
mendorong orang tua untuk memberikan fasilitas terbaik bagi anak-anaknya. Maka
keputusan untuk memasukkan anak ke berbagai tempat les acapkali menjadi pilihan
yang diambil orang tua. Melalui tempat-tempat les ini diharapkan segala sisi kecerdasan anak akan dapat terasah dengan maksimal sehingga anak-anak akan menjadi sosok yang multitalented (penuh dengan bakat). Anak tidak hanya akan pandai secara akademik tetapi juga memiliki fisik yang sehat dan jiwa seni yang terasah.
mendorong orang tua untuk memberikan fasilitas terbaik bagi anak-anaknya. Maka
keputusan untuk memasukkan anak ke berbagai tempat les acapkali menjadi pilihan
yang diambil orang tua. Melalui tempat-tempat les ini diharapkan segala sisi kecerdasan anak akan dapat terasah dengan maksimal sehingga anak-anak akan menjadi sosok yang multitalented (penuh dengan bakat). Anak tidak hanya akan pandai secara akademik tetapi juga memiliki fisik yang sehat dan jiwa seni yang terasah.
B.Kajian
literatur
1. Hukuman fisik dilarang tapi
diperlukan oleh guru
Diam-diam, bullying yang nyata-nyata
dilarang di sekolah, justru menjadi menjadi alat yang indah dan efektif bagi
Pak Jabir (49 tahun), untuk mendisiplinkan muridnya. Ketika Pak Jabir masuk ke
kelas, semua murid diam, walaupun rotan kecil miliknya, tidak dikeluarkan,
namun murid-murid terpaku di tempat duduk. Inilah keunikan Pak Jabir yang
bekerja keras untuk menanamkan nialai-nilai karakter bangsa, melalui bullying
yang menurut beliau masih mengandung nilai-nilai edukasi yang tinggi.
Bullying yang diterapkan Pak Jabir,
sangat berbeda dengan bullying yang dikenal di Negara Barat. Sebelum menjadi guru
SD, Pak Jabir adalah guru mengaji di surau yang pernah dititipkan rotan oleh
wali murid, untuk memukul anaknya, jika nakal. Di samping surau itu, ada SD
baru yang belum ada penjaganya, makan Pak Jabir muda waktum itu, menjadi
penjaganya, dan diikutkan kursus calon guru SD. Dari pengalaman itulah Pak
Jabir mendapatkan cara-cara mendisiplinkan murid, yang masih berbau bullying. Lebih dari itu, menurut
pengakuan murid-muridnya, apabila para murid sudah melampau batas, bukan hanya,
diberi pukulan kecil, bahkan diiringi pula dengan kata-kata kotor berupa
carutan, makian kecil dalam bahasa
daerah yang sangat dipahami oleh murid-murid beliau.
Pak
Jabir tidak pernah lelah, menagajar pada sebuah SD di pinggiran kota panas
Pekanbaru-Riau.Tindakan bullying
versi lain yang dilakukannya dan dirasakan oleh muridnya sebagai hal yang jorok dan kasar,tapi
diimbangi dengan membawa murid-muridnya terbang bersama mimpi-mimpi indah
menanamkan cita-cita untuk menggapai masa depan, menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam menegakkan disiplin pendidikan karakterbangsa.
Lebih-lebih lagi SD tempat Pak Jabir mengajar itu, persis berhadapan dengan
rumah ibadah.
Memang
di sisi lain ada yang mengatakan tidakan Pak Jabir perlu direformasi, khususnya yang berkaitan dengan hukuman fisik
terhadap anak-anak , yang paling bertentangan dengan karakter pendidikan bangsa, tentu
mengejutkan.
Kenyataannya Bandit Supermen (12 tahun), bukan nama sebenarnya, mampu
diubahnya dari murid yang super nakal,
mejadi super sopan.
Bertolak
belakang dengan kisah nyata, di Riau Kepulauan,
yaitu kasus oknum guru yang memaksa
muridnya, minum air liur, sebagai
hukuman fisik
, karena tidak bisa membaca. Air liur
yang sengaja dikumpulkannya di
dalam gelas bekas air mineral itu, berasal dari air liur teman
sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat pemberian hukuman itu, oknum guru
dipindahkan ke sekolah lain yang lebih
jauh letaknya. Kemudian ada pula kasus
pemukulan murid. Jika murid nakal, tidak dipukul, tingkahnya semakin nakal.
Jika dipukul, gurunya bisa masuk
penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak(UUno.23 th 2002).Inilah kasus yang sangat dilematis.
Saat ini , para
pembela hak asasi , berkoar dengan teori psikologi Barat dan
membuat konsep baru tentang
larangan memukul anak. Hasilnya,
mungkin munculnya tawuran dan
perkelahian pelajar. Menarik untuk
diteliti, apakah masih ada dendam
bagi anak, jika teringat saat jarinya
diketuk dengan penggaris, karena kuku
panjang. Apakah sakit hati saat dipelintir telinganya, karena rambutnya gondrong
dan apakah hanya karena itu berkurang hormat kepada ayah dan ibu, serta
guru-gurunya. Di Francis ada juga kasus kekerasan di sekolah.murid dikenakan
denda 500 Eurou sekitar tujuh juta rupiah, karena memukul muridnya. Hal itu
dianggap melanggar hak asasi manusia.
Terjadi prokontra penggunaan kekerasan berupa hukuman fisik.
Penulis
ingin melacak alasan hukuman fisik,dibolehkan
atau dilarang. Informasi sementara, yang
penulis terima: Pertama, benarkah secara tidak sadar memberi pukulan
mengajar anak untuk memukul kembali. Kedua, bila orang tua kehabisan akal, lalu
dengan emosi dan kekerasan, ia memukul. Jadi disimpulkan bahwa hukuman tidak
mendatangkan hasil. Keempat, memukul dapat melukai harga diri seorang anak,
mengurangi kepercayaannya terhadap pendidik, bahkan menghindari dan
membencinya. Apakah memang demikian?
Ada
beberapa jenis hukuman fisik yang ingin penulis ketahui, antara lain Kalau hukuman fisik tidak dapat
dihindari, bolehkah dilakukan pemukulan dengan kepala dingin dan jangan dalam
keadaan marah. Terhadap anak usia 15-18 tahun, masih bolehkah dikenakan hukuman
fisik yang ringan. Pilahlah alat yang digunakan dengan cermat, yang penting
bukan dalam suasana marah sehingga memukul dengan keras, menjewer, atau
menonjoknya. James C. Dobson menentang memukul anak dengan tangan, karena
tangan adalah perantara kasih. Ia juga berpendapat bahwa hukuman fisik hanya
sampai batas anak merasa sakit dan berteriak, baru ada hasilnya dan bukan
memukulnya dengan kejam. Jangan menunggu bila ingin menggunakan hukuman fisik, apakah perlu atau tidak dan
bukan dengan mengatakan, “Nanti, tunggu
ayahmu pulang, baru kamu dipukul”.
Orang dewasa ada
pula yang menggunakan pengasingan sebagai hukuman untuk anak. Anak diasingkan
dari anak lain, tidak diizinkan bermain supaya dengan tenang, anak dapat mengintrospeksi dirinya
sendiri tetapi dalam jangka waktu tertentu, datang dan tanyakanlah kepada anak,
apakah ia memerlukan bantuan dan menguraikan dengan jelas harapan orang tua
atas perilaku mereka. Dalam menerapkan hukuman, perlu diperhatikan jangka
waktunya karena bila waktunya terlalu panjang atau terlalu pendek, akan
kehilangan fungsi hukumannya, karena setiap anak itu berbeda berbeda sifat,
maka penerapan hukuman ini sebaiknya dilakukan dengan fleksibel. Waktunya
jangan lebih dari 10-15 menit, tempat harus aman, dan jangan ada barang yang
membuat anak senang melewati waktu itu.
Ada anak yang sangat peka, yang tidak perlu
menggunakan hukuman fisik atau bentuk lainnya, hanya dengan perkataan saja, ia
sudah berubah. Hukuman dengan cara mendamprat itu termasuk kritikan, ajaran,
teguran yang keras, agar anak merasa
bersalah dan malu. Bagi anak yang nakal, hukuman itu tidak berguna. Menggunakan
hukuman ini juga harus hati-hati karena omelan yang berlebihan akan melukai
harga diri anak itu, membuat jurang antara anak dan orang tua.
Dari beberapa
buku literatur yang dapat penulis lacak bahwa, cara apapun yang digunakan harus
masuk akal, baru mendapat hasil yang baik. Berikut ini beberapa usulan dari orang tua, yaitu,
penggunaan nasehat yang bijak, sebelum menggunakan hukuman fisik, perlu
penggunaan nasehat terlebih dahulu. Mmperingatkan dengan tegas. Bagi yang
pertama kali anak melakukan kesalahan, tidak langsung diberi hukuman, lebih
baik mencari waktu yang baik untuk menjelaskan peraturan yang ada terlebih
dahulu. Tidak menghukum anak dalam
keadaan tidak tahu, tetapi setelah
diingatkan dan diperingatkan masih berbuat salah, barulah dihukum. Tnetu saja
dengan kasih sayang sebagai motivasi.
2.Memukul
tapi tidak menganiaya
Diharapkan hukuman tidak mengandung aniaya,
hukuman harus dilakukan atas dasar kasih sayang dan perhatian, hukuman harus
digunakan dalam keadaan yang sadar dan bukan dalam keadaan emosional dan marah.
Pertahankan hubungan yang baik. Hukuman
hanya bisa dilaksanakan saat adanya hubungan yang baik antara anak dan yang
menghukum; jika tidak, hasilnya tidak mungkin baik. Bisa pula berupa mengulur
waktu.
Hukuman harus
segera ditindaklanjuti. Pengalaman membuktikan makin panjang waktunya, semakin
kurang hasilnya. Harus dipilih tingkat hukuman. Tingkat hukuman yang tepat,
jangan terlalu keras atau terlalu ringan. Hukuman fisik yang terlalu ringan
tidak ada faedahnya, tetapi bila terlalu keras akan meninggalkan bekas di dalam
hati anak, akibatnya semuanya tidak akan mencapai hasil yang diinginkan.
Penjelasan yang
gamblang tentang hukuman yang diberikan,
menurut para ahli, sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa
mereka dihukum dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih baik,
selain mendidik anak untuk mengatasi masalah.
Ada keharusan aktif
berkomunikasi, setelah menghukum anak, maksudnya kemunikasi yang baik dengan
anak. Umumnya, setelah dihukum, seorang anak ingin kembali menjalin hubungan
yang baik dengan orang tua atau guru. Jangan mundur, dan s ebaiknya manfaatkan
kesempatan itu untuk menyatakan kasih sayang bahwa anak itu sangat berharga
didalam hati anda, hukuman itu diberikan semata-mata karena kasih.
3.Memukul
yang diterima kultur
Sayang anak, dipukul-pukul,
Sayang isteri, ditinggal-tinggalkan,
Pepatah adat, mengatakan betul,
Karena hidup, penuh tantangan.
Kultur Timur, adat dan
budaya Indonesia, dapat menerima, keberadaan,bullying terbatas sejak
ratusan, mungkin ribuan tahun yang lalu. Orang tua dan guru menghadapi masalahnya,
bukan manusianya, hanya saja memang ada yang melakukannya berlebihan. . Daftar
kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, kian hari kian bertambah panjang.
Salah seorang guru olahraga SMPN 1 Karangmalang Sragen dilaporkan ke polisi
dengan tuduhan telah menampar sembilan orang siswanya yang kedapatan terlambat datang dalam
kegiatan senam sehat (Joglosemar, Rabu, (13/1/2009). Ironisnya, perbuatan
tersebut sebelum diekspos di media massa, disangkal oleh pihak sekolah yang
menyatakan bahwa hal tersebut hanya tindakan spontan semata, tanpa ada maksud
melakukan penganiayaan.
Pada dasarnya,
berbagai tindak kekerasan yang terjadi, baik yang dilakukan secara individu
maupun yang dilakukan secara massif, yang direncanakan ataupun yang dilakukan
secara spontan, merupakan ironi dari pendidikan yang mestinya menjadi media
pencerahan. Maraknya tindak kekerasan yang banyak dilakukan oleh oknum guru di
lingkungan sekolah, tentu saja membuat masyarakat bertanya tentang proses
pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Mengapa proses pembelajaran yang
berlangsung di sekolah, belum steril dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap para siswanya?
Sulit untuk mengatakan sudah, karena proses pembelajaran yang selama ini berlangsung
masih sarat dengan hal kekersan yang demikian.
Pendidikan dan
pengajaran tentu saja tidak identik dengan kekerasan, baik di masa yang lalu
apalagi masa sekarang. Namun, kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan
kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Istilah ketegasan dalam
membina sikap disiplin pada siswa di sekolah, sudah lazim digantikan dengan
kata kekerasan. Hal ini kemudian ditunjang dengan pengunaan kekerasan dalam
membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran.
Ketika kemudian
cara-cara pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka
cara kekerasan juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan kekerasan oleh guru
seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya
di bidang pelajaran yang melatih fisik, seperti olahraga. Tidak ada maksud
untuk mengatakan bahwa semua guru olahraga suka main pukul, tetapi sejarahnya
sering kali mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka menghukum push
up atau lari keliling lapangan dan suka menampar, memukul yang dianggap bandelDalam budaya pendidikan
hukuman fisik masih dianggap sebagai sebuah kewajaran ketika siswa melakukan
kesalahan. Pandangan yang dikemukakan Freud (2008) tentang kekerasan yang
dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam dalam alam bawah sadarnya yang
sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif
yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya.
