MENYADARKAN PEMIMPIN YANG ZALIM
MELALUI SEMBAHYANG HAJAT
Drs.M.Rakib
Janib Jamari,S.H.,M.A.
Widyaiswara LPMP (Lembaga Pejaminan Mutu Pendidikan) Prov.Riau.
“Rumah dinas,“ ujar Aditya, “sudah
dipenuhi perabotan mewah. Seperti, mobil, tape, piano, kulkas, dan kursi tamu.”
Hoegeng sontak gusar dan langsung memerintahkan anak buahnya menaruh semua
perabotan itu di pinggir jalan.(Penulis/M.Rakib, pengagum berat Hoegeng Iman
Santoso. Dia adalah guruku, walaupun aku tidak pernah bertemu langsung
dengannya.)
1.Pantun Orang Zalim.
Coba lakukan,
sembahyang hajat,
Pemimpin yang zalim, bisa bertobat,
Jangan disumpah, atau dilaknat,
Agar keberuntungan, di pihak rakyat.
Orang yang sangat jujur, memang
nekad,
Walaupun kepada kepala, sangat
hormat.
Tetap kritis, dalam urusan
masyarakat,
Tidak takut dipecat, dari pejabat.
Dirinya bahagia, hidup miskin,
Asalkan bersih, tegakkan
disiplin.
Kaya moral, indahnya bukan main,
Keselamatannya, Tuhan yang jamin.
Melawan Kepala yang zalim,
Dengan hukum, Tuhan yang Qadim.
Memakai cara, sopan dan alim,
Aturan pemerintah, setiap musim.
Di setiap kantor, seluruh dunia,
Baik negeri, maupun swasta.
Ada pegawai yang, teraniaya,
Oleh atasan, yang disebut kepala.
Dosa kepala, minta ampun,
Yang beruntung, siapa sekampung,
Sesuku dan sehobi,menjadi mumpung.
Yang lainnya, menjadi terkurung.
Dari kepala kantor, sampai kepala negara,
Orang yang, jujur mereka aniaya.
Jika terusik, kepentingan
kelompokya.
Peraturan dicampakkan,
semaunya.
Setiap orang jujur, pasti nekad,
Melawan kepala, apapun akibat.
Tidakkan pernah, menjadi penjilat,
Sampai nyawa, dicabut Malaikat.
Imam
Santoso, melawan kepala negara,
Yang
melanggar, aturan yang ada.
Jabatannya
ditarik, imam bahagia,
Mantan
Kapolri, tak punya harta benda.
Imam
Santoso, menutup toko kembang istrinya demi kepentingan negara. Menyamar jadi
pelayan restoran zaman agresi Belanda. Nyaris disantet karena membongkar
penyelundupan. Nekat melawan penguasa otoriter.
Hoegeng Iman Santoso.
Pemuda
berambut cepak itu tergesa-gesa memasuki pekarangan sebuah rumah kuno
peninggalan Belanda di kawasan Menteng, Jakarta, dan terus melangkah ke bagian
belakang. Wajahnya cemberut. Persis di depan bangunan mirip gudang, ia berhenti
sejenak, lalu perlahan membuka pintunya. Di situ terlihat sejumlah lukisan
menempel di dinding, juga beberapa kanvas yang masih polos. Ia lantas meraup
kuas-kuas yang berserakan dan mengunting habis bulu-bulunya.
Kejadian di
penghujung Oktober 1968 itu tak pernah lekang dari ingatan Aditya Soetanto,
pemuda itu. Ia waktu itu sangat kecewa lantaran pendaftaran calon taruna
Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sudah tutup. Ihwalnya, ia cuma perlu
tanda tangan bapaknya untuk surat keterangan bahwa dirinya putra tunggal dalam
keluarga. Tapi sang bapak menolak dan membiarkannya lama menunggu. Akibatnya, ia
terlambat mendaftar. Rasa kesal pun ia lampiaskan ke peralatan lukis bapaknya:
Hoegeng Iman Santoso.
Saat itu Hoegeng belum lama dilantik sebagai Kepala
Kepolisian Negara, pada 5 Mei 1968 (sejak 1969 disebut Kepala Kepolisian
Republik Indonesia atau Kapolri). Uniknya, ia tak ingin gara-gara putra
Kapolri, Aditya diluluskan dari ujian masuk AURI. “Kalau memang berprestasi,
kamu bakal lulus, nggak usah pakai katabelece segala, ya
sudah, kamu pergi saja sana mendaftar!” tutur Aditya menirukan ucapan bapaknya.
Itu hanyalah
satu dari banyak kisah tentang sosok Hoegeng yang termasyhur integritasnya
sebagai abdi negara. Sampai-sampai keluarganya tidak diberi celah sedikit pun
untuk memanfaatkan jabatan dan pengaruhnya. Ia sangat teguh berprinsip:
“Pemerintahan yang bersih mesti berawal dari atas, sebagaimana orang mandi,
guyuran air selalu dimulai dari atas kepala,” tulis Asvi Warman Adam
dalam Menguak Misteri Sejarah.
Sikap tegas
Hoegeng juga pernah menyasar istrinya, Merry. Sehari sebelum dilantik sebagai
Kepala Jawatan Imigrasi di masa Orde Lama, ia meminta Merry menutup toko
kembang miliknya yang terletak di sudut Jalan Cikini. Tentu saja ia
kebingungan, “Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Bapak?” Dengan kalem,
Hoegeng menjawab, “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan
kembang di toko kita, dan tentu tidak adil bagi toko-toko kembang lainnya.”
Hoegeng
memulai kariernya di kepolisian sejak zaman Jepang dan bertugas di Pekalongan
dengan pangkat bintara, tulis Aris Santoso dalam Hoegeng: Oase
Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa. Ia lalu
hijrah ke Sukabumi demi mengikuti pendidikan kader polisi Jepang (Koto Kaisatsu
Gakko) untuk strata perwira.
Namun, bersama siswa lainnya, Hoegeng harus menanggung
kekecewaan. Pasalnya, saat kelulusan, pemerintahan Jepang malah menurunkan
pangkat semua siswa kembali menjadi bintara. Merasa tak puas, para siswa lalu
melancarkan aksi mogok belajar menentang kebijakan itu.
Saat Agresi Militer II Belanda yang ditandai penyerbuan
Yogyakarta, Hoegeng tetap bertahan di kota Kesultanan Hamengkubuwono IX. Ia
diperintahkan untuk memata-matai pasukan Belanda. Dalam tugas rahasia yang
kelak diakuinya sangat berkesan itu, ia menyamar sebagai pelayan Restoran
Pinokio di Jalan Jetis.
Insp.
Polisi Hoegeng mempersilahkan Wk. Kepala Polisi Sumarto memberikan wejangan.
Pada Desember
1955, ia dipercaya sebagai Kepala Direktorat Badan Reserse Kriminal, Medan.
Penugasan itu, ungkap Aditya, menjadi salah satu pengalaman penting dalam hidup
Hoegeng. Saat itu berkembang mitos di jajaran kepolisian bahwa Medan dan
Sumatera Utara pada umumnya termasuk wilayah berat, sekaligus ajang uji coba.
Artinya, bila sukses mengemban tugas di sana, karir bakal
meleijit: dan jika gagal akan masuk kotak. Jaksa Agung Soeprapto yang
menugaskan Hoegeng menegaskan, ”Banyak judi, korupsi, smokel (penyelundupan),
dan pemberontakan di Aceh lagi, harap kamu tangani ini, sebab kami percaya
kamu!”
Benar saja.
