TERJUALNYA HARGA DIRI SUAMI
Kertika suami, menjadi pendatang,
Tiada kebebasan, dapat direntang.
Apa dibuat, terasa sumbang,
Harga diri, agak berkurang.
Suami menumpang, menjadi adat,
Makin lama, kian mengikat.
Imam keluarga, jadi tersendat.
Terutama jika, ekonomi kurang kuat.
Masalah Pengakuan terhadap
keberadaan harga diri individu suami
di tengah lingkungan sosial dalam berbagai lingkupnya menjadi penting bagi
manusia. Manusia yang mengalami krisis identitas dan eksistensi harga diri, karena
serangan atau tekanan dari pihak lain akan menunjukan gejala-gejala tidak
percaya diri, lalu berusaha menunjukkan keberadaannya dalam bentuk
simbol-simbol tradisi dan romantisme kejayaan di masa lalu.
Lain lagi di Tanah Sunda, wanitanya
berkuasa juga
Babasan dan Paribasa (peribahasa) NYALINDUNG
KA GELUNG artinya laki-laki berlidung ke sebalik sanggul, pada intinya sama
saja. Babasan merupakan ucapan yang sudah pasti patokannya atau basa
pakeman, dan digunakan pada arti pinjaman, bukan arti yang sebenarnya tapi
merupakan perbandingan dari sipatnya satu benda atau keadaan dan sudah menjadi
suku kata. Paribasa pun termasuk pakeman basa, yang tidak bisa dirubah
baik susunannya atau ucapan-ucapannya. Perbedaannya, paribasa sudah
merupakan satu kalimat.
Paribasa dan babasan Sunda sangat banyak jumlahnya. Ajip Rosidi pernah memeriksa beberapa ratus peribahasa dan babasan Sunda yang dikumpulkan oleh Mas Natawisastra dalam buku Saratus Paribahasa jeung Babasan (pertama diterbitkan pada 1914) yang terdiri atas lima jilid dan Babasan jeung Paribahasa Sunda yang disusun oleh Samsoedi. Buku Samsoedi meski bersumber karya Mas Natawisastra, dimuat juga peribahasa yang tidak terdapat dalam kelima jilid buku yang pertama.
Kembali
ke harga diri suami dalam adat. Eksistensi harga diri, menjadi penting bagi
manusia, baik individu, komunitas, etnis atau suku bangsa yang merupakan sifat
dasar manusia dan masyarakat yang selalu ingin dihargai, dihormati, disanjung
dan bahkan diagungkan dalam relasi sosial. Bagaimana orang-orang ingin diakui
sebagai pahlawan atau bagaimana suatu bangsa ingin diakui sebagai bangsa yang
jaya, berpengaruh, berkuasa, dan manusia pilihan, juga bagian dari kompensasi
krisis eksistensi yang dialami. Dampak besar dari perasaan sosial itu bisa
muncul tidak hanya dalam bentuk-bentuk simbol, namun bisa juga pada unjuk
kekuatan.
Ketika isteri, menjadi penguasa rumah,
Keberadaan
suami, lebih rendah.
Awal petaka, hilangnya mawaddah.
Perceraian
terjadi, begitu mudah.
Bangsa-bangsa yang wanitanya memiliki nafsu ego, harga diri berlebihan untuk diakui
dan berkuasa telah menyuburkan perasaan cauvinisme dan ultranasionalisme dan
bahkan melakukan serangan terhadap bangsa-bangsa lain. Implikasi dari gerakan
penguatan eksistensi dari suatu bangsa ini kadang bisa juga menghilangkan
keberadaan suku-suku atau bangsa lainnya. Itu juga merupakan ekses dari
pertarungan eksistensi yang terjadi dalam konteks relasi sosial yang lebih
luas.