Membaca berita
tentang tindakan guru olahraga di Sragen tersebut, membuat sebagian orang tua
siswa merasa ngeri dan khawatir, karena tindakan seorang guru yang menampar
siswanya jelas memberikan dampak psikologis
yang tidak baik, yang dapat berujung pada traumatik siswa. Dampak yang
lebih luas dari kekerasan guru akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam
sebuah generasi. Selain itu, terjadi proses ketakutan dalam diri siswa untuk
menciptakan ide-ide yang inovatif dan infentif. Kepincangan psikologis ini
dapat dilihat pada gambaran siswa-siswa sekolah saat ini yang cenderung pasif
dan takut berbicara dimuka kelas.
2.Penelitian
terdahulu
Peneltian terdahulu, penulis lacak
di perpustakaan, berupa disertasi 1. Maimunah Nuh, tentang kekersan terhadap
anak di Malang, dipaksa menikah oleh orang tuanya. 2. Teguh Satya Budi,m
tentang kekerasan, menjelang perjodohan, disertasi di Malang juga. 3. Anisah,
disertasi tentang pandang agama tentang memaksa menikah anak di bawah
umur.4.Faizin Anshori, tentang anak di bawah umur di pengadilan dan kekersan di
sekolah. Perlu dipahami bahwa sekolah sejatinya merupakan sarana untuk
membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan,
penipuan serta penindasan. Sekolah yang menggunakan kekerasan dalam belajar
mengajar, hanya akan merusak masa depan peserta didik secara psikologis.
Sayangnya, banyak guru sering berpikir keliru soal masa depan anak. Para guru
menganggap tindak kekerasan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak
berlebihan sekolah dalam menjalankan hak mereka, guna mendisiplinkan anak-anak
didiknya.
Tujuannya
sederhana, semakin disiplin manusia, maka semakin mudah meraih kesuksesan.
Padahal yang terjadi bisa kebalikan dari itu semua, sehingga perlu adanya
semacam pendidikan pelatihan (diklat) guna menambah keahlian dan juga dalam
rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) guru, dengan menghilangkan unsur
kekerasan dalam dunia pendidikan. Hanya saja, SDM yang baik dan mumpuni tidak
cukup menunjang jika tidak didukung sistem pendidikan yang berpihak pada
kemanusiaan.
Untuk itu, dalam
rangka menanggulangi munculnya praktik kekerasan di sekolah, adalah ketegasan
sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi kepada segenap warga sekolah,
termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa itu sendiri. Sungguh sesuatu
yang mustahil siswa dapat mengembangkan kreativitas dan membuat inovasi baru,
sementara mereka belajar dalam tekanan gurunya di sekolah. Dengan penegakan
disiplin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya
dengan marah-marah atau menampar. Sebab bila terbukti melanggar, guru harus
siap menerima sanksi dari tindakannya atas segala bentuk kekerasan sekecil apa
pun dalam sekolah. Sebagai perbandingan, ada baiknya dilihat praktek hukuman
fisik atau bullying di beberapa negara:
1.Hukuman
fisik di Asia
Dalam menuntut
ilmu di sekolah, wajar jika murid membuat kesalahan. Namun guru yang bertugas
mengingatkan kesalahan dan meluruskannya, kadang menggunakan Cara yang bisa
lembut, bisa keras. Tak jarang dipakai hukuman fisik.
2.Di
Eropa
Di Eropa kasus
ini sempat heboh karena jarang terjadi di dunia pendidikan . Dalam suatu kasus pembelaan guru Jose mengatakan bahwa dirinya merasa
seperti layaknya seorang ayah “Saya bertindak seperti ayah. Saya melihat dia
sebagai anak yang menghina bapaknya.” Katanya guru senior yang sudah 29 tahun
aktif di dunia pendidikan. Ini baru pertama kalinya ia menggunakan tangan,
karena “baru pertama ini saya dihina oleh murid, " katanya dengan nada
pilu.
3.Di
Amerika
Di Amerika, memukul masalah biasa .Berbeda
dengan di Eropa, kalau di Amerika sudah bukan hal aneh lagi guru mukul murid.
Di tahun ajaran 2006-2007, saja sudah lebih 200.000 siswa sekolah Amerika kena
straf atau hukuman fisik. Itu laporan organisasi HAM, Human Rights Watch dan
American Civil (Liberties Union yang terbit Rabu 20 Agustus 2008).
Di
Amerika sedang hangat-hangatnya diskusi soal manfaat dari straf fisik dalam
dunia pendidikan. Di 21 negara bagian, masih memperbolehkan hukuman fisik di
sekolah. Biasanya memukul bokong dengan sebilah kayu. Menariknya temuan di US
itu, murid kulit hitam lebih sering dipukul dari pada siswa bule. Tidak
disebutkan alasannya mengapa murid kulit hitam lebih sering dihukum.
2.Paradigma
hukuman fisik dalam Islam
Hukumam cambuk atau jilid, sejak lama dikenal dalam
Islam. Kini ada pembaharuan pemikiran hukum Islam pada
masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru yang
berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih cenderung
menekankan basarnya adalah wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara
teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan difahami melalui
interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang
dikandung oleh teks wahyu. Walaupun tawaran metodologi hukum Islam tersebut
memiliki model yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan yang lainnya, namun
menurut penulis secara umum memiliki kecenderungan rasional-filosofis atau
dengan kata lain menggunakan paradigma nalar burhani sebagai pijakan pemikiran mereka. Menurut Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press,
1997: 231).
Disiplin
ilmu hukum Islam baik ushul fikih maupun fikih bersama-sama dengan ilmu Bahasa
Arab dan ilmu Kalam, pada dasarnya berpijak pada nalar bayani karena berlandaskan pada otoritas teks. Mayoritas ahli hukum
Islam sepanjang sejarahnya memang telah menggunakan nalar bayani ini
sebagai landasan berfikirnya. Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi sumber hukum
Islam merupakan teks yang berbahasa Arab, sehingga pada dasarnya pemikiran
hukum Islam seliberal apapun tidak akan bisa mengelak atau lepas sama sekali
dari teks. Oleh karena itu pemikiran hukum Islam yang memiliki kecendrungan
rasional-filosofis sebagaimana diatas, pada dasarnya hanya “meminjam” nalar burhani
sebagai dasar pijakan untuk menganalisa maksud teks Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber hukum Islam. Karenanya Al-Jabiri menyebut kecenderungan
pemikiran rasional-filosofis dalam hukum Islam semacam ini dengan istilah ta’ sis al-bayan ‘ala al-burhan, yaitu
membangun disiplin ilmu bayani (dalam hal ini hukum Islam) dengan dasar pijakan
kerangka berfikir burhani. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bun-yah al- Aql al-‘Arabi: Dirasah
Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzum al-Ma ‘rifah fi as-Sagafah al-‘Arabiyyah
(Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1990 : 514) ,Lihat juga
al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam,
terj. Ahmad Baso (Yogyakarta:LKiS, 2000:
118-132 dan 162-171
Dalam tradisi berfikir
literalisme ini dikenal dua cara
mendapatkan pengetahuan dari teks yaitu pertama, berpegang pada teks zahir. Kecenderungan ini berakar pada
tradisi sebelum Ibn Rusyd (Andalusia) dan memuncak pada masa Ibn Hazam
(azh-Zahiri). Kecenderungan tekstualisme ini sebenarnya mulai diperlihatkan
oleh asy-Syafi’i bahkan mungkin bisa dikatakan beliau adalah peletak dasar
paradigma literalisme. Sarana yang dipakai adalah kaedah bahasa Arab sedangkan
yang menjadi sasarannya adalah teks al-Qur’an, Hadits dan Ijma’. Kedua,
berpegang pada maksud teks bukan teks zahir.
Kecendrungan ini berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa
asy-Syatibi. Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir
ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru. .Muhammad
Abed al-Jabiri, Takwin al Aql al- ‘Arabi
(Beirut al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1993 : 96). Lihat juga kutipan Muhyar
Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini dalam Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi, hlm 29.
Bukti
lain digunakannya paradigma literalisme dalam kajian hukum Islam klasik adalah
begitu banyaknya pembahasan tentang kaidah kebahasaan dalam ilmu ushul fiqih.
Al-Juwayni telah membuktikan hal tersebut dengan mengatakan “sesungguhnya
mayoritas pembahasan dalam ushul fiqih berkaitan dengan kata-kata (al. fazh)
dan makna terkait dengan kata-kata haruslah disadari bahwa syariat
itu berbahasa Arab. Seseorang tidak akan sempurna (dalam menguak) kandungan
syariat selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa Arab”.
Al-Juwayni,
al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. 4,
Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib (Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418,I, h, 130).
Asy-Syafi’i sebagaimana dikutip oleh
Mukhyar Fanani juga menjelaskan bahwa “al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, bukan
yang lain. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengetahui keluasan bahasa
Arab, aspek-aspeknya, kepadatan, dan keragaman maknanya, maka ia tidak akan
mengetahui kejelasan semua pengetahuan dalam alkitab itu”.,
Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur,2007 dalam Ilmu Ushul Fikih: Teori Hudud sebagai Alternatif Pengembangan
Ilmu Ushul Fikih,(
Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007: 438).
Rasionalitas yang dibangun oleh ulama ushul
fiqih tradisional sebenarnya ingin melakukan penalaran yang sesuai dengan
tuntunan Allah yang ujungnya adalah tercapainya kemaslahatan manusia pada
umumnya di dunia dan akhirat dan ini pada akhirnya terwadahi dalam metode berfikir
yang baku yakni qiyas, istihsan,
istislah, istishab, sadd al-zari’ah dan urf. Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur
dalam Ilmu Ushul Fikih: Teori Hudud sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Ushul
Fikih, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta,2009: 438).
Paradigma di atas
sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam (ushul fiqih) klasik memaknai
hukum itu berasal dan titah ilahi sehingga hanya melalui teks-teks suci yang
didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum itu dapat diketahui.. Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam
dalam al-Musytasyfa min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali (Tahun 450-505.H/1058-1111.M), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, h. 163. Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham
optimisme bahasa yang dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham
yang menganggap bahwa bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan komunikasi,
suatu sunnah yang baku dan karena itu menjadi milik publik. Akibatnya pendekatan yang digunakan pun
adalah pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan optimisme
bahasa ini kemudian mengarah pada berkembangnya logika deduktif sehingga model
pendekatan yang digunakanpun adalah teologis normative deduktif. Syamsul Anwar,
Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min `Ilm al-Ushul Karya al-Ghazali
(450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 163.
Paradigma literalistik
dengan menggunakan model pendekatan yang teologis normatif-deduktif cendrung
didominasi Aristotalian logic yang bercirikan dichotomous logic.
Akibatnya, studi hukum Islam dipandang cendrung mendekati masalah secara
hitam-putih, benar-salah, halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bid’ah dan yang
semacamnya walaupun sesungguhnya tujuan pokok agama diturunkan itu adalah
mengajarkan tentang aturan-aturan hidup yang bersifat pasti (nilai, norma dan
aturan), dan begitu pula hukum agama (Islam) di mana salah satu ciri pokok
berfikir hukum adalah menuntut adanya kepastian dan bukan ketidak pastian. Pengertian seperti ini jelas tidak
tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian seperti halal atau haram, hukum
Islam juga terdiri atas kategori-kategori relasional. Lebih penting lagi adalah
bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri atas norma-norma berjenjang
(berlapis),diarahkan kepada penggalian asas-asas dengan mempertimbangkan
pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih mudah merespons berbagai
perkembangan masyarakat dari sudut hukum syari’ah. Paradigma ini berlangsung selama kurang
lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan
munculnya asy-Syatibi pada abad ke 8 H yang menambahkan teori magashid
asy-syari ‘ah yang mengacu pada maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada
literalisme teks.
Kekerasan bullying atau sering disebut disebut peer
victimization dan hazing. Bullying adalah bentuk-bentuk perilaku
berupa pemaksaan atau usaha menyakiti
secara fisik maupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih
‘lemah’ oleh seseorang atau sekelompok
orang yang mempersepsikan dirinya lebih
‘kuat’. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti
ini terjadi di dalam sebuah kelompok misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnya
disebut sebagai peer victimization.
Sedangkan hazing adalah
kegiatanyang biasanya dilakukan oleh
anggota kelompok yang lebih senior berupa keharusan bagi yunior untuk
melakukan tugas-tugas memalukan,
melecehkan, bahkan juga menyiksa atau setidaknya menimbulkan ketidaknyamanan fisik maupun
psikis sebagai syarat penerimaan anggota
baru sebuah kelompok. Kegiatan semacam ini dikenal dengan MOS (Masa Orientasi Studi) yang biasanya sudah
merupakan tradisi dari tahun ke tahun
terutama di SMP dan SMU di Indonesia.
Walaupun tujuan hazing adalah
sebagai inisiasi penerimaan seseorang
dalam sebuah kelompok, dan biasanya hanya berlangsung beberapa hari, namun belakangan ini ada
kecenderungan untuk memperpanjang masa
inisiasi secara informal. Misalnya saja setelah MOS sekolah, maka ada
lagi inisiasi dari kelompok ekskulnya,
yang biasanya berbulan-bulan. Di
sebagian negara Barat, baik hazing
maupun bullying dianggap sebagai hal yang serius, karena banyak penelitian yang
menunjukkan dampak negatif dari perilaku
ini bagi perkembangan anak. Beberapa dampak
yang paling menonjol bagi siswa adalah
keengganan /ketakutan untuk datang ke sekolah, depresi dari ringan sampai berat, prestasi
belajar yang menurun.