Begitu kaki Hoegeng menjejak pelabuhan Medan, gerombolan pebisnis haram itu langsung melobinya. Mereka mengatakan terus
terang bahwa mobil dan rumah mewah sudah menunggu. Tapi Hoegeng menolak dan
memilih menginap di hotel. Entah bagaimana, rencananya pindah ke rumah dinas
tercium mereka. “Rumah dinas,“ ujar Aditya, “sudah dipenuhi perabotan mewah.
Seperti, mobil, tape, piano, kulkas, dan kursi tamu.” Hoegeng sontak gusar dan
langsung memerintahkan anak buahnya menaruh semua perabotan itu di pinggir
jalan.
Selama
bertugas di Medan, Hoegeng berhasil membongkar serangkaian kasus kejahatan dan
menyeret para pelakunya ke penjara. Sukses ini membuatnya makin disegani
sekaligus dibenci lawan-lawannya. Ia, misalnya, pernah menerima ancaman santet
dari seorang perwira polisi yang ketahuan membeking penyelundupan minyak nilam
dari Teluk Nibung ke Penang, Malaysia. Konon, perwira itu akhirnya menyesali
perbuatannya. Ia lalu mendatangi Hoegeng untuk meminta ampunan.
Saat
pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) meletus,
Hoegeng menjadi salah satu target pemberontak. Namun ironisnya, “Bapak sempat
dituduh terlibat Partai Sosialis Indonesia, padahal partai politik itu dituding
mendalangi PRRI,” imbuh Aditya. Tak lama, Hoegeng diperintahkan kembali ke
Jakarta dan nama baiknya dipulihkan.
Presiden
Soekarno kemudian memerintahkan Hoegeng menjalankan misi penting: membujuk
Soemitro Djojohadikusumo pulang ke Indonesia. Setelah berhasil melaksanakannya,
ia kembali dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan penting di era Soekarno.
Mulai dari kepala Jawatan Imigrasi hingga Menteri Iuran Negara dalam Kabinet
Seratus Menteri. Di masa Orde Baru, ia masih sempat mengecap jabatan di level
itu. Sejarah mencatat, keruntuhan Orde Lama disusul pencopotan sejumlah pejabat
yang loyal pada Soekarno—terutama yang terlibat Partai Komunis Indonesia.
Sementara Hoegeng justru dipercaya menjadi Kapolri.
Lukisan mantan-mantan Kapolri, yang
diantaranya
Hoegeng Imam Santoso.
Karakter Hoegeng yang tegas, tumbuh
dari tradisi kepolisian Orde Lama yang sama sekali berbeda dengan Orde Baru. Di
masa Soekarno, Kapolri otomatis menjabat Menteri Muda dan duduk di kabinet.
Sementara, di era Soeharto, hukum militer yang diberlakukan lewat doktrin ABRI
mengikat jajaran kepolisian. Otoritas Hoegeng pun makin menciut. Nah, karena
banyak tindakannya yang melampaui batasan itu, ia bisa disebut “nekat”.
Orang yang sangat jujur, memang
nekad,
Walaupun kepada kepala, sangat
hormat.
Tetap kritis, dalam urusan
masyarakat,
Tidak takut dipecat, dari pejabat.
Dirinya bahagia, hidup miskin,
Asalkan bersih, tegakkan
disiplin.
Kaya moral, indahnya bukan main,
Keselamatannya, Tuhan yang jamin.
Imam Santoso
mengusut tuntas kasus Sum Kuning: pemerkosaan penjual jamu gendong yang
melibatkan anak pejabat di Yogyakarta. Juga penembakan mahasiswa ITB, Rene
Louis Conraad, oleh taruna kepolisian, Oktober 1970. Kasus itu berpotensi
membesar dan politis lantaran terkait lembaga ITB. Hoegeng buru-buru
menyambangi kampus ITB dan menenangkan mahasiswa. Ia pun berhasil menyeret
pelakunya ke meja hijau.
Hoegeng akhirnya dipensiunkan dini pada 1971. Padahal masa
dinasnya masih lima tahun lagi. Pencentus penggunaan helm ini sebelumnya
diisukan tersandung kasus kakap: sindikat penyelundupan mobil mewah yang
melibatkan orang-orang lingkaran dalam kekuasaan Suharto.
Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004. Di hadapan para pelayat,
Aditya berkata, “Almarhum pernah bercerita soal kenapa ia tak pernah
menambahkan Iman Santoso di belakang nama Hoegeng. Rupanya, beliau ingin
membuktikan dulu sampai akhir hayat, imannya benar-benar sentosa. Sekarang,
saya nyatakan, bapak saya sudah bernama lengkap: Hoegeng Iman Santoso.”
Hoegeng
Imam Santoso.
Oposisi Orde Baru
Bapak, kenang Aditya, pernah mengajaknya bicara di ruang
makan usai pengrusakan alat melukis itu. Intinya, Hoegeng berpesan, cukup ia
saja yang menjadi aparat pemerintah. Di kemudian hari, Aditya baru mengetahui,
ternyata sekolahnya selama ini dibiayai dari hasil penjualan lukisan itu.
Saat dikaryakan dari kepolisian ke imigrasi, Hoegeng pernah
menolak dibelikan mobil dinas baru. Ia mengaku sudah cukup dengan mobil dinas
polisinya. Begitu pula sewaktu menjabat Menteri Iuran Negara: Hoegeng diminta
pindah ke rumah dinas yang lebih besar. Tapi lagi-lagi ia menolak karena
tugasnya sebagai menteri adalah mencari uang untuk negara, bukan
menghamburkannya.
Setelah pensiun, lelaki kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921
ini menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat grup Hawaian Senior.
Namun ia kemudian dilarang tampil lagi dengan alasan acara itu tidak sesuai
budaya Indonesia. Pada Mei 1980, Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50.
Himpunan para tokoh itu mengeluarkan petisi tentang keprihatinan terhadap
penyelenggaran negara oleh Orde Baru. Para penandatangannya antara lain Bung
Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, Moh. Natsir, dan A. H. Nasution.
Sejak itu, mereka menjadi oposisi yang diperhitungkan namun kerap ditindas
rezim Orde Baru.
Kata kunci
dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk melawan kepala-kepala apa
saja yang zalim, dan membebaskan diri dari faham status quo. Ide
tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor
psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu
keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas
peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan
aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi
tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal
(Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau
sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.
Kata Kunci: Arsenal,
Hukum Progresif, Pembebasan diri.
2. Hukum
proresif melawan kepala
Gagasan hukum
progresif, melawan kepala, akan menjelajahi kekuatan dan kemampuan apa saja
yang ada dalam naluri progresif, yang dapat disumbangkan kepada pembangunan
hukum di negeri kita. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di
sekitar apa yang secara konkrit dilakukan oleh hukum-hukum progresif.
Berdasarkan hal-hal itulah artikel ini diberi judul “arsenal melawan kepala
melalui hukum progresif”. Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh
kegalauan para kepala, menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era
reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan kepala-kepala negara, mulai
dari Soekarno, Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu,
harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung
tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat
mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk
mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan
survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini
menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga
menuai kekecewaan.
Kepala yang bodoh dan bebal,
Tidak mengenal, orang bermoral.
Berteman penjilat, dijadikan modal,
Berbuat zalim, tidak menyesal.
Mungkin baik untuk memulai risalah ini
dengan membicarakan moral melawan kepala yang zalim, melalui hukum progresif.
Kandungan moral “melawan” ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti,
mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih
baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral “melawan dan merobohkan”
tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai
kesinambungan antara merobohkan dan membangun (Jurnal Hukum Progresif Volume 2,
Nomor 1/April 2006). Moral melawan melalui hukum progresif ingin mendorong agar
cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu
ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.
