Wednesday, April 17, 2013

TERJUALNYA HARGA DIRI SUMI








TERJUALNYA HARGA DIRI SUAMI
Kertika suami, menjadi pendatang,
Tiada kebebasan, dapat direntang.
Apa dibuat, terasa sumbang,
Harga diri, agak berkurang.

Suami menumpang, menjadi adat,
Makin lama, kian mengikat.
Imam keluarga, jadi tersendat.
Terutama jika, ekonomi kurang kuat.


        Masalah Pengakuan terhadap keberadaan harga diri individu suami di tengah lingkungan sosial dalam berbagai lingkupnya menjadi penting bagi manusia. Manusia yang mengalami krisis identitas dan eksistensi harga diri, karena serangan atau tekanan dari pihak lain akan menun­jukan gejala-gejala tidak percaya diri, lalu berusaha menun­jukkan keberadaannya dalam bentuk simbol-simbol tradisi dan romantisme kejayaan di masa lalu.

Lain lagi di Tanah Sunda, wanitanya berkuasa juga

         Babasan dan Paribasa (peribahasa)  NYALINDUNG KA GELUNG artinya laki-laki berlidung ke sebalik sanggul, pada intinya sama saja. Babasan merupakan ucapan yang sudah pasti patokannya atau basa pakeman, dan digunakan pada arti pinjaman, bukan arti yang sebenarnya tapi merupakan perbandingan dari sipatnya satu benda atau keadaan dan sudah menjadi suku kata. Paribasa pun termasuk pakeman basa, yang tidak bisa dirubah baik susunannya atau ucapan-ucapannya. Perbedaannya, paribasa sudah merupakan satu kalimat.


      Paribasa dan babasan Sunda sangat banyak jumlahnya. Ajip Rosidi pernah memeriksa beberapa ratus peribahasa dan babasan Sunda yang dikumpulkan oleh Mas Natawisastra dalam buku Saratus Paribahasa jeung Babasan (pertama diterbitkan pada 1914) yang terdiri atas lima jilid dan Babasan jeung Paribahasa Sunda yang disusun oleh Samsoedi. Buku Samsoedi meski bersumber karya Mas Natawisastra, dimuat juga peribahasa yang tidak terdapat dalam kelima jilid buku yang pertama.

          Kembali ke harga diri suami dalam adat. Eksistensi harga diri, menjadi penting bagi manusia, baik individu, komunitas, etnis atau suku bangsa yang merupakan sifat dasar manusia dan masyarakat yang selalu ingin dihargai, dihormati, disanjung dan bahkan diagungkan dalam relasi sosial. Bagaimana orang-orang ingin diakui sebagai pahlawan atau bagaimana suatu bangsa ingin diakui sebagai bangsa yang jaya, berpengaruh, berku­asa, dan manusia pilihan, juga bagian dari kompensasi krisis eksistensi yang dialami. Dam­pak besar dari perasaan sosial itu bisa muncul tidak hanya dalam bentuk-bentuk simbol, namun bisa juga pada unjuk kekuatan.
         Ketika isteri, menjadi penguasa rumah,
Keberadaan suami, lebih rendah.
   Awal petaka, hilangnya mawaddah.
Perceraian terjadi, begitu mudah.