Di internet, penulis menemukan
hukuman pukulan dengan rotan, bagi anak-anak Barat, yang mereka kutip dari
kitab Taurat dan Injil, tantang prinsip hukuman fisik sebagai berikut:
Hukuman bagi perilaku anak yang
salah dan bukan menghukum orangnya. Sewaktu menghukum anak, tidak melihat
pribadinya, supaya tidak merusak hubungan
dengan mereka. Apabila mereka gagal dalam belajar, harus dibantu , bukan menganggap mereka anak
yang bodoh:
1. Allah
menciptakan satu bagian tubuh yang banyak dagingnya yang terhindar dari
luka-luka karena pukulan yaitu pantat.dan betis “.Padanya terdapat hikmat,
tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi” (Amsal
10:13).
2. “Hukuman
bagi sipencemooh tersedia '' pukulan'' bagi punggung orang bebal” (Amsal
19:29).
3. “Cemeti adalah untuk kuda, kekang untuk
keledai, dan pentung untuk punggung orang bebal” (Amsal 26:3). Dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “punggung”
Kasus kekerasan
pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Di mana jenis kasusnya yang
beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan.
Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak
otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya
karena termasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak
kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap. Menurut
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi: Kekerasan pada anak juga
dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun semua itu
harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak
tidak banyak nonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan.
Ada dengar pendapat tentang
kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas dan siaran
televisi. Jadi, kita tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua harus mengalah
jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak begitu, maka anak akan
ikut-ikutan menonton televisi sampai larut dan mengabaikan tugas utamanya,
yaitu belajar, “kata Seto. Ditambahkannya, orang tua harus mampu menjadi contoh
anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah.
Kekerasan terhadap anak dibagi dalam
4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena
diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa
secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan
itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. Kekerasan
seksual adalah apabila anak disiksa diperlakukan secara seksual dan juga
terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan
tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan
mengeksploitasi seks di mana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang
lain.
Hukuman fisik yang berkaitan dengan pendidikan
menurut hukum Islam disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadits yaitu kata-kata teguran keras,biasanya bila menegur dengan keras anak
yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali
dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu
(hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau
menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!” Orang itu menyangka
bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun menjawab, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” Setelah dua atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya,
“Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” Menghentikan perbuatan anak
Jika anak ribut berbicara dalam
pelajaran, bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:
“Hentikan
sendawamu di hadapan kami!” HR. At-Tirmidzi,
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
Memalingkan wajah ,ketika anak berbohong, memaksa minta
sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan
wajah darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.
Mendiamkan itu boleh, (tidak berbicara dengan) anak yang melakukan
kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan
yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak
halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari.”
Cercaan , gunanya jika anak melakukan dosa besar, boleh
mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.
Hukuman berupa keharusan duduk Qurfusha-adalah
duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak
kaki menempel di tanah dan paha menempel ke perut.
Anak yang malas atau bandel bisa
dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha’ sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman
baginya. Ini jauh lebih baik dari pada
memukulnya dengan tangan atau tongkat. Hukuman
orang tua dan guru. Bila murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah
diberi nasihat, bisa menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali
untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan sempurna kerjasama antara sekolah
dengan keluarga dalam mendidik anak. Ada praktek menggantungkan cambuk. Bisa pula digantungkan cambuk di
dinding, sehingga anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman.
Rasulullah pernah bersabda:
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang
mudah dilihat anggota keluarga, karena demikian ini merupakan pendidikan bagi
mereka.”HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah No. 1447
Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk
memukul, karena beliau tidak memerintahkan demikian. Hukuman Pukulan ringan. Bila
metode lain tidak membuahkan hasil, boleh memukul dengan pukulan ringan,
terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur
sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak-anak kalian
untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan
melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara
mereka.”
Inilah catatan , dalam memberikan
hukuman dan penghargaan pada anak. Diiringi do’a dan permohonan kepada pencipta
semesta alam, semoga terwujud keinginan , agar anak-anak menjadi penyejuk mata.
Secara filosofis, orang tua merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan
menghukum anak demi kebaikan si anak
kelak. Bahkan, secara tradisional pun, hukuman badan telah diterima
sebagai salah satu metode yang sangat
efektif untuk mengendalikan dan mendisiplinkan anak. Hal ini didukung oleh masyarakat yang percaya
bahwa hukuman badan penting untuk mencegah degradasi moral, baik dalam kalangan
rumah tangga maupun masyarakat. Hadits
Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744,
dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
Di
sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak guru atau para pendidik
berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan menambah kekuatan atau
kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan lebih mudah dikendalikan.
Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengendalikan murid atau anak. Ada
banyak metode yang bisa dipilih untuk menumbuhkan kepatuhan atau kedisiplinan.
Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak mempan, hukuman badan bisa
dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan kepatuhan.
Bisa
berakibat buruk terhadap hukuman yang diterima, si anak bakal memberikan reaksi
aktif atau pasif. Reaksi aktif dapat dilihat saat hukuman berlangsung.
Umpamanya, berteriak, mengentak-entakkan kaki,
Sedangkan reaksi pasif pada umumnya tidak ditunjukkan di depan orang
tuanya. Contohnya, menyalurkan kemarahan kepada adiknya atau pembantu rumah
tangganya,terjadi hampir di seluruh daerah.
Bahan hukum tertier pada penelitian
ini adalah kamus hukum, kamus agama dan ensiklopedi yang menerangkan tentang
pengertian hukuman fisik, serta hukum-hukum yang terkait, atau istilah-istilah
lain yang selama ini kurang dikenal. Kemudian artikel-artikel yang terpilih
dari surat kabar dan majalah Tempo, Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di
samping media cetak itu, penulis juga menggunakan media elektronik yaitu radio
dan televisi, terutama internet. Fokus
tulisan ini, sesuai dengan disiplin ilmu hukum (PKN) dan Pendidikan Agama Islam
yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum penggunaan hukuman fisik di
dalam. Al-Qur’an untuk mendapatkan ayat-ayat yang tepat yang memberikan
informasi tentang hukuman fisik.
Karena itu penulis terlebih dahulu merancang beberapa hal,
antara lain :
1. Tujuan
ayatnya yang jelas
2. Adanya
keterkaitannya dengan pembahasan
3. Adanya
metode pengambilan ayat yang tepat
Karena tulisan ini berupa studi lapangan yang dikuatkan dengan studi
teks atau normatif. ketersediaannya buku- buku teks berupa tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang benar-benar dapat
dikaitkan dengan hukuman fisik bagi anak-anak.
3.Karakter
dalam pandangan kebijakan lokal
Sungai Rokan ,kampung Rokan,
Kupu-kupu , di papan keranda.
Sesuku bukan , samarga bukan.,
Setanah air, saling membela..
Kupu-kupu , di papan keranda.
Sesuku bukan , samarga bukan.,
Setanah air, saling membela..
Padi perak,
berdaun suasa,
Buahnya bagai, emas merah;
Punya etos kerja, lagi berbahasa,
Itulah tanda, generasi bertuah.
Buahnya bagai, emas merah;
Punya etos kerja, lagi berbahasa,
Itulah tanda, generasi bertuah.
Menanam selasih, di bumi Riau,
Selasih ditanam, di ujung serambi,
Bagailah mana hati , tidak risau,
Jika sarjana , kehilangan budi.
Air pasang, membawa gurita,
Pasang tidak, waktu libur,
Budi tuan, lekat di mata,
Tapi jangan, jadi penganggur.
Pasang kelambu, tepi jendela,
Supaya senang, pintu dikunci;
Biar beribu dara, dan janda,
Saya memilih , yang religi.
Penat sudah, ke gunung Daik,
Tidak sampai, ke Pulau Bali.
Penat sudah, guru mendidik,
Para murid , tidak peduli.
Tidak sampai, ke Pulau Bali.
Penat sudah, guru mendidik,
Para murid , tidak peduli.
Pilih-pilih, buah kedondong,
Cari yang manis, tiada bijinya;
Terpilih pasangan, orang penodong,
Seminggu hilang, bertemu di penjara.
Cari yang manis, tiada bijinya;
Terpilih pasangan, orang penodong,
Seminggu hilang, bertemu di penjara.
Pipit ampat dibilang anam,
Terbang tinggi, tinggalkan sarang;
Sakit diubat mati ditanam,
Wajah penipu, dikenang orang.
Pisang emas, bawa belayar,
Diletak budak, di atas peti;
Para koruptor, semakin ganas,
Mengapa tidak, dihukum mati.
Pokok keladi, di tepi paya,
Bunga teratai, kembang bertaut;
Kalau berbudi, pada yang kaya,
Sama mencurahkan, garam ke laut.
Pohon pauh, tepi permatang,
Pokok pandan , tepi perigi.
Ada manusia, berperangai binatang,
Suka selingkuh, hobi korupsi..
Puas sudah, menanam ubi,
Nanas datang , dari seberang;
Puas sudah memberantas korupsi,
Kolusi juga, dilakukan orang.
Danau Maninjau , seperti kuali,
Ada selasih, di dekat tangga.
Hati risau, melihat istri,
Memadu kasih, dengan tetangga..
Pucuk manis, pucuk padi,
Daun pulut, dimakan rusa;
Kelingking berkait, merusak budi,
Hilang malu, hilang perisa.
Pucuk palas, si daun palas,
Tetak mari, beranti-ranti;
Bukan malas ,sembarang malas,
Tidur pagi, sampai tengah hari..
Pulau Daik , banyak kelapa,
Pulau Karimon, banyak pegaga;
Kelingking berkait, payah dilupa,
Beribu tahun, disumpahi juga.
Pulau Pandan, jauh ke tengah,
Gunung Daik, bercabang dua;
Gatal badan, kudis bernanah,
berteman hantu, dilakukan juga.
Pulau Pisang, Pulau Pauh,
Sampai ketiga, Pulau Kemudi;
Kami datang, dari jauh,
Ditipu orang, tidak budi.
Rumah buruk , serambi tak baik,
Serai seulas , di dalam dulang;
Rupa buruk, budi pun tak baik,
Tetap dihargai, kalau banyak uang.
Sapu
tangan, bersiring hijau,
Oleh membeli, kedai Yahudi;
Luka di tangan, kerana pisau,
Luka di hati , kerana budi.
Oleh membeli, kedai Yahudi;
Luka di tangan, kerana pisau,
Luka di hati , kerana budi.
Sapu tangan , jatuh ke laut,
Jatuh ke laut, dengan alasnya;
Amboi berat, dosa disebut,
Bermanin jin, dengan tumbalnya.
Sayang muara, tidak berbukit,
Banyak bukit , tumbuh ilalang;
Menderita berteman , orang yang pelit,
Apa dipinjam, langsung hilang.
Sayang Pak Pandir, memancing di parit,
Ditabrak motor, sampai pingsan.
Telunjuk lurus, kelingking berkait,
Berbicara kotor, humor menjijikkan.
Perompak belayar , membawa besi,
Singgah sebentar, mengambil sapu.
Jangan dibiar, pencopet berdasi,
Setiap bicara , pasti menipu..
Semenjak kentang , selalu dijerang,
Ketela tidak , lagi berisi.
Semenjak duit, disembah orang,
Beragama seksedar, berbasa-basi..
Sudah di reka, buah kuini,
Ikan di laut, ibarat bakorang;
Dari dahulu, sampai kini,,
Wanita cantik, hatinya curang..
Sungguh indah, Tanjung Lumpur,
Tempat lalu , kapal dagang;
Hati gundah, rasa terhibur,
Budi yang baik, punca kenang.
Tempat lalu , kapal dagang;
Hati gundah, rasa terhibur,
Budi yang baik, punca kenang.
Tabir-tabir, kayu dilintang,
Katak makan, si daun ubi;
Perlahan-lahan, apa dirunding,
Banyak pencuri, pura-pura berbudi.
Katak makan, si daun ubi;
Perlahan-lahan, apa dirunding,
Banyak pencuri, pura-pura berbudi.
Tanam ubi, digali ubi,
Gali ubi, tepi telaga;
Kalau Cina, menabur budi,
Budi itu, hanya taktiknya.
Tebang kayu,
buatkan sampan,
Sampan dibuat, siap kemudi;
Penjual wanita, ialah orang tampan.
Wanitanya kehilangan, harga diri..
Sampan dibuat, siap kemudi;
Penjual wanita, ialah orang tampan.
Wanitanya kehilangan, harga diri..
Tebing Tinggi , kampung ternama,
Nampak dari , Kuala Segamat;
Bila wanita, budinya lemah,
Hilanglah malu, dekatnya kiamat.
Tenang-tenang,
air di laut,
Sampan kolek, hanyut ke Cina.
Kelingking berkait, selalu tersebut,
Pelit dan licik, tiada taranya.
Sampan kolek, hanyut ke Cina.
Kelingking berkait, selalu tersebut,
Pelit dan licik, tiada taranya.
Burung gereja, ditangkap elang,
Jatuh ke parit, dekat jambangan.
Etos kerja, manakan hilang,
Rajin kreatif, jadi kenangan.
Jatuh ke parit, dekat jambangan.
Etos kerja, manakan hilang,
Rajin kreatif, jadi kenangan.
Habis lilin, sabut kelapa,
Dibakar pula, batang jerami,
Gadis miskin tidak mengapa,
Suadagar kaya bisa, berpoligami.
Dibakar pula, batang jerami,
Gadis miskin tidak mengapa,
Suadagar kaya bisa, berpoligami.
Ubi bukan, sembarang ubi,
Ubi ketela, dalam dulang;
Mencuri bukan, sembarang mencuri,
Mencuri dalam, genggaman orang?
Pohon bunga, di dalam kendi,
Dua kendi, milik kelana.