Kandungan moral “melawan” yang demikian
itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah
hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad,
manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di
situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada
waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak
betah tinggal di situ.
Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar
mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa
Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih
mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari
setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih
lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan
dengan membuat amandemen-amandemen.
Pada masa awal reformasi, di
penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi
perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu,
problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi
undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan
memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi
jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak
bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar
undang-undang baru.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah,
bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut
mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam
mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework) besar
yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta
menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial,
politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang
benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan
masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik.
Artikel ini merupakan kelanjutan
dari tulisan-tulisan mengenai hukum progresif yang lalu (baca beberapa nomor
“Jurnal Hukum Progresif”) dengan menjelajahi lebih lanjut hal apa saja yang
dapat dilakukan oleh hukum progresif untuk mengubah dan memperbaiki kualitas
berhukum. kita. Dengan demikian tulisan ini dibuat dengan
maksud untuk meneliti dan mengiventariser sekalian potensi kekuatan dan
pemikiran, sebagai suatu arsenal yang dimiliki hukum progresif.
3. Pembahasan
Gagasan hukum progresif lahir di
tengah-tengah kegalauan sebagaimana diuraikan di atas, dan karena itu lebih
sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu kontemplasi
abstrak. Namun demikian,
karena ia dilontarkan dan berasal
dari komunitas
akademik, maka pemikiran-nyapun perlu bersifat komprehensif dan di sini
pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan.
Hukum progresif mengajak bangsa ini
untuk meninjau kembali (review) cara-cara berhukum di masa
lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur,
antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum,
perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang
bersifat keperilakuan dan psikologis, seperti tekad dan kepedulian (commitment), keberanian (dare), determinasi,
empati serta rasa-perasaan(compassion).
Pada aras dasar yang formal, maka
perundang-undangan dan sekalian kelengkapan untuk menjalankannya (enforce) segera
menyedot perhatian kita. Sejak Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka
konstitusi dan perundang-undangan menjadi landasan untuk bertindak. Sekalipun
demikian, kendati sama-sama mendasarkan pada hukum, belum tentu sekalian orang
juga sama dalam memaknai hukum atau undang-undang itu. Perbedaan dalam memaknai
hukum berlanjut pada cara berhukum.
Salah satu cara berhukum yang sangat
merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada
kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara yang demikian itu merupakan hal
yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai
menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks itu dan tetap seperti itu sebelum
diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum
sebagai mesin besar perundang-undangan yang harus dijalankan. Di sini
penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan
tombol”. Para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, sudah menjadi sekrup-sekrup
belaka dari mesin yang besar itu.
Lebih daripada itu, maka gaya
berhukum dengan tradisi civil law tersebut cenderung kuat
untuk menerima hukum sebagai skema yang final (finite scheme), bukan
sebagai panduan yang progresif, berbeda dengan common law yang
bertumpu pada pengadilan. Hukum adalah sesuatu yang sudah selesai dibuat (oleh
legislatif) (geleerd recht, van den Bergh, 1980) dan bukan
sesuatu yang setiap kali dibuat (oleh pengadilan). Dengan cara berhukum seperti
itu menjadi tidak mudah bagi hukum untuk mengikuti dinamika kehidupan. Cara ini saya namakan sebagai cara
berhukum yang mem-pertahankan status quo.
4. Hukum yang keliru
dan zalim
Hukum progresif ingin mengajak
masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status
quo, sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan. Pemahaman
seperti itu akan mengatakan, bahwa hukum yang ada harus diterapkan “at
all cost”. Hukum adalah suatu skema dan suatu
skema yang final (finite scheme). Tidak ada cara berhukum yang
lain, titik. Hukum progresif mengajak masyarakat untuk melihat kekeliruan
tersebut sebagai faktor penting yang menyebabkan kinerja hukum menjadi buruk.
Cara berhukum yang status-quo sentries,
lazim bergandengan dengan alam pikiran positivistik-analitis. Di sini orang
lebih membaca undang-undang sebagai mengeja undang-undang, daripada membacanya
secara bermakna. Memang, untuk menjadi sekrup dari
mesin hukum yang baik, maka menjalankan hukum secara bermakna dapat menjadi penghalang.
Mengikuti saja apa yang telah ditulis dianggap sebagai cara berhukum yang
benar, sedang mencoba menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan
jalannya mesin menjadi tersendat-sendat.
Kata kunci dalam gagasan hukum
progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari fahamstatus quo tersebut[1]. Ide
tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor
psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu
keberanian (dare).Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas
peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi
juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga
melibatkan predisposisi personal [2]. Pelaku
hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak,
melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat. Indonesia sebetulnya tidak
kering dari contoh-contoh hakim dan jaksa yang memiliki disposisi personal
(baca: keberanian) seperti itu. Sebutlah Gatot Mangkupradja, Baharudin Lopa,
Adi Andojo Soetjipto, dan lain-lain. Hakim dan jaksa yang berani dan
berintegritas itu tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di pelosok-pelosok
tanah air dan tidak dikenal oleh masyarakat. Karena mereka hanya “jaksa kecil”
saja, maka apabila berani bertindak di luar garis komando, dengan mudah
dipindah ke tempat lain yang terpencil. Mereka ini adalah jaksa-jaksa
kecil yang berani, tetapi menjadi korban dari doktrin “kejaksaan
adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah” (een en ondeelbaar).
Berbicara dalam terma tipologi, maka
cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe berhukum dengan nurani (conscience). Berhukum
sebagai mesin bertolak belakang dengan tipe hukum bernurani ini. Penilaian
keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun
formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas.
Cara berhukum itu tidak hanya
menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion. Di
sinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti tersebut di atas, yaitu
empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan
berbicara mengenai “nurani pengadilan” (conscience of the court), “nurani
kejaksaan”, “nurani advokat” dan seterusnya.
Kendatipun hukum progresif sangat
menekankan pada perilaku nyata dari para aktor hukum, namun ia tidak
mengabaikan peran dari sistem hukum di mana mereka berada. Dengan demikian
hukum progresif memasuki dua ranah, yaitu sistem dan manusia.
Keduanya membutuhkan suntikan yang mencerahkan sehingga menjadi progresif. Para
pelaku boleh bertindak progresif, tetapi apabila sistemnya menghambat, seperti
cerita tentang jaksa kecil di atas, maka tindakan mereka menjadi sia-sia
belaka. Seorang jaksa yang berpikiran dan bertindak progresif akan terbentur
pada tembok “satu dan tidak dapat dipecah-pecah” itu. Alih-alih menjadi
“pahlawan”, mereka malah menjadi orang yang bersalah (culprit). Hal
yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu manakala sumberdaya manusia yang
menjalankan hukum itu tidak berwatak dan berpikir progresif.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka
progresifitas menyangkut, baik peran pelaku hukum, maupun sistem itu sendiri.
Keadaan menjadi ideal, manakala baik manusia maupun sistemnya sama-sama
progresif. Para aktor dalam hukum belch progresif, tetapi, seperti contoh di
atas, apabila sistemnya tidak mendukung, maka mereka yang progresif malah akan
menjadi pihak yang salah (culprit).Dengan demikian, dalam konteks
ide hukum progresif, maka kita perlu juga untuk meneliti mana-mana sistem yang
menghambat atau berpotensi menghambat laju hukum progresif.
Hal yang sebaliknya dapat juga
terjadi, yaitu manakala sistem dan sekalian perangkat lunak telah dirancang
dengan progresif, tetapi apabila sumberdaya manusia yang ada tidak progresif,
maka rancangan tersebut tak dapat diwujudkan secara optimal.