        Bangsa-bangsa yang wanitanya memi­liki nafsu ego, harga diri berlebihan untuk diakui dan berkuasa telah menyuburkan perasaan cauvi­nisme dan ultranasionalisme dan bahkan melakukan sera­ngan terhadap bangsa-bangsa lain. Implikasi dari gerakan penguatan eksistensi dari suatu bangsa ini kadang bisa juga menghilangkan keberadaan suku-suku atau bangsa lainnya. Itu juga merupakan ekses dari pertarungan eksistensi yang terjadi dalam konteks relasi sosial yang lebih luas.
Pada saat serangan yang menghancurkan dan men­jatuhkan terhadap suatu indivi­du dan kelompok masyarakat atau suatu bangsa maka akan terjadi krisis identitas yang parah. Ibarat kekalahan dalam satu pertarungan, maka harga diri telah jatuh. Perasaan rendah diri kemudian ditutupi dengan mulai membesar-besarkan cerita tentang apa yang pernah ada.
Adat Kampar Riau dan Krisis Eksistensi
        Ilustrasi di atas bisa jadi cermin bagi orang Kampar dengan adatnya dapat pengaruh dari alam Minangkabau, yang cenderung memper­lihatkan gejala-gejala mengala­mi krisis eksistensi secara individu dan bahkan secara komunal. Ciri-ciri ini bisa terlihat dari kecenderungan mengagungkan masa lalu, juga simbol-simbol kedaerahan. Sebagai contoh soal penamaan bandara Minangkabau, dapat dinilai sebagai suatu upaya menunjukan keberadaan suku Minangkabau itu sendiri. Di Indonesia, tidak ada penamaan bandara dengan nama daerah, barangkali hanya nama suku Minangkabau satu-satunya. Motif yang sama juga pernah terjadi dengan pembangunan Istano Basa Pagaruyung yang konon kabarnya juga meru­pakan upaya untuk membang­kitkan rasa harga diri orang Minangkabau yang telah jatuh setelah meletusnya perang PRRI.
        Eksistensi orang Kampar dan Minang secara komunal terasa luluh lantak sejak terjadi pertikaian politik dan perang. Para elit masyarakat Minangkabau menyadari betul perasaan kekalahan itu setelah pertikaian  PRRI. Perasaan itu hidup dalam memori tokoh-tokoh, kaum intelektual dan mereka yang terlibat sebagai pelaku sejarah pada masa terjadinya PRRI. Rasa kalah itu seperti hidup dan terkenang, bahkan seperti diwariskan di alam romantisme sampai pada generasi sekarang. Walau sesungguhnya yang dianggap elit pusat pada masa itu juga ada yang berasal dari Minang­kabau.
        Minangkabau yang dulunya dianggap  berjaya dengan orang-orangnya yang berperan besar dalam perjuangan kemer­dekaan dan pendirian republik, kini sepertinya kurang dipan­dang. Kalau toh ada tokoh-tokoh dari Minangkabau di masa berkuasanya Orde Baru sampai sekarang mereka lebih dianggap sebagai subordinat dan antek-antek kekuasaan saja. Mereka mungkin bagian dari ‘korban’ itu sendiri. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang memiliki karakter yang kuat. Bahkan sebagian besar ikut mewarnai corak dan warna republik sejak awal berdirinya. Mereka berada di barisan elit bangsa Indonesia dengan me­nem­pati posisi wakil presiden, perdana menteri dan jabatan-jabatan penting lainnya dalam sruktur kekuasaan.
         Eksistensi dan identitas orang Minangkabau ini kem­bali dihantam melalui peruba­han sistem pemerintahan teren­dah nagari menjadi desa di masa Orde Baru berkuasa. Ini telah menguliti entitas lokal yang sangat diagung-agungkan orang Minangkabau, yaitu dengan istilah “adat salingka nagari”. Nagari sebagai bentuk sistem yang mengikat orang Minang dalam sebuah tatanan sosio­kultur telah dirusak. Seluruh nilai dan sistem budaya yang ada di dalam nagari kemudian hancur akibat dari kooptasi negara dan kekuasaan absolut. Nagari yang merupakan tatanan komunal yang telah mem­bentuk karakter, identitas dan entitas orang Minang itu akhir­nya lumpuh. Meskipun kemu­dian pasca reformasi diberi ruang bagi kembalinya subsis­tem pemerintah nagari untuk eksis kembali, namun itu sudah tinggal kerabangnya saja. Sangat sulit membangunnya seperti sediakala, ditambah lagi beban arus globalisasi yang datangnya di saat kerusakan sistem dan kultur itu terjadi.
‘Kekerasan’ Budaya
          Kini seegalanya berubah. Di sisi lain, sesungguhnya kaum lelaki Kampar dan Minang juga telah mengalami krisis eksistensi sejak dari mereka terlahir sebagai orang Minangkabau akibat dari paham matrilinial yang berlaku. Sistem matrilinial bersuku ke ibu, budaya Minangkabau dengan berbagai cirinya telah mem­perlakukan anak laki-laki Minang secara keras. Perlakuan keras ini dapat dinilai dari tidak adanya hak pakai lelaki Minang terhadap tanah ulayat atau tanah pusako kaum. Begitu juga ketika lelaki Minang menikah dan kemudian tinggal di tanah harta pusaka kaum istrinya, mereka diibaratkan “abu di atas tunggul” yang menggambarkan betapa rentannya posisi mereka. “Abu di atas tunggul” akan terbang di saat angin bertiup kencang. Artinya posisi lelaki Minang di kaumnya juga kurang dihargai, sedang di rumah istrinya hanya menum­pang.
Arrijalu Qawwamuna alannisa’(Laki-laki penguasa bagi wanita)
Pemimpin, bahkan pelindung. Jangan dibalikkan.
        Selama ini dikenal, peran lelaki Minang seba­gai mamak tak lebih meru­pakan peran klise dengan kewenangan mengatur tapi tak pernah menerima manfaat dan mengambil keuntungan dari harta kekayaan yang ada.
         Sejak kecil atau remaja anak lelaki Minang telah diberi perangkat nilai-nilai sosial yang juga  bersaing secara keras terhadap mereka. Contohnya anak laki-laki yang lebih banyak tinggal di dalam rumah akan dapat cemoohan bahkan bisa-bisa disuruh keluar dari rumah oleh ibunya sendiri. Jika mereka sering berada di rumah daripada di luar seolah-olah mereka tak ubahnya seperti kaum perempuan.
adat-istiadat masyarakat Sunda, yang terungkap dalam  beberapa ungkapan seperti; awewe mah teu kudu sakola luhur-luhur teuing, da engke ge balik ka dapur deui (wanita tidak usah bersekolah tinggi-tinggi sebab pada akhirnya akan kembali lagi ke dapur); Awewe mah tara cai ka Batawi (seorang isteri tidak usah bekerja keras karena ada suami); Isteri mah dulang tinande (isteri mesti mengikuti suaminya), dan Awewe mah heureut lengkah (wanita terbatas dalam melakukan aktivitas). Namun, saat ini  telah mengalami  banyak perubahan karena banyak wanita Sunda yang berpendidikan tinggi dan banyak pula yang bekerja di sektor publik.
Jika dulu wanita hanya berperan di lingkungan rumah saja, seperti dalam ungkapan ”tempat awewe mah di dapur, sumur, jeung kasur” (tempat perempuan di dapur, sumur, dan kasur); akan tetapi saat ini wanita berperan tidak hanya di dalam rumah saja tetapi juga di lingkungan pekerjaan di luar rumah atau pekerjaan formal. Peranan wanita Sunda sekarang tidak lagi mencakup tugas-tugas tradisional sebagai isteri dari suaminya atau ibu dari anak-anaknya; akan tetapi disamping berperan dalam tugas-tugas tradisionalnya, juga memegang karier atau bekerja di pelbagai bidang.
Saat ini, banyak wanita telah keluar dari suasana rumah dan keluarga, baik untuk merintis karier di dunia kerja maupun dalam memberi sumbangan yang berguna dan berarti dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya. Dalam konteks peran gandanya sebagai ibu, isteri, dan profesional  yang mempunyai pendapatan tetap, wanita  telah menjadi sumber potensi di sekitarnya. Banyak  kaum wanita Sunda yang menduduki kedudukan di lembaga birokrasi sebagai pegawai negeri, anggota parlemen, dan dunia usaha. Selain itu banyak wanita Sunda yang aktif pada pelbagai organisasi massa dan organisasi politik, serta banyak  pula yang menjadi anggota tentara dan polisi.