Pada saat serangan yang menghancurkan dan menjatuhkan
terhadap suatu individu dan kelompok masyarakat atau suatu bangsa maka akan
terjadi krisis identitas yang parah. Ibarat kekalahan dalam satu pertarungan,
maka harga diri telah jatuh. Perasaan rendah diri kemudian ditutupi dengan
mulai membesar-besarkan cerita tentang apa yang pernah ada.
Adat Kampar Riau dan Krisis Eksistensi
Ilustrasi
di atas bisa jadi cermin bagi orang Kampar dengan adatnya dapat pengaruh dari
alam Minangkabau, yang cenderung memperlihatkan gejala-gejala mengalami
krisis eksistensi secara individu dan bahkan secara komunal. Ciri-ciri ini bisa
terlihat dari kecenderungan mengagungkan masa lalu, juga simbol-simbol
kedaerahan. Sebagai contoh soal penamaan bandara Minangkabau, dapat dinilai
sebagai suatu upaya menunjukan keberadaan suku Minangkabau itu sendiri. Di
Indonesia, tidak ada penamaan bandara dengan nama daerah, barangkali hanya nama
suku Minangkabau satu-satunya. Motif yang sama juga pernah terjadi dengan
pembangunan Istano Basa Pagaruyung
yang konon kabarnya juga merupakan upaya untuk membangkitkan rasa harga diri
orang Minangkabau yang telah jatuh setelah meletusnya perang PRRI.
Eksistensi
orang Kampar dan Minang secara komunal terasa luluh lantak sejak terjadi
pertikaian politik dan perang. Para elit masyarakat Minangkabau menyadari betul
perasaan kekalahan itu setelah pertikaian PRRI. Perasaan itu hidup dalam
memori tokoh-tokoh, kaum intelektual dan mereka yang terlibat sebagai pelaku
sejarah pada masa terjadinya PRRI. Rasa kalah itu seperti hidup dan terkenang,
bahkan seperti diwariskan di alam romantisme sampai pada generasi sekarang.
Walau sesungguhnya yang dianggap elit pusat pada masa itu juga ada yang berasal
dari Minangkabau.
Minangkabau
yang dulunya dianggap berjaya dengan orang-orangnya yang berperan besar
dalam perjuangan kemerdekaan dan pendirian republik, kini sepertinya kurang
dipandang. Kalau toh ada tokoh-tokoh dari Minangkabau di masa berkuasanya Orde
Baru sampai sekarang mereka lebih dianggap sebagai subordinat dan antek-antek
kekuasaan saja. Mereka mungkin bagian dari ‘korban’ itu sendiri. Berbeda dengan
generasi sebelumnya yang memiliki karakter yang kuat. Bahkan sebagian besar
ikut mewarnai corak dan warna republik sejak awal berdirinya. Mereka berada di
barisan elit bangsa Indonesia dengan menempati posisi wakil presiden, perdana
menteri dan jabatan-jabatan penting lainnya dalam sruktur kekuasaan.
Eksistensi
dan identitas orang Minangkabau ini kembali dihantam melalui perubahan sistem
pemerintahan terendah nagari menjadi
desa di masa Orde Baru berkuasa. Ini telah menguliti entitas lokal yang
sangat diagung-agungkan orang Minangkabau, yaitu dengan istilah “adat salingka
nagari”. Nagari sebagai bentuk sistem yang mengikat orang Minang dalam sebuah
tatanan sosiokultur telah dirusak. Seluruh nilai dan sistem budaya yang ada di
dalam nagari kemudian hancur akibat dari kooptasi negara dan kekuasaan absolut.
Nagari yang merupakan tatanan komunal yang telah membentuk karakter, identitas
dan entitas orang Minang itu akhirnya lumpuh. Meskipun kemudian pasca
reformasi diberi ruang bagi kembalinya subsistem pemerintah nagari untuk eksis
kembali, namun itu sudah tinggal kerabangnya saja. Sangat sulit membangunnya
seperti sediakala, ditambah lagi beban arus globalisasi yang datangnya di saat
kerusakan sistem dan kultur itu terjadi.