Namun, seraya berupaya membangun
sistem yang progresif, langkah yang segera dapat dilakukan adalah menyediakan
pelaku-pelaku yang bermental progresif. Inilah sesungguhnya yang di sana-sini
terjadi di negeri kita. Hakim-hakim, seperti Adi Andojo Soetjipto, Bismar
Siregar, Benjamin Mangkudilaga, serta jaksa, seperti Baharudin Lopa, adalah
contoh pelaku-pelaku yang berani “menempatkan diri di luar sistem” yang ada,
dengan risiko yang kita semua sudah tahu. Lopa, bahkan sempat “masuk kotak”
sebagai staf ahli menteri, sebelum kemudian “direhabilitasi” menjadi Jaksa
Agung. Sedikit cahaya terang tidak hanya bersinar di pusat Jakarta dan hanya
dimonopoli oleh pelaku-pelaku besar, tetapi juga di tingkat lokal dan oleh
orang-orang kecil.
Studi Bank Dunia yang dikemas dalam
laporan berjudul “Menciptakan Peluang Keadilan”[3],
lebih memastikan, bahwa pada tingkat dan “pelaku-pelaku kecil” masih dapat
dijumpai orang-orang yang cukup progresif, kendatipun dengan inisiatif sendiri
dan harus berani menanggung risiko sendiri pula. Seorang hakim pengadilan
negeri di Sumatera Barat mengatakan, “Jakarta tidak memperhatikan orang-orang
seperti saya”.
Hukum tak dapat hanya memikirkan
urusannya sendiri tanpa memahami dan menyadari, bahwa ia tertanam dalam
struktur politik tertentu. Dahulu, pada masa pemerintahan Presiden .Suharto,
dominasi, bahkan hegemoni kekuatan politik Suharto sangat besar. Hukum hampir
menjadi identik dengan “kemauan” Suharto. Siapa yang berani melawannya akan ditumpas. Dalam iklim
politik yang demikian itu, maka hukum menjadi aman dengan berlindung di bawah
kekuasaan politik. Baik hakim, jaksa dan lain-lain akan
selamat, selama mereka mengikuti dan menjalankan kemauan politik yang berkuasa.
Putusan-putusan pengadilan yang progresif akhirnya akan dimentahkan pada
tingkat pengadilan tertinggi, seperti kasus-kasus “Tempo” dan “Kedungombo”.
Demikian pula dengan hakim yang memiliki keberanian dan integritas, seperti Adi
Andojo Soetjipto dan jaksa, seperti Baharudin Lopa, yang sempat dimasukkan ke
dalam kotak staf ahli. Hanya pergantian kekuasaan politik yang mampu memulihkan
citra Lopa yang sebenarnya dan “direhabilitasi” menjadi Jaksa Agung.
Sistem hukum yang progresif pada
intinya adalah sistem yang mampu membebaskan pikiran dan kekuatan progresif
dalam hukum, bukan malah menghambat dan membelenggunya. Sebuah disertasi yang
ditulis oleh Yudi Kristiana[4],
barangkali dapat menjadi contoh mengenai gagasan pembangunan sistem yang
progresif, dalam hal ini sistem kejaksaan. Dalam studinya terhadap kejaksaan
Indonesia, Kristiana menemukan, bahwa “(B)irokrasi kejaksaan dalam
penanganan tindak pidana korupsi masih konvensional. Hal ini ditandai dengan karakter
birokrasi yang melekat yaitu: bersifat birokratis, sentralistik, menganut
pertanggungjawaban hirarkis dan berlaku sistem komando. Keempat
karakter itu diturunkan dari doktrin bahwa ‘kejaksaan adalah satu’(een en
ondeelbaar)”.
Menurut Kristiana,
pertanggungjawaban hirarkis dari bawah ke atas merupakan salah satu sisi lemah
sistem kejaksaan. Pertanggungjawaban model tersebut menjadikan
(penyalahgunaan) kekuasaan dalam birokrasi tidak terkontrol, sejauh ada saling
pengertian pada semua lini. Struktur yang birokratis-sentralistik itu
menjadikan kejaksaan rawan terhadap berbagai hal atau praktik negatif.
Sistem hukum tidak kunjung menjadi
progresif apabila kita tidak memiliki badan pembuat undang-undang yang
progresif pula. Sistem hukum itu bertumpu pada perundang-undangan. Manakala
produk legislatif itu sendiri tidak memberi peluang kepada muncul dan
berperannya kekuatan-kekuatan progresif dalam hukum, maka sistem hukum itu
sendiri hanya menjadi sumber dari ketidakprogresifan itu. Dari studi Yudi
Kristiana ditemukan, bahwa birokrasi dan sentralisme yang ketat menghambat
munculnya pikiran progresif dan lebih menyuburkan terjadinya praktik yang
tercela.
Hukum progresif menghendaki agar cara
berhukum kita tidak mengikuti model status quo, melainkan
secara aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga
manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih meningkat. Oleh karena itu hukum
progresif sangat bersetuju dengan pikiran-pikiran kreatif dan inovatif dalam
hukum untuk menembus kebuntuan dan kemandekan.
Membaca Laporan Bank Dunia berjudul
“Menciptakan Peluang Keadilan”[5],
kegalauan kita terhadap kehidupan hukum di Indonesia menjadi sedikit terobati.
Laporan tersebut didasarkan pada penelitian “Village Justice in
Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum di Tingkat Lokal”.
Dalam laporan tersebut ditemukan orang-orang yang mandiri, baik di kejaksaan
maupun pengadilan, yang atas inisiatif dan risiko sendiri menciptakan peluang
keadilan di tingkat lokal. Dikatakan sebagai menciptakan peluang, karena mereka
tidak bekerja menurut “teks”, melainkan secara kreatif membuka peluang
untuk “bringing justice to the people”. Orang-orang seperti
itu sudah bekerja “beyond the call of duty” dan tidak hanya
bekerja menurut permintaan “kantor”. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang
pekerjaan orang-orang seperti itu sebagaimana ditemukan dalam studi Bank Dunia
tersebut.
Indro Djoko Pramono, seorang jaksa
di Cilacap, berhasil menyelesaikan kasus korupsi yang ditanganinya sejak dari
penyusunan berita acara hingga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sampai
mengeksekusi, hanya dalam waktu empat setengah bulan, sedangkan rata-rata waktu
yang dibutuhkan untuk kasus yang sama adalah dua tahun.
Sahlan Said, hakim di Yogyakarta,
memfasilitasi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis LSM pemantau keadilan
terhadap pengadilan negeri tempat is bertugas, untuk mencegah terjadinya
kesalahan penanganan perkara dalam sebuah kasus korupsi yang cukup besar.
Hakim Gunawan Gusmo, berhasil
memediasi 14 perkara perdata selama tahun 2003, sedang upaya untuk mendamaikan
para pihak di luar proses hukum formal, yang disyaratkan oleh hukum acara
perdata selama ini hanyalah lip service belaka.
Irfanuddin, seorang hakim pengadilan
negeri di Lampung, dalam kondisi di bawah tekanan, intimidasi dan ancaman,
mampu menghukum seorang pejabat lokal yang melakukan tidak pidana korupsi.
Putusan hakim Irfanuddin merupakan terobosan, karena berisi beberapa klausula
yang mengantisipasi persoalan berkaitan dengan eksekusi putusan tersebut, yaitu
untuk setiap 25 juta dari denda dan dana korupsi yang tidak dikembalikan
terpidana, diganti dengan penjatuhan hukuman penjara selama satu tahun. Berdasarkan ancaman sanksi tersebut
maka denda dan danapun dibayar oleh terhukum.