Peranan Wanita Sunda
        Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan peranan wanita Sunda.  Pendidikan telah mempengaruhi perubahan peranan wanita Sunda di  Kota Bandung. Pendidikan telah  memberikan kesempatan yang terbuka dan luas dalam mencapai kesetaraan dengan kaum lelaki. Pendidikan yang dicapai oleh wanita telah memberikan dampak pada wawasan ilmu yang lebih unggul serta kemampuhan wanita untuk berperanan dalam lingkungan masyarakat.
        Pengaruh pendidikan terhadap peranan wanita dalam keluarga dan pencarian nafkah diungkapkan Sajogyo (1983:14) bahwa dengan mendapat kesempatan yang sama bagi kaum lelaki dan wanita dalam bidang pendidikan, maka peranan wanita dalam pekerjaan dan pencarian nafkah akan terlihat nyata. Ester Boserup  (1984:129) menyatakan bahwa pendidikan akan memperbaiki status, kemampuan, dan keahlian wanita. Di samping itu, pendidikan juga meningkatkan aspirasi dan harapan seorang wanita akan penghasilan dan kehidupan yang lebih baik, dan hal ini mendorongnya untuk masuk ke dalam angkatan kerja. Sejalan dengan itu, Mardikanto (1990:75) menyatakan bahwa wanita yang memiliki keunggulan (pendidikan, keterampilan, modal, relasi, dan lain-lain merasa lebih efisien untuk meniti karir berbanding jika hanya melakukan pekerjaan rumah tangga.
        Menurut Mardikanto (1990:89) ada pelbagai faktor yang mendorong wanita untuk melakukan pekerjaan di luar rumah, yaitu: pertama, alasan ekonomi untuk menambah pendapatan keluarga (family income), terutama jika penghasilan suami relatif kecil, atau isteri memiliki keunggulan tertentu sehingga merasa lebih efisien jika separuh waktunya digunakan untuk berkarir daripada hanya melakukan pekerjaan rumah tangga; Kedua, untuk mengangkat status dirinya atau memperoleh kekuasaan lebih besar di dalam kehidupan rumah tangganya. Alasan ini didukung oleh pernyataan Galbraith (1973) yang mengungkapkan bahwa kekuasaan atau status seseorang di dalam rumah tangganya tergantung kepada besarnya sumbangan (ekonomi) yang  diberikan bagi pendapatan keluarganya. Semakin besar sumbangan yang  diberikan, maka status atau kekuasaannya di dalam hidup berumah tangga akan semakin besar pula; dan Ketiga, adanya motif intrinsik (yang datang dari dalam dirinya sendiri) untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan hidup mandiri baik dalam keluarga maupun di dalam kehidupan masyarakatnya (Robinson, 1978).
         Killian (1971:29) mengemukakan beberapa alasan wanita bekerja[1], antara lain; (1) wanita memerlukan uang; (2) wanita ingin menambah penghasilan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup; (3) wanita ingin mencari keamanan dan mendapat faedah; (4) wanita diperlukan sebagai sumber tenaga kerja; (5) wanita senang berjumpa dengan orang banyak dan merasa hidupnya lebih berfaedah;  (6) wanita berharap mendapatkan suami; (7) wanita ingin menyumbangkan tenaganya untuk keperluan keluarga dan masyarakat; dan (8) wanita ingin menyatupadukan kerja dan kepentingan rumah tangga.
Kemajuan peranan wanita Sunda disokong pula adanya kebijakan Negara (Indonesia) terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia seperti perbaikan derajat kesehatan, tingkat pengetahuan, dan keterampilan serta kemampuan daya beli masyarakat[2].