Koruptor bisa, mengenal budi,
Dalam budi, korban terlena.
Dua kendi, milik kelana.
Koruptor bisa, mengenal budi,
Dalam budi, korban terlena.
Pasang kecil, air di laut,
Sampan kolek , di Pariaman.
Anak kecil, hobi mencarut,
Setelah besar, menjadi preman.
Sampan kolek , di Pariaman.
Anak kecil, hobi mencarut,
Setelah besar, menjadi preman.
C.Metodologi penelitian
1. Pengumpulan data kepustakaan
Penulis mencari informasi di
perpustakaan, berupa buku jurnal dan internert. Semua penelitian memerlukan
studi pustaka. Walaupun orang sering membedakan antara riset kepustakaan dan
riset lapangan, keduanya tetap memerlukan penelusuran pustaka. Perbedaan
utamanya hanyalah terletak pada fungsi, tujuan
dan atau kedudukan studi pustaka dalam masing-masing riset tersebut.
Dalam riset pustaka, penelusuran pustaka penulis lebih daripada sekedar
melayani fungsi-fungsi persiapan
kerangka penelitian, mempertajam metodelogi
atau memperdalam kajian teoretis. Riset ini diharapkan dapat sekaligus memanfaatkan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya tanpa melakukan riset
lapangan.
Idealnya sebuah riset profesional
menggunakan kombinasi riset pustaka dan lapangan dengan penekanan pada salah
satu di antaranya. Namun ada kalanya
mereka membatasi penelitian pada studi pustaka saja. Paling tidak ada tiga
alasan kenapa mereka melakukan hal ini. Pertama: karena persoalan penelitian
tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan mungkin tidak bisa mengharapkan
datanya dari riset lapangan. Kedua: studi pustaka diperlukan sebagai satu tahap
tersendiri yaitu studi pendahuluan untuk
memahami gejala baru yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga: data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan
penelitiannya.
Setidaknya ada empat hal yang
penulis lakukan. Pertama: berhadapan
langsung dengan teks dan data angka dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi
mata berupa kejadian , orang atau benda-benda lain. Kedua, data pustaka
bersifat siap pakai. Dalam hal ini, data kekerasan terhadap murid. Ketiga: data
pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orisinil dari tangan
pertama di lapangan. Keempat: kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu. Penulis lebih banyak mengungkapkan konsep-konsep anti kekersan
(Bullying).
Sewaktu menghukum anak, tidak
melihat pribadinya, supaya tidak merusak hubungan dengan mereka. Apabila mereka gagal dalam
belajar, harus dibantu , bukan
menganggap mereka anak yang bodoh:
1. Allah
menciptakan satu bagian tubuh yang banyak dagingnya yang terhindar dari
luka-luka karena pukulan yaitu pantat.dan betis “.Padanya terdapat hikmat,
tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi” (Amsal 10:13).
2. “Hukuman
bagi sipencemooh tersedia '' pukulan'' bagi punggung orang bebal” (Amsal
19:29).
3. “Cemeti adalah untuk kuda, kekang untuk
keledai, dan pentung untuk punggung orang bebal” (Amsal 26:3). Dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “punggung” orang yang bebal.
Kasus kekerasan
pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Di mana jenis kasusnya yang
beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh dengan perdebatan.
Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan digunakan sebagai hak
otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak boleh mengetahuinya
karena termasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini, sehingga banyak
kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap. Menurut
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi: Kekerasan pada anak juga
dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun semua itu
harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti mengingatkan agar anak
tidak banyak nonton sinetron televisi yang menayangkan kekerasan.
Ada beberapa
pendapat tentang kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas
dan siaran televisi. Jadi, tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua harus
mengalah jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak begitu, maka anak
akan ikut-ikutan menonton televisi sampai larut dan mengabaikan tugas utamanya,
yaitu belajar, “kata Seto. Ditambahkannya, orang tua harus mampu menjadi contoh
anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah.
Kekerasan
terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan
seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah
apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada
badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja
terhadap badan anak. Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa diperlakukan
secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang
bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang
bertujuan mengeksploitasi seks di mana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada
orang lain.
2.
Pertentangan antara hukum Islam dan hukum perlindungan anak, tentang sanksi
hukuman fisik terhadap anak-anak ..?
Tidak benar, terjadi pertentangan antara Huukum
Islam dan Hukum positif, tentang larangan hukuman fifsik.Untuk lebih jelasnya
dan lebih menarik lagi keterangan di dalam Hadits Riwayat Bukhari no. 6160 dan Muslim
no.1322 , bahwa hukuman fisik
berkaitan dengan pendidikan menurut hukum Islam, awalnya dengan kata-kata:
1.Teguran
Biasanya
bila menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat
kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring
unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya
berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!”
Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun
menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!”
Setelah dua atau tiga kali, akhirnya
beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” Menghentikan
perbuatan anak
Jika
anak ribut berbicara dalam pelajaran, bisa menghentikannya dengan suara keras.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang
bersendawa di hadapan beliau:
“Hentikan sendawamu di hadapan kami!” HR. At-Tirmidzi,
dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi Hadits Riwayat al-Tirmizi
no.2478
.
2.Memalingkan wajah
Ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang
tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah
darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya. Khaled
Abou el-Fadl sendiri mengungkapkan bahwa “Islam mendefenisikan dirinya dengan
merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan
merujuk kepada suatu teks... karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam
Islam adalah teks. Teks itu dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan
reabilitas yang jelas. Oleh karena itu peradaban Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat massif terutama
dibidang al-Shari’ah (hukum Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung
proses produksi ini, tetapi sudah pasti bahwa teks memainkan peran penting
dalam penyusunan kerangka dasar referensi keagamaan dan otoritas hukum dalam
Islam”. Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan
“Tentara Tuhan”; yang berwenang dan sewenang-wenang dalam wacana Islam,
terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003:54)
3.Mendiamkan
Boleh
pula kita mendiamkan (tidak berbicara dengan) anak yang melakukan kesalahan
seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak
beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan
saudaranya lebih dari tiga hari. Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits
Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi Islam.
4.Cercaan
Jika
anak melakukan dosa besar, boleh
mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.
5.Duduk
Qurfusha.
Duduk
dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki
menempel di tanah dan paha menempel ke perut.Anak yang malas atau bandel bisa
dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha’ sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman
baginya. Ini jauh lebih baik dari pada
memukulnya dengan tangan atau tongkat.
6.Dimarahi orang tua dan guru
Bila
murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa
menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya.
Dengan cara ini, akan sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam
mendidik anak.
7.Menggantungkan cambuk
Bisa
pula digantungkan cambuk di dinding, sehingga anak mudah melihatnya dan merasa
takut mendapatkan hukuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
“Gantungkanlah
cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena demikian ini
merupakan pendidikan bagi mereka.”HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah No. 1447.
Namun
bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau tidak memerintahkan
demikian.
8.Pukulan ringan
Bila
metode lain tidak membuahkan hasil, boleh memukul dengan pukulan ringan,
terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur
sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika
berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia
sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” Hadits Riwayat
Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir, no.5744,
dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
3.Pelarangan
hukuman fisik terhadap anak-anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang perlindungan anak (UU RI No. 23
Tahun 2002).
Pasal 54 UU Perlidungan anak menyatakan:
“Guru atau siapapun tidak boleh melakukan
kekersan terhadap anak.” Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul
anak (ketika anak sebenarnya membutuhkan
perhatian). Memukul anak dengan tangan atau
kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama
dalam kehidupan anak. Walaupun ada
beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. Center for Tourism Research &
Development Universitas Gadjah Mada,
mengekspos penelitiam tentang child
abusen yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan,
Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang.
Ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian
seksual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child
neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse:
persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).
2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-
18
tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga 4. Kasus child neglect: persentase teringgi
usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%).
Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus
sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja
(3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus
physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat
kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse: rumah
(30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja (2.1%), dan tempat
lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat
umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%).
Data tersebut menunjukkan bahwa tiada
tempat yang "aman" bagi anak. Mereka memiliki hak untuk dikasihi dan dicintai. Dikisahkan pada saat Nabi
saw mendirikan shalat dan sedang sujud datanglah cucunya Hasan ra dan Husein ra. Keduanya naik ke atas punggung
beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi saw memperlama sujudnya. Seusai
shalat Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya cucu-cucuku tadi jadikanku sebagai
tunggangan. Dan aku tidak hendak bangkit dari sujud sampai mereka selesai
melampiaskan keinginannya.” betapa
lembut kasih Nabi saw kepada anak-anak
kecil. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah
ra,terdapat dalil bahwa manusia harus menggunakan kasih sayang dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Hadis maupun Qur'an
menunjukkan bahwa kekerasan bisa diatasi melalui peran sekolah dan keluarga,
terutama pasangan suami dan istri.
Penelitian yang relatif sama,
dikemukakan oleh Sejiwa, yang menyatakan bahwa yang disebut bullying adalah situasi di mana seseorang
yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan,
menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, terhadap murid bahkan kadang-kadang terhadap
anak kandungnya sendiri. Anak tak
pernah meminta untuk dilahirkan sebagaimana juga anak tak dapat memilih dari
rahim ibu mana ia harus dilahirkan. Anak tak dapat menentukan orang tua seperti
apa yang akan ia miliki.
E.Simpulan
Pertma, berdasarkan pengolahan dan analisis
data, yang
dimaksud dengan sanksi hukuman fisik bagi anak-anak, ialah memukul, menjewer
atau menjemur anak-anak, karena mereka mtelah berbuat kesalahan. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak RI, secara
tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk
memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Indonesia merupakan salah satu
anggota penandatanganan dari konversi
PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara
menjamin bahwa: ”Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman
lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau
hukuman”. Sedangkan Hukum Islam, membolehkan hukuman fisik, yang sifatnya
ringan dan terbatas. Di antara keduanya, tidak terdapat pertentangan secata
diametra, sehingga dapat dikompromikan. Pada akhirnya, selaras dan sejalan.
Kedua,
sekalipun tentang
perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2002 dengan tegas melarang hukuman fisik
terhadap anak- anak, merupakan
pelanggaraan Hak Asasi Manusia(HAM). Sedangkan Hukum Islam dapat menerimanya,
dalam batas-batas tertentu, karena ada nilai-nilai filosofis dan maqashid al-Syari’ah yang terkandung di
dalamnya, pada umumnya sesuai dengan
DUHAM.Adapun makna-makna filosofis hukum dan maqashid al-hukmi-nya yang penulis temukan ialah:
1.Bagi lembaga pendidikan, hukuman fisik itu mengandung
makna prefentif atau sadd- al-zari’ah
yang sangat diperlukan untuk menegakkan
disiplin.
2.Bagi
guru memiliki makna kewajiban, kebijakan mengatasi ktidaknyamanan dari
kenakalan, dan peringatan akan kehati-hatian.
3.Bagi
murid hukuman fisik itu memiliki makna ketaatan dan kesetiaan serta kesediaan
dan kepatutan.
Kedua, kekeetbatasan studi ini, sebagai penelitian kajian pustaka , masih ada buku dan kitab-kitab
yang berkaitan dengan hukumann fisik, yang belum sempat dilacak. Keterbatasan
penulis pula dalam menyiapkan dana, unruk mendapatkan lebih
banyak informasi. Namun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan
berbagai informasi dari buku-buku yang terjangkau di perpustakaan, bahkan buku
milik pribadi para dosen pembimbing dan informasi dari internet.
Ketiga, ada maqashid al-syari’ah,pada
hukuman fisik terhadap anak yang tidak disiplin dan tidak shalat, yaitu memukul
anak-anak sebagai cara terakhir, ialah dalam rangka hifzuddin, yaitu memelihara
agama. Tiang agama itu adalah shalat. Masalah hukuman fisik dan perlindungan
anak adalah sesuatu permasalahan yang sangat kompleks dan dapat
menimbulkan
berbagai permasalahan lebih
lanjut, dalam hal ini permasalahan
tersebut tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara
bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama. Perlindungan anak merupakan
suatu hasil interaksi
karena adanya hubungan antara fenomena yang
ada dan saling
mem-pengaruhi.
Masalahperlindungan
anak adalah suatu masalah manusia yang merupakan
suatukenyataan
sosial. Pengertian me-ngenai manusia dan kemanusiaan merupakanfaktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahanperlindungan
anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia .Mengenai
perlindungan anak
ini, sebelum Undang-Undang
Nomor 23Tahun 2002 diberlakukan, bangsa
Indonesia menggunakan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Undang-Undangtersebut
dijelaskan bahwa usaha-usaha mensejahterakan anak dan perlakuan yang adil
terhadap anak sangat diperlukan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir” b”Undang- Undang nomor 23 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,bahwa Usaha
kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama ter penuhinya kebutuhan pokok anak.
Adapun implikasi teoritik
Pertama, penulis
menentang teori HAM Barat yang tidak membolehkan pemukulan terhadap anak atau murid sama sekali. Akan tetapi teori psikologi hukum Barat
sendiri, ada yang membolehkan memukul anak, dalam batas-batas tertentu,
misalnya teori Gannoe yang berasal dari penelitian Marjorie Gannoe, yang
menyatakan bahwa anak-anak yang pernah dipukul ringan, tidak akan manja, lebih
mandiri dan lebih berprestasi di sekolahnya. Dalam Islamsejak lama, sudah
dikenal hadits yang menyakan boleh memukul anak yang tidak shalat, apabila
sudah berumur 10 tahun. Tentu saja dengan pukulan ringan.