‘Kekerasan’ Budaya
Kini
seegalanya berubah. Di sisi lain, sesungguhnya kaum lelaki Kampar dan Minang
juga telah mengalami krisis eksistensi sejak dari mereka terlahir sebagai orang
Minangkabau akibat dari paham matrilinial
yang berlaku. Sistem matrilinial bersuku ke ibu, budaya Minangkabau dengan
berbagai cirinya telah memperlakukan anak laki-laki Minang secara keras.
Perlakuan keras ini dapat dinilai dari tidak adanya hak pakai lelaki Minang
terhadap tanah ulayat atau tanah pusako kaum. Begitu juga ketika lelaki Minang
menikah dan kemudian tinggal di tanah harta pusaka kaum istrinya, mereka
diibaratkan “abu di atas tunggul” yang menggambarkan betapa rentannya posisi
mereka. “Abu di atas tunggul” akan terbang di saat angin bertiup kencang.
Artinya posisi lelaki Minang di kaumnya juga kurang dihargai, sedang di rumah
istrinya hanya menumpang.
Arrijalu Qawwamuna alannisa’(Laki-laki
penguasa bagi wanita)
Pemimpin, bahkan pelindung. Jangan
dibalikkan.
Selama ini dikenal, peran lelaki Minang sebagai mamak tak lebih merupakan
peran
klise dengan kewenangan mengatur tapi tak pernah menerima manfaat dan
mengambil keuntungan dari harta kekayaan yang ada.
Sejak
kecil atau remaja anak lelaki Minang telah diberi perangkat nilai-nilai sosial
yang juga bersaing secara keras terhadap
mereka. Contohnya anak laki-laki yang lebih banyak tinggal di dalam rumah akan
dapat cemoohan bahkan bisa-bisa disuruh keluar dari rumah oleh ibunya sendiri.
Jika mereka sering berada di rumah daripada di luar seolah-olah mereka tak
ubahnya seperti kaum perempuan.
adat-istiadat masyarakat Sunda, yang terungkap dalam beberapa ungkapan
seperti; awewe mah teu kudu sakola luhur-luhur teuing, da engke ge balik ka
dapur deui (wanita tidak usah bersekolah tinggi-tinggi sebab pada akhirnya
akan kembali lagi ke dapur); Awewe mah tara cai ka Batawi (seorang
isteri tidak usah bekerja keras karena ada suami); Isteri mah dulang
tinande (isteri mesti mengikuti suaminya), dan Awewe mah heureut
lengkah (wanita terbatas dalam melakukan aktivitas). Namun, saat ini
telah mengalami banyak perubahan karena banyak wanita Sunda yang
berpendidikan tinggi dan banyak pula yang bekerja di sektor publik.Jika dulu wanita hanya berperan di lingkungan rumah saja, seperti dalam ungkapan ”tempat awewe mah di dapur, sumur, jeung kasur” (tempat perempuan di dapur, sumur, dan kasur); akan tetapi saat ini wanita berperan tidak hanya di dalam rumah saja tetapi juga di lingkungan pekerjaan di luar rumah atau pekerjaan formal. Peranan wanita Sunda sekarang tidak lagi mencakup tugas-tugas tradisional sebagai isteri dari suaminya atau ibu dari anak-anaknya; akan tetapi disamping berperan dalam tugas-tugas tradisionalnya, juga memegang karier atau bekerja di pelbagai bidang.
Saat ini, banyak wanita telah keluar dari suasana rumah dan keluarga, baik untuk merintis karier di dunia kerja maupun dalam memberi sumbangan yang berguna dan berarti dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya. Dalam konteks peran gandanya sebagai ibu, isteri, dan profesional yang mempunyai pendapatan tetap, wanita telah menjadi sumber potensi di sekitarnya. Banyak kaum wanita Sunda yang menduduki kedudukan di lembaga birokrasi sebagai pegawai negeri, anggota parlemen, dan dunia usaha. Selain itu banyak wanita Sunda yang aktif pada pelbagai organisasi massa dan organisasi politik, serta banyak pula yang menjadi anggota tentara dan polisi.