Peningkatan peranan wanita juga telah menjadi isu politik yang penting, terlebih pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1973-1997)[3]. Pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia memasukkan kebijakan perempuan dalam GBHN yang populer dengan kebijakan ”peran ganda perempuan”. Kebijakan ini berdasarkan asumsi bahwa selama ini kaum perempuan karena hanya berperan sebagai isteri dan ibu, dianggap tidak mempunyai peranan atau tidak memberikan kontribusi apa pun dalam pembangunan. Karena itu kaum perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik dengan tetap menjalankan fungsinya sebagai isteri dan ibu (Katjasungkana, Hadiz, 1998; Poerwandari dan Hidayat, 2000:10-11).
Keadaan ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik di Indonesia pada masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Wanita yang menjadi sumber tenaga pembangunan, pada dasarnya harus dapat membebaskan diri dari inferioritas dan ketergantungannya terhadap orang-orang di sekitarnya. Adanya kenyataan ini berarti kaum wanita harus ikut berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wanita diberi kesempatan untuk mengambil lebih banyak tanggungjawab pembangunan bangsa atas kesadaran, kemauan, dan kemampuannya sendiri. Wanita tidak lagi hanya sekedar dipandang sebagai second class citizen (Salim, 1987) dan subordinasi daripada kekuasaan pria, tetapi wanita adalah rekan sejajar kaum pria di dalam memecahkan dan menyelesaikan pelbagai masalah pembangunan dewasa ini.   Pemerintah Indonesia memberikan peranan yang besar kepada  wanita dengan diangkatnya seorang menteri urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mengkoordinasikan dan membina usaha-usaha bagi peningkatan peranan dan partisipasi wanita dalam segala bidang pembangunan (Yusuf, 2000:3).
         Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, sasaran pembangunan yang hendak dicapai pada tahun 2004-2009 dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan dan peranan wanita serta kesejahteraan dan perlindungan anak[4] adalah: (1) terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik; (2) menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara  wanita dan lelaki; (3) menurunnya tindak kekerasan terhadap wanita dan anak; serta (4) meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak.