Jaksa Muhammad Yamin dan sejawatnya
yang lebih yunior, Muhammad Yusuf, memperketat kelulusan bagi seorang calon
jaksa yang mengikuti pendidikan pelatihan calon jaksa pada Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kejaksaan Agung. Akibatnya dalam beberapa tahun, saat mereka bertugas
di sana, tidak semua calon jaksa yang mengikuti pendidikan otomatis lulus
sebagai jaksa. Pada masa sebelumnya, kelulusan para jaksa dijadikan
komodifikasi.
Sri Suari, Kepala Sektor Kepolisian
Sektor Khusus Bandara Soekarno-Hatta, mengambil langkah-langkah untuk mencegah
pemerasan terhadap tenaga kerja yang baru datang dari luar negeri.
Diproyeksikan pada penanganan kedatangan tenaga kerja luar negeri yang
semrawut, langkah tersebut memberikan cahaya harapan.
Sewaktu menjabat Wakil Jaksa Tinggi
di Sumatera Barat, jaksa Soehandojo secara bersungguh-sungguh memimpin
investigasi dan penyusunan dakwaan korupsi terhadap sebagian besar anggota DPRD
Sumatera barat. Apa yang berhasil dilakukan di Sumatera Barat akhirnya menjadi
model penanganan kasus korupsi serupa di daerah-daerah lain.
Di samping prestasi yang dilaporkan
oleh Bank Dunia tersebut, saya teringat kepada apa yang pernah dilakukan oleh
hakim Bismar Siregar pada tahun 70-an, saat memimpin salah satu pengadilan
negeri di wilayah Jakarta. Pada waktu itu hakim Bismar Siregar mencantumkan
pengumuman yang ditempel di pengadilan negeri, yang meminta agar mereka, yang
berperkara di pengadilan negeri itu, mendepositokan uang sebesar 25 ribu
rupiah. Dalam pengumuman tersebut dijelaskan, bahwa uang tersebut akan
digunakan untuk biaya rutin sehari-hari, seperti pembelian kertas, karbon dandoorsmeer mobil
dinas dan lain-lain. Pada bagian akhir pengumuman tersebut dicantumkan, bahwa
sejak hari itu, tidak ada alasan sidang-sidang dimulai terlambat.
Para aktor penegakan hukum tersebut
dimasukkan ke dalam golongan pelaku hukum progresif berdasarkan alasan-alasan
sebagai berikut. Pertama, mereka tidak dibelenggu oleh keadaan status
quo, baik itu berupa peraturan maupun kebiasaan. Dengan latar belakang
peraturan dan tradisi yang sama, mereka telah mematahkan itu semua dengan
melakukan terobosan-terobosan tertentu. Mereka secara konkrit dan atas inisiatif
sendiri, telah menaikkan tampilan (performance) pekerjaannya
dengan standar “beyond the call of duty”. Kita mendapat potret
tentang bagaimana suatu tugas hukum itu dapat dilaksanakan dengan cara yang
bermacam-macam. Ia dapat dilaksanakan dengan cara biasa menurut peraturan dan
secara luar biasa.
Kedua, mereka telah membuktikan dan
mempraktikkan tesis hukum progresif, bahwa hukum itu tidak hanya peraturan
tetapi juga perilaku, atau dalam versi Holmesian
Dictum yang terkenal itu berbunyi,“The life of the law has not been
logic; it has been experience”[6] (Holmes 1963). Tentang hal
tersebut, pada waktu menulis buku Common Law, Holmes
mengatakan sebagai berikut: “To accomplish the task, other tools are
needed besides logic. it is something to show that the’ consistency of a system
requires a particular result, but it is not all. The life of the: law has not
been logic; it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent
moral and political theories, institutions of public policy, avowed or
unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow-men, have
had a good deal more to do than syllogism in determining the rules by which men
should be governed. The law embodies the story of a nation’s development
through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only
axioms and corollaries of a book of mathematics.”
Ketiga, mereka juga telah mewujudkan
tesis lain dalam hukum progresif, bahwa orang dapat melakukan pembacaan
terhadap teks-teks hukum tidak dengan mengeja pasal-pasalnya, melainkan secara
bermakna atau mendalami maknanya. Diktum Holmes di atas memperkaya arti
menjalankan hukum secara bermakna itu. Hukum ternyata tak dapat diterima dan
difahami sebagai sejumlah aksioma atau kitab matematika, melainkan sarat dengan
berbagai kekayaan tradisi dan pemikiran. Dengan perbuatan dan langkahnya
sebagai perburuan makna itu, mereka mencoba menggali lebih dalam teks-teks
hukum sampai ke akar maknanya. Mereka melakukan perburuan progresif seraya
menguji seberapa jauh jangkauan peraturan. Terkadang pengujian itu dilakukan
secara cukup ekstrem, seperti dilakukan oleh hakim Bismar Siregar, pada waktu
menaikkan sendiri batas maksimum denda sebagaimana tercantum dalam peraturan.
Protes yang ditujukan terhadap putusannya itu dijawabnya dengan mengatakan, “Di
dalam ruang sidang ini sayalah undang-undang itu”.
Apa yang dilakukan oleh sejumlah
aktor hukum progresif itu sesungguhnya menjawab tantangan yang sekarang sering
dilontarkan orang, bahwa kita berada dalam situasi luar biasa dan karena itu
perlu menjawabnya dengan perilaku yang luar biasa pula. Jumlah mereka memang
tidak banyak, oleh karena rupanya tidak mudah untuk bertindak secara luar biasa
itu. Tidak hanya dibutuhkan pemahaman, melainkan juga keberanian (dare) untuk
mewujudkannya. Hukum progresif memfasilitasi perbuatan luar biasa tersebut.
Oleh karena itu ia tak dapat menerima langkah dan putusan yang justru bersifat
anti-progresif (counter progressive).
Hukum progresif menghendaki agar
mereka yang berani berpikir dan bertindak “beyond the call of
duty” itu justru tidak dibuang dan dikucilkan. Keadaan yang
menyedihkan itu sempat muncul di sana-sini, seperti yang terjadi pada hakim
Sahlan Said dan jaksa Yudi Kristiana. Sahlan Said harus berenang di laut yang
tidak bersahabat dengan cara dan etos kerjanya yang progresif itu. Dalam
Laporan Bank Dunia dikatakan, bahwa menjaga integritas dan motivasi kerja di
tengah lingkungan yang tidak kondusif sangatlah sulit. Jangankan dihargai,
seorang reformis yang vokal sering dicap oleh sejawatnya sebagai tidak memiliki
kesetiakawanan, atau Sahlan Said sendiri. mengajukan
pengunduran diri sebagai hakim setelah dipromosikan sebagai hakim pengadilan
tinggi di Sulawesi Tenggara.
Nasib serupa juga menimpa jaksa Yudi
Kristiana yang di tengah kesibukannya menuntaskan sebuah perkara korupsi di
Jawa Tengah, dimutasikan ke kecamatan Pagimana di Luwuk, Sulawesi. Agak berbeda
dengan hakim Said Sahlan, Yudi menerima mutasi tersebut dan kembali membongkar
beberapa korupsi di Pagimana, kendatipun nilainya kecil, sesuatu yang
sebelumnya tidak pernah terjadi. Yudi Kristiana sekarang (April 2007) telah
menyelesaikan studi doktornya pada Universitas Diponegoro dan bergelar doktor
dalam ilmu hukum.