Peranan Wanita Sunda
Terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan peranan wanita Sunda.
Pendidikan telah mempengaruhi perubahan peranan wanita Sunda di Kota
Bandung. Pendidikan telah memberikan kesempatan yang terbuka dan luas
dalam mencapai kesetaraan dengan kaum lelaki. Pendidikan yang dicapai oleh
wanita telah memberikan dampak pada wawasan ilmu yang lebih unggul serta
kemampuhan wanita untuk berperanan dalam lingkungan masyarakat.
Pengaruh
pendidikan terhadap peranan wanita dalam keluarga dan pencarian nafkah
diungkapkan Sajogyo (1983:14) bahwa dengan mendapat kesempatan yang sama bagi
kaum lelaki dan wanita dalam bidang pendidikan, maka peranan wanita dalam
pekerjaan dan pencarian nafkah akan terlihat nyata. Ester Boserup
(1984:129) menyatakan bahwa pendidikan akan memperbaiki status, kemampuan, dan
keahlian wanita. Di samping itu, pendidikan juga meningkatkan aspirasi dan
harapan seorang wanita akan penghasilan dan kehidupan yang lebih baik, dan hal
ini mendorongnya untuk masuk ke dalam angkatan kerja. Sejalan dengan itu,
Mardikanto (1990:75) menyatakan bahwa wanita yang memiliki keunggulan
(pendidikan, keterampilan, modal, relasi, dan lain-lain merasa lebih efisien
untuk meniti karir berbanding jika hanya melakukan pekerjaan rumah tangga.
Menurut
Mardikanto (1990:89) ada pelbagai faktor yang mendorong wanita untuk melakukan
pekerjaan di luar rumah, yaitu: pertama, alasan ekonomi untuk menambah
pendapatan keluarga (family income), terutama jika penghasilan suami
relatif kecil, atau isteri memiliki keunggulan tertentu sehingga merasa lebih
efisien jika separuh waktunya digunakan untuk berkarir daripada hanya melakukan
pekerjaan rumah tangga; Kedua, untuk mengangkat status dirinya atau
memperoleh kekuasaan lebih besar di dalam kehidupan rumah tangganya. Alasan ini
didukung oleh pernyataan Galbraith (1973) yang mengungkapkan bahwa kekuasaan
atau status seseorang di dalam rumah tangganya tergantung kepada besarnya
sumbangan (ekonomi) yang diberikan bagi pendapatan keluarganya. Semakin
besar sumbangan yang diberikan, maka status atau kekuasaannya di dalam
hidup berumah tangga akan semakin besar pula; dan Ketiga, adanya motif
intrinsik (yang datang dari dalam dirinya sendiri) untuk menunjukkan
eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan hidup mandiri baik
dalam keluarga maupun di dalam kehidupan masyarakatnya (Robinson, 1978).
Killian
(1971:29) mengemukakan beberapa alasan wanita bekerja[1], antara lain; (1) wanita memerlukan uang; (2) wanita ingin
menambah penghasilan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup; (3) wanita ingin
mencari keamanan dan mendapat faedah; (4) wanita diperlukan sebagai sumber
tenaga kerja; (5) wanita senang berjumpa dengan orang banyak dan merasa
hidupnya lebih berfaedah; (6) wanita berharap mendapatkan suami; (7)
wanita ingin menyumbangkan tenaganya untuk keperluan keluarga dan
masyarakat; dan (8) wanita ingin menyatupadukan kerja dan kepentingan rumah
tangga.