Akibat dari perlakuan keras ini telah memunculkan tiga instrumen baru dalam kehi­dupan lelaki Minangkabau masa dahulunya yaitu; surau, lapau dan rantau. Saat kecil anak lelaki Minang diperin­tahkan untuk belajar mengaji dan silat di surau. Bahkan mereka juga ditekankan untuk tinggal atau menginap di surau. Untuk instrumen surau pada saat ini telah dianggap mele­mah.
        Benarkah  setelah mereka menginjak masa remaja, mere­ka ditekankan atau diarahkan pergi ke lapau, ka kodai, lolok di Surau sebagai sebuah gambaran pergaulan. Di lapau­lah lelaki Minang berinteraksi dan menambah wawasannya tentang perkembangan masya­rakat. Di samping itu tanpa disadari di lapau pula tempat mereka mengaktualisasikan diri dan berharap mendapat penga­kuan di tengah-tengah masyara­kat. Seringkali lapau, kedai menjadi tempat bercerita tentang kehe­ba­tan dan kemajuan seseorang dalam kehidupan, misalnya dalam hal kekayaan dan jaba­tan. Harapan mendapatkan pengakuan ini kadang-kadang dilakukan dengan cara menga­rang cerita sedikit berlebihan untuk menunjukkan kemam­puan dan perannya.
        MARANTAU BUJANG DAULU,
        DI RUMAH BAGUNO BALUN
       Ada Instrumen lainnya yang lahir dari akibat kerasnya perlakuan sosial budaya bagi lelaki Minang, yaitu rantau. Rantau dapat dilihat dari sudut pandang perluasan wilayah kehidupan orang Minang, namun dapat juga dilihat sebagai buah dari kerasnya perlakuan terhadap kaum laki-laki. Dengan merantau, lelaki Minang berharap mereka memiliki harta kekayaan sen­diri. Walau ada juga yang ingin menambah ilmu pengetahuan, tapi itu bisa dipahami bukan sebagai motif utama. Di rantau­lah bertumbuhnya jiwa dan kemampuan interpreneurship orang Minang yang bisa saja merupakan sisi positif ‘kekera­san’ perlakuan yang dialami­nya.
        Pada akhirnya problem eksistensi dan identitas lelaki Minangkabau ini perlu menjadi bahan pemikiran bagi kita semua. Sudah saatnya orang Minang menggali ke dalam sumur “Alam Minangkabau” sampai ke dasarnya. Bukan seperti yang selama ini dila­kukan, yang lebih banyak hanya mengedepankan simbol-simbol yang berada di permukaan. Kekuatan kekayaan falsafah dan sistem budaya itu sendiri yang mungkin perlu ditafsirkan ulang. Mudah-mudahan itu bisa mengembalikan identitas buda­ya ke dalam alam pikir dan rasa  manusia sebagai suatu karakter yang kuat, bukan pada corak atau aksesoris budayanya saja.


Kaluk paku, kacang belimbing,
Sayak tempurung, lenggang lenggokkan.
Aanak dipangku, kemanakan dibimbing,
Orang kampung, dipatenggangkan.


          Sebagai perbadingan, d ibawah ini merupakan sebagian dari babasan dan paribasa Sunda dari buku Babasan Jeung Paribasa Sunda: Kanggo Murid SLTP & Umum karya Samsudi, terbitan Tirta Kancana tahun 1986. Sealain dari istilah Nyalindung kagelung(Berlindung ke sebalik sanggul).Antara Jawa Barat dan Sumatra Barat.

Babasan Sunda:
- Akal koja: Akalnya pintar dalam kejahatan.
- Asa potong pingges leungeun katuhu: kaunduran batur nu hade gawe.
- Balungbang timur, caang bulan opat welas, jalan gede sasapuan: Ikhlas, sangat suka.
- Bisa lolondokan: Bisa mengikuti atau menempatkan diri dengan kebiasaan orang lain supaya akrab.
- Biwir nyiru rombengeun: Cerewet, semua rahasia diceritakan.
- Bobot pangayon timbang taraju: Hukuman yang adil (pengadilan).
- Buburuh nyatu diupah emas: Belajar tetapi sambil diberi upah padahal gunanya untuk dirinya sendiri.
- Buntut kasiran: pelit.
- Cara hurang tai ka hulu-hulu: Bodo pisan, sangat bodoh.
- Dihurun-suluhkeun / Dikompet-daunkeun: Yang jelek (salah) seorang, tetapi semuanya kena / dianggap salah semua.
- Elmu Tumbila: Pribumi merugikan tamu.
- Elmu sapi: Samiuk kana kagorengan,
- Ginding kekempis: Berpenampilan keren seperti orang kaya padahal isi sakunya kosong.
- Gurat cai: Menyalahi janji.
- Hade gogog, hade tagoh: Halus bahasanya dan baik sikapnya.
- Hampang birit: daekan.
- Heuras letah: Hatinya keras, omongannya kasar.
- Heurin ku letah: Yang perlu diomongkan susah untuk diucapkan.
- Hirup dinunuh paeh dirampes: Pasrah menerima

2 comments:

  1. Terimakasih informasinya..

    ReplyDelete
  2. Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya dan beliau juga membantu untuk melariskan usaha/dagangan saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekarang saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) atau anda yg punya usaha ingin melancarkan usaha anda jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...





    ReplyDelete

Komentar Facebook