Selanjutnya, para aktor penegakan
hukum yang berhasil ditemukan dalam studi Bank Dunia, memperkuat tesis hukum
progresif tentang peran dan faktor modalitas dalam penegakan hukum. Hukum bukan
karya mesin, melainkan manusia yang penuh dengan nuansa pilihan dan modalitas,
seperti kepedulian, empati dan keberanian. Terobos-menerobos menempati
kedudukan penting dalam arsenal hukum progresif. Terobosan ini tidak diartikan
sebagai perbuatan anarkis, mengatakan, bahwa kita sedang berevolusi, hukum
banyak dianggap sebagai penghalang dan oleh karena itu harus dipatahkan.
Langkah pertama (1962) yang sangat kasatmata adalah melarang penggunaan gelar“meester
in de rechten” (mr) dan digantikan oleh “sarjana hukum”. Waktu
perjalanan politik kekuasaan Sukarno sudah sampai kepada ide “Nasakom”
(nasional, agama dan komunis), maka majelis hakimpun harus mencerminkan secara
fisik keanggotaan ketiga golongan tersebut. Hukum waktu itu mensahkan campur
tangan presiden dalam pengadilan. Dalam nomenklatur Nonet dan Selznick, maka hukum yang otonom hampir tidak
ada dan Indonesia mundur kembali ke tipe hukum represif [7].
Dijelaskan dari teori Nonet dan
Selznick, maka yang ada pada waktu itu adalah suasana“widespread
disorganization or unrest” dan dalam situasi sosial yang demikian itu,
” …. the primacy of order is reasserted and overrides other commitments
and sensibilities. Even a highly liberal-minded administrator may have to fall
back on repressive force if there is no other way of
maintaining public order.”
Pemerintahan atau kekuasaan Suharto,
menyusul robohnya kekuasaan Sukarno, belum dapat melepaskan sama sekali
dari “falling back on repressive force”, sekalipun tidak
dilakukan dengan terang-terangan seperti sebelumnya. Awal kekuasaan Suharto
dimulai dengan pidato Suharto (1967) yang mengritik keras pemerintahan Sukarno
yang dianggap tidak demokratis. Tetapi dalam perjalanannya, pemerintahan
Suharto sendiri juga menjadi makin otoriter dan represif yang akhirnya bernasib
hampir sama dengan “drama” robohnya kekuasaan Sukarno. Sekalipun pada masa
pemerintahannya undang-undang yang membolehkan presiden campur tangan dalam
pengadilan dicabut, tetapi itu tidak menutupi kenyataan, bahwa pengadilan tunduk
di bawah kekuasaan politik pemerintah atau suatu pseudo independensi
pengadilan.
Era politik pasca-Suharto yang
disebut sebagai era reformasi adalah suatu masa transisi, yaitu peralihan dari
suatu kekuasaan politik yang tertutup-sentralistis-otoriter menjadi
terbuka-transparan-akuntabel. Seperti umumnya sebuah tatanan (order) transisi,
maka suasana memang kacau (chaotic):yang lama sudah ambruk dan yang
baru belum terbentuk. Meminjam
istilah Boaventura de Sousa Santos, kita berada dalam suatu “paradigmatic
transition”[8]. Diakui oleh Santos, bahwa peralihan
paradigmatis bukan sesuatu yang mudah; ia memakan waktu lama, beberapa dekade,
bahkan berabad-abad, seperti peralihan dari feodalisme ke kapitalisme. Barang
tentu, magnituda transisi paradigmatis di Indonesia tidak seperti peralihan
dari kedua sistem produksi tersebut, tetapi bagaimanapun ia membutuhkan waktu
cukup lama. Pengalaman terakhir di negeri kita menunjukkan, bahwa perjalanan
menuju suatu tatanan yang baru tidak mudah, karena unsur-unsur dari kekuasaan
lama tak dapat lama sekali dihilangkan. Misalnya, seorang pengamat
sosial-politik, HS Dillon, seraya mengritik Presiden SBY, yang notabene telah
dipilih langsung oleh rakyat, mengatakan, “Mengapapolitical-will Presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat tidak terimplementasi? Ternyata koalisi,
membagi-bagi kekuasaan, menyenangkan semua vested-interests yang
menghalangi terjadinya perubahan mendasar… Alhasil, orang yang seharusnya dituntut karena pernah
menyengsarakan rakyat justru menduduki jabatan terhormat…” [9].
Bagaimanapun,
peluang hukum progresif lebih besar dalam era reformasi ini, daripada apabila
ia harus bekerja dalam era politik sebelumnya. Keterbukaan
dan akuntabilitas menjadi lahan politik yang penting bagi hukum progresif.
Semakin meluasnya keberanian untuk menggugat kekuasaan publik memberi dorongan
kepada hukum progresif, yang lebih banyak bertumpu pada otentisitas daripada
formalitas. Berdasarkan sekalian hal yang diuraikan di atas, hukum progresif
sangat berkepentingan agar iklim politik yang demikian itu tetap terjaga dan
tidak malah menciut.
Profesionalisme dan keprofesionalan
menjadi unsur kekuatan yang penting pula dalam hukum progresif. Kendati
penting, di sini profesionalisme tidak berhenti ide “profesionalisme untuk
profesionalisme”, melainkan senantiasa mengajukan pertanyaan lebih jauh (ultimate
question),“profesionalisme untuk apa?”. Kritik Gerry Spence terhadap keprofesionalan para lawyers Amerika
Serikat menggugah kita untuk menukik lebih dalam kepada masalah keprofesionalan
ini[10].
Keprofesionalan para lawyers, menurut
Spence, ternyata menjadi kurang berarti, bahkan mengganggu, manakala tidak
diarahkan kepada tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi. Kritik terhadap mereka
itu ditujukan kepada ketidakmampuan (incompetence) untuk
memberikan pelayanan kepada publik. Masyarakat datang ke kantor-kantor advokat,
karena mempunyai persoalan dengan keadilan. Mereka adalah orang-orang yang
sedang susah dan menderita dan karena itu mereka berfikir untuk pergi ke
advokat meminta bantuan agar keluar dari kesusahannya itu. Tetapi, para lawyers berfikir
lain, tidak seperti diharapkan oleh masyarakat. Mereka lebih melihat publiknya
sebagai aset untuk mendapatkan keuntungan materiel, bukan sebagai orang susah
yang memerlukan pertolongan, “Most lawyers, … are incompetent … But
most lawyers don’t recognize their incompetence. That’s because their
incompetence begins not as lawyers, but as human beings”, demikian
Spence. Sudah sejak mereka menginjakkan kaki memasuki sekolah-sekolah hukum,
rasa kemanusiaan mereka dimatikan. Mereka tidak didorong (encouraged)
“to become candid, caring, and compassionate human beings”. Dengan
nada getir, Spence mengatakan, bahwa lebih baik orang pergi ke juru rawat untuk
minta pertolongan. “When the student graduates from law school and
passes the bar, he is equipped to do substantially nothing in the nation’s
quest for justice. He is more suited to labor in some dark hole in a mammoth
corporate law firm and bill out his services at hundreds of dollars an hour
than he is to enter a plea of not guilty on behalf of a citizen charged with a
crime and to thereafter competently defend him. I would rather to hire a good
nurse to help me than a young lawyer fresh out of the moldy academic covers.
The nurse went to nursing school not only to make a living but to do so by
helping people… to listen to people, to hear their complaints, to care about
them, to treat them … The young lawyers … can do little except what they were
taught in law school - to read cases and to speak in legalese that no one can
understand, nor cares to.”