Kedua,terjadinya
pemukulan dan hukuman fisik lainnya, baik di sekolah maupun di pesantren,
dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Faktor internal ialah ajaran agama
dan nilai-nilai adat kebiasaan serta pandangan hidup. Juga - persepsi tentang
“Sayang anak dipukul-pukuli”, dalam artian perlu dicegah dari perbuatan
terlarang, secara tegas. Sedangkan factor ekstrenalnya ialah perkelahian di
luar dan di lingkungan sekolah, serta kenakalan lainnya termasuk pergaualan
dengan remaja yang tidak berpendidikan.
Ketiga, tidak
terjadi pertentangan antara UU Perlindungan anak Indonesia dan HAM Barat di
satu pihak, dengan Hukum Islam secara diametra. Hanya saja UU Perlidungan anak
Indonesia dan HAM Barat, terlalu umum dan bersifat menyeluruh, tidak khusus dan
tidak detil. Sedangkan hukum Islam mengaturnya secara khusus dan detil.
Kemudian dasar pengambilan hukumya ialah Al-quran dan haditsk, yang merupakan
akar keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Di samping itu, adanya fiqih dan
ushul fiqih, sebagai alat menggali hukum permasalahan yang baru, untuk menjawab
tantangan zaman dan perbedaan tempat.
Saran-saran
Agar implementasi hasil penelitian
dalam bidang hukum ini, dapat dilaksanakan, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1.Kepada pihak sekolah, yang memberikan hukuman
disiplin, kepada murid-muridnya, harus mempertimbangkan perlunya dibuat
perjanjian khusus yang tertulis antara
para guru dan wali murid, tentang apa saja hukuman fisik yang akan diberikan,
jika si murid, melakukan pelanggaran disiplin?.
2.Kepada para hakim di pengadilan, yang akan memutuskan perkara
antara guru dan murid tentang hukuman fisik, agar dapat mempertimbangkan ketentuan
hukum adat yang hidup di tengah masyarakat, dan ketentuan Hukum Islam, yang
dianut secara luas di Indonesia.
3.Kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kementerian Agama RI yang mengelola pendidikan, agar membuat aturan yang
melindungi guru, karena belum ada UU khusus tentang perlindungan guru dan dosen
di Indonesia, di saat penelitian ini dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ampuni, S., Hubungan
antara Ekspresi afek Ibu dengan Kompetensi Sosial Anak Prasekolah. Tesis.
Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002
Agus M.Najib,2003, Nalar Burhani Dalam Hukum Islam ,Journal Hermenia vol 2 No.2
Juli-Desember 2003.
Bandura, Albert., Dorothea Ross and
Sheila Ross (1961). Transmission of
aggression through imitation of aggressive models. http://psychclassics.
yorku.ca/Bandura/bobo.htm. Diakses pada hari Kamis, 6 Desember 2007
Berkowitz,
L. (2003). Emosional Behavior: Mengenali
perilaku dan tindakan kekerasan di
lingkungan sekitar kita dan cara penanggulangannya. Penerjemah:
Hartatni Woro Susiatni. Jakarta: CV.
Teruna Grafica.
Bohnert, Amy M.,
Keith A. Crnic, Karen G. Lim. Feb, 2003. Emotional competence and aggressive behavior in school-age children –
1. Journal of Abnormal Child Psychology. http://findarticles.com/p/articles/mi_m0902/
is_1_31/ai_97891764. Diakses pada hari Kamis, 20 Desember 2007
Cole, Kelly.
Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta: Prestasi
Putakaraya.2004
Elfia Desi &
Vivik Shofiah..Hubungan Tindakan
Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas
Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal Psikologi, Vol.3 No. 2.Th 2007
Hurlock, Elizabeth. B.:
Developmental Psychology "A Life span approach", fifth Ed, Mc.
Graw-Hill. Inc, 2000.
Armstrong, Thomas: Setiap anak cerdas. "Panduan membantu anak belajar dengan
memanfaatkan Multiple Intelligencenya", PT. Gramedia, Jakarta, 2003
Haditono, S.R.,
dkk, Psikologi Perkembangan Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.1994
Hurlock, B.
Elizabeth. “Perkembangan Psikologi Anak”.
Jakarta: Erlangga,1998
Kasmini
Kassim, Penderitaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung). Universitas
Kebangsaan Malaysia.1998
Liputan 6.com,
(2004). Pelajar SLTP Perkosa Tiga Anak.
Online.Internet. Available http://www.liputan6.com/fullnews/76 721. Html
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .
|
Defenisi
Kekerasan (Bullying) menurut KPA (Komisi Nasional Perlindungan Anak)
Ainurrafiq (ed.
), Mathab Jogja; Menggagas Paradigma
Ushul Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz 2002.
al-‘Alwani,
Thaha Jabir, Ushul al-Fiqih al-Islami,
Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1990.
Amal, Taufik
Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas:
Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1993.
Anwar, Syamsul,
Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min ‘ilm al-Ushul Karya al-Ghazali
(450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
____________, Membangun Good Govemance dalam
Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Syari’ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Usul Fiqih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005.
____________, Pelaksanaan Syari’ah dalam Konteks Indonesia
dan Kontribusi Pendidikan: Saudi Peran Lembaga Pendidikan Tinggi Syari’ah,
Makalah diterbitkan oleh Lembaga Kajian. Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah
IAIN Raden Intan, Palembang bekerja sama dengan Penerbit Gama Media,
Yogyakarta, 2004.
____________,
“Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih
Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.
Assyaukanie, A.
Lutfi, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” dalam jurnal Paramadina, Vol. 1, No.1, Juli-Desember,
1998.
Coulson, N.J, A.
History of Islamic Law, ttp:
Edinburgh University Press, 1991.
Fanani, Muhyar,
“Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqih”, dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000.
|
_____________,
”Pergeseran Paradigma Semu dalam Ilmu-Ilmu KeIslaman (Memahami Penyebab
Mundurnya Ilmu-Ilmu KeIslaman dengan Cara Pandang Kuhn)”, dalam Jurnal Alamah, Vol.1, No. 1, September 2002.
Hallaq, Wael B, A.History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushul Fiqih, Cambridge: Cambridge University Press,
1997.
al-Jabiri,
Muhammad ‘Abid, Bunyah al- ‘Aql al- ‘Arabi: Dirasah
Tahliliyah Nagdiyyah li Nuzum al-Ma’rifah, fi as-Sagafah al-‘rabiyy’ah,
Beirut: Markaz Dirasat al-Wandah al-‘Arabiyyah, 1990.
_____________, Takwin al-Aql al-‘Arabi, Beirut:
al-Markaz as-Saqafi al-‘Arabi, 1993.
_____________,Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad
Baso,Yogyakarta:LKiS, 2000.
Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqih, cet. 4,
Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib, Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418.
Minhaji, Akh,
“Reorientasi Kajian Ushul Fikih”, dalam Jurnal al-Jami’ah No, 63/VI/1999.
_____________, Hukum Islam Antara Sakralitas dan Profanitas
(Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial
Pemikiran Hukum Islam, UN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004.
_____________,
Otoritas, Kontinyuitas, dan Perubahan dalam Sejarah Pemikiran Ushul al-Fiqih”
dalam kata pengantar Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press,
2004.
_____________,
Mencari Rumusan ushul Fiqih untuk Masa Kini, al-Jami’ah, No. 65/XII/2000.
|
_____________, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam:
Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Najib, Agus Moh,
“Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, dalam Jurnal Hermenia, Vol.2 No.2 Juli-Desember 2003.
M.Abid al-Jabiry,1990,
Bun-yah al-aql al-Arabi, dirasah
tahliliyah, naqdiyah lim Nuzum al-Makrifah al-Saqafah al-Arabiyah,(Beirut
Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah.
M.Syahrur,2007, Ilmu Dalam Ushul Fiqih: Teori Hudud Sebagai
Alternatif Pengembangan Ushul Fiqih, Disertasi IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2007
.
Muhyar
Fanani,2000, Menelusuri Epistimologi Ilmu
Ushul Fiqih, Jurnal Mikaddimah No.9 tahun 2000.
Syamsudin M.
Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo, Jakarta.2007
sy-Syatibi, Abu
Ishaq, al-Muwafagat fi Ushul al-Ahkam,
edisi Abdullah Darraz, Mesir: tnp., t.t..
Pearce, John.. Mengatasi Perilaku Buruk & Menanamkan
Disiplin pada Anak. Jakarta: Arcan, 2000
Purwakania
Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.2006
Purwandari, E.
Kristi. . Mengungkap selubung kekerasan.
Bandung Kepustakaan Eja Insani.,2004
Sarwono, Sarlito
Wirawan..Psikologi Sosial (Individu dan
Teori-Teori Psikologi Sosial).Jakarta: Balai Pustaka,2005
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak
Rahman, Jamal
Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak.
Bandung: Irsyad Baitus Salam
|
Shomad, M. Idris
A. 2002. Pendidikan Anak Dalam Rumah
Tangga Islam. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2002
Wael B.Hallaq,
2007, A.History of Islamic Legal Theories:
An Introduction To Sunn
Ushul Fiqhi, Cambridge: University
Press.
Wilson. 2000. Pengujian Hipotesis dalam Gaya Pengasuhan
Orang Tua (Tesis). Univeritas Padjajaran Bandung.
Zulmansyah
Sekedang, dkk.. Selamatkan Anak-Anak Riau.
Riau: KPAID Riau,2008
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia.http://www.kpai.go. 12 1
Kasmini Kassim.
.Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma
Terselindung). Universitas Kebangsaan Malaysia. 1998
Majalah Tarbawi.
Edisi ke-200, 2 April 2009
Lampiran 1
Drs.
Mhd. Rakib, S.H., M.Ag
31 Agustus 1959 Masehi dibilang
Lahirlah
aku, diri seorang
Waktu itu , masih ada perang
Banyak susah, dari pada senang.
Penulis lahir 52 tahun yang lalu,
di KualaKampar,Kabupaten Kampar, sekarang menjadi Kabupaten Pelalawan Riau daaratan. Tamat SD, dan Ibtida'iyah, di Penyalai, Kuala Kampar
1973 .Kemudian hijrah ke Airtiris Kampar yang jaraknya dari tempat lahir
penulis , lebih kurang 500 Km, untuk masuk Tsanawwiyah di Airtiris, Kampar,
Propinsi Riau, 1977 Dan juga Aliyah swasta di Airtiris, Kec. Kampar, 1980 Melanjutkan ke program Sarjana Lengkap “Drs”
IAIN di Pekanbaru, 1988, menambah ilmu lagi sampai dapat gelar Sarjana Hukum, “S.H” UIR di Pekanbaru,
1997, dilanjutkan ke program Magister Agama “M.Ag” S2 IAIN Pekanbaru, 2003
Pernah mengajar di SMA Negeri 4 Pekanbaru, Riau,
1985-1995 Dan Fakultas Ekonomi UIR, Marpoyan, 1995-1997 Juga di ASM (Akademi Sekretaris,
Manajemen) 1996-1993 SMU Negeri 2
Pekanbaru, Riau, 1995-1998 SMU Negeri 12 Simpang Baru, Pekanbaru,
1997-1998 SMU Plus / Unggulan
Provinsi Riau, 1998-2000
Menjadi dosen ilmu hukum dan
perbandingan agama, pada Perguruan Tinggi Persada Bunda, Pekanbaru-Riau,
semenjak tahun 1995, sampai sekarang. Menjadi widyaiswara tetap pada Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan
(LPMP) Prop. Riau, sejak tahun 2000, sampai-sekarang Ada sedikit prestasi,
yaitu Juara Pidato Pemuda Nasional di Jakarta, 1983 Juara I Juga juara umum pidato Idelogi Bung karno, se Riau ,tahun
2004 Karya Tulis Lingkungan, Depdikbud, 1995 Juara I Karya Tulis Keberhasilan
Guru, Jakarta, 1996
Tahun (2005) Penulis pernah
kuliah di S3 Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Riau kerjasama dengan UGM, tapi gagal. Kuliah lagi S3 UI Depog
Jakarta, tidak selesai, Kuliah lagi S3di
University Malaya.Kuala Lumpur, Juga tidak selesai. Kuliah lagi S3 UNISEL,
Selangor, tidak selesai. Akhirnya kulaih S3 lagi di UIN Suska Riau di Pekanbaru, sejak 2008,
masih berlangsung sampai saat ini. Alamat :
Jl. Bintara 13 D Labuhbaru Pekanbaru
0816 375 763 dan 0813 713 581
22.
Lampiran 2
PANTUN BULLYING
AND VIOLENCE
1.Pelanggaran
hak asasi
Yang dikatakan, sebuah gasing,
Bulat pendek, seperti bakul.
Yang dikatakan , tindakan bullying,
Prilaku orang , suka memukul.
Bakul besar, diinjak kerbau,
Bakul berisi, pisau tajam.
Memukul manusia, seperti kerbau,
Itulah bullying, yang kejam.
Asal mulanya, datang kepinding,
Dari kelilawar, yang mengepak.
Asal mulanya, istilah bullying,
Dari pekerjaan, gembala ternak.
Tengku berjualan, ke Tanjung Bilah,
Paritnya runtuh, setiap bulan.
Perilaku penggembala, sampai ke sekolah,
Murid dan guru, pukul-pukulan.
Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan.
Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.
Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai membunuh siswanya.
2.Masalah yang sangat serius
Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan:
Yang dikatakan, sebuah gasing,
Bulat pendek, seperti bakul.
Yang dikatakan , tindakan bullying,
Prilaku orang , suka memukul.
Bakul besar, diinjak kerbau,
Bakul berisi, pisau tajam.
Memukul manusia, seperti kerbau,
Itulah bullying, yang kejam.