Kemajuan peranan wanita Sunda disokong pula adanya kebijakan Negara
(Indonesia) terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia seperti perbaikan derajat
kesehatan, tingkat pengetahuan, dan keterampilan serta kemampuan daya beli
masyarakat[2].Peningkatan peranan wanita juga telah menjadi isu politik yang penting, terlebih pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1973-1997)[3]. Pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia memasukkan kebijakan perempuan dalam GBHN yang populer dengan kebijakan ”peran ganda perempuan”. Kebijakan ini berdasarkan asumsi bahwa selama ini kaum perempuan karena hanya berperan sebagai isteri dan ibu, dianggap tidak mempunyai peranan atau tidak memberikan kontribusi apa pun dalam pembangunan. Karena itu kaum perempuan didorong untuk berpartisipasi aktif di sektor publik dengan tetap menjalankan fungsinya sebagai isteri dan ibu (Katjasungkana, Hadiz, 1998; Poerwandari dan Hidayat, 2000:10-11).
Keadaan ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik di Indonesia pada masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Wanita yang menjadi sumber tenaga pembangunan, pada dasarnya harus dapat membebaskan diri dari inferioritas dan ketergantungannya terhadap orang-orang di sekitarnya. Adanya kenyataan ini berarti kaum wanita harus ikut berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wanita diberi kesempatan untuk mengambil lebih banyak tanggungjawab pembangunan bangsa atas kesadaran, kemauan, dan kemampuannya sendiri. Wanita tidak lagi hanya sekedar dipandang sebagai second class citizen (Salim, 1987) dan subordinasi daripada kekuasaan pria, tetapi wanita adalah rekan sejajar kaum pria di dalam memecahkan dan menyelesaikan pelbagai masalah pembangunan dewasa ini. Pemerintah Indonesia memberikan peranan yang besar kepada wanita dengan diangkatnya seorang menteri urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang mengkoordinasikan dan membina usaha-usaha bagi peningkatan peranan dan partisipasi wanita dalam segala bidang pembangunan (Yusuf, 2000:3).
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, sasaran pembangunan yang hendak dicapai pada tahun 2004-2009 dalam rangka peningkatan kualitas kehidupan dan peranan wanita serta kesejahteraan dan perlindungan anak[4] adalah: (1) terjaminnya keadilan gender dalam berbagai perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik; (2) menurunnya kesenjangan pencapaian pembangunan antara wanita dan lelaki; (3) menurunnya tindak kekerasan terhadap wanita dan anak; serta (4) meningkatnya kesejahteraan dan perlindungan anak.
Akibat dari perlakuan keras ini telah memunculkan
tiga instrumen baru dalam kehidupan lelaki Minangkabau masa dahulunya yaitu;
surau, lapau dan rantau. Saat kecil anak lelaki Minang diperintahkan untuk
belajar mengaji dan silat di surau. Bahkan mereka juga ditekankan untuk tinggal
atau menginap di surau. Untuk instrumen surau pada saat ini telah dianggap melemah.
Benarkah setelah mereka menginjak
masa remaja, mereka ditekankan atau diarahkan pergi ke lapau, ka kodai, lolok
di Surau sebagai sebuah gambaran pergaulan. Di lapaulah lelaki Minang
berinteraksi dan menambah wawasannya tentang perkembangan masyarakat. Di
samping itu tanpa disadari di lapau pula tempat mereka mengaktualisasikan diri
dan berharap mendapat pengakuan di tengah-tengah masyarakat. Seringkali lapau,
kedai menjadi tempat bercerita tentang kehebatan dan kemajuan seseorang dalam
kehidupan, misalnya dalam hal kekayaan dan jabatan. Harapan mendapatkan
pengakuan ini kadang-kadang dilakukan dengan cara mengarang cerita sedikit
berlebihan untuk menunjukkan kemampuan dan perannya.