Hukum progresif akan selalu gelisah
mengamati kemampuan hukum untuk mensejahterakan manusia dan ini menjadi
persoalan besar. Oleh karena itu semangat hukum progresif adalah semangat yang
tidak henti-hentinya mengamati grafik kemampuan tersebut. Di dalamnya juga
tersimpan usaha untuk melakukan pencarian terhadap apa yang dapat dikerjakan
untuk memecahkan persoalan besar tersebut. Hampir tidak ada yang final dalam
hukum, oleh karena suatu keberhasilan pasti juga menyimpan bibit-bibit kegagalan,
bagaimanapun kecilnya. Berhubungan dengan itu, maka hukum progresif juga dapat
dipersepsikan sebagai suatu pikiran yang secara terus-menerus ingin memperbaiki
atau menyempurnakan dirinya.
Dalam kaitan dengan hal-hal yang
dikemukakan di atas, maka semangat pembebasan merupakan bagian integral dalam
hukum progresif. Ia tidak ingin terjebak ke dalam cara berhukum yang statis
apalagi stagnan. Tanpa kemauan untuk melakukan pembebasan sebagai kekuatan yang
dimilikinya, hukum progresif akan kehilangan jati-dirinya.
Pada saat mengamati pemberantasan
korupsi yang kurang berhasil, hukum progresif mencurigai konsep liberal yang
sangat dijunjung tinggi dalam sistem peradilan kita, sebagai penyebabnya.Penelitian terhadap asal-usul sosial
dan kultural dari hukum modern menunjukkan, bahwa hukum modern dengan sekalian
kelengkapan konsep, doktrin, asas serta teori, didominasi oleh pikiran liberal[11]. Individu
dan kemerdekaan atau kebebasan individu, dan bukan yang lain, merupakan sumbu
berputarnya hukum.
Marc Galanter,
telah melakukan penelitian yang bagus tentang sistem peradilan yang liberal itu
dan bagaimana implikasinya terhadap keadilan dalam masyarakat[12]. Kredo dari
hukum liberal berisi penolakan terhadap diskriminasi. Maka tugas hukum dianggap
selesai manakala telah berhasil untuk membuat produk yang tidak diskriminatif.
Untuk selanjutnya segala sesuatunya kemudian diserahkan kepada pasar sosial.
Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang boleh mengintervensi, seperti
tercermin dalam slogan “laissez fairer, laissez passer”.
Persoalan segera muncul pada waktu
hukum yang non-diskriminatif tersebut diterapkan dalam masyarakat. Masyarakat
tidak terdiri dari individu dan golongan yang setara (equal), melainkan
sarat dengan ketidaksetaraan (unequalities), baik sosial,
ekonomi, maupun politik.
Dalam suasana asimetri antara hukum
dan masyarakat tersebut, maka terbuka peluang besar bagi mereka yang tergolong
“orang berpunya” (the haves) untuk selalu unggul karena
memiliki sumber daya (resource) lebih, sehingga. muncul
ungkapan “the poor pay more” atau menurut Galanter “the
haves come out ahead”. Dalam tulisannya itu, Galanter ingin “… to
try to put forward some conjectures about the way in which the basic
architecture of the legal system as a means of redistributive (that is
systematically equalizing) change… It is a society in which actors with
different amounts of wealth and power are constantly in competitive or
partially cooperative relationships in which they have opposing
interests.” Dalam suasana seperti itu, “Resources on the
institutional side are insufficient for timely full-dress adjudication in every
case, so that parties are permitted or even encouraged to forego bringing cases
and to “settle” cases, — that is, to bargain to a mutually acceptable outcome.”
Keadaan asimetri yang tetap
dipertahankan itulah yang kemudian menjadi sasaran dari suatu gerakan yang
dikenal sebagai “critical legal studies movement”, yang muncul
di Amerika Serikat pada tahun 70-an. Pada waktu mengantar suatu buku
bunga-rampai dalam studi hukum kritis tersebut, Alan C. Hutchinson (1989)
menulis, “The vast bulk of this mainstream scholarship is devoted to
describing and justifying the role of the judiciary within a liberal democracy:
how do extant legal materials and practices and constrains judges so as to
satisfy the democratic demand for judicial objectivity and popular demand for
social justice?” Kendatipun
terdapat beda-beda pikiran dalam gerakan tersebut, namun menurut Hutchinson
semua bersepakat “menyerang” bangunan hukum liberal itu. “But
the members unite in their common opposition to the intellectual and political
dominance of the liberal establishment. Although liberalism once contributed to
the improvement of the social lot, it has now outlived its usefulness and has
become dangerous political anachronism. Offended by the hierarchical structures
of domination that characterized modern society, CLS people work toward a world
that is more just and egalitarian. They do not wish to embroider still further
the patchwork quilt of liberal politics, but strive to cast it aside and reveal
the vested interests that thrive under its snug cover…”
5.Pertentangan
antara hukum dan keadaan
Hukum mati, senajata bicara.
Pada waktu dihadapkan kepada ketimpangan
antara hukum dan keadaan sosial, maka hukum progresif akan menyarankan
pengambilan langkah-langkah yang lebih pasti (affirmative) untuk
mengatasi ketimpangan tersebut. Maka apa yang tidak dapat dibenarkan (senjata bicara)
atau disahkan oleh faham liberal, yang menolak campur tangan, menjadi sesuatu
yang dibenarkan. Di sini,
misalnya, kita terpikir pada langkah atau tindakan yang disebut diskriminasi
positif[13]. Dalam
pengantar buku J.B. Sloot yang berjudul “Positieve
discriminatie”, Schuyt mengatakan, bahwa melihat ketidaksamaan yang
menyolok dalam masyarakat telah memicu “gelijkberechtiging”, yaitu
keinginan untuk memperoleh kesamaan. Seraya mengritik tesis liberal mengenai
kesamaan formal di hadapan hukum, Schuyt mengatakan, “Gelijkheid voor
de wet - zo blijkt herhaardelijk - is hiertoe niet een voldoende,
zij het wel de noodzakelijke voorwaarde.” Tabrakan antara asas
kesamaan formal dengan perwujudan nyata dari kesamaan dalam kesempatan, (feitelijke
gelijkheid van kansen)membutuhkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut adalah pemihakan kepada mereka yang
dirugikan(bevoordeling van de benadeelden). Dalam
masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan,
menyatakan secara formal tentang keharusan adanya kesamaan hukum antara para
anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan
ketidaksamaan yang nyata ada dalam masyarakat, oleh hukum. Hukum progresif berkepentingan
untuk mengakhiri atau menekan serendah-rendahnya ketidaksamaan atau ketimpangan
sosial tersebut.
Dalam arsenal hukum progresif,
sarana yang dapat digunakan lebih beragam daripada yang digunakan dalam hukum
tradisional. Faham tradisional hanya mendasarkan pada peraturan (rules), sedang
hukum progresif juga menggunakan atau mendasarkan pada sarana bukan peraturan
formal.
Kita mengetahui, bahwa di dunia ini
terdapat kosmologi lain kecuali kosmologi individualistis yang menjadi basis
dari hukum liberal. la merupakan modal yang sangat mendasar yang membekali cara
bangsa-bangsa berhukum. Kenyataan tersebut lebih mendorong hukum progresif
untuk melakukan pemikiran alternatif tentang bagaimana sistem peradilan itu
dibangun, yang pada akhirnya berujung pada pembebasan dari dominasi sistem
liberal. Merupakan hak setiap bangsa untuk memelihara kosmologi masing-masing,
termasuk institusi publik dan cara berhukum yang didasarkan pada kosmologi
tersebut.