Asal mulanya, datang kepinding,
Dari kelilawar, yang mengepak.
Asal mulanya, istilah bullying,
Dari pekerjaan, gembala ternak.
Tengku berjualan, ke Tanjung Bilah,
Paritnya runtuh, setiap bulan.
Perilaku penggembala, sampai ke sekolah,
Murid dan guru, pukul-pukulan.
Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah jika tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan.
Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.
Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai membunuh siswanya.
2.Masalah yang sangat serius
Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan:
“These
behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create
interpersonal problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip
pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003)
menyatakan:
“In addition, minor forms of aggressive
behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this
progression may create an environment in which violence is normatively
acceptable”.
Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.
Apakah yang dimaksud dengan perilaku agresif (aggressive behavior)?, mengapa perilaku agresif bisa muncul? dan bagaimanakah upaya penanganannya, khususnya di setting sekolah?. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang perilaku agresif dan wujudnya di sekolah, teori tentang penyebab timbulnya perilaku agresif, serta beberapa alternatif upaya penanganannya.
Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.
Apakah yang dimaksud dengan perilaku agresif (aggressive behavior)?, mengapa perilaku agresif bisa muncul? dan bagaimanakah upaya penanganannya, khususnya di setting sekolah?. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang perilaku agresif dan wujudnya di sekolah, teori tentang penyebab timbulnya perilaku agresif, serta beberapa alternatif upaya penanganannya.
3.Jika keadaan memaksa
Duku lisut, terkena petasan,
Walaupun masak, tak punya rasa.
Perilaku Agresif, melakukan kekerasan,
Dalam keadaan, sangat memaksa.
Sebakul pulut, di dekat bara,
Asap mengepul, api menjalar.
Memukul murid, masuk penjara,
Tidak dipukul, muridnya kurang ajar.
Ketam darat, dapat dilembing,
Ketam lautnya, ditusuk besi.
HAM Barat, melarang bullying,
HAM Timur hanya, membatasi.
Semua kucing, pandai memanjat,
Kalau sahat, mudah melirik.
Tidak semua bullying, jelek dan jahat,
Kalau penggunaannya, teratur dan baik.
Menggunakan piring, harus perlahan,
Kalau pecah, tangan terluka.
Penggunaan bullying, berlebihan,
Itulah pembawa, malapetaka.
Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan violence. Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai berikut:
There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and violence.
Dalam tulisan ini, tidak diperdebatkan apakah ketigabuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan sebagai perilaku agresif.
Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003). Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.
Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on others”. Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.
Sedikit berbeda dengan definisi di atas, Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”. Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perilaku agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.
Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh Persson (2005: 81) sebagai berikut:
In the present study, the definition of aggression was broadly formulated to encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but also acts that result in negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal, rather than to hurt a peer.
Berdasarkan pendapat di atas, sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti atau merugikan orang lain. Dengan demikian, seorang siswa yang karena perbuatannya tidak dengan sengaja menyakiti temannya, tidak digolongkan berperilaku agresif, berbeda dengan perilaku siswa yang dengan sengaja menyerang temannya dengan tujuan menyakiti.
Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif, masing-masing ahli berbeda-beda dalam menggolongkan bentuk-bentuk perilaku agresif, ada yang menggolongkan bentuk perilaku agresif ke dalam bentuk fisik dan bentuk mental (misalnya Berkowitz, 2003), ada yang membaginya ke dalam bentuk perilaku agresif langsung dan perilaku agresif tidak langsung (misalnya Wilson, 2003). Sementara itu, Persson menggolongkan perilaku agresif ke dalam empat bentuk sebagaimana yang ia nyatakan sebagai berikut: “The form of the aggressive behaviour could be (1) physical; (2) verbal; (3) social/relational; or (4) manifested as grabbing or destruction of peers’ objects” (Persson 2005: 84).
Dalam tulisan ini, perilaku agresif digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu fisik dan mental, dengan masing-masing.
Walaupun masak, tak punya rasa.
Perilaku Agresif, melakukan kekerasan,
Dalam keadaan, sangat memaksa.
Sebakul pulut, di dekat bara,
Asap mengepul, api menjalar.
Memukul murid, masuk penjara,
Tidak dipukul, muridnya kurang ajar.
Ketam darat, dapat dilembing,
Ketam lautnya, ditusuk besi.
HAM Barat, melarang bullying,
HAM Timur hanya, membatasi.
Semua kucing, pandai memanjat,
Kalau sahat, mudah melirik.
Tidak semua bullying, jelek dan jahat,
Kalau penggunaannya, teratur dan baik.
Menggunakan piring, harus perlahan,
Kalau pecah, tangan terluka.
Penggunaan bullying, berlebihan,
Itulah pembawa, malapetaka.
Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan violence. Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai berikut:
There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and violence.
Dalam tulisan ini, tidak diperdebatkan apakah ketigabuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan sebagai perilaku agresif.
Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003). Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.
Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on others”. Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.
Sedikit berbeda dengan definisi di atas, Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku agresif sebagai berikut: “behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”. Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perilaku agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.
Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh Persson (2005: 81) sebagai berikut:
In the present study, the definition of aggression was broadly formulated to encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but also acts that result in negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal, rather than to hurt a peer.
Berdasarkan pendapat di atas, sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti atau merugikan orang lain. Dengan demikian, seorang siswa yang karena perbuatannya tidak dengan sengaja menyakiti temannya, tidak digolongkan berperilaku agresif, berbeda dengan perilaku siswa yang dengan sengaja menyerang temannya dengan tujuan menyakiti.
Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif, masing-masing ahli berbeda-beda dalam menggolongkan bentuk-bentuk perilaku agresif, ada yang menggolongkan bentuk perilaku agresif ke dalam bentuk fisik dan bentuk mental (misalnya Berkowitz, 2003), ada yang membaginya ke dalam bentuk perilaku agresif langsung dan perilaku agresif tidak langsung (misalnya Wilson, 2003). Sementara itu, Persson menggolongkan perilaku agresif ke dalam empat bentuk sebagaimana yang ia nyatakan sebagai berikut: “The form of the aggressive behaviour could be (1) physical; (2) verbal; (3) social/relational; or (4) manifested as grabbing or destruction of peers’ objects” (Persson 2005: 84).
Dalam tulisan ini, perilaku agresif digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu fisik dan mental, dengan masing-masing.
4.Prilaku agresif
- Perilaku agresif secara fisik, contohnya:
Mendorong, Menarik, Memukul, Menendang, Mengguncang, Melempar, Mencubit, Mencakar, Mencekik , Menarik rambut, dll.
- Perilaku agresif secara mental, conyohnya:
Mengancaman, Melotot, Mengolok-olok, Mengejek, Mengata-ngatai, Membentak, Meneriaki, Mengasingkan, Menyebarkan rumor.
Penyebab Perilaku agresif.Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya. Khusus mengenai perilaku agresif, misalnya, mereka yang menggunakan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif. Sementara mereka yang menekankan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif. Adapun menurut pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian.
Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain. Sementara itu, teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.
Teori-teori perilaku agresif yang telah dikemukakan di atas sebagian besar merupakan “pandangan yang pesimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif menjadi perilaku yang positif. Sebagai seorang yang bergelut di dunia pendidikan, penulis lebih tertarik dengan “pandangan yang lebih optimis” terhadap kemungkinan dapat diubahnya perilaku agresif.
Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif. Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui pengalaman langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given). Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi). Perilaku akan ditiru bila; 1) orang yang ditiru dikagumi dan 2) meniru menimbulkan perasaan bangga (me-nimbulkan penguatan emosional). Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu ketimbang memperhatikan faktor individu itu sendiri.
Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi. Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).
5.Transfer nilai
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington & Parke, 1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.
Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson, dkk., 2002).
Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan, maka tulisan berikut lebih berorientasi pada pandangan-pandangan tersebut, di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman akan dapat membentuk perilaku seseorang.
Intervensi terhadap Perilaku Agresif. Akhir-akhir, banyak dikemukakan teori tentang keterkaitan antara kemampuan emosional dan munculnya psychopathology, utamanya perilaku agresif (eg., Cole, Michel, & Teti, 1994; Cole & Zahn-Waxler, 1990; Dodge & Garber, 1991, dalam Bohnert, et al., 2003: 1). Kemampuan mengatur emosi mempegaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyimpulkan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisai dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Yanti, 2005). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman, dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya.
Penolakan oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya justru semakin berdampak buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan temannya yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Seolah-olah seperti “lingkaran setan”. Hal ini akan membuat keterampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.
Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not innately given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi dan melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik. Senada dengan pendapat tersebut, Kelly dkk. (dalam Yanti 2005) mengatakan bahwa keterampilan sosial adalah perilaku yang dipelajari, yang digunakan individu dalam situasi interpersonal untuk memperoleh atau memelihara pengukuh dari lingkungannya.
Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani perilaku agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional ternyata menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program tersebut semakin berkurang sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan: “…and the longer they had been in the program, the less aggressive they were as teenagers”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional
Sulit untuk menyusun daftar yang lengkap tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu berhasil dalam interaksi sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri, kesempatan untuk berhasil secara sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks, dan budaya. Namun demikian, menurut Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998), agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan emosi, dan perilaku yang tampak yaitu:
a. Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.
b. Menangkap dan mengolah informasi mengenai partner sosial dan lingkungan pergaulan yang berpotensi menimbulkan interaksi.
c. Menggunakan berbagai cara yang dapat digunakan untuk memulai komunikasi atau interaksi dengan orang lain, memeliharanya, dan mengakhiri-nya dengan cara yang positif.
d. Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau tujuan tindakan tersebut.
e. Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.
f. Bersikap sungguh-sungguh dan memperhatikan kepentingan orang lain.
g. Mengekspresikan emosi positif dan menghambat emosi negatif secara tepat.
h. Menekan perilaku negatif yang disebabkan adanya pikiran dan perasaan yang negatif mengenai partner sosial.
i. Berkomunikasi secara verbal dan non verbal agar partner sosial dapat memahaminya.
j. Memperhatikan usaha komunikasi orang lain dan memiliki kemauan untuk memenuhi kemauan partner sosial.
Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial yang mereka tafsirkan sebagai permusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.
Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali muncul karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari orang lain yang cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. “… children with aggressive behavior more often make errors interpreting intent in ambiguous social situations and attend selectively to hostile social cues than do their nonaggressive peers” (e.g., Crick & Dodge, 1994, dalam Bohnert, et al., 2003: 2).
b. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk meninjau dari sudut pandang anak lain, untuk memperoleh perasaan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasa-kan oleh orang lain dalam perselisihan-perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.
c. Siswa dilibatkan secara langsung untuk mengendalikan amarah melalui skenario-skenario peragaan, misalnya diejek, yang dapat membuat mereka marah dan dituntun untuk mengendalikannya.
d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada asumsi bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat berkomunikasi dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam Bohnert, et al., 2003: 2): “Aggressive symptoms were associated with decreased ability to verbally express negative feelings, exhibit empathy towards others, and display a range of emotion”
Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya. Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan demikian, siswa yang mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.
Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.
Lampiran 4
KIAT
MENGHINDARI BULLYING DAN HAZING
Untuk menghindari bullying dan hazing,
selain dari orang tua dan guru, harus punya strategi yang cerdik, ikhlas dan bijak.
Khusus untuk di sekolah, agar beragam les yang dijalani anak tidak hanya
sekedar keinginan orang tua, ada beberapa tips yang perlu diperhatikan:
1.Sesuaikan dengan bakat dan minat anak
Mencarikan les yang tepat untuk anak,
orang tua perlu
menyesuaikan dengan bakat dan minat anak.Tanyakan pada anak les apa yang diinginkannya.
menyesuaikan dengan bakat dan minat anak.Tanyakan pada anak les apa yang diinginkannya.
2.Pilih
tempat les yang menyenangkan
Karena anak akan belajar dalam
waktu yang tidak
sebentar maka orang tua perlu mencarikan tempat les yang tepat untuk anak. Anak
butuh tempat les yang aman dan nyaman dan memahami dunia anak, dengan konsep melakukan pembelajaran yang menyenangkan.
sebentar maka orang tua perlu mencarikan tempat les yang tepat untuk anak. Anak
butuh tempat les yang aman dan nyaman dan memahami dunia anak, dengan konsep melakukan pembelajaran yang menyenangkan.
3.Berimotivasi
pada Anak
Ketika anak sudah memilih les yang
diinginkan, berikan dukungan padanya. Sampaikan bahwa les ini tepat untuknya
dan memberikan bekal untuk jadi orang hebat di masa yang akan datang.
4.Berikan
waktu istirahat
Ada kalanya anak mengalami kejenuhan
ataupun kebosanan.
Ketika masa itu tiba, tidak ada salahnya memberikan sedikit kelonggaran untuk
istirahat, tidak masuk les. Tetapi motivasi tetap diberikan orang tua agar
semangatnya muncul kembali.
Ketika masa itu tiba, tidak ada salahnya memberikan sedikit kelonggaran untuk
istirahat, tidak masuk les. Tetapi motivasi tetap diberikan orang tua agar
semangatnya muncul kembali.
5.Bantu anak merasakan manfaatnya
Anak butuh mengetahui dan merasakan
manfaat dari les
yang diikutinya. Jika les bisa menambah
ketrampilannya, membuatnya semakin pintar (mahir) dari hari ke hari, tentu anak
akan semakin semangat mengikuti les tersebut. Peran orang tua untuk membantu
anak mampu melihat manfaat yang didapat dan perubahan yang terjadi pada dirinya
sekecil apapun perubahan itu.
yang diikutinya. Jika les bisa menambah
ketrampilannya, membuatnya semakin pintar (mahir) dari hari ke hari, tentu anak
akan semakin semangat mengikuti les tersebut. Peran orang tua untuk membantu
anak mampu melihat manfaat yang didapat dan perubahan yang terjadi pada dirinya
sekecil apapun perubahan itu.