MARANTAU
BUJANG DAULU,
DI RUMAH BAGUNO BALUN
Ada Instrumen
lainnya yang lahir dari akibat kerasnya perlakuan sosial budaya bagi lelaki
Minang, yaitu rantau. Rantau dapat dilihat dari sudut pandang perluasan wilayah
kehidupan orang Minang, namun dapat juga dilihat sebagai buah dari kerasnya
perlakuan terhadap kaum laki-laki. Dengan merantau, lelaki Minang berharap
mereka memiliki harta kekayaan sendiri. Walau ada juga yang ingin menambah
ilmu pengetahuan, tapi itu bisa dipahami bukan sebagai motif utama. Di rantaulah
bertumbuhnya jiwa dan kemampuan interpreneurship orang Minang yang bisa saja
merupakan sisi positif ‘kekerasan’ perlakuan yang dialaminya.
Pada
akhirnya problem eksistensi dan identitas lelaki Minangkabau ini perlu menjadi
bahan pemikiran bagi kita semua. Sudah saatnya orang Minang menggali ke dalam
sumur “Alam Minangkabau” sampai ke dasarnya. Bukan seperti yang selama ini dilakukan,
yang lebih banyak hanya mengedepankan simbol-simbol yang berada di permukaan.
Kekuatan kekayaan falsafah dan sistem budaya itu sendiri yang mungkin perlu
ditafsirkan ulang. Mudah-mudahan itu bisa mengembalikan identitas budaya ke
dalam alam pikir dan rasa manusia sebagai suatu karakter yang kuat, bukan
pada corak atau aksesoris budayanya saja.
Kaluk
paku, kacang belimbing,
Sayak
tempurung, lenggang lenggokkan.
Aanak
dipangku, kemanakan dibimbing,
Orang
kampung, dipatenggangkan.
Sebagai
perbadingan, d ibawah ini
merupakan sebagian dari babasan dan paribasa Sunda dari buku Babasan
Jeung Paribasa Sunda: Kanggo Murid SLTP & Umum karya Samsudi, terbitan
Tirta Kancana tahun 1986. Sealain dari istilah Nyalindung kagelung(Berlindung
ke sebalik sanggul).Antara Jawa Barat dan Sumatra Barat.
Babasan Sunda:
- Akal koja: Akalnya pintar dalam kejahatan.
- Asa potong pingges leungeun katuhu: kaunduran batur nu hade gawe.
- Balungbang timur, caang bulan opat welas, jalan gede sasapuan: Ikhlas, sangat suka.
- Bisa lolondokan: Bisa mengikuti atau menempatkan diri dengan kebiasaan orang lain supaya akrab.
- Biwir nyiru rombengeun: Cerewet, semua rahasia diceritakan.
- Bobot pangayon timbang taraju: Hukuman yang adil (pengadilan).
- Buburuh nyatu diupah emas: Belajar tetapi sambil diberi upah padahal gunanya untuk dirinya sendiri.
- Buntut kasiran: pelit.
- Cara hurang tai ka hulu-hulu: Bodo pisan, sangat bodoh.
- Dihurun-suluhkeun / Dikompet-daunkeun: Yang jelek (salah) seorang, tetapi semuanya kena / dianggap salah semua.
- Elmu Tumbila: Pribumi merugikan tamu.
- Elmu sapi: Samiuk kana kagorengan,
- Ginding kekempis: Berpenampilan keren seperti orang kaya padahal isi sakunya kosong.
- Gurat cai: Menyalahi janji.
- Hade gogog, hade tagoh: Halus bahasanya dan baik sikapnya.
- Hampang birit: daekan.
- Heuras letah: Hatinya keras, omongannya kasar.
- Heurin ku letah: Yang perlu diomongkan susah untuk diucapkan.
- Hirup dinunuh paeh dirampes: Pasrah menerima
Terimakasih informasinya..
ReplyDeleteAssalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
ReplyDeleteSaya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya dan beliau juga membantu untuk melariskan usaha/dagangan saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekarang saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) atau anda yg punya usaha ingin melancarkan usaha anda jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...