6.Runtuhnya akhlak tasawuf dan moral
Pendidikan tasawuf
dan akhlaq, niscaya merupakan pilar penting yang diperlukan untuk ikut
menyangga hukum progresif dan oleh karena itu hukum progresif berkepentingan
untuk memerhatikan pendidikan hukum. Di sini ingin dikatakan, bahwa perilaku
hukum yang progresif untuk sebagian penting merupakan fungsi dari pendidikan
dan pembelajaran yang diterima oleh para profesional hukum waktu mereka duduk
di bangku kuliah. Perkuliahan yang hanya menginformasikan bahan hukum positif
dan bagaimana menjalankannya, tidak membantu menciptakan sikap dan perilaku
progresif dalam berhukum. Mereka tidak didorong untuk membaca teks-teks hukum
secara bermakna dan kemudian berani bertindak sesuai dengan pembacaannya itu.
Di sisi lain, pembelajaran hukum
secara progresif mendorong para mahasiswa untuk berani mencobaavenues lain
dalam menjalankan hukum. Para dosen hukum Indonesia tidak akan kekurangan bahan
untuk mencontohkan perilaku progresif, seperti diperlihatkan oleh Adi Andojo
Soetjipto, Bismar Siregar, Baharudin Lopa dan hakim serta jaksa yang dilaporkan
oleh Bank Dunia tersebut di muka.
Kurikulum hukum progresif adalah
yang membuat mahasiswa tidak berpandangan sempit dalam pengolahan hukum dan
senantiasa mendorong pada mahasiswa untuk menemukan cakrawala yang lebih luas.
Ini yang ingin disebut sebagai pendidikan hukum yang bermakna. Untuk itu maka
sebaiknya fakultas-fakultas hukum menjadi institut pendidikan yang berhati
nurani (law schools with conscience). Itu semua akan berhasil
dilaksanakan, apabila para staf pengajar juga berpikiran progresif dan
menularkannya kepada para. mahasiswanya.
Di sini saya hanya ingin merujuk
kembali kepada kritik yang dilakukan oleh Gerry Spence terhadap pendidikan
hukum di Amerika Serikat yang telah kehilangan semangatnya untuk mendidik para
calon profesional hukum untuk memiliki kepedulian kemanusiaan di atas
keprofesionalan. Para lawyersharus menjadi manusia terlebih
dahulu (evolved person) sebelum menjadi lawyer.
Para profesor juga menerima giliran
untuk dikecam oleh Spence, seraya mengatakan, “… they are taught by
professors who have spent the major portion of their lives injecting
formaldehyde into their student’s brains and, in the tombs of endless dusty
books, burying whatever creativity, whatever life, ….”. Sudah sejak
para mahasiswa menginjakkan kakinya di law schools,rasa-perasaan,
kemanusiaannya dirampas dan ditumpulkan. “(B) the nine they
have-entered law school, have been stripped of most of what makes human being,
their openness, their compassion, their ability to feel, and who, after they
got out of law school, and more equipped to cause trouble than to solve problems.” Menurut
pengamatan Spence, di Amerika Serikat, sangat jarang menemukan lawyer yang
bersemangat menolong kesusahan nasabahnya. “Never in the history of
America have there been so many lawyers, and so many people who need a lawyer
but can’t find a competent lawyer who will care about them and fight far their
justice.”
Pengembangan gagasan hukum progresif
tidak akan berjalan dengan tanpa sejak di bangku pendidikan, para mahasiswa
sudah diperkenalkan kepada kenyataan, bahwa hukum itu mengandung fungsi penyelesaian
problem sosial dan penanganan problem kemanusiaan yang kuat. Pendidikan hukum
yang hanya sibuk mengajarkan dan berurusan dengan peraturan dan prosedur
berhukum dan tidak mengakarkannya sampai ke basis kemanusiaan atau kenuranian,
hanya akan menghambat pelaksanaan hukum progresif. Seperti telah disampaikan di
muka, hukum progresif tidak hanya mengejar penegakan hukum yang profesional,
tetap di atas itu, cara berhukum yang penuh muatan kenuranian.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut,
pendidikan hukum progresif juga erat berkaitan dengan pandangan, bahwa hukum
itu tidak dapat diajarkan sebagai skema-skema atau rumusan-rumusan kategoris
dan abstrak. Di sini pendidikan hukum progresif akan mendarat kepada ranah
pembelajaran hukum yang mengajarkan “darah dan daging hukum” pula.
Pembelajaran hukum hanya sebagai
skema-skema abstrak hanya akan melahirkan ahli-ahli hukum, yang dalam
pekerjaannya nanti, semata-mata melakukan pengkutak-katikan skema hukum
tersebut, sehingga akan terjadilah, bahwa“the life of the law has been
logic”.
Dalam optik ekstrem, maka pendidikan
hukum progresif melihat, bahwa mengajarkan hukum sebagai skema dan logika
skema, seperti pada Begriffsjurisprudenz, sesungguhnya hanya
“mengajarkan bangkai-bangkai”, bukan sesuatu yang hidup. Skema atau skeleton
yang berupa perundang-undangan itu telah mereduksi sesuatu yang utuh menjadi
kepingan pasal-pasal undang-undang. Pendidikan hukum perlu mengutuhkan kembali
skeleton hukum itu dengan “darah dan dagingnya”, sehingga menjadi suatu
institut yang utuh.
Para mahasiswa perlu diajak
menyadari, bahwa kejayaan era ilmu hukum sebagai skema, seperti diwakili
oleh “reine Rechtslehre” Hans Kelsen, telah lewat. Ini bukan
berarti, bahwa aspek analitis dalam berilmu hukum sama sekali tidak diperlukan,
melainkan, bahwa “era Kelsen” itu sudah disusul oleh suatu era baru, di mana
hukum diajarkan secara lebih utuh. Dengan metode kajian-kajian hukum yang
analitis perlu diperkaya dengan optik dan pendekatan baru. Terkadang dikatakan,
bahwa kita telah memasuki era sosiologis atau “the age of
sociology”, seperti dikatakan oleh Donald Black[14]. “A
new sociological jurisprudence would acknowledge that a conception of law as an
affair of rules alone is incomplete and obsolete.”
Akhir-akhir ini, sebuah buku tentang
ilmu hukum (jurisprudence), yang diterbitkan tahun 2001 dan
dicetak ulang pada tahun 2006, menggunakan judul “A General
Jurisprudence of Law and Society”[15]. Penggunaan judul tersebut sangat
menarik, oleh karena merespons pendapat Donald Black pada tahun 1989 tersebut
di atas. Dalam kaitan dengan hukum progresif, maka ilmu hukum jangan lagi hanya
mengajarkan “law” atau skeleton, melainkan juga “the
social’ atau darah dan daging hukum.
Pembelajaran hukum sebagai suatu institut untuk
menyelesaikan problem sosial memang sangat berbeda daripada pembelajaran yang
hanya menekankan pada penyelesaian problem hukum. Dalam penyelesaian problem
hukum, kita akan lebih berurusan dengan “matematika hukum” atau “the
logic of law” atau “het hanteren van logische figuren” (menangani
hal-hal secara logis). Dengan demikian hukum menjadi kurang berfungsi untuk turut menyelesaikan
problem sosial[16]. Kebiasaan berpikir
hukum tradisional, yang bertolak dari “necessary connections”, oleh
kedua penulis ditunjuk sebagai sebab sehingga hukum kurang mampu menyelesaikan
problem sosial yang kompleks itu.Dalam penyelesaian problem sosial, maka penglihatan kita akan melampaui
perundang-undangan dan bertanya “bagaimana hukum dapat digunakan untuk
memecahkan problem sosial?” Dengan sedikit variasi, Paul Scholten mengatakan,
bahwa “rechtsvinding” (penemuan hukum) itu beda dari“wetstoepassing” (penerapan
undang-undang)[17]. Kemungkinan besar
Scholten akan bersetuju dengan Nonet dan Selznick, bahwa apabila orang hanya
melakukan penerapan undang-undang, maka hukum
No comments:
Post a Comment