6.Stop..!
Jika membebani anak
Bila les yang dilakukan terasa membebani
anak dan tidak lagi “fun” bagi mereka, maka ada baiknya dihentikan saja. Jika
segala cara yang dilakukan untuk memompa semangatnya tidak jua membangun
motivasinya,
dan mengikuti les justru membuat anak menjadi “stress” ada baiknya berikan
penawaran ke anak apakah di mau dilanjutkan atau berhenti saja.
dan mengikuti les justru membuat anak menjadi “stress” ada baiknya berikan
penawaran ke anak apakah di mau dilanjutkan atau berhenti saja.
Pelajarilah hal yang berkaitan
dengan GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas) sering kali tidak
disadari orang tua, dan baru tampak nyata setelah anak masuk sekolah. Guru
harus menditeksi dan menanganinya sejak dini akan menentukan masa depan si
anak. Semua tentu berawal dari rumah. Setelah
deteksi masalah anak secara dini, orang tua perlu mencari informasi tentang
penanganan GPPH. Menjalin hubungan dengan sesama orang tua yang punya masalah
sama sangat membantu mendapatkan info tentang penanganan yang tepat, rujukan
tempat terapi, dan sekolah yang sesuai untuk anak. Karena anak GPPH biasanya
memerlukan dokter anak, psikolog, psikiater, guru, dan terapis, orang tua punya
peranan memilih tim yang dirasa paling pas untuk anaknya.
Juga
yang terpenting, dari rumahlah anak dibekali pemahaman tentang kondisinya agar
ia tak menilai dirinya sebagai anak bodoh, selalu gagal, atau merasa tak
disayang oleh keluarga.
Memang tak mudah menangani anak
GPPH di rumah. Orang tua tak hanya dituntut belajar berbagai strategi mengatur
tingkah laku, juga perlu kerja keras, konsistensi, dan kesabaran. Sebab,
terkadang cara disiplin yang sukses untuk anak lain tak bisa diberlakukan pada
anak istimewa ini. Strategi apa yang secara umum terbukti berhasil?
7.Rutinitas, struktur, dan konsistensi
Buatlah
jadwal harian dalam bentuk visual dan tempelkan di tempat yang mudah dilihat.
Bila ada perubahan, beritahu sebelumnya. Tetapkan peraturan di rumah secara
jelas beserta konsekuensinya bila anak melanggar peraturan tersebut.
Konsistensi dalam penerapan disiplin, pemberian reward bagi tingkah laku
positif, dan penerapan konsekuensi atau hukuman haruslah konsisten.
Agar
anak tidak bingung,biasanya dilakukan tindakan sebagai berikut:
1.Fokuskan pada hal-hal positif
Untuk
meningkatkan rasa percaya diri anak, beri perhatian lebih pada keunggulan anak
dan saat-saat ia melakukan tingkah laku positif. Berikan penghargaan atas usaha
yang dilakukan meski hasilnya belum memuaskan. Temukan aktivitas yang
disukainya dan kembangkan kemampuannya agar dapat dibanggakan.
2.Penjelasan yang sederhana dan singkat
Berikan
penjelasan dengan kata-kata sederhana, singkat, dan dalam situasi tenang.
Tariklah perhatiannya sebelum mulai menjelaskan. Pastikan ia mendengarkan orang
tua dan tidak sedang melamun atau asik beraktivitas. Gunakan nada suara datar,
monoton, dan tegas saat bicara dengan anak GPPH.
3.Hindari argumentasi
Beri
perintah dan larangan dengan singkat dan tegas. Abaikan saja protes atau
komentarnya, jangan terlalu banyak menjelaskan ini dan itu karena akan dibalas
dengan bantahannya. Yang penting katakan konsekuensi bila anak tidak menurut.
“Kalau Dika mandi sekarang, Dika boleh main sepeda. Tapi kalau Dika tidak mau mandi,
Dika harus tetap di rumah.” Kalau perlu katakan berulang dengan nada suara
tanpa emosi meski anak terus protes.
4.Abaikan hal-hal yang tidak penting
Orang
tua perlu menyadari anak GPPH tidak mungkin dituntut berperilaku teratur dan
taat terhadap norma sosial. Buatlah daftar tingkah laku yang diinginkan dari si
anak dan menjadi prioritas misalnya anak mampu menghindarkan diri dari bahaya,
tidak bertindak agresif, mengerjakan tugas sebaik mungkin. Hal-hal lain yang
tidak menjadi prioritas sebaiknya tidak dijadikan masalah hingga anak tidak
frustasi.
"If a
child cannot learn the way we teach we must teach him the way he can learn." Tugas para guru adalah menyesuaikan cara mengajar dengan
kebutuhan anak.
"I always knew
there was something wrong, but no one would take any notice." Tujuh
persen orang tua merasa bahwa anak mengalami dyslexia, tetapi mereka tidak tahu
harus berbuat apa.
There is little doubt
that the three R’s — reading, ’riting and ’rithmetic — are crucial elements in
the education of any child. When a child is unable to master the three R’s they
become three D’s — dyslexia, dysgraphia or dyscalculia.
Anak sulit belajar? Hal tersebut
sangat menjadi momok bagi orang tua di jaman sekarang. Anak terpaksa les
macam-macam, tidak ada waktu bermain, semua jadi sibuk mengajar anak. Eh… tidak
tahunya anak mengalami dyslexia. Mau les sampai berjam-jam juga sia-sia. Kesulitan belajar merupakan istilah yang
digunakan bila prestasi anak tidak sesuai dengan intelegensinya. Anaknya
pintar, kok raportnya jeblok? Penyebabnya banyak. Yang paling sering dan sudah
banyak diketahui misalnya ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
dengan ciri sulit berkonsentrasi, impulsif atau berbuat dan berbicara tanpa
pikir panjang, dan hiperaktif tidak bisa diam. ADHD bukan termasuk kesulitan
belajar, tetapi merupakan masalah gangguan perilaku.
Penyebab kesulitan belajar lain
yang relatif masih jarang diketahui adalah kesulitan belajar spesifik, misalnya
gangguan membaca (dyslexia), gangguan matematika (dyscalculia), dan gangguan
mengekspresikan suatu hal dalam bentuk tulisan (dysgraphia). Dyslexia jarang
ditemukan? Tidak juga. Di negara barat dyslexia terjadi pada 5-10% di antara
anak sekolah. Anak laki-laki mungkin sedikit lebih banyak. Di antara ketiganya, yang paling banyak adalah
gangguan membaca atau dyslexia. Istilah dyslexia sebenarnya merupakan suatu
tipe dari gangguan membaca, tetapi sering dijadikan satu saja. Kali inipun kita
gunakan istilah dyslexia yang lebih populer. Dyslexia adalah ketidak mampuan
membaca sesuai umurnya, padahal intelegensinya normal. Kalau penyebabnya
retardasi mental, tidak diajar membaca, tidak mendapat kesempatan belajar, atau
ada penyakit fisik tidak termasuk dalam dyslexia.
Mengapa dapat
terjadi dyslexia? Dahulu dianggap bahwa dyslexia terjadi karena gangguan
gerakan bola mata untuk membaca. Akibatnya banyak terapi ditujukan kepada
fungsi mata, misalnya vison therapy. Pendapat ini ternyata tidak benar dan
terapi seperti ini tidak dianjurkan lagi. Sudah diketahui bahwa ada beberapa
perbedaan otak anak dyslexia dengan anak lain. Perbedaan pertama adalah bahwa
otak anak dyslexia tidak menunjukkan asimetri pada pusat berbahasa di otak, di
daerah temporal. Pada anak biasa, daerah temporal di otak kiri lebih besar
dibandingkan kanan. Pada anak dyslexia, kiri dan kanan sama saja. Perbedaan
kedua adalah bahwa pada anak dyslexia terdapat gangguan sel saraf di beberapa
daerah otak yang berhubungan dengan kemampuan membaca, misalnya di daerah
parietal dan temporal. Gangguan sel saraf ini sudah terjadi sejak anak masih
dalam kandungan. Ada faktor keturunan? Ya pada sebagian kasus. Ada riwayat
kesulitan membaca pada orang tua, paman atau nenek.
Keluhan fisik
Kadang-kadang
anak mengeluh sakit namun orangtua tidak dapat menemukan apa penyakitnya.
Mungkin inilah yang disebut sebagai gejala psikosomatis (somatoform
disorder), yang akan memunculkan berbagai gangguan fisik.—salah satunya
seperti contoh di atas.
Penyebab Somatoform
disorder bermacam-macam, yang pasti itu terjadi sebagai refleksi stres
dalam menghadapi suasana baru, tuntutan sekolah, berpisah dari orangtua (meski
hanya saat bersekolah). Stres dapat menyebabkan gangguan baik langsung berefek
pada tubuh maupun pikiran, memunculkan berbagai gangguan sehingga anak menjadi
sakit.
Apa gejala Somatoform Disorder?
- Sakit kepala
- Sakit perut (abdominal distress)
- Hilang keseimbangan, juling.
- Sakit punggung
- Kelelahan (fatique)
- Sakit otot
- Masalah dalam pelajaran, menolak bersekolah, menarik diri dari pergaulan, kecemasan dan masalah dalam berperilaku kadang-kadang menyertai Somatoform disorder.
Somatoform
disorder harus dibedakan menjadi dua; Malingering
disorder dan Factitious disorder, yang mana keduanya dibedakan
atas sengaja atau tidak disengaja.
Apa yang dapat dilakukan orang tua?
- Terlebih dahulu orangtua instropeksi diri, apakah selama ini mereka sudah mampu mengelola stres mereka dengan baik. Penelitian menunjukkan orangtua yang memiliki pengalaman traumatik seperti gempa atau perang, akan menularkan stresnya kepada anak.
- Begitu juga dalam kehidupan perkawinan, bagaimana hubungan dan komunikasi anda dan pasangan, apakah berjalan baik?
- Menjaga berkomunikasi dengan baik. Buka keran komunikasi sebesar-besarnya dengan anak. Anak-anak merasa nyaman jika orangtua mau mendengarkan mereka.
- Jangan paksakan anak dengan berbagai kegiatan. Buatlah jadwal agar mereka dapat tidur cukup, bermain, dan melakukan aktivitas lain yang menyenangkan.
- Anak membutuhkan bantuan, antara lain terapi perilaku kognitif, relaksasi, dan teknik biofeedback, bahkan jika perlu obat-obatan.
- Bagaimanapun, gangguan yang dialami anak yang membuatnya begitu ‘tersiksa’ saat bersekolah memerlukan pertolongan, dan sebagai orangtua anda mesti mewaspadainya. Agar tidak berlanjut, konsultasikan dengan ahli.
Defenisi
anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Defenisi
undang-undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun.
Undang-undang ini juga mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab
anak dimuka hukum.
Kekerasan (Bullying)
menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik dan psikologis
berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang
yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk
melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan
tidak berdaya.
e-Bina Anak, 2009: 215,
menyatakan bahwa mendisiplinkan
dengan pemberian hukuman, sebaiknya cara terakhir yang digunakan dalam
mendisiplinkan anak. Dewasa ini, hampir semua pendidik
barat menentang pemberian hukuman secara fisik sebab tindakan itu hanya
menyelesaikan masalah sementara waktu saja dan member akibat sampingan yang
tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak
berfaedah. Alkitab mengajarkan,
1.“Siapa
tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi
anaknya menghajar dia pada waktunya” (Amsal 13:24),
2.
“Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya
dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan
nyawanya dari dunia orang mati” (Amsal 23:13).
Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru
boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.
Syamsul
Anwar, Membangun Good Governance dalam
Penyelenggaraan Birokrasi Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif
Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5. Mengenai teori
pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma,
yaitu:
Pertama, norma-norma dasar atau
nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti kemaslahatan, keadilan,
kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan fakta-fakta
dan sudah diakui. Kedua, norma-norma
tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu an-nazariyyah al fiqhiyyah
dan al-qawa ‘id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret
(al-ahkam al far ‘iyyah). Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hierarkis
dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang lebih
kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah
(doktrin umum) berupa kaidah fiqhiyyah yaitu “kesukaran memberi kemudahan”.
Norma tengah ini dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya
hukum boleh berbuka puasa bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan
sebagai salah satu pendekatan dalam pengembangan paradigma hukum Islam yaitu
paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis jadikan sebagai paradigma
alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori
induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam
mengoperasionalkan paradigma tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrafiq
(ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma
Ushul Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002 :
147-162).
Asy Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa
ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih sebagai ilmu burhani yang qat’i
sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan hukum Islam yang valid
secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, hlm. 29-34.
Isteri yang nusyuz menurut at-Qur'an boleh
diberikan sanksi. Sanksi yang dikenakan terhadap isteri yang nusyuz, menurut
makna tekstual ayat di atas adalah dinasehati, dibiarkan sendirian di tempat
tidurnya dan dipukul. Tiga cara ini dilakukan secara bertahap sesuai urutannya.
Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, para ahli tafsir kemudian mengemukakan
pandangan yang beragam. Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal
ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka; Abu Hayyan at Andalusi dalam
tafsirnya Al Bahr at Muhith. Ia mengatakan: “(Dalam menghadapi isteri yang
nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif
boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya
sendirian tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan
ringan atau dengan cara lain yang membuatnya merasa tidak berharga, bisa juga
dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera akibat sakit, asal tidak
mematahkan tulang dan berdarah. Dan jika cara-cara tersebut masih juga tidak
efektif menghentikan ketidaktaatannya, maka suami boleh mengikat tangan isteri
dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami.(Abu Hayyan al
Andalusi, Tafsir at Bahr at Muhith. Dar al Kutub al Ilmiyyah,
Beirut, Juz III, 252).
Lampiran 6
PANTUN INTISARI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
Peti ikan, diikat suasa,
Dibeli
oleh, orang asing.
Intisari
pendidikan, karakter bangsa,
Memicu
kemampuan, daya saing.
Derum hanyut, Teluk meranti,
Gelombang Bono , terus meluncur.
Kurikulum boleh, beganti-ganti,
Tanpa dayasaing, pendidikan hancur.
Bagaimana Putri, dan pengeran asing,
Indahnya duduk, di singgasana.
Bagaimana memiliki, dayasaing,
Lihatlah kegigihan, keturunan Cina.
Saat ini tengah gencar-gencarnya
membahas tentang pendidikan karakter bangsa. Sehingga dalam pembelajaran
sehari-hari para guru dituntut untuk memasukkan muatan pendidikan karakter
bangsa. Masalahnya bagi guru-guru
penggerak roda pendidikan yang ada di bawah alias para praktisi ini kurang
mendapat sosialisasi. Sehingga banyak diantara mereka yang tidak tahu muatan
dari pendidikan karakter bangsa itu meliputi apa saja sih?
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Kaarakter Bangsa
1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Kaarakter Bangsa
1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin : Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
5. Kerja Keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8. Demokratis : Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11. Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai : Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi
17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
19. Punya daya saing : Sikap ingin selalu unggul, mengantisipasi segala kemungkinan kalah.
20. Tidak bisa ditipu : Kini
para penjahat punya serbu satu daya tipu, baik di dalam maupun di luar negeri.
Semoga dapat bermanfaat dalam penerapan pendidikan karakter bangsa. Sehingga cita-cita untuk menjadi bangsa yang berkarakter mampu berdaya saing segera terwujud.
Dokter serius,
menginjeksi.
Agar virus, cepat tersingkir.
Karakter religius, bertoleransi,
Seiman jangan, dituduh kafir.
Menangkap tekukur, kucing kurus,
Buaya ditangkap, di dalam parit.
Orang jujur,telunjuknya lurus,
Orang khianat, kelingking berkait.
Mudik ke hulu, di sisi batu,
Hanyut buaya, di dua sisi.
Berbeda suku, saling membantu,
Berbeda agama, bertoleransi.
Nanas dijual, di pasar niaga,
Tidak lagi, tampak berduri,
Emas perak, perhiasan dunia,
Sikap disiplin, perhiasan diri.
Ombak di laut meniti buih,
Ombak datang dari seberang;
Bekerja keras, pertanda kasih,
Sepanjang zaman, dikenang orang?
Mengintip dara, memasang pita.
Selendang dipakai, nampak jarang;
Kreatif itu punya, dayacipta,
Sumbangan untuk, semua orang.
Kalau berdiri, dekat periuk,
Tentu saja, terkena arang;
Sikap mandiri, kelakuan elok,
Ke mana pergi, disayang orang.
Orang Jawa, jadi artis,
Jeketnya dibuat, dari benang;
Pejabat berjiwa, demokratis,
Pemimpin hebat, tetap dikenang.
Orang di hulu, menebang jati,
Orang di darat, membuat titian.
Karakter ingin tahu,disebut curiosity,
Membuat berbagai, penelitian.
Rebus lokan, panggang lokan,
Lokan terdapat, di pulau putri.
Adapun semangat, kebangsaan,
Mementingkan masyarakat,dibandingkan diri..
Padi perak ,dalam ember,
Buahnya merah,dekat kuali.
Karakter cinta, tanah air,
Selalu setia, dan sangat peduli.
Pagi-pagi menanam selasih,
Selasih ditanam di hujung serambi;
Bagailah mana hati tak kasih,
Kerana tuan baik budi.
Yang dikatakan, pandai besi,
Membuat parang, cepat siap.
Yang dikatakan, menghargai prestasi,
Memanfaatkan dengan, cara beradab.
Pasang kelambu, jangan terlambat,
Nyamuk jangan, hinggap di muka.
Yang dikatakan karakter, bersahabat,
Berbagi dalam, suka dan duka.
Orang Dumai, masak menega,
Orang Duri, menuai padi.
Cinta damai, tanpa curiga,
Licin dan licik, tidak terjadi.
Memar pecah, buah kedondong,
Cari yang manis tiada bijinya;
Gemar membaca, pasti beruntung,
Seagala ilmu, itulah kuncinya.
Istri empat, pembantunya enam,
Raja industri, dari seberang.
Peduli lingkungan, harus ditanam,
Hutan lestari, hiduppun tenang.
Naik kapal, membawa kain,
Kain kasa, dekat sumur.
Peduli sosial, membantu simiskin,
Tandanya bangsa, akan makmur..
Teroris tiarap, memakai sorban,
Helykopter, sudah menanti.
Bertanggung jawab, rela berkorban,
Itulah karakter, pahlawan sejati.
Helikopter, negara asing,
Memasukkan candu, puluhan ton.
Memilki karakter, daya saing,
Jangan hanya, jadi penonton.
Jam beker tidak, di pintu,
Pindahkan saja,dekat peti.
Karakter yang tidak, mudah ditipu.
Selalu curiga, dan harus teliti.
Puas sudah, menanam ubi,
Nanas juga, dari seberang;
Puas sudah, hidup teliti,
Sempat juga, ditipu orang.
Agar virus, cepat tersingkir.
Karakter religius, bertoleransi,
Seiman jangan, dituduh kafir.
Menangkap tekukur, kucing kurus,
Buaya ditangkap, di dalam parit.
Orang jujur,telunjuknya lurus,
Orang khianat, kelingking berkait.
Mudik ke hulu, di sisi batu,
Hanyut buaya, di dua sisi.
Berbeda suku, saling membantu,
Berbeda agama, bertoleransi.
Nanas dijual, di pasar niaga,
Tidak lagi, tampak berduri,
Emas perak, perhiasan dunia,
Sikap disiplin, perhiasan diri.
Ombak di laut meniti buih,
Ombak datang dari seberang;
Bekerja keras, pertanda kasih,
Sepanjang zaman, dikenang orang?
Mengintip dara, memasang pita.
Selendang dipakai, nampak jarang;
Kreatif itu punya, dayacipta,
Sumbangan untuk, semua orang.
Kalau berdiri, dekat periuk,
Tentu saja, terkena arang;
Sikap mandiri, kelakuan elok,
Ke mana pergi, disayang orang.
Orang Jawa, jadi artis,
Jeketnya dibuat, dari benang;
Pejabat berjiwa, demokratis,
Pemimpin hebat, tetap dikenang.
Orang di hulu, menebang jati,
Orang di darat, membuat titian.
Karakter ingin tahu,disebut curiosity,
Membuat berbagai, penelitian.
Rebus lokan, panggang lokan,
Lokan terdapat, di pulau putri.
Adapun semangat, kebangsaan,
Mementingkan masyarakat,dibandingkan diri..
Padi perak ,dalam ember,
Buahnya merah,dekat kuali.
Karakter cinta, tanah air,
Selalu setia, dan sangat peduli.
Pagi-pagi menanam selasih,
Selasih ditanam di hujung serambi;
Bagailah mana hati tak kasih,
Kerana tuan baik budi.
Yang dikatakan, pandai besi,
Membuat parang, cepat siap.
Yang dikatakan, menghargai prestasi,
Memanfaatkan dengan, cara beradab.
Pasang kelambu, jangan terlambat,
Nyamuk jangan, hinggap di muka.
Yang dikatakan karakter, bersahabat,
Berbagi dalam, suka dan duka.
Orang Dumai, masak menega,
Orang Duri, menuai padi.
Cinta damai, tanpa curiga,
Licin dan licik, tidak terjadi.
Memar pecah, buah kedondong,
Cari yang manis tiada bijinya;
Gemar membaca, pasti beruntung,
Seagala ilmu, itulah kuncinya.
Istri empat, pembantunya enam,
Raja industri, dari seberang.
Peduli lingkungan, harus ditanam,
Hutan lestari, hiduppun tenang.
Naik kapal, membawa kain,
Kain kasa, dekat sumur.
Peduli sosial, membantu simiskin,
Tandanya bangsa, akan makmur..
Teroris tiarap, memakai sorban,
Helykopter, sudah menanti.
Bertanggung jawab, rela berkorban,
Itulah karakter, pahlawan sejati.
Helikopter, negara asing,
Memasukkan candu, puluhan ton.
Memilki karakter, daya saing,
Jangan hanya, jadi penonton.
Jam beker tidak, di pintu,
Pindahkan saja,dekat peti.
Karakter yang tidak, mudah ditipu.
Selalu curiga, dan harus teliti.
Puas sudah, menanam ubi,
Nanas juga, dari seberang;
Puas sudah, hidup teliti,
Sempat juga, ditipu orang.
Anak
Riau, asal Kepri,
Terpaut hatinya, di Payakumbuh.
Hatiku risau, tidak terperi,
Pendidikan Indonesia, ketinggalan jauh.
Terpaut hatinya, di Payakumbuh.
Hatiku risau, tidak terperi,
Pendidikan Indonesia, ketinggalan jauh.
Pucuk manis, sambal terasi,
Tukang arit, makan meraba.
Yang manis, bernama prestasi,
Yang pahit, bernama narkoba.
Pucuk palas, si daun palas,
Letakkan saja, di atas lemari.
Bukan malas, sembarang malas.
Orang malas, tak akan mandiri.
Pulau Daik, banyak penyengat.
Pulau Karimun, banyak pegaga;
Kelingking berkait, tetap diingat,
Beribu tahun, dikenang juga.
Pulau Pandan, jauh ke tengah,
Nampak dari, pantai Andalas.
Penipuan terbesar, tentang tanah,
Suratnya berlapis, tiga belas.
Pulau pisang, pulau pauh,
Pasirnya seperti, bintang di langit.
Penipuan yang datang, dari jauh,
Masuk ke kamar, lewat internet.
Rumah jelek, serambi tak baik,
Ikan tenggiri, di dalam dulang;
Wajah jelek, prestasi baik,
Intelektual tinggi, dipuja orang.
Sapu tangan, berbunga hijau,
Paduka membeli, pada Yahudi;
Luka di tangan, karena pisau,
Luka bangsa, karena korupsi.
Sapu tangan, jatuh ke laut,
Dimakan oleh, ikan buntal.
Amboi berat, dosa disebut,
Menyembah Setan, demi jabatan.
Pinggiran muara, tidak berbukit,
Banyak bukit, di Tanjung Karang;
Korupsimu tuan, bukan sedikit,
Bisa dimakan, milyaran orang.
Si hidung bengkok, licin dan licik.
Si gigi jarang, suka berkorban.
Kalau ada , penemuan yang baik,
Harus segera, anda patenkan.
Pesawat terbang,mesinnya besi,
Melayang-layang, di atas laut.
Semua sekolah,punya prestasi,
Masyarakat harus, ikut menyambut.
Semenjak Cina, mengexport keladi,
Talas dan ubi, jadi merana.
Semenjak Palestina, dijajah Yahudi,
Teroris tumbuh, di mana-mana.
Ulat bulu , baru menyerang,
Pohon mangga, di banyak negeri.
Dari dahulu, sampai sekarang,
Indonesia kaya, energi mentari.
Di Jawa, Lapindo berlumpur,
Di Aceh, gempa bergetar.
Hati gundah, rasa terhibur,
Indonesia banyak, orang pintar.
Ada penjahat, memanjat dinding,
Tikus dan cecak, terus berbunyi.
Perlahan-lahan, dalam berunding,
Bisa berdebat, pandai melobi.
Kesenangan sultan, rebus keladi,
Keladi tumbuh, tepi telaga;
Jutaan penipuan, sudah terjadi,
Orang yang bodoh, tertipu juga.
Ikat pedati, di dekat sampan,
Sampan dibuat , banyak ruang.
Pejabat mati, karena perempuan,
Pengusaha mati, karena uang.
Sarang penyengat, jatuh ke motor,
Nampak seperti, bunga melati;
Bila teringat, bertebarnya koruptor,
Elok diterapkan, hukuman mati.
Tenang-tenang, air di laut,
Sampan nelayan, berisi terasi,
Pornografi, dan suka mencarut,
Jadi hiburan, preman berdasi.
Daerah palas, gilang-gumilang,
Banyak lilin, di pinggir tebat.
Karakter pemalas, manakan hilang,
Tanpa disiplin, yang sangat ketat..
Ikan patin, gulai kelapa,
Hendak dijual, ketika menugal.
Tuan miskin, tidak mengapa,
Asalkan ibadah, jangan tinggal.
Ubi banyak, bermacam ubi,
Ubi ketela, sedang terjerang.
Lobi banyak, bermacam lobi.
Lobi Yang licik, ditakuti orang
|
Time skedul
BAB / SUB BAB TARGET KETERANGAN
………………………………………………………………………………………………
1. Diam-diam bullying
masih menjadi alat yang efektif
Januari 2012 selesai diedit
………………………………………………………………………………………………
2 .Keajaiban Rotan Kecil yang
keramat
Maret
2012
………………………………………………………………………………………………..
3.Pantun Bullying dan violent
April
2012
………………………………………………………………………………………………
4.Kiat Menghindari Bullying
Mei 2012
………………………………………………………………………………………………..
5 Pantun Intisari Pendidikan
Karakter Bangsa
Juni
2012
………………………………………………………………………………………………
No comments:
Post a